Ciuman Jihan begitu lembut, mungkin lebih tepatnya disebut kecupan.Jemari Jihan yang kekar menyusuri rambut dan membelai wajah wanita di hadapannya yang terasa sedingin es.Wina melirik ke jemari Jihan yang sedang menelusuri alisnya, lalu mengelak dengan halus.Tindakan sepele ini seperti badai yang menghapus bersih seluruh sisa rasa dan seketika langsung membuat hati Jihan merasa pilu.Sorot tatapan Jihan sontak terlihat begitu terluka, matanya yang memerah tampak nanar."Kamu ... nggak mau?"Jihan sudah tahu apa jawaban Wina, tetapi dia memutuskan untuk tetap bertanya."Iya ...."Wina mengangguk, perasaannya yang semula terasa campur aduk perlahan-lahan kembali tenang.Jihan sontak merasa tidak berdaya, nada bicara Wina yang terdengar begitu yakin langsung menghancurkan secercah harapan yang tersisa dalam hati Jihan."Kenapa ...."Bukankah semua kesalahpahaman ini sudah diluruskan? Kenapa Wina masih tidak mau kembali padanya?Jihan sudah berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan Win
Jihan pun mengangkat ujung jarinya yang gemetar untuk terus menyeka air mata di pipi Wina.Ekspresi Wina yang tampak begitu sedih membuat mata Jihan juga menjadi berkaca-kaca.Ini pertama kalinya dia mendengar ungkapan cinta dan kekecewaan Wina yang begitu mendalam terhadapnya.Baru pada saat inilah Jihan menyadari betapa Wina sangat mencintainya ....Namun, Jihan sudah menyakitinya dan gagal memberinya rasa aman, itulah sebabnya Wina menjadi sangat sensitif.Jihan hanya fokus dengan keinginannya mendapatkan Wina tanpa pernah memikirkan betapa tersiksanya batin Wina.Jemari Jihan menerobos helaian rambut Wina dan menggenggam tengkuk Wina. Jihan membiarkan Wina bersandar di bahunya sambil menangis sejadi-jadinya."Wina, aku janji mulai sekarang, nggak akan ada lagi wanita yang akan muncul di sisiku kecuali kamu."Jihan mengucapkan kata-kata ini seperti sebuah sumpah. Dari matanya terpancar keyakinan yang tak tergoyahkan seperti sedang berkomitmen seumur hidup.Wina bersandar di bahu Jih
Jihan menatap Wina dengan tenang selama beberapa saat, lalu berkata, "Wina, aku nggak pernah peduli dengan asal usulmu. Yang aku cintai itu pribadi kamu. Aku nggak peduli apa identitasmu atau siapa kamu. Kamu hanya perlu menjadi diri sendiri, itu sudah cukup ...."Justru karena prinsip ini, Jihan tidak pernah terpikir semua kekhawatiran Wina tadi. Dia juga tidak pernah terpikir kalau ternyata dalam hati Wina mengukur pribadi mereka berdua seperti ini.Penilaian Wina inilah yang membuat jarak di antara mereka berdua, tapi di mata Jihan semua ini bukan penghalang.Dia mengangkat ujung jarinya untuk menyentuh pipi Wina dan berkata dengan penuh kasih sayang, "Punyaku itu punyamu. Selama kamu mau, aku bisa kasih semuanya sekarang ...."Setelah mendengar ini, Wina tersenyum padanya dan tidak berkata apa-apa lagi.Jihan memang bisa memberikan segalanya, tapi dia tidak bisa memberikan arti dari kekayaan yang sesungguhnya.Kekayaan yang berhubungan dengan cara berpikir semacam ini hanya dapat d
Wina sontak memiringkan kepalanya sedikit dan menatap Jihan dengan agak kebingungan. "Apa penjelasanku masih kurang atau justru kamu masih belum mengerti?"Dia mengusap pipinya dengan ujung jarinya dan berkata dengan lembut, "Aku nggak pernah mengejarmu. Mulai sekarang, aku akan mengejarmu. Kalau sudah seperti ini saja kamu masih merasa kita nggak cocok, aku akan melepaskanmu dan nggak akan pernah mengganggumu lagi."Wina hendak menolak, tetapi ujung jari Jihan lagi-lagi menekan bibir Wina. Jihan berkata, "Kamu perlu waktu untuk memulihkan luka batinmu, jadi biarkan aku menggunakan kesempatan ini untuk mengejarmu. Kita bisa melewatinya bersama."Padahal, Wina bermaksud untuk bertumbuh sendirian, bukannya bersama Jihan.Jihan pun langsung mengakhiri pembicaraan dengan tegas. "Sudah, begitu saja. Kamu boleh keluar."Wina sontak mengernyit. "Kamu ...."Jihan kembali merangkul pinggang Wina, lalu menarik tubuh Wina mendekat sehingga bagian bawah tubuh mereka saling menempel."Kalau kamu ng
Setelah selesai memberikan perintah, Jihan meletakkan ponselnya. Dia menguatkan dirinya untuk bangkit berdiri dan berjalan menuju ruang kerjanya.Dia mengeluarkan ponsel lain yang digunakan untuk berkomunikasi dengan anggota organisasi dan mengirim pesan ke Zeno.Setelah membawa Winata ke ruang bawah tanah, Zeno pun melepaskan topengnya dan mengeluarkan ponselnya yang bergetar. Zeno membaca pesan yang masuk, kemudian segera mengirimkan balasannya.Setelah membalas pesan Jihan, Zeno pun melirik sekeliling dengan santai dan mematikan ponselnya. Zeno mengambil secangkir kopi di atas meja dan meminumnya dalam sekali teguk.Dia mengenakan sarung tangan hitamnya, lalu mengambil topengnya dan bergegas keluar. Saat berjalan menuju lift, dia samar-samar bisa mendengar omelan Sam."Aduh, dasar kalian ini keparat semua! Kenapa nggak menghajar atau memakiku dan hanya berulang kali mengangkatku naik turun, hah? Kalian sebenarnya mau apa!"Empat orang pengawal bertubuh tegap mencengkeram kedua tanga
"Ji ... Jihan ...."Jihan? Mustahil!Jadi ... selama tiga tahun ini, Jihan-lah yang terus menyiksanya?Jihan yang sudah Winata taksir sejak kecil sampai-sampai Winata kehilangan akal sehatnya, sampai-sampai Winata rela merayu kakaknya Jihan hanya supaya bisa menjadi lebih dekat dengan Jihan!Bisa-bisanya Jihan memperlakukan wanita yang sedemikian mencintainya dengan begitu kejam?Winata benar-benar tidak memercayai semua hal ini. Dia hanya bisa menangis sambil menggelengkan kepalanya dengan putus asa, "Ini semua bukan ulahmu, 'kan?"Tatapan Jihan perlahan beralih ke topeng yang dia pegang seolah-olah menatap Winata saja sudah membuatnya mual.Winata pun menengadah menatap Jihan di hadapannya, si pria yang terkenal dingin, berwibawa dan sangat bermartabat itu. Winata yang semula masih tidak percaya akhirnya pasrah menerima kenyataan."Kenapa kamu melakukan ini padaku ...."Jihan mengelus topeng itu sambil balas menatap Winata dengan dingin."Kamu nggak ngerti?"Winata ingin menggelengka
Jihan tetap diam seolah-olah memang tidak berniat meladeni Winata dan hanya datang ke sini untuk menyaksikan akhir nasib Winata.Winata menatapnya yang dingin dan kejam, kebencian di matanya memudar berganti dengan air mata yang kembali jatuh tak terkendali."Jihan, tolong jawab aku .... Kita ini sudah kenal lama, aku juga selalu mencintaimu selama ini ...."Barulah setelah itu Jihan sedikit memiringkan kepalanya, kemudian menatap Winata dengan tidak peduli."Aku nggak pernah menganggap kamu dan Wina itu mirip. Kalau kamu sampai berpikiran begitu, itu berarti kamu mencela semua wajah yang sebenarnya mirip dengan Wina."Air mata Winata sontak berhenti mengalir, dia kembali menatap Jihan dengan mata yang terbelalak tidak percaya."Kamu ...."Akan tetapi, ucapan Winata langsung disela oleh dua orang pria bertopeng yang mendorongnya lagi.Setelah itu, mereka menggunakan sebilah belati untuk membuat tanda salib di wajah Winata.Winata pun sontak menjerit dengan kesakitan."Aaahhh! Wajahku!"
Sorot tatapan Winata terkesan percaya diri, arogan dan provokatif.Akan tetapi, ekspresi tertegun Jihan hanya bertahan sesaat sebelum kembali berubah menjadi dingin dan kejam."Bereskan dia."Mata Winata sontak terbelalak lebar.Mulanya Winata berpikir jika dia memberi tahu Jihan alasan kematian kakaknya Jihan, Jihan akan menghampirinya dan bertanya apa yang terjadi.Siapa sangka Jihan hanya terkejut sesaat sebelum menyuruh bawahannya untuk membereskan Winata? Apa jangan-jangan Winata sama sekali tidak peduli dengan kakaknya sendiri?Winata benar-benar tidak percaya dengan semua ini. Dia hanya terbelalak menatap Jihan yang sedari dulu dia cintai, tetapi selalu menatapnya dengan dingin itu."Kamu ... kamu nggak ingin mengetahui kebenaran tentang kematian kakakmu?"Jihan melepaskan sarung tangannya dengan perlahan sambil menatap Winata yang sedang berlutut di atas lantai dengan dingin."Nggak perlu kamu kasih tahu pun aku bisa cari tahu sendiri."Inti ucapan Jihan adalah kebenaran atau a