"Kakek sudah menemukan lokasi di mana Juju berada. Kita harus segera kembali dan bersiap untuk serangan," kata Luke serius, matanya menatap jauh seakan sudah memikirkan langkah selanjutnya.Berlian mengangguk, meski terlihat sedikit ragu. "Aku mengerti. Tapi Paman, apakah kondisimu benar-benar sudah baik? Luka di lenganmu baru saja dirawat."Luke tersenyum kecil, meski matanya menyiratkan kelelahan. "Jangan khawatir. Luka ini hanya pengingat kecil bahwa kita masih hidup dalam permainan ini."Berlian mendekat, meletakkan tangan di pipi Luke, menatapnya dengan penuh kasih. "Baik, aku akan mendukungmu, Paman. Tapi, pastikan kamu tidak memaksakan diri, ya?"Luke mengusap punggung Berlian dengan lembut. "Tenang saja. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang. Lagipula, Juju tidak akan memberi kita kesempatan kedua."Berlian tersenyum tipis. "Kamu selalu punya jawaban untuk segalanya."Luke mengedipkan mata. "Itu bagian dari pesonaku, bukan?"Berlian tertawa kecil. "Baiklah, aku tidak a
Markas Juju terletak di sebuah pulau terpencil, tersembunyi di balik hutan lebat dan dikelilingi oleh lautan yang tenang namun mematikan. Malam itu, suasana di pulau tersebut tampak sunyi, seakan tidak ada yang menyangka bahwa badai sedang mendekat. Langit hitam tanpa bulan memberikan nuansa yang mencekam, angin laut berhembus perlahan, membawa kesunyian yang menipu.Di salah satu sudut pulau, Ethan, Luke, Sofia, Julius, Maximilian, dan tim mereka yang terdiri dari beberapa orang terlatih berdiri diam di balik rimbunnya pepohonan. Mereka memantau gerak-gerik markas Juju dari kejauhan. Ini adalah momen yang mereka tunggu-tunggu. Mereka sudah mempersiapkan segalanya dengan hati-hati dan penuh perhitungan."Semua sudah siap?" bisik Ethan.Maximilian mengangguk, memeriksa sekali lagi peralatan yang mereka bawa. "Semua siap, Tuan. Tim sudah menyebar di sekitar pulau, menunggu aba-aba."Julius yang berdiri di samping Sofia memegang radio komunikasi, matanya waspada menatap ke arah markas.
Luke dan Berlian berdiri di hadapan Juju, yang kini duduk terikat di kursi di tengah ruangan gelap. Keringat membasahi wajah Juju, bukan karena panas, tetapi karena ketakutan. Kilauan mata Luke memancarkan amarah yang terpendam, tetapi masih tetap tenang. Berlian, di sisi lain, wajahnya menunjukkan gejolak emosi yang tak bisa lagi ditahan.“Katakan yang sebenarnya, Juju,” kata Luke dengan suara penuh penekanan. “Kamu tahu ini sudah berakhir. Siapa yang bertanggung jawab atas sabotase dan kematian orang tua Berlian?”Juju terdiam sejenak, masih berusaha mencari jalan keluar dari situasi ini. Namun tatapan tajam Luke membuatnya paham bahwa tidak ada lagi kesempatan untuk berbohong. Dengan suara serak, Juju akhirnya berbicara."Itu aku..." jawab Juju pelan, tetapi cukup jelas untuk didengar oleh Berlian.Berlian terdiam sejenak, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Suara pengakuan Juju bagaikan pisau yang menusuk jantungnya. "Apa...?" Berlian berbisik, matanya mem
Malam itu, Luke dan Berlian duduk di gazebo yang terletak di taman belakang rumah mereka. Lampu-lampu kecil menghiasi atap gazebo, menciptakan suasana hangat dan romantis. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga melati yang sedang mekar.Berlian menyandarkan kepalanya di bahu Luke, sementara tangan mereka saling menggenggam. Mereka menikmati keheningan malam, membiarkan pikiran mereka melayang."Paman, kamu pernah membayangkan bagaimana rasanya jika kita punya anak?" tanya Berlian pelan, memecah keheningan.Luke tersenyum, menoleh menatap wajah istrinya. "Sering sekali. Aku membayangkan rumah ini akan lebih ramai dengan tawa dan tangis bayi."Berlian tersenyum lembut. "Aku berharap anak kita nanti mewarisi senyummu. Senyuman yang selalu membuatku tenang.""Dan aku berharap dia mewarisi matamu. Mata yang selalu bersinar penuh semangat," balas Luke sambil mengusap pipi Berlian.Berlian tertawa kecil. "Kamu tahu? Aku ingin kita punya dua anak. Satu laki-laki dan satu perempuan.
Pagi itu, Berlian berjalan memasuki kampus dengan langkah pendek setelah ia di turunkan oleh Luke. Kampus sedang ramai, mahasiswa-mahasiswi tampak berlalu-lalang di lorong, beberapa sibuk dengan catatan, sementara yang lain terlihat berbincang santai. Berlian menarik napas dalam-dalam, merasakan aroma khas perpaduan udara pagi dan gedung tua kampus yang sudah akrab di hidungnya.Saat ia berjalan menuju ruang akademik, Berlian melihat Sarah yang sedang duduk di bangku taman kampus dengan sebuah buku di tangannya. Sarah, yang berambut ikal dan selalu penuh energi, langsung melambai begitu melihat Berlian.“Berlian! Akhirnya kamu muncul juga?! Kemana saja kamu ini, hah?!” seru Sarah sambil beranjak dari bangku.Berlian tersenyum, menghampiri sahabat Sarah. “Aku sibuk untuk urusan akhir kuliah. Kamu tahu, persiapan wisuda dan semua itu. Apalagi... ya, urusan sama Luke juga,” jawab Berlian sambil tersipu.Sarah terkekeh, mengerling jahil. “Ah, pasti seru ya jadi kamu. Kenapa? Tidak jadi c
Luke dan Berlian tiba di sebuah butik eksklusif yang terkenal dengan koleksi gaun mewah dan jas elegan. Mereka disambut dengan ramah oleh seorang pelayan butik, yang langsung membawa mereka ke bagian gaun pesta. Berlian tampak bersemangat, tapi juga sedikit gugup. Ini adalah acara besar, dan dia ingin terlihat sempurna."Jadi, gaun apa yang ingin kamu pakai malam ini, sayang?" tanya Luke sambil melihat-lihat koleksi gaun di sekitar mereka.Berlian tersenyum kecil. "Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya ingin sesuatu yang elegan tapi sederhana."Luke mengerutkan kening, menatap Berlian sejenak sebelum berkata, "Sederhana? Tidak, malam ini kamu harus terlihat luar biasa. Aku ingin semua orang di sana tahu bahwa istriku adalah yang paling menawan di ruangan itu."Berlian tersipu dan mulai mencoba beberapa gaun. Setelah beberapa pilihan, akhirnya Berlian menemukan gaun satin biru tua yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan keanggunannya tanpa terlihat berlebihan. Gaun tersebut me
Suasana semakin memanas di ruang pesta. Semua orang dengan penuh semangat menunggu hasil pemilihan ketua organisasi yang baru. Berlian berdiri di sisi Luke, menggenggam tangannya erat. Semua mata tertuju pada mereka berdua, seolah-olah sudah ada prediksi siapa yang akan dipilih."Jadi, setelah kita merundingkan ini, apa yang akan Paman lakukan jika terpilih?" tanya Berlian dengan suara rendah, mencoba menenangkan Luke yang tampak sedikit tegang.Luke menarik napas dalam, menatap semua orang yang berkumpul di ruangan itu. "Sejujurnya, Lian, aku tidak pernah benar-benar menginginkan posisi ini. Tanggung jawabnya besar, dan kamu tahu aku tidak pernah tertarik dengan kekuasaan semacam ini."Berlian tersenyum tipis, menggenggam tangan suaminya lebih erat. "Tapi mereka percaya padamu, Paman. Kamu punya kemampuan, kamu punya hati, dan kamu juga punya visi. Mereka melihat itu."Luke menatap Berlian dengan cemas. "Tapi, aku tidak tahu... Bagaimana jika aku tidak mampu memenuhi harapan mereka?
Di dalam kamar itu, suara desahan saling sahut-sahutan ketika Luke tengah menggagahi Berlian. Di bawah kungkungan Luke, Berlian mengangkat dadanya ke atas dengan napas tersengal-sengal. Saat merasakan hujaman demi hujaman yang ia terima dari Luke. "Aah ... Paman, lebih keras!" Berlian merancau sambil meremas kedua dadanya sendiri."Lian, kau seperti candu yang tak tertahankan," desis Luke, napasnya memburu di telinga Berlian.Berlian menjerit, tubuhnya bergetar hebat, "Aah... Paman, aku... aku...!"Tangan Luke merayap ke bawah, menelusuri lekuk tubuh Berlian yang berlumuran keringat. "Kau milikku, Lian," bisiknya, suaranya berat dan penuh nafsu."Paman...," Berlian merintih, matanya terpejam erat, menikmati sensasi yang menggebu-gebu."Ya, S-sayang?" Luke mengerang, semakin cepat menggerakkan pinggulnya. "Owh ... Ini nikmat sekali ..." Berlian memutar tubuhnya, mengganti posisi, ia duduk di atas. Luke tersenyum nakal. "Sudah pandai sekarang, ya. Apakah kamu ingin menunggangi paman