Pagi itu, Berlian berjalan memasuki kampus dengan langkah pendek setelah ia di turunkan oleh Luke. Kampus sedang ramai, mahasiswa-mahasiswi tampak berlalu-lalang di lorong, beberapa sibuk dengan catatan, sementara yang lain terlihat berbincang santai. Berlian menarik napas dalam-dalam, merasakan aroma khas perpaduan udara pagi dan gedung tua kampus yang sudah akrab di hidungnya.Saat ia berjalan menuju ruang akademik, Berlian melihat Sarah yang sedang duduk di bangku taman kampus dengan sebuah buku di tangannya. Sarah, yang berambut ikal dan selalu penuh energi, langsung melambai begitu melihat Berlian.“Berlian! Akhirnya kamu muncul juga?! Kemana saja kamu ini, hah?!” seru Sarah sambil beranjak dari bangku.Berlian tersenyum, menghampiri sahabat Sarah. “Aku sibuk untuk urusan akhir kuliah. Kamu tahu, persiapan wisuda dan semua itu. Apalagi... ya, urusan sama Luke juga,” jawab Berlian sambil tersipu.Sarah terkekeh, mengerling jahil. “Ah, pasti seru ya jadi kamu. Kenapa? Tidak jadi c
Luke dan Berlian tiba di sebuah butik eksklusif yang terkenal dengan koleksi gaun mewah dan jas elegan. Mereka disambut dengan ramah oleh seorang pelayan butik, yang langsung membawa mereka ke bagian gaun pesta. Berlian tampak bersemangat, tapi juga sedikit gugup. Ini adalah acara besar, dan dia ingin terlihat sempurna."Jadi, gaun apa yang ingin kamu pakai malam ini, sayang?" tanya Luke sambil melihat-lihat koleksi gaun di sekitar mereka.Berlian tersenyum kecil. "Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya ingin sesuatu yang elegan tapi sederhana."Luke mengerutkan kening, menatap Berlian sejenak sebelum berkata, "Sederhana? Tidak, malam ini kamu harus terlihat luar biasa. Aku ingin semua orang di sana tahu bahwa istriku adalah yang paling menawan di ruangan itu."Berlian tersipu dan mulai mencoba beberapa gaun. Setelah beberapa pilihan, akhirnya Berlian menemukan gaun satin biru tua yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan keanggunannya tanpa terlihat berlebihan. Gaun tersebut me
Suasana semakin memanas di ruang pesta. Semua orang dengan penuh semangat menunggu hasil pemilihan ketua organisasi yang baru. Berlian berdiri di sisi Luke, menggenggam tangannya erat. Semua mata tertuju pada mereka berdua, seolah-olah sudah ada prediksi siapa yang akan dipilih."Jadi, setelah kita merundingkan ini, apa yang akan Paman lakukan jika terpilih?" tanya Berlian dengan suara rendah, mencoba menenangkan Luke yang tampak sedikit tegang.Luke menarik napas dalam, menatap semua orang yang berkumpul di ruangan itu. "Sejujurnya, Lian, aku tidak pernah benar-benar menginginkan posisi ini. Tanggung jawabnya besar, dan kamu tahu aku tidak pernah tertarik dengan kekuasaan semacam ini."Berlian tersenyum tipis, menggenggam tangan suaminya lebih erat. "Tapi mereka percaya padamu, Paman. Kamu punya kemampuan, kamu punya hati, dan kamu juga punya visi. Mereka melihat itu."Luke menatap Berlian dengan cemas. "Tapi, aku tidak tahu... Bagaimana jika aku tidak mampu memenuhi harapan mereka?
Di dalam kamar itu, suara desahan saling sahut-sahutan ketika Luke tengah menggagahi Berlian. Di bawah kungkungan Luke, Berlian mengangkat dadanya ke atas dengan napas tersengal-sengal. Saat merasakan hujaman demi hujaman yang ia terima dari Luke. "Aah ... Paman, lebih keras!" Berlian merancau sambil meremas kedua dadanya sendiri."Lian, kau seperti candu yang tak tertahankan," desis Luke, napasnya memburu di telinga Berlian.Berlian menjerit, tubuhnya bergetar hebat, "Aah... Paman, aku... aku...!"Tangan Luke merayap ke bawah, menelusuri lekuk tubuh Berlian yang berlumuran keringat. "Kau milikku, Lian," bisiknya, suaranya berat dan penuh nafsu."Paman...," Berlian merintih, matanya terpejam erat, menikmati sensasi yang menggebu-gebu."Ya, S-sayang?" Luke mengerang, semakin cepat menggerakkan pinggulnya. "Owh ... Ini nikmat sekali ..." Berlian memutar tubuhnya, mengganti posisi, ia duduk di atas. Luke tersenyum nakal. "Sudah pandai sekarang, ya. Apakah kamu ingin menunggangi paman
Luke dan Berlian tiba di landasan udara tepat saat matahari mulai muncul di ufuk timur. Angin pagi yang sejuk menyapu wajah mereka, membawa semangat baru untuk petualangan yang akan segera dimulai.Berlian menggandeng tangan Luke dengan erat, tatapan matanya penuh antusias saat ia melihat jet pribadi yang terparkir di depan mereka. "Paman, ini pertama kalinya kita naik jet pribadi hanya untuk liburan, kan?" tanya Berlian sambil menatap Luke dengan senyum lebar.Luke mengangguk, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis. "Ya, Lian. Dan kali ini, tidak ada urusan kerja atau hal lainnya. Hanya kita berdua," jawab Luke.Berlian memeluk lengan Luke erat-erat. "Aduh, rasanya seperti mimpi. Akhirnya kita punya waktu untuk benar-benar santai berdua. Sepertinya, setelah kita menikah, kita baru melakukan kencan untuk pertama kalinya, Paman.""Hahaha..." Tawa Luke lepas begitu saja. "Iya juga. Kalau diingat-ingat, kita selalu sibuk dengan urusan keluarga dan pekerjaan, ya. Bahkan bulan madu pun
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"