"Paman, aku pergi ke kampus!" Berlian menuruni tangga sambil berteriak. Luke yang baru selesai mengambil beberapa berkas di ruang kerjanya buru-buru mengejar Berlian. "Lian, tunggu!" Berlian berhenti, dia mendongak. "Ada apa?" "Sarapan dulu. Nanti aku yang antar. Tidak boleh pergi sendirian!" Luke melangkah menghampiri istrinya itu. Dua alis Berlian bertautan, tidak biasanya Luke seperti ini. "Aku bisa sendiri. Lagipula, Sarah juga sudah menunggu. Kalau Paman ikut, Paman akan jadi pusat perhatian," ujar Berlian, setengah merengut wajah.Luke mencubit ujung hidung Berlian saat bertatap. "Kamu itu masih kurang sehat. Kenapa? Kamu takut ada yang tertarik denganku?" Berlian mengerucutkan bibirnya seperti cocor bebek. Meski sudah kepala tiga, pesona paman angkatnya itu memang tidak bisa anggap remeh. "Ish ... Kan orang-orang tidak tahu aku sudah menikah—""Mulai sekarang, mereka harus tahu. Ingat, melawan suami nanti dikutuk. Katanya mau berubah." potong Luke. Berlian mengerlingkan
"Dasar, perempuan sialan!" Eliona mengumpat sambil menendang kursi di kamarnya. "Selalu saja dia mengacaukan rencanaku!" Suaranya terdengar marah dan frustrasi, bergema di seluruh ruangan yang sunyi. Eliona menghempaskan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit dengan mata yang penuh kebencian."Kenapa selalu dia? Kenapa selalu Berlian yang menang?" gumamnya sambil meremas botol kecil berisi cairan yang tadi gagal ia gunakan untuk meracuni jus Berlian. "Dia pikir bisa menang terus-terusan? Tidak akan, aku tidak akan membiarkan itu terjadi!"Eliona bangkit, berjalan dengan langkah cepat ke arah cermin, menatap bayangannya sendiri dengan mata penuh tekad. "Berlian boleh punya Luke, tapi aku akan pastikan hidupnya jadi neraka. Dan Luke... cepat atau lambat, kamu akan jadi milikku," ujarnya sambil tersenyum licik.Eliona membuka ponselnya, memeriksa pesan dari Juju yang sudah lama ia abaikan. Ada satu pesan baru yang singkat namun jelas, "Kita harus bicara. Ada sesuatu yang bisa kita man
"Paman, aku ingin Paman tahu sesuatu," Berlian membuka obrolan. Saat ini mereka berdua sudah berada di dalam mobil setelah urusan di kampus sudah selesai. Mobil itu melaju ke arah pemakaman Kenneth untuk berziarah."Apa itu?" tanya Luke saat ia tengah menyetir. "Hmm ... Apakah Paman pernah menyuruh Eliona pergi ke ruang bawah?" Luke tampak terkejut mendengar pernyataan istrinya. Selama menikah, ia tidak pernah memberi tahu mengenai ruangan penyekapan itu. "Kamu pergi ke ruang yang tidak sehat itu? Siapa yang memberi izin? Ruang itu adalah penjara orang-orang berbahaya, Lian.""Termaksud ayahnya Eliona?""Iya, dia pamanku. Namanya Galen yang menjadi kunci keberadaan Juju."Berlian tampak berpikir. Apakah ini berhubungan dengan Eliona? Paman dari tadi tidak menjawab. Ia lebih memilih mengalihkan pembicaraan. "Paman, sepertinya Eliona punya niat tidak baik."Luke yang tengah menyetir itu mengerutkan alis. "Eliona tidak seperti ayahnya, Lian. Dia hanya mencari pekerjaan. Karena orang
Luke dan Berlian berdiri di depan makam keluarga Kenneth, tempat peristirahatan terakhir dari generasi yang telah lama berlalu. Angin sejuk sore hari menyapu lembut wajah mereka, seakan menyampaikan salam sunyi dari masa lalu yang tak terlupakan. Berlian memandang deretan nama yang terpahat di batu nisan, berusaha menyelami kenangan pahit yang melekat pada setiap sosok yang dimakamkan di sana. Nama-nama itu tidak hanya mewakili leluhur mereka, tetapi juga sejarah kelam yang penuh dengan pengkhianatan, konflik, dan penebusan. Vannet Kenneth, Daniel Wilson, Alaric Kenneth, Nayla Kendrick, Matteo Kenneth, Xavier Kendrick, dan Celine Kendrick—semua orang yang meninggalkan jejak dalam kehidupan Luke dan Berlian, baik leluhur, orang tua, dan paman. Berlian menatap nisan Vannet Kenneth dan Daniel Wilson, seketika air matanya berlinang mengalir di pipinya. Ia Berjongkok, menaburi bunga yang baru saja ia beli. "Ibu, ayah, apakah aku sudah membuat kalian bangga?" suara Berlian bergetar, pe
"Lian, sayang... Akhirnya kamu datang berkunjung!" Vania menyambut kedatangan cucunya dengan kedua tangan terbuka lebar, senyum wanita sepuh itu merekah. Tak ada yang lebih bahagia daripada melihat generasi yang tersisa sehat seperti saat ini. "Nenek, aku rindu!" Berlian memeluk erat tubuh Vania. "Kamu sehat, 'kan, sayang? Kepalanya sudah tidak sakit lagi?" Vania mengelus rambut sang cucu dengan sayang. Lama sekali Berlian tak merasakan perasaan ini. Kebenciannya dan kecurigaan sudah menghapus perasaan lembut Berlian. Merasakan usapan tulus dari sang Nenek, Berlian akhirnya menjatuhkan air mata. "Nek, maafkan Lian, Nek. Aku jahat, aku tidak sopan, dan pernah membentak Nenek," ucap Berlian mulai terisak dalam pelukan Vania. Luke tersenyum, melihat momen hangat antara Berlian dan neneknya. Luke berdiri sedikit di belakang, memberi ruang bagi Berlian untuk merasakan kedekatan yang begitu ia rindukan. Ethan melangkah ke arah Luke, ia langsung memeluk cucu menantunya. "Terima kasih,
"Ada apa David?" tanya Ethan, melihat asistennya itu masuk membuka pintu."Tuan, Andrew datang ingin bertemu dengan Tuan Luke," jawab David. Ethan mengerlingkan mata, melirik ke arah Vania. "Dari zaman Firaun pakai popok, sampai bangkit lagi, keluargamu sepertinya tidak pernah melihat keluarga kita tenang, Vani," ujar Ethan, menyindir. Vania mendesah pelan, mengusap tangan Ethan dengan lembut. "Keluarga ini memang selalu penuh dengan drama dan intrik, Ethan. Tapi, mungkin Andrew datang kali ini untuk sesuatu yang penting. Kita tidak tahu niat sebenarnya sampai kita menemuinya, bukan?"Berlian memandang Ethan dan Vania dengan cemas, lalu menoleh ke Luke. "Paman, kamu mau bertemu Andrew? Setelah semua yang terjadi?"Luke berpikir sejenak. "Aku rasa aku harus menemuinya, Lian. Kita tidak bisa terus menghindar. Mungkin ada informasi yang bisa kita dapatkan darinya, atau mungkin ada kesempatan untuk meredakan ketegangan di antara kita."Ethan mengangguk setuju. "Benar, Luk. Terkadang, un
"Aku ... Aku hanya ingin memberikan makanan kepada tawanan atas perintah tuan Luke," jawab Eliona tergagap. Fiona, mengangkat satu alisnya, bersendekap dada, melangkah ke arah Eliona. "Eliona, gerak-gerikmu sudah terbaca. Untuk apa kau harus berpura-pura lagi, hah?!" suara Sofia terdengar menekan. Fiona selama ini hanya berpura-pura. Ia diperintahkan oleh Berlian untuk mengawasi gerak-gerik Eliona. Fiona pun mulai memasang beberapa kamera pengawas yang kiranya Eliona sering melakukan aktivitas. Dan Fiona pun dapat melihat bagaimana Eliona sering memberikan obat tidur pada setiap pelayan yang berada di paviliun. Termasuk juga dengan makanan Fiona. Dan juga beberapa kali Eliona kedapatan melakukan telepon entah dengan siapa. Eliona, merasa terpojok, tidak lagi berpura-pura. Dengan gerakan cepat, dia merogoh saku dan mengeluarkan belati yang berkilau tajam di bawah cahaya lampu. “Oh ... Jadi kamu akhirnya sudah tahu apa niatku datang ke sini, hah?!” ujar Eliona, kedua sudut bibir t
"Sudah lama tidak merasakan hal sebahagia ini. Duduk di tepi pantai, berduaan sambil menatap bulan dan bintang dengan segelas coklat panas. Ahh... Rasanya aku ingin hidup seperti ini sepanjang waktu!"Luke yang duduk di samping mengangguk sambil menarik asap rokoknya, membubungkan asap rokok itu ke udara. "Kamu tahu, Lian, kalau kita sedang melihat bintang, itu artinya, kita sedang melihat masa lalu." Berlian menoleh ke arah yang duduk di sampingnya itu. Ia penasaran dengan kalimat yang baru saja ia dengar. "Melihat masa lalu? Kok bisa?" Luke mengangguk. "Kamu tahu, cahaya bintang membutuhkan waktu yang sangat lama untuk jatuh ke bumi."Berlian lagi-lagi tampak bingung. Membahas masalah astronomi itu bukan keahliannya, tetapi mendengarkan Luke berbicara selalu membuatnya tertarik. “Apa maksud Paman?" pintanya sambil menatap Luke dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.Luke tersenyum kecil, menikmati bagaimana Berlian selalu tertarik pada hal-hal yang ia sampaikan, meskipun terk