"Pa, bagaimana ini? Aku sudah menduga jika Luke memang membawa bahaya di keluarga kita. Juju tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Berlian juga sudah mengajukan surat perceraiannya dengan Luke! Aku sudah cukup stres menghadapi masalah ini, Ethan!" ujar Vania.
Ketika Juju meninggalkan ruangan kerja Ethan, suasana masih terasa tegang di mana Ethan dan Vania berada. Ethan mengusap wajahnya kasar. Pria sepuh itu sudah memprediksi jika hal ini akan terjadi. Dan Luke, masih belum menyelesaikan tugas yang orang tua itu berikan. "Vania, Luke adalah bagian dari keluarga ini. Untuk saat ini, kita masih membutuhkannya. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Aku akan mengatasi masalah ini!" Ethan berusaha menenangkan istrinya meskipun hatinya penuh kekhawatiran. Wajah Vania memerah marah. Vania benar-benar tidak bisa menahan diri dari kepura-puraan dan kemunafikan yang"Anak tidak tahu malu itu! Bagaimana bisa kita membiarkan dia tinggal di rumah kita?" tante Eva tidak bisa lagi membendung amarahnya ketika melihat punggung Luke yang semakin menjauh. Om Thomas, yang masih memegangi rahang Andrew, menambahkan dengan nada marah, “Kau lihat apa yang dia lakukan pada anak kita? Apa kau pikir orang seperti itu pantas tinggal di sini? Dia membuat masalah di mana pun dia berada! Dia harus diusir dari keluarga ini!” Andrew, meskipun kesakitan, ikut mengejek Luke. “Sialan, Luke! Kau pikir kau bisa begitu saja menginjak-injak harga diriku? Kau tidak akan pernah menjadi bagian dari keluarga ini, tidak peduli seberapa keras kau mencoba!” Para tamu undangan yang menyaksikan kejadian tersebut mulai bergosip dan berbisik-bisik, beberapa di antaranya tampak kaget dan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Aku t
Plak! Suara tamparan keras itu menggema di taman belakang kediaman Tuan Besar, kala Berlian menampar pipi suaminya. Tangan Berlian gemetaran, dada kembang-kempis menahan gejolak emosi dan amarah yang menerjang. Ia tidak pernah mengira jika pelakunya adalah suaminya sendiri. "Tega kamu, Luk? Kenapa kau melakukan ini?!" bibir Berlian bergetar, air mata Berlian mengalir semakin deras tanpa bisa ia tahan lagi. Luke terdiam, tidak merespon saat rasa perih merayap di pipi kanan, akibat tamparan yang ia terima dari sang istri. "Jawab! Kenapa?! Apakah kau tidak setahu malu, Luke?! Keluargaku sudah berbaik hati mengasuh anak sepertimu, Paman! Kenapa kau melakukan ini?!" teriak Berlian penuh kekecewaan dan amarah.
"Julius, apakah tuan dan nyonya akan bertengkar seperti ini terus menerus? Apa mereka akan bahagia ya?" tanya Fiona, membuka percakapan. Dua asisten itu sedang berada di depan mansion Tuan Besar. Berada di gazebo depan sambil memperhatikan proses berlangsungnya pesta dengan waspada di derasnya hujan yang turun malam ini. Julius membumbungkan asap rokoknya sebelum ia menjawab pertanyaan Fiona. "Hmm... Aku juga tidak tahu. Mereka seperti Tom dan Jerry. Sejak malam itu, saat nyonya Berlian kecewa, semuanya menjadi seperti ini. Satu kediaman dibuat tegang oleh nyonya dan tuan." Fiona mendorong bahu Julius sambil terkekeh. "Jangan sampai tegang di bawah juga. Bahaya, kau kan jomblo," kelakar Fiona. Julius menengok ke Fiona dengan wajah merengut. "Sialan, aku jomblo karena sibuk dengan urusan pekerjaan. Aku ini laki-laki. Meskipun sudah uzur, ka
"Telepon Fiona, tanyakan kepadanya sekarang dia berada di mana!" perintah Luke pada Julius. Saat ini, Luke sudah berada di dalam mobil yang tengah melaju. Pria itu menopang dagu pada bingkai jendela mobil dengan cemas. "Baik, Tuan, saya akan mencoba menghubungi Fiona." Dengan tangan yang sudah mengerut karena dingin, Julius menggeser layar ponselnya yang bertengger pada holder di atas dasbor mobil. Setelah insiden di taman belakang, pikiran pria itu tidak dapat fokus. Fokus Luke hanya tertuju kepada Berlian. Yang ia sesali, kenapa rahasia yang ia simpan dengan rapi harus terkuak di waktu yang tidak tepat? Tetapi ada rasa lega ketika Luke berhasil membuat Berlian membenci dirinya. Semakin istrinya itu membenc
“Sssst...!” Luke mendesis kala sang dokter pribadi berusia 0.4 abad itu tengah mengobati luka cakar pada wajah Luke. Di sudut ruangan yang remang, bayangan jarum suntik dan peralatan medis lainnya terpantul samar. Rafael, sang dokter, dengan teliti membersihkan luka-luka di wajah Luke, tangan terampilnya bekerja dengan tenang meski rasa sakit jelas terlihat di wajah pasiennya. Kejadian di dalam mobil kembali terngiang dalam benak Luke. Berlian, dalam amukannya yang kesetanan, mencakar wajah pria itu tanpa ampun. Luke bisa merasakan kuku-kuku tajam itu menggores kulitnya, meninggalkan jejak merah yang memerih di setiap sentuhan Rafael. Ancaman Luke untuk membuat Berlian menderita terasa hampa, hanya angin lalu dalam kebisuan yang menyeruak di antara mereka. Meskipun ancaman itu terucap, Luke tahu hatinya tidak sanggup menyakiti wanita yang selama ini setia di sisinya, memberikan dukungan saat semua orang menghina. Meski kini yang Luke dapatkan hanyalah benci. “Tuan, lain k
"Kita harus memastikan semuanya berjalan lancar," gumam Juju, mengangkat ponsel dan memberi instruksi tegas kepada anak buahnya. Anton, tangan kanan Juju yang setia, masuk ke ruangan. "Apa rencana Tuan selanjutnya?" Pagi itu, di kediaman, Juju duduk gelisah di ruang kerja. Pikiran tentang konfrontasi semalam dengan Ethan terus berputar di kepala. Mata pria berusia 37 tahun itu menatap jauh ke arah taman, senyum sinis terpampang jelas di wajah Juju yang angkuh. "Kita akan membuat mereka sibuk dengan masalah di ladang opium. Sementara mereka panik, kita ambil alih kendali," jawab Juju datar, ia memutuskan sambungan teleponnya. "Bagaimana dengan Luke?" tanya Anton, alis pria itu mengernyit. "Luke bukan ancaman. Drama keluarga ini akan mengalihkan perhatian pria sampah itu. Jika dia mencoba menghalangi, kita punya rahasia yang bisa menghancurkannya," kata Juju dengan senyum licik. Anton mengangguk, pergi melaksanakan perintah. Juju menatap foto tua di meja, gambar keluarga be
Berlian tiba di kediaman Tuan Besar dengan langkah angkuh. "Di mana nenek dan kakek?" tanya Berlian dingin pada David, tangan kanan Ethan. "Tuan dan Nyonya sedang berada di rotunda taman belakang, Nyonya muda," jawab David, membungkuk hormat. Berlian melewati David tanpa sepatah kata pun, matanya penuh amarah. Dia mengabaikan pesan yang ia terima di loker tadi siang. Saat ini, langit sudah berubah jingga. Prioritas Berlian saat ini adalah dendam. Tidak ada waktu untuk dirinya membuang-buang waktu bertemu dengan orang yang bahkan tidak ia kenal. Sesampainya Berlian di taman, ia melihat Ethan dan Vania sedang menikmati teh. Pemandangan itu hanya membuat Berlian semakin marah. "Nek, Kek!" panggil Berlian dengan suara tajam. Ethan dan Vania terkejut melihat Berlian dengan wajah marah. Vania berdiri dan mencoba meraih tangan Berlian. "Lian, sayang, semalam kenapa kau pulang begitu cepat—" "Hentikan basa-basinya, Nek!" sergah Berlian. "Aku datang kemari ingin mengatakan sesuat
"Oh ... Aku tidak mempunyai urusan lagi dengan ladang itu!" Berlian melangkah masuk, menaiki tangga. Berlian mengambil jurusan biokimia karena cita-citanya ingin menjadi seorang ilmuwan. Sebab, ia begitu kagum dengan mendiang pamannya yang mengubah dunia hitam keluarga Kenneth menjadi pelopor penyumbang Morfin terbesar. Tetapi, apa yang Berlian dapatkan? Ia tidak dipercaya mengelola bisnis keluarganya. Sementara Luke, saat kuliah, kakak sekaligus paman angkatnya itu mengambil jurusan bisnis sambil melakukan transaksi ilegal. "Jika wanita dianggap sebagai beban, maka aku akan tunjukkan bahwa aku bisa menjadi lebih dari sekadar bayangan di balik pria. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu, bahwa aku layak mendapatkan kepercayaan dan pengakuan," gumam Berlian dengan penuh tekad, melangkah menaiki tangga dengan lebih tegar. Berlian menghembuskan napas, mencari kekuatan dalam dirinya. "Bangkit, diam ditindas, atau diremehkan? Aku memilih melawan! Aku akan buktikan jika wanita juga