"Tidak mungkin... Luke? Balas dendam?" Berlian tergagap, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Hati Berlian berdebar kencang mendengar penjelasan Juju. Ia merasa seperti ada angin kencang yang merobohkan dirinya. Tubuhnya gemetar, matanya penuh embun air mata. Juju tersenyum dingin. "Ya, Berlian. Luke ada di sini hanya untuk membalas dendam. Dia berusaha merusak keluargamu dari dalam, termasukmu. Sekarang kamu mengerti mengapa dia menikah denganmu?" Kemarahan bergemuruh di dalam dada Berlian. Ia sudah hancur, dan kali ini lebih dari sekedar hancur. Berlian menatap Juju, ingin meminta penjelasan yang selama ini tak ia ketahui. "Pa-Paman, jadi ini alasannya kamu membenci Luke? Apakah hanya aku yang tidak tahu rahasia ini? Apakah kakek tahu?" tanya Berlian dengan suara bergetar. Juju tersenyum, dalam hatinya bersorak gembira. Jebakan yang sempurna, bukan? "Maaf, Lian. Aku bukannya ingin mengadu domba. Aku sebenarnya peduli padamu, aku kasihan karena Paman
“Kau ini wanita gangguan jiwa yang menyedihkan, Berlian!” hina Selena dengan suara tajam. “Kau pikir kau siapa, berani melawan kami? Dasar bodoh!" Selena menatap Berlian dengan pandangan meremehkan, seringai sinis terlukis di wajahnya. Hinaan itu membuat darah Berlian mendidih. Dengan mata berapi-api, ia balas menatap Selena. “Kau tidak tahu apa-apa tentang diriku, Selena!” balas Berlian sambil melangkah maju. “Aku ke sini hanya ingin kebenaran. Dan jika kau dan Juju tidak merasa bersalah, kenapa kita tidak duduk bersama Luke agar semua rahasia kelam keluargaku bisa terungkap tanpa ada satu pun yang dicurigai?" ujar Berlian dingin. Selena tertawa sinis, suaranya penuh dengan tawa mengejek. “Kebenaran? Kamu pikir kamu bisa menang dengan mencari kebenaran? Harus kau ketahui, Berlian, Luke adalah pria yang tak lebih baik darimu. Kau itu wanita paling bodoh yang pernah ada! Hanya kamu yang mau dibohongi oleh Luke!” ejek Selena. Kemarahan Berlian memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia m
"Aakkhh...." Andrew menjerit kala merasakan timah panas itu menembus kakinya. Tubuh Andrew ambruk, sambil meringkuk memenangi kakinya yang sakit. "Kamu... Berani melukaiku, Luke? Apa kamu pikir orang tuaku akan tinggal diam?" kata Andrew terbata-bata, menahan sakit. Luke hanya memberikan ekspresi dingin. "Aku sengaja tidak membunuh. Agar kamu paham, pria yang selalu kamu anggap sampah bisa saja mengambil nyawamu. Tapi, aku bukan Tuhan. Dan tidak punya kuasa untuk itu! Tetapi, jika kamu melewati batas, mungkin saja aka dapat menjadi malaikat pencabut nyawa untukmu," ucap Luke. "Cuih!" Andrew meludah. "Jangan sok peduli! Kenyataannya, kamu itu adalah pembunuh!" teriak Andrew. Luke memiringkan sedikit kepalanya. Wajahnya masih sama. Tanpa ekspresi. "Berhenti berbicara atau mulutmu akan robek!" gertak Luke. Maximilian berlari menghampiri Luke dengan napas tersengal. "Luke, aku dan tim sudah mengamankan anak buah Juju. Pergilah cari Berlian. Biar Andrew aku yang urus," ujar Maximilian
Helikopter yang ditumpangi Juju semakin jauh, suara baling-baling itu menghilang ditelan langit malam. Berlian memejamkan mata sesaat sebelum terdengar bunyi tembakan yang memecah keheningan.Klik!Namun, tidak ada suara letusan. Berlian membuka matanya, bingung. Ia memeriksa pistolnya, hanya untuk menemukan bahwa senjata itu macet. Klik, klik!Tangannya gemetar saat mencoba menembakkan lagi, tetapi pelatuknya tidak bergerak."Kenapa...? Apa pelurunya habis? E ... Bagaimana ini tidak berfungsi?" gumam Berlian, panik dan terus menekan pelatuk berulang kali. Luke, yang masih terbaring di lantai dengan nafas tersengal-sengal, mendengar bunyi klik senjata tersebut. Dia membuka matanya, melihat Berlian yang tampak begitu lucu dengan ekspresi istrinya yang kebingungan. "Hahaha ... Lian," ucap Luke di sela tawa, meski wajah pria itu sudah babak belur. Berlian merasa terhina ditertawakan oleh Luke. "Apa kamu pikir ini lucu, hah?" bentak Lian kesal. "Haah ...." Sepertinya Tuhan tidak meng
"Apa? Apa yang kamu katakan, David? Berlian jatuh?"Vania hampir menjatuhkan ponsel yang ia genggam, suara wanita sepuh itu gemetar mendengar kabar yang baru saja ia terima. "Nyonya besar, maafkan saya. Berlian jatuh dari tangga dan kepalanya terbentur...—" suara David terdengar putus asa di seberang telepon."Tidak... ini tidak mungkin," Vania menelan ludah, tubuh itu mulai kehilangan keseimbangan. Vania mencoba berpegangan pada meja terdekat untuk menahan tubuhnya yang bergetar dan mulai goyah. "Nyonya besar, Anda harus tenang. Saya yakin nyonya Berlian adalah wanita yang kuat...," David mencoba menenangkan."Apakah Luke sudah membawa Berlian ke rumah sakit?" Vania memotong cepat, mencoba menguasai diri."Saat ini, Tuan Luke sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, Nyonya.""Kirim alamat rumah sakitnya, aku ... Aku akan segera ke sana!"Vania pun menutup telepon dengan tangan gemetar, wanita sepuh itu menarik napas panjang dan dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang terasa m
"Tekanan darah pasien turun drastis!" suara salah satu tim medis pecah di antara suara-suara alat monitor medis yang semakin keras berbunyi. "Kita akan kehilangan jika tidak bergerak cepat!" seru salah satu tim medis."Bersiap untuk resusitasi!" Dr. Anya berteriak, suara itu tegas, tapi ada nada cemas yang tak bisa disembunyikan oleh dokter itu. Di tengah ketegangan itu, ruang operasi dipenuhi dengan kecepatan dan ketepatan gerakan yang luar biasa oleh tim medis. Alat-alat medis berbunyi semakin cepat, seolah-olah memberikan peringatan kepada semua orang di ruangan tersebut bahwa waktu hampir habis. Di antara kepanikan itu, ada sesuatu yang membuat semua petugas medis berhenti sejenak. Bibir Berlian, meskipun tubuh Berlian dalam kondisi kritis dan sudah berada di bawah pengaruh obat bius yang kuat, tiba-tiba bergerak. "...komunikasi...," suara Berlian muncul, mengejutkan semua orang yang ada di ruangan itu. "... kejujuran dalam ... pernikahan....""Apakah pasien yang bicara?" sa
"Kami sudah melakukan yang terbaik," Dr. Anya memulai dengan suara tenang, penuh beban. Luke merasa tegang ketika dokter itu berucap. Tidak sabar ingin mendengar kelanjutannya. "Tapi, Berlian akan sembuh, kan, Dok?" Dr. Anya dengan mata lelah menatap Luke. "Berlian mengalami pendarahan internal yang parah, dan kondisinya sangat kritis selama operasi. Tapi…,"Dr. Anya berhenti sejenak, menelan ludah, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Kami berhasil menstabilkan kondisinya. Kami akan mengantarkan pasien ke ruang ICU untuk pemulihan."Kata-kata itu terdengar seperti sebilah pisau yang menusuk hati Luke. Rasa lega yang sempat menghampiri dengan cepat terhenti, digantikan oleh kecemasan yang semakin kuat. Vania menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan tangis yang hampir meledak. Ethan hanya bisa menunduk, sorot mata itu tertuju pada lantai, menyembunyikan kesedihan dan rasa bersalah."Apa ada harapan untuk Berlian?" Luke bertanya, suaranya parau, penuh harap, juga ketakutan.
"Beritahu aku, di mana Juju berada dan apa yang sebenarnya kalian inginkan, hah!" desak Maximilian. Andrew berada di atas meja besi panjang yang ada ruang bawah tanah dengan kedua tangan—kaki terikat rantai besi, direntangkan. Udara pengap, cahaya yang remang ditambah bau amis di ruang itu menambah kesan suram bagi siapapun yang berada di sana. Meski wajah sudah bengkak, lembam, dan tak terbentuk lagi, Andrew masih memberikan tatapan sinisnya kepada Maximilian. "Kamu pikir, aku akan katakan? Tidak akan Max."Di di sisi meja itu, Max membubungkan asap rokoknya, bibir itu terangkat membentuk seringai. "Oh, jadi kamu ingin keras kepala?" Max mendesis."Persetan! Aku tidak peduli. Bahkan jika kamu membunuhku, aku tetap akan tutup mulut. Agar apa? Kalian para bedebah mati penasaran!" hardik Andrew. Maximilian mendekatkan wajah ke arah Andrew, memandangi pria yang sudah babak belur itu dengan tatapan penuh intimidasi yang dingin. "Fuih ...." Max meniupkan asap rokoknya lagi. Asap rok
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara