Luke dan Berlian berdiri di depan makam keluarga Kenneth, tempat peristirahatan terakhir dari generasi yang telah lama berlalu. Angin sejuk sore hari menyapu lembut wajah mereka, seakan menyampaikan salam sunyi dari masa lalu yang tak terlupakan. Berlian memandang deretan nama yang terpahat di batu nisan, berusaha menyelami kenangan pahit yang melekat pada setiap sosok yang dimakamkan di sana. Nama-nama itu tidak hanya mewakili leluhur mereka, tetapi juga sejarah kelam yang penuh dengan pengkhianatan, konflik, dan penebusan. Vannet Kenneth, Daniel Wilson, Alaric Kenneth, Nayla Kendrick, Matteo Kenneth, Xavier Kendrick, dan Celine Kendrick—semua orang yang meninggalkan jejak dalam kehidupan Luke dan Berlian, baik leluhur, orang tua, dan paman. Berlian menatap nisan Vannet Kenneth dan Daniel Wilson, seketika air matanya berlinang mengalir di pipinya. Ia Berjongkok, menaburi bunga yang baru saja ia beli. "Ibu, ayah, apakah aku sudah membuat kalian bangga?" suara Berlian bergetar, pe
"Lian, sayang... Akhirnya kamu datang berkunjung!" Vania menyambut kedatangan cucunya dengan kedua tangan terbuka lebar, senyum wanita sepuh itu merekah. Tak ada yang lebih bahagia daripada melihat generasi yang tersisa sehat seperti saat ini. "Nenek, aku rindu!" Berlian memeluk erat tubuh Vania. "Kamu sehat, 'kan, sayang? Kepalanya sudah tidak sakit lagi?" Vania mengelus rambut sang cucu dengan sayang. Lama sekali Berlian tak merasakan perasaan ini. Kebenciannya dan kecurigaan sudah menghapus perasaan lembut Berlian. Merasakan usapan tulus dari sang Nenek, Berlian akhirnya menjatuhkan air mata. "Nek, maafkan Lian, Nek. Aku jahat, aku tidak sopan, dan pernah membentak Nenek," ucap Berlian mulai terisak dalam pelukan Vania. Luke tersenyum, melihat momen hangat antara Berlian dan neneknya. Luke berdiri sedikit di belakang, memberi ruang bagi Berlian untuk merasakan kedekatan yang begitu ia rindukan. Ethan melangkah ke arah Luke, ia langsung memeluk cucu menantunya. "Terima kasih,
"Ada apa David?" tanya Ethan, melihat asistennya itu masuk membuka pintu."Tuan, Andrew datang ingin bertemu dengan Tuan Luke," jawab David. Ethan mengerlingkan mata, melirik ke arah Vania. "Dari zaman Firaun pakai popok, sampai bangkit lagi, keluargamu sepertinya tidak pernah melihat keluarga kita tenang, Vani," ujar Ethan, menyindir. Vania mendesah pelan, mengusap tangan Ethan dengan lembut. "Keluarga ini memang selalu penuh dengan drama dan intrik, Ethan. Tapi, mungkin Andrew datang kali ini untuk sesuatu yang penting. Kita tidak tahu niat sebenarnya sampai kita menemuinya, bukan?"Berlian memandang Ethan dan Vania dengan cemas, lalu menoleh ke Luke. "Paman, kamu mau bertemu Andrew? Setelah semua yang terjadi?"Luke berpikir sejenak. "Aku rasa aku harus menemuinya, Lian. Kita tidak bisa terus menghindar. Mungkin ada informasi yang bisa kita dapatkan darinya, atau mungkin ada kesempatan untuk meredakan ketegangan di antara kita."Ethan mengangguk setuju. "Benar, Luk. Terkadang, un
"Aku ... Aku hanya ingin memberikan makanan kepada tawanan atas perintah tuan Luke," jawab Eliona tergagap. Fiona, mengangkat satu alisnya, bersendekap dada, melangkah ke arah Eliona. "Eliona, gerak-gerikmu sudah terbaca. Untuk apa kau harus berpura-pura lagi, hah?!" suara Sofia terdengar menekan. Fiona selama ini hanya berpura-pura. Ia diperintahkan oleh Berlian untuk mengawasi gerak-gerik Eliona. Fiona pun mulai memasang beberapa kamera pengawas yang kiranya Eliona sering melakukan aktivitas. Dan Fiona pun dapat melihat bagaimana Eliona sering memberikan obat tidur pada setiap pelayan yang berada di paviliun. Termasuk juga dengan makanan Fiona. Dan juga beberapa kali Eliona kedapatan melakukan telepon entah dengan siapa. Eliona, merasa terpojok, tidak lagi berpura-pura. Dengan gerakan cepat, dia merogoh saku dan mengeluarkan belati yang berkilau tajam di bawah cahaya lampu. “Oh ... Jadi kamu akhirnya sudah tahu apa niatku datang ke sini, hah?!” ujar Eliona, kedua sudut bibir t
"Sudah lama tidak merasakan hal sebahagia ini. Duduk di tepi pantai, berduaan sambil menatap bulan dan bintang dengan segelas coklat panas. Ahh... Rasanya aku ingin hidup seperti ini sepanjang waktu!"Luke yang duduk di samping mengangguk sambil menarik asap rokoknya, membubungkan asap rokok itu ke udara. "Kamu tahu, Lian, kalau kita sedang melihat bintang, itu artinya, kita sedang melihat masa lalu." Berlian menoleh ke arah yang duduk di sampingnya itu. Ia penasaran dengan kalimat yang baru saja ia dengar. "Melihat masa lalu? Kok bisa?" Luke mengangguk. "Kamu tahu, cahaya bintang membutuhkan waktu yang sangat lama untuk jatuh ke bumi."Berlian lagi-lagi tampak bingung. Membahas masalah astronomi itu bukan keahliannya, tetapi mendengarkan Luke berbicara selalu membuatnya tertarik. “Apa maksud Paman?" pintanya sambil menatap Luke dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.Luke tersenyum kecil, menikmati bagaimana Berlian selalu tertarik pada hal-hal yang ia sampaikan, meskipun terk
Berlian panik melihat darah yang mengalir dari lengan Luke. Dengan cepat, Berlian merobek ujung bajunya, berusaha menekan luka di lengan Luke untuk menghentikan pendarahan.“Paman, jangan banyak bergerak! Kita harus pergi dari sini, mereka semakin banyak!” Berlian berbisik, suaranya penuh ketakutan namun berusaha tetap tenang."Aarrghh, fuck!"Luke menggertakkan gigi menahan sakit, meski begitu, Luke tetap memfokuskan pandangannya pada musuh.“Lian, tetap fokus! Jangan pikirkan lukaku. Kita harus keluar dari sini hidup-hidup.” "Bersama Paman. Aku tidak mau pergi sendiri. Harus bersama Paman. Aku tidak ingin kehilangan Paman," ucap Berlian dengan suara bergetar. Dor! Dor!Tembakan lagi, kali ini semakin dekat. Luke tahu mereka tak bisa lama bersembunyi di balik batu. “Lian, aku akan membuat celah. Begitu aku bilang sekarang, kamu lari secepat mungkin ke arah resort. Jangan lihat ke belakang, mengerti?” perintah Luke dengan tegas."T-tapi ... Tapi bagaimana dengan Paman? Kamu sedang t
"Tuan, kami mendapatkan informasi. Jika Juju berada di sebuah pulau saat kami saya menerima laporan jika nyonya Berlian dan tuan Luke diserang di pantai. Ada pergerakan mencurigakan di satu pulau di mana nyonya Berlian dan tuan Luke berada." Lapor David kepada Ethan. Ethan yang sedang duduk di kursinya langsung menghentikan aktivitasnya, rahangnya mengeras mendengar laporan dari David. Tatapannya berubah dingin, sorot matanya tajam penuh amarah.“Apa kau bilang?” suara Ethan terdengar tenang, namun penuh ancaman yang tersembunyi. David menunduk sedikit lebih dalam, berusaha untuk tidak menunjukkan kegugupannya. "Tuan, kami mendapatkan laporan dari tim intel. Juju berada di sebuah pulau terdekat, dan tampaknya serangannya terkoordinasi dengan insiden di pantai di mana Nyonya Berlian dan Tuan Luke berada. Ada pergerakan mencurigakan di pulau itu, dan kami percaya serangan ini bukan kebetulan."Ethan mengepalkan tangannya kuat-kuat di atas meja, seolah menahan diri untuk tidak langsung
"Lian, aku mau. Bisakah kita melakukannya?" Luke menatap Berlian dengan penuh keinginan saat sang istri masih berada di atas pangkuannya. "Paman kan masih sakit, bagaimana jika Paman demam setelah menunggangiku?" "Ini hanya luka lecet. Tidak terlalu parah, Lian. Aku sudah mengalami yang lebih buruk dari ini," jawab Luke dengan suara lembut penuh desakan. Mata Luke menatap Berlian dengan penuh keinginan yang tak bisa ia sembunyikan.Berlian menggigit bibirnya, hatinya berkecamuk antara kekhawatiran dan keinginan yang sama besar. Ia tahu suaminya selalu bisa membujuknya, dan kali ini pun ia hampir menyerah."Tapi... kalau kamu semakin sakit, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, Paman."Luke tersenyum kecil, menyingkirkan helai rambut yang jatuh di wajah Berlian. "Kamu yang paling tahu bagaimana menyembuhkanku, Lian. Kamu obat terbaikku."Berlian menghela napas, merasakan kehangatan dari sentuhan tangan Luke di punggungnya. "Pinguin Alaska, apakah kamu sedang menggodaku?" tanya L
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara