"Bingo! Akhirnya!" teriak Juju, matanya bersinar dengan semangat kemenangan. Keceriaan di wajahnya tidak bisa disembunyikan.Selena, dengan gerakan anggun, melangkah mendekat, meletakkan lengannya di bahu Juju. Sentuhan lembut itu seperti memanaskan suasana di sekitar mereka. "Why? Kenapa kamu terlihat sangat gembira, Sayang?" tanyanya dengan nada menggoda, membisikkan kata-kata itu sambil menempelkan pipinya di punggung Juju."Sweetheart," Juju memanggil dengan nada lembut namun penuh arti, mengelus lembut bahu Selena. "Mereka ini seperti anak-anak yang bermain di taman, tidak tahu apa-apa tentang permainan sebenarnya."Ketika laporan dari Andrew datang, Juju seakan-akan melayang di udara, saking senangnya. Sepupunya yang satu itu, Berlian, akhirnya berhasil dia tarik keluar dari pengawasan Luke. Sekarang dia bisa mengatur segala sesuatu sesuai kehendaknya, dan yang terpenting, memberikan doktrin yang diperlukan untuk membuat Berlian patuh."Apa yang selanjutnya kita lakukan, Dear?"
"Tuan, ada kabar buruk." Ethan melepaskan kacamata, dia menatap David dengan alis mengerut. "Kabar buruk? Apa yang terjadi?" "Laporan yang saya terima dari Julius, jika Luke bertemu dengan Galen. Dan kabarnya, nyonya muda Berlian bertemu dengan Andrew," lapor David. Vania yang duduk di sebelah kiri Ethan terperangah. Wanita sepuh itu berdiri dalam sekejap, kepanikan pun mulai merayap. "Apakah Luke tidak memberikan pengawasan dan pengawal untuk Berlian?!" tanya Vania. David membungkuk hormat. "Maaf, Nyonya. Luke memiliki urusannya sendiri. Nyonya muda mengancam akan melakukan tindakan ekstrem jika tidak diizinkan keluar. Luke sedang fokus pada pertemuannya dengan Galen, jadi pengawasan terhadap Berlian kurang ketat." Ethan menghela napas panjang, rasa kecewa jelas tergambar di wajahnya yang sudah terdapat garis usia senja. "Galen. Ternyata penyidik sialan itu masih belum terima dengan kematian kakaknya," gumam Ethan. Vania yang sudah kacau mencengkram lengan suaminya. "Aku
"Bagaimana keadaan Berlian?" tanya Juju. Pria itu menatap layar monitor yang berjejer di hadapannya dengan wajah dingin tanpa ekspresi kala mendengar suara derap high heels yang beradu dengan lantai. Selena tersenyum tipis, bibir wanita itu memperlihatkan sesuatu yang tampak memuaskan. "Dia masih gelisah, tapi aku yakin kita bisa mengendalikannya, Dear. Ternyata, dia masih sangat muda, ya!" ucap Selena, melangkah ke arah Juju dan duduk di pangkuan pria itu. Juju mengusap lembut pipi Selena, wanita yang hanya ia manfaatkan demi rencana-rencananya. "Baby, kamu sudah melakukan pekerjaan dengan sangat baik," puji Juju, mengecup singkat bibir Selena. "Jadi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Apa kamu ingin menemui Berlian sekarang?" tanya Selena, jemari lentiknya mengelus rahang tegas Juju. "Aku akan menemui sepupu bodohku itu. Kamu, siapkan beberapa bukti untuk kita tunjukkan kepada Berlian." "Okay." Selena tersenyum, "Aku akan segera mengurusnya." ___ Berlian duduk di
"Tidak mungkin... Luke? Balas dendam?" Berlian tergagap, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Hati Berlian berdebar kencang mendengar penjelasan Juju. Ia merasa seperti ada angin kencang yang merobohkan dirinya. Tubuhnya gemetar, matanya penuh embun air mata. Juju tersenyum dingin. "Ya, Berlian. Luke ada di sini hanya untuk membalas dendam. Dia berusaha merusak keluargamu dari dalam, termasukmu. Sekarang kamu mengerti mengapa dia menikah denganmu?" Kemarahan bergemuruh di dalam dada Berlian. Ia sudah hancur, dan kali ini lebih dari sekedar hancur. Berlian menatap Juju, ingin meminta penjelasan yang selama ini tak ia ketahui. "Pa-Paman, jadi ini alasannya kamu membenci Luke? Apakah hanya aku yang tidak tahu rahasia ini? Apakah kakek tahu?" tanya Berlian dengan suara bergetar. Juju tersenyum, dalam hatinya bersorak gembira. Jebakan yang sempurna, bukan? "Maaf, Lian. Aku bukannya ingin mengadu domba. Aku sebenarnya peduli padamu, aku kasihan karena Paman
“Kau ini wanita gangguan jiwa yang menyedihkan, Berlian!” hina Selena dengan suara tajam. “Kau pikir kau siapa, berani melawan kami? Dasar bodoh!" Selena menatap Berlian dengan pandangan meremehkan, seringai sinis terlukis di wajahnya. Hinaan itu membuat darah Berlian mendidih. Dengan mata berapi-api, ia balas menatap Selena. “Kau tidak tahu apa-apa tentang diriku, Selena!” balas Berlian sambil melangkah maju. “Aku ke sini hanya ingin kebenaran. Dan jika kau dan Juju tidak merasa bersalah, kenapa kita tidak duduk bersama Luke agar semua rahasia kelam keluargaku bisa terungkap tanpa ada satu pun yang dicurigai?" ujar Berlian dingin. Selena tertawa sinis, suaranya penuh dengan tawa mengejek. “Kebenaran? Kamu pikir kamu bisa menang dengan mencari kebenaran? Harus kau ketahui, Berlian, Luke adalah pria yang tak lebih baik darimu. Kau itu wanita paling bodoh yang pernah ada! Hanya kamu yang mau dibohongi oleh Luke!” ejek Selena. Kemarahan Berlian memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia m
"Aakkhh...." Andrew menjerit kala merasakan timah panas itu menembus kakinya. Tubuh Andrew ambruk, sambil meringkuk memenangi kakinya yang sakit. "Kamu... Berani melukaiku, Luke? Apa kamu pikir orang tuaku akan tinggal diam?" kata Andrew terbata-bata, menahan sakit. Luke hanya memberikan ekspresi dingin. "Aku sengaja tidak membunuh. Agar kamu paham, pria yang selalu kamu anggap sampah bisa saja mengambil nyawamu. Tapi, aku bukan Tuhan. Dan tidak punya kuasa untuk itu! Tetapi, jika kamu melewati batas, mungkin saja aka dapat menjadi malaikat pencabut nyawa untukmu," ucap Luke. "Cuih!" Andrew meludah. "Jangan sok peduli! Kenyataannya, kamu itu adalah pembunuh!" teriak Andrew. Luke memiringkan sedikit kepalanya. Wajahnya masih sama. Tanpa ekspresi. "Berhenti berbicara atau mulutmu akan robek!" gertak Luke. Maximilian berlari menghampiri Luke dengan napas tersengal. "Luke, aku dan tim sudah mengamankan anak buah Juju. Pergilah cari Berlian. Biar Andrew aku yang urus," ujar Maximilian
Helikopter yang ditumpangi Juju semakin jauh, suara baling-baling itu menghilang ditelan langit malam. Berlian memejamkan mata sesaat sebelum terdengar bunyi tembakan yang memecah keheningan.Klik!Namun, tidak ada suara letusan. Berlian membuka matanya, bingung. Ia memeriksa pistolnya, hanya untuk menemukan bahwa senjata itu macet. Klik, klik!Tangannya gemetar saat mencoba menembakkan lagi, tetapi pelatuknya tidak bergerak."Kenapa...? Apa pelurunya habis? E ... Bagaimana ini tidak berfungsi?" gumam Berlian, panik dan terus menekan pelatuk berulang kali. Luke, yang masih terbaring di lantai dengan nafas tersengal-sengal, mendengar bunyi klik senjata tersebut. Dia membuka matanya, melihat Berlian yang tampak begitu lucu dengan ekspresi istrinya yang kebingungan. "Hahaha ... Lian," ucap Luke di sela tawa, meski wajah pria itu sudah babak belur. Berlian merasa terhina ditertawakan oleh Luke. "Apa kamu pikir ini lucu, hah?" bentak Lian kesal. "Haah ...." Sepertinya Tuhan tidak meng
"Apa? Apa yang kamu katakan, David? Berlian jatuh?"Vania hampir menjatuhkan ponsel yang ia genggam, suara wanita sepuh itu gemetar mendengar kabar yang baru saja ia terima. "Nyonya besar, maafkan saya. Berlian jatuh dari tangga dan kepalanya terbentur...—" suara David terdengar putus asa di seberang telepon."Tidak... ini tidak mungkin," Vania menelan ludah, tubuh itu mulai kehilangan keseimbangan. Vania mencoba berpegangan pada meja terdekat untuk menahan tubuhnya yang bergetar dan mulai goyah. "Nyonya besar, Anda harus tenang. Saya yakin nyonya Berlian adalah wanita yang kuat...," David mencoba menenangkan."Apakah Luke sudah membawa Berlian ke rumah sakit?" Vania memotong cepat, mencoba menguasai diri."Saat ini, Tuan Luke sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, Nyonya.""Kirim alamat rumah sakitnya, aku ... Aku akan segera ke sana!"Vania pun menutup telepon dengan tangan gemetar, wanita sepuh itu menarik napas panjang dan dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang terasa m