"Fiona, apakah tadi Luke datang ke kampus Berlian?" tanya sang nyonya besar dari seberang telepon. Fiona yang sedang duduk bersantai itu menjawab, "Iya, Nyonya. Tadi tuan Luke datang menjemput nyonya muda Berlian." "Langkah yang baik. Tolong pantau kesehatan Berlian. Jika dia melakukan hal nekad atau hal yang aneh-aneh, tolong laporkan padaku." "Siap, Nyonya! Nyonya muda sekarang sudah mau makan dan beraktivitas. Jika ada sesuatu, nanti saya laporkan." Setelah panggilan terputus, Fiona menatap layar ponselnya sejenak sebelum memasukkannya ke dalam saku. Kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. --- "Lama sekali. Apa Berlian belum selesai kuliah?" gerutu Andrew, ia menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi. Di bawah pohon, di samping trotoar depan sebuah universitas bergengsi, Andrew menunggu dengan perasaan jenuh. Perintah dari ibunya untuk memanfaatkan Berlian membuat ia semakin bernapsu untuk memiliki sepupunya itu. Andrew meremas rokok yang tinggal separuh k
"Kita mau kemana?" tanya Berlian. Setelah menolak bekerja sama dengan keluarga pratama, Ethan meminta Luke untuk mengajak Berlian jalan-jalan. Ya ... Sekedar memberikan Berlian sedikit hiburan atas kerja kerasnya. "Nanti juga kamu akan tahu," jawab Luke, pandangan pria dingin itu tetap fokus ke jalan ketika ia sedang menyetir. Mobil kembali hening. Hanya pikiran dua manusia itu yang saling berbicara. Dalam benak Berlian, masih terbesit curiga kepada kakeknya dan Luke. 'Apakah Kakek menyembunyikan sesuatu? Bagaimana caranya aku menguak kematian orangtuaku? Apa ini ada sangkut pautnya dengan Kakek?' pikir Berlian. Waktu itu, bukti kecelakaan tidak ditemukan. CCTV jalanan yang berada di lokasi kecelakaan tidak terjangkau. Sebab malam itu, orang tua Berlian melewati hutan cemara dan di sepanjang jalan tersebut, hanyalah pohon cemara yang tumbuh di atas tebing, jalur jalanan tersebut pun berkelok-kelok. 'Tapi, setidaknya di bagian tertentu pasti ada CCTV, kan? Apalagi itu ad
"Halo, dengan siapa aku berbicara?" tanya Sarah ketika ia mengangkat telepon. Marcel yang tidur di atas perut Sarah itu memainkan tangannya di benda kenyal Sarah ketika kekasihnya itu sedang menerima telepon. "Sarah, apakah Berlian sedang bersamamu?" tanya pria dari seberang telepon. "Ini Andrew?" "Ya. Ini aku. Emm ... Jadi begini, aku khawatir dengan Berlian. Sudah lumayan lama aku tidak mendengar kabar maupun bertemu dengan Berlian. Apakah dia baik-baik saja?" Sarah mengeram, menahan desahan agar tidak lolos dari mulutnya ketika sang kekasih Marcel memainkan pucuk dada wanita itu. Membuat ia tidak begitu fokus pada pertanyaan Andrew. Beruntung, ia masih mengerti kenapa Andrew sampai menelpon dirinya. "Andrew, aku sedang mengambil cuti kuliah. Jadi beberapa hari ini, aku tidak masuk kampus. Aku akan memberikan nomor Berlian yang baru. Aku juga mau minta tolong padamu," ucap Sarah dengan nada memohon. "Minta tolong?" "Iya. Tolong selamatkan Berlian dari Luke. Ak
“Bu, aku sudah berhasil mendapatkan nomor kontak wanita tak berguna itu,” ujar Andrew dari sambungan telepon dengan suara menggebu. Eva begitu girang bukan main mendengar kabar itu. “Begini barulah putraku. Jadi bagaimana? Apakah kamu sudah menghubunginya? Lalu … Lalu, bagaimana dengan reaksi wanita idiot itu?” tanya Eva tak sabar. “Nomornya masih belum bisa di hubungi. Mungkin dia sibuk. Tapi tenang, Bu. Aku sudah mengirimkan pesan.” “Bagus. Terus rayu dia hingga Berlian luluh. Peluang ini harus kita manfaatkan ketika si tak berguna itu merasa tidak ada yang peduli.” “Oke. Kalau begitu, aku tutup teleponnya. Masih ada urusan yang harus aku selesaikan.” Tanpa menunggu ibunya merespon lebih jauh, Andrew pun memutuskan sambungan teleponnya. Senyum jahat penuh kemenangan pun terukir di bibir Andrew. “Lian, setelah aku berhasil membuatmu bertemu denganku, jangan harap aku akan melepaskanmu begitu saja,” desis Andrew penuh dengan niat jahat. ___ Vania, wanita sepuh itu berl
"Aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?" Berlian bergumam. Berlian tampak mondar-mandir seperti pembersih kaca mobil kala hujan. Ia begitu resah, tidak menyangka jika Luke meminta permintaan seperti itu saat selesai latihan. Menuntut dan menagih malam pengantin mereka yang selama ini belum pernah tercapai. "Mengapa tiba-tiba? Dasar Paman rubah yang licik. Selama ini kamu mengabaikanku. Kenapa baru sekarang kamu memintanya?" gerutu Berlian frustasi, mengingat perkataan Luke. Berlian melangkah ke arah meja di depan tempat tidur. Ia meraih botol Wine Sparkling dan menuangkan isi botol itu ke dalam gelas. Dengan gesit, ia pun meneguk cairan tersebut. Seketika, ia merasakan panas, rasa asam segar menjalar di tenggorokannya. "Aaa ... Sial, kenapa aku segugup ini?" Berlian meletakan gelas kosong itu. "Tenang Lian, Luke adalah suamimu. Jangan grogi. Anggap saja, Luke adalah Zee, meski pria itu mungkin sudah mati tersambar petir tanpa kabar yang pasti." Berlian mencoba menena
"J-jadi, selama ini kamu membohongiku, Luke? Kamu mencoba mempermainkanku dengan menyamar sebagai orang lain, hah?!" pekik Berlian. Egois, itulah Berlian. Meski ia merasa bersyukur jika Zee adalah Luke, tetapi ia menganggap Luke telah membohongi dirinya. Seketika kebahagiaannya musnah mengingat perkataan Sarah. Pikiran-pikiran jika Luke sering ke tempat tersebut untuk mencari wanita mulai mempengaruhi pikirkan Berlian. "Membohongimu? Bagaimana denganmu? Seorang wanita yang sudah bersuami datang ke tempat seperti itu, hah?!" Luke mencengkram lengan Berlian, menarik istrinya itu lebih dekat hingga deru napas dua manusia tersebut saling bertabrakan. "Aw... S-sakit, Luke!" Berlian meringis, mencoba mengelak. Tetapi cengkraman itu terlalu kuat. "Katakan! Apa yang membuatmu datang ke tempat itu? Apa kamu tahu bagaimana perasaanku hancur, hah! Mengetahui kau mencari pria lain selain suamimu sendiri!" bentak Luke. Berlian tertegun, menelan ludah, air mata itu tumpah satu per
"Aku siap," jawab Berlian pelan, suaranya penuh keyakinan. Momen itu terasa sangat intens, seolah-olah mereka berdua sedang bergulat dengan perasaan yang sama.Luke menatap Berlian lekat-lekat ke dalam mata sang istri yang berkabut. "Kalau begitu, mari kita mulai dari awal," bisik Luke, tangan Luke yang kokoh dan lembut menyapu rambut Berlian yang tergerai di sofa, seperti angin lembut yang mengusap permukaan danau yang tenang.Berlian menggigil atas sentuhan Luke, namun ia tidak menolak. Wanita itu hanya memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya. 'Sudah cukup aku berlari dari masalah. Setelah malam ini, apa yang akan terjadi di hari-hari berikutnya?' batin Berlian. Membiarkan Luke mengambil kendali atas tubuhnya. Luke melepaskan piyama satin yang Berlian kenakan, piyama itu jatuh di atas karpet. Memperlihatkan lingerie hitam yang Berlian kenakan. Lekukan tubuh yang sempurna bah gitar spanyol dengan dada padat tampak naik-turun karena napsu. Luke menatap Berlian dengan penuh
"T-tidak. Lanjutkan saja. Aku ... Hanya perlu beradaptasi," jawab Berlian. Luke terdiam beberapa saat. Memandang istrinya yang terus menghindari pandangan Luke. Luke sedikit kecewa melihat reaksi istrinya itu. Berbeda kala Luke menyamar menjadi Zee. Berlian tanpa ragu menatap Zee. Tapi sekarang, istrinya seakan jijik melihatnya. 'Ya, dia tidak pernah benar-benar menerimaku. Dia hanya melaksanakan tugasnya sebagai istri.' pikir Luke. "Aaa ... Pa-Paman ... Sakit sekali!" Berlian mencengkram sprei merasakan benda tumpul itu mencoba mendobrak lembah kerinduannya sekali lagi. Tetapi ini lebih kasar. Luke tersenyum sinis, mengusap pipi istrinya. "Tahan, nanti sakitnya juga akan hilang," ujar Luke, mendorong pinggulnya lebih kuat ke dalam diri Berlian. Sontak terdengar ada sesuatu yang robek di dalam sana. Luke merasakan jika dinding lembah istrinya berdenyut. Berlian kesakitan, tetapi Luke tidak peduli. Dia merasakan sakit, perasaannya perih. Melihat bagaimana perbedaan dirinya