“Kau ini wanita gangguan jiwa yang menyedihkan, Berlian!” hina Selena dengan suara tajam. “Kau pikir kau siapa, berani melawan kami? Dasar bodoh!" Selena menatap Berlian dengan pandangan meremehkan, seringai sinis terlukis di wajahnya. Hinaan itu membuat darah Berlian mendidih. Dengan mata berapi-api, ia balas menatap Selena. “Kau tidak tahu apa-apa tentang diriku, Selena!” balas Berlian sambil melangkah maju. “Aku ke sini hanya ingin kebenaran. Dan jika kau dan Juju tidak merasa bersalah, kenapa kita tidak duduk bersama Luke agar semua rahasia kelam keluargaku bisa terungkap tanpa ada satu pun yang dicurigai?" ujar Berlian dingin. Selena tertawa sinis, suaranya penuh dengan tawa mengejek. “Kebenaran? Kamu pikir kamu bisa menang dengan mencari kebenaran? Harus kau ketahui, Berlian, Luke adalah pria yang tak lebih baik darimu. Kau itu wanita paling bodoh yang pernah ada! Hanya kamu yang mau dibohongi oleh Luke!” ejek Selena. Kemarahan Berlian memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia m
"Aakkhh...." Andrew menjerit kala merasakan timah panas itu menembus kakinya. Tubuh Andrew ambruk, sambil meringkuk memenangi kakinya yang sakit. "Kamu... Berani melukaiku, Luke? Apa kamu pikir orang tuaku akan tinggal diam?" kata Andrew terbata-bata, menahan sakit. Luke hanya memberikan ekspresi dingin. "Aku sengaja tidak membunuh. Agar kamu paham, pria yang selalu kamu anggap sampah bisa saja mengambil nyawamu. Tapi, aku bukan Tuhan. Dan tidak punya kuasa untuk itu! Tetapi, jika kamu melewati batas, mungkin saja aka dapat menjadi malaikat pencabut nyawa untukmu," ucap Luke. "Cuih!" Andrew meludah. "Jangan sok peduli! Kenyataannya, kamu itu adalah pembunuh!" teriak Andrew. Luke memiringkan sedikit kepalanya. Wajahnya masih sama. Tanpa ekspresi. "Berhenti berbicara atau mulutmu akan robek!" gertak Luke. Maximilian berlari menghampiri Luke dengan napas tersengal. "Luke, aku dan tim sudah mengamankan anak buah Juju. Pergilah cari Berlian. Biar Andrew aku yang urus," ujar Maximilian
Helikopter yang ditumpangi Juju semakin jauh, suara baling-baling itu menghilang ditelan langit malam. Berlian memejamkan mata sesaat sebelum terdengar bunyi tembakan yang memecah keheningan.Klik!Namun, tidak ada suara letusan. Berlian membuka matanya, bingung. Ia memeriksa pistolnya, hanya untuk menemukan bahwa senjata itu macet. Klik, klik!Tangannya gemetar saat mencoba menembakkan lagi, tetapi pelatuknya tidak bergerak."Kenapa...? Apa pelurunya habis? E ... Bagaimana ini tidak berfungsi?" gumam Berlian, panik dan terus menekan pelatuk berulang kali. Luke, yang masih terbaring di lantai dengan nafas tersengal-sengal, mendengar bunyi klik senjata tersebut. Dia membuka matanya, melihat Berlian yang tampak begitu lucu dengan ekspresi istrinya yang kebingungan. "Hahaha ... Lian," ucap Luke di sela tawa, meski wajah pria itu sudah babak belur. Berlian merasa terhina ditertawakan oleh Luke. "Apa kamu pikir ini lucu, hah?" bentak Lian kesal. "Haah ...." Sepertinya Tuhan tidak meng
"Apa? Apa yang kamu katakan, David? Berlian jatuh?"Vania hampir menjatuhkan ponsel yang ia genggam, suara wanita sepuh itu gemetar mendengar kabar yang baru saja ia terima. "Nyonya besar, maafkan saya. Berlian jatuh dari tangga dan kepalanya terbentur...—" suara David terdengar putus asa di seberang telepon."Tidak... ini tidak mungkin," Vania menelan ludah, tubuh itu mulai kehilangan keseimbangan. Vania mencoba berpegangan pada meja terdekat untuk menahan tubuhnya yang bergetar dan mulai goyah. "Nyonya besar, Anda harus tenang. Saya yakin nyonya Berlian adalah wanita yang kuat...," David mencoba menenangkan."Apakah Luke sudah membawa Berlian ke rumah sakit?" Vania memotong cepat, mencoba menguasai diri."Saat ini, Tuan Luke sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, Nyonya.""Kirim alamat rumah sakitnya, aku ... Aku akan segera ke sana!"Vania pun menutup telepon dengan tangan gemetar, wanita sepuh itu menarik napas panjang dan dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang terasa m
"Tekanan darah pasien turun drastis!" suara salah satu tim medis pecah di antara suara-suara alat monitor medis yang semakin keras berbunyi. "Kita akan kehilangan jika tidak bergerak cepat!" seru salah satu tim medis."Bersiap untuk resusitasi!" Dr. Anya berteriak, suara itu tegas, tapi ada nada cemas yang tak bisa disembunyikan oleh dokter itu. Di tengah ketegangan itu, ruang operasi dipenuhi dengan kecepatan dan ketepatan gerakan yang luar biasa oleh tim medis. Alat-alat medis berbunyi semakin cepat, seolah-olah memberikan peringatan kepada semua orang di ruangan tersebut bahwa waktu hampir habis. Di antara kepanikan itu, ada sesuatu yang membuat semua petugas medis berhenti sejenak. Bibir Berlian, meskipun tubuh Berlian dalam kondisi kritis dan sudah berada di bawah pengaruh obat bius yang kuat, tiba-tiba bergerak. "...komunikasi...," suara Berlian muncul, mengejutkan semua orang yang ada di ruangan itu. "... kejujuran dalam ... pernikahan....""Apakah pasien yang bicara?" sa
"Kami sudah melakukan yang terbaik," Dr. Anya memulai dengan suara tenang, penuh beban. Luke merasa tegang ketika dokter itu berucap. Tidak sabar ingin mendengar kelanjutannya. "Tapi, Berlian akan sembuh, kan, Dok?" Dr. Anya dengan mata lelah menatap Luke. "Berlian mengalami pendarahan internal yang parah, dan kondisinya sangat kritis selama operasi. Tapi…,"Dr. Anya berhenti sejenak, menelan ludah, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Kami berhasil menstabilkan kondisinya. Kami akan mengantarkan pasien ke ruang ICU untuk pemulihan."Kata-kata itu terdengar seperti sebilah pisau yang menusuk hati Luke. Rasa lega yang sempat menghampiri dengan cepat terhenti, digantikan oleh kecemasan yang semakin kuat. Vania menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan tangis yang hampir meledak. Ethan hanya bisa menunduk, sorot mata itu tertuju pada lantai, menyembunyikan kesedihan dan rasa bersalah."Apa ada harapan untuk Berlian?" Luke bertanya, suaranya parau, penuh harap, juga ketakutan.
"Beritahu aku, di mana Juju berada dan apa yang sebenarnya kalian inginkan, hah!" desak Maximilian. Andrew berada di atas meja besi panjang yang ada ruang bawah tanah dengan kedua tangan—kaki terikat rantai besi, direntangkan. Udara pengap, cahaya yang remang ditambah bau amis di ruang itu menambah kesan suram bagi siapapun yang berada di sana. Meski wajah sudah bengkak, lembam, dan tak terbentuk lagi, Andrew masih memberikan tatapan sinisnya kepada Maximilian. "Kamu pikir, aku akan katakan? Tidak akan Max."Di di sisi meja itu, Max membubungkan asap rokoknya, bibir itu terangkat membentuk seringai. "Oh, jadi kamu ingin keras kepala?" Max mendesis."Persetan! Aku tidak peduli. Bahkan jika kamu membunuhku, aku tetap akan tutup mulut. Agar apa? Kalian para bedebah mati penasaran!" hardik Andrew. Maximilian mendekatkan wajah ke arah Andrew, memandangi pria yang sudah babak belur itu dengan tatapan penuh intimidasi yang dingin. "Fuih ...." Max meniupkan asap rokoknya lagi. Asap rok
"Kak Luke." Eliona membalikkan tubuh. Luke berjalan ke arah Eliona dengan wajah tak senang. Tidak ada seorang pun yang bisa masuk ke dalam kamar istrinya tanpa seizin Luke. Bahkan Fiona dan Anna sekalipun, harus menunggu perintah. ."Apa yang kamu lakukan di sini? Begitu tidak sopannya kamu masuk ke dalam kamar orang lain," cerca Luke, berdiri di hadapan Eli. Eli ketakutan, ia menggenggam kemoceng dengan tangan sedikit gemetar melihat wajah Luke. Eli tahu jika Luke adalah pria yang tidak suka basa-basi dan juga dingin. "Kak, maaf, kalau aku lancang. Aku hanya bingung. Selama tinggal di sini, apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku hanya diam tidak melakukan apa-apa. Itu terkesan ... Aku hanya memanfaatkan situasi," ucap Eli dengan hati-hati menjelaskan tujuannya. Masih tetap sama cara Luke memandang Eli, dingin. "Jadi kamu pikir, dengan begitu kami bisa masuk ke dalam kamar orang lain, hah?!" Eli melambaikan tangan. "Tidak, aku diminta oleh seorang wanita. Ya ... Mungkin di