Beranda / Fiksi Sejarah / Padang : Lantai Pertama / Bab 2 : Seorang Anak yang Terlahir Kembali

Share

Bab 2 : Seorang Anak yang Terlahir Kembali

Penulis: Keong.sawah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Di dalam sebuah gua yang terletak di kaki bukit, terdapat puluhan anak tergeletak tak beraturan dimana-mana. Lapisan kulit hewan tipis dan compang-camping menutupi badan mereka.

Langit-langitnya terdapat lubang-lubang ventilasi udara yang cukup besar. Melalui lubang itu juga sinar matahari masuk. Mungkin karena sudah lama tidak dibersihkan, bau busuk menjadi menyengat di sekitar gua.

Di bawah ventilasi udara yang penuh debu, ada seorang anak kecil duduk dengan celana kulit yang compang-camping menyelimuti sebagian kakinya yang kurus. Satu tangannya sibuk memainkan giginya yang goyah, sementara matanya yang sayu kelam menelusuri sisi gua di hadapannya. Tubuhnya terlihat lebih ringkih dibandingkan dengan anak-anak lain di gua itu.

Perutnya bergemuruh, seolah menjerit meminta makanan, namun karena tidak punya makanan, ia hanya melamun dengan tenang sambil memikirkan cara berburu binatang di sekitar suku untuk mengisi perutnya.

Anak itu memejamkan mata kembali rapat-rapat, berharap rasa sakit di perutnya bisa sedikit reda. Namun, semakin ia mencoba, semakin sakit yang dirasakan. ia hanya bisa mendesah pelan, bertahan dalam rasa lapar yang menghujam. Mulutnya mengeluarkan senyum pahit, memikirkan rasa laparnya itu mungkin adalah akibat dari jatah makanannya diambil oleh anak lain.

Dia adalah Sahya, seorang yang tiba-tiba terbangun di tempat ini. Mungkin ini yang dimaksud transmigrasi?

Tiba di daerah mirip suku primitif dengan cara yang tak terlukiskan dan kembali menjadi bocah kecil membuat dirinya merasa ingin mengumpat setiap hari.

Tubuhnya sangat lemah, kemungkinan besar belum mampu menyembuhkan penyakit apa pun.

Sudah 4 bulan berlalu sejak Sahya terbangun dalam tubuh ini. Meskipun jika dia belum terbiasa, dia hanya bisa menggertakkan gigi dan menahannya.

Ia tidak pernah menyangka akan benar-benar datang ke tempat seperti ini. Ada perbedaan besar dari suku primitif zaman batu yang dia pelajari sebelumnya jika dibandingkan dengan suku ini.

Penampilan mereka tidak terlihat istimewa, namun jika melihat bagaimana seseorang dari suku tersebut mengangkat batu seukuran mobil dengan mudahnya, orang-orang dari kehidupan sebelumnya akan merasa takjub.

Adapun gua yang saat ini Sahya tinggal, nama aslinya Gua Tawon, terletak di wilayah kaki bukit pemukiman suku. Dinamai demikian oleh sang Dukun pertama karena bentuknya yang unik mirip sarang lebah raksasa, gua ini menyimpan berbagai cerita dan misteri dalam setiap lekukannya.

Cahaya yang masuk melalui celah-celah sempit membuat bayangan yang bergerak serupa dengan gerak lebah yang sibuk.

Gua Tawon tidak hanya menjadi tempat perlindungan dari cuaca atau binatang buas yang tiba-tiba masuk, tetapi juga menjadi sebuah 'rumah besar' bagi anak-anak yang terlantar.

Sahya belum pernah melihat orang-orang dari suku lain sejak ia berada di tempat ini. Seluruh hidupnya yang baru terpusat dalam rutinitas yang ada di sekitar wilayah sukunya.

Pegunungan yang mengelilingi daerah ini seolah menjadi tembok alami yang membatasi dunia kecilnya. Setiap kali ia mencoba untuk membayangkan ada apa di balik pegunungan itu, hanya kehampaan yang bisa ia rasakan.

Mungkin di sekitar pegunungan ini, hanya ada satu suku?.

Suku ini bernama ‘Palon Dihyang’, sebuah suku terpencil. Mereka makan, minum, dan hidup dari hasil usaha mereka sendiri.

Orang-orang Palon Dihyang ahli dalam berburu dan meramu. Mereka mengenal setiap sudut hutan ini, dari jalur yang hanya bisa dilalui dengan kaki telanjang hingga pohon-pohon yang menyimpan air dalam cambuk dedaunannya.

Kehidupan di suku itu sangat sederhana namun penuh kekuatan. Mereka hidup dalam harmoni dengan alam, menggunakan setiap sumber daya yang tersedia dengan cara yang berkelanjutan.

Sebuah desahan keluar dari mulut anak itu.

Beberapa saat kemudian, sinar matahari memasuki gua melalui celah dari ventilasi dan mengenai anak-anak gua, hal itu menyebabkan mereka terbangun satu per satu.

Saat melihat anak-anak itu bangun, Sahya kemudian mengumpulkan kekuatan untuk berdiri dan berjalan keluar gua dengan alat berburu di tangan kecilnya.

Cahaya matahari yang lembut dan hangat itu menyelimuti rambutnya, memberikan kilauan emas yang indah pada rambut hitam yang ia miliki. Pada saat yang sama, sinar itu semakin melimpah hingga memenuhi seluruh sudut mata sayunya yang sembab, sedikit mengaburkan penglihatannya. Perlahan, dengan gerakan yang berat, ia mengusap matanya dengan telapak tangan yang kasar, mencoba mengatur fokus pandangannya kembali.

Sahya berdiri tegak di ambang pintu gua. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma tanah dan dedaunan dari hutan yang mengelilingi perkampungan sukunya. ia memandang ke depan, menatap luasnya lanskap yang membentang—bukit, lembah, sungai yang berkelok, dan pepohonan rindang yang seakan menyatu menari.

Jika dia tak mendengar suara gemuruh dari perutnya sekali lagi mungkin pemandang itu akan terasa sempurna.

Dalam keheningan pagi itu, Sahya merasa seolah waktu berhenti bergerak, ia berdiri diam beberapa saat, pemandangan itu mengingatkannya saat hari pertama ia bertransmigrasi ke kehidupan ini.

Meski sudah seharian penuh berada di tengah-tengah suku Zaman Batu, ia belum juga bisa sepenuhnya memahami bahasa yang digunakan oleh penduduk lokal, apalagi mengidentifikasi gaya berpakaian mereka yang sangat unik dan primitif.

Penampilan mereka dengan kulit binatang dan aksesoris dari tulang-tulang membuatnya merasa seperti terlempar jauh ke masa yang tidak ia dikenali.

Sahya tak punya pilihan selain menghabiskan hari pertamanya dengan berpura-pura. Setiap kata yang terdengar ia tirukan dengan nada suara serupa tanpa mengerti arti sebenarnya.

Ia juga berlagak cepat dalam melihat dan mengambil langkah, berusaha keras menyesuaikan diri dengan anak-anak sebaya yang berlari lincah di antara pepohonan dan bebatuan. Beruntung, tubuh yang ditempatinya adalah anak kecil, hal itu membuatnya tidak terlalu mencolok atau dicurigai oleh orang-orang dewasa di sekitarnya.

Malam harinya, saat semua telah tertidur dan hanya suara alam yang terdengar memenuhi keheningan malam, sesuatu dalam dirinya terbangun. Sebuah mimpi aneh muncul, membawanya kembali ke situs peninggalan kemudian ke lorong tersembunyi, tempat terakhir yang dia ingat sebelum menyebrang ke dunia ini.

Dalam mimpi tersebut, ia menemukan batu aneh yang pernah ditemukannya di sudut gua. Sangat jelas dalam mimpinya itu, batu itu bertransformasi menjadi pasir halus dan mulai terhembus memasuki tubuhnya melalui pori-pori kulit.

Perubahan mulai terjadi, sebuah kekuatan baru terasa mengalir dalam dirinya. Apakah mungkin, batu tersebut adalah kunci untuk mengungkap misteri keberadaannya di sini, atau bahkan mungkin untuk memahami dan beradaptasi dengan kehidupan di Zaman ini?

Tiba-tiba suara burung elang datang dan memaksa Sahya lamunannya. Tak lama kemudian, dia menghela nafas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara segar pagi itu,

“Hari lain untuk berjuang di dunia ini …”

Di sekeliling tempat tinggal suku itu terdapat dua wilayah terlarang yang tak dijamah. Satu di antaranya adalah Gunung di barat suku, tempat tinggal makhluk Dihyang yang kuat dan menjelma sebagai ancaman yang mematikan. Dan yang lainnya Danau Besar, sebuah danau luas di timur yang dihuni oleh spesies ikan langka dan berbahaya, dikatakan hewan itu memiliki kebiasaan menyerang dengan menggigit daging apapun yang masuk ke dalam air.

Sementara itu, menurut penuturan dari orang-orang suku, terdapat makhluk yang suka memangsa manusa menjadi cerita yang terus beredar. Dipercayai bahwa makhluk ini akan muncul berwujud binatang buas mengerikan apabila seseorang berani mendekat dan memasuki wilayahnya.

Sahya awalnya mengira bahwa itu hanyalah cerita untuk menakut-nakuti anak-anak dan membuat mereka tidak melarikan diri, namun, ia terkejut saat mengetahui bahwa peringatan itu nyata adanya setelah melihat makhluk aneh yang menyerang suku beberapa hari lalu.

Makhluk itu bernama Ndaru, makhluk humanoid besar mengerikan yang berbulu dengan cakar yang panjang dan taring yang tajam. Menurut cerita masyarakat suku tersebut, Ndaru adalah manusia yang diubah oleh suatu entitas aneh lain.

Meskipun Ndaru tampak mengerikan dan kuat, makhluk itu dengan mudah dibunuh sebelum mendekati suku tersebut oleh penjaga.

Setelah kejadian itu, Sahya malah menjadi bersemangat. Yah, tentu saja, jika ia berhasil mengatasi hari-hari kelaparannya terlebih dahulu.

Dengan tongkat tajam di tangan kanannya dan tali yang diikatkan di pinggangnya, ia berniat mencari kelinci liar atau bahkan tikus kecil di hutan terdekat. Meski saat ini adalah pertama kalinya ia berburu, Sahya nampak percaya diri.

Sebenarnya sukunya melarang anak-anak suku untuk melakukan perburuan meski mereka tampak sudah cukup kuat. Para penjaga akan menyeret anak yang keras kelapa jika mereka mengetahuinya.

Ngomong-ngomong, Sahya juga termasuk salah satu anak itu, dia bahkan sudah diseret belasan kali dalam minggu ini!

Untungnya kali ini dia berhasil menyelinap keluar, atau begitulah yang dia kira.

Sementara Sahya sedang berlarian dengan panik ke arah hutan, dua orang penjaga mengawasinya dari kejauhan. Orang-orang ini selalu bosan karena tidak banyak ancaman yang datang, jadi anak ini adalah hiburan lanka untuk mereka.

“Nawa, sekarang giliran mu,” Salah seorang penjaga tiba-tiba berkata.

Pria yang dipanggil namanya terkekeh, tak lama kemudian Ia berdiri dan mulai berjalan ke arah Sahya yang masih berlari dikejauhan.

***

Bab terkait

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 3 : Perburuan Pertama

    Di dalam hutan purba yang megah dan lebat, pepohonan besar yang menjulang tinggi menjadi penjaga alami dalam keheningan alam. Matahari berusaha menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kerlap-kerlip cahaya di atas lantai hutan yang penuh dengan semak belukar yang rimbun.Karena hewan-hewan di sekitar suku telah diburu habis, Sahya terpaksa masuk lebih dalam ke hutan untuk berburu. Namun, semakin jauh ia dari suku, semakin besar pula risikonya.Di tengah hutan yang lebat, Sahya bergerak dengan hati-hati di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Cahaya matahari yang mencoba menembus kanopi hanya menghasilkan sinar tipis yang menciptakan pola bayangan aneh di tanah.Suara burung-burung dan serangga yang bersahutan memberikan latar belakang ritmis pada suasana yang sepi.Saat melangkah lebih dalam, Sahya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin, dan desiran angin membawa aroma tanah basah yang segar.Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 4 : Makhluk Apa Itu?

    Hening yang terasa begitu mencekam. Meskipun sinar matahari terang di langit, waktu seperti telah membeku, dan sunyi yang teramat dalam seolah menyatakan bahwa seluruh jagat ini telah mati, tak bergerak.Sahya dengan cepat melakukan apa yang disuruh dan bersembunyi di balik pohon di sebelahnya, dia menunduk untuk mengintip keluar dan menunggu dengan hati berdebar saat dia menyaksikan kejadian yang akan terjadi.Tiba-tiba, sinar putih kilat memotong dari arah kanan mereka. Sebuah entitas muncul berjalan secara perlahan. Sosok itu berbentuk manusia namun kulitnya putih bersih tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dengan rambut hitam mengalir, tangan dan kaki berujung kuku tajam. Wajahnya menyerupai topeng dan matanya menyala merah bak bara api itu memberikan tatapan menakutkan.Makhluk itu menyerupai seorang wanita, namun gerakannya seperti bayangan yang memudar ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan jejak kehadiran yang dingin dan sunyi.Mata Nawa menyipit tajam, kedua tangannya

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 5 : Lukisan Dinding

    "Eh, aku sudah sembuh?" Sahya yang beristirahat, menatap tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda luka, hanya bekas luka dan luka kecil yang masih terlihat. Setiap orang di suku ini memiliki kemampuan penyembuhan yang kuat. Seseorang dapat berdiri sendiri lagi setelah istirahat beberapa hari meskipun sebelumnya Ia terluka parah. Dan setelah satu atau dua bulan, tubuhnya akan menjadi seperti baru. Mungkin Itu pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat sukunya tidak peduli dengan perkelahian. Sahya membalikkan tubuhnya sedikit dan mengangkat tinjunya, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya. Matanya kemudian melihat sekeliling, Sahya mendesah pelan. Dia tidak lagi berniat untuk mengendap-endap keluar suku. Di satu sisi karena dunia luar masih terasa menakutkan, di sisi lain karena dia sudah mengumpulkan banyak daging, meskipun, mungkin akan tiba saat baginya untuk pergi berburu lagi. Di saat-saat seperti ini Sahya menghabiskan waktunya dengan menjelajahi gua Tawon. Sebenarn

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 6 : Etika

    Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 7 : Saatnya Mengumpulkan Batu!

    “Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 8 : Mereka Lagi

    Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 9 : Perkelahian Anak Kecil

    Ketika Sahya tenggelam dalam pikirannya tentang apakah dia harus menghancurkan kepala mereka dengan batu atau dengan tangan kosong, ketiga anak itu sudah berbaris di dekat tempat persembunyiannya, mereka masih tidak menyadari penyergapan.Butuh waktu yang cukup lama untuk ketiga anak itu sampai di dekat tempat persembunyian Sahya berada. Selama waktu ini, Ia terus mengamati mereka dengan seksama.Tampaknya perhatian anak-anak itu tertuju pada hal lain, salah satunya menghindari tertimpa batu yang berjatuhan. Mereka bergerak dengan hati-hati, sesekali menjerit kaget ketika batu-batu kecil bergulir di dekat kaki mereka. Ketiga anak itu tidak tahu jalan mana yang aman untuk didaki, jadi mereka hanya bisa mencoba mengambil jalan memutar.“Apakah ini arah yang benar, Tomo?” Kibu berjalan di depan kelompok mereka, dia baru saja menghindari batu yang jatuh dari tebing di atasnya.Sorot matanya yang tajam tertuju ke arah orang yang berada di belakangn

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 10 : Ubi Merah Berambut

    Kibu terbaring lemas di tanah, mengalami rasa sakit dan amarah yang memuncak. Dengan gerakan gemetar, tangannya perlahan mengusap lembut kepalanya yang terasa berdenyut-denyut akibat cedera.Wajahnya yang bengkak dipenuhi dengan ekspresi kemarahan yang sulit untuk disembunyikan. Lubang hidungnya yang masih mengucurkan sedikit darah menambahkan sentuhan kejut kepada keseluruhan pemandangan tragis yang mengelilinginya.Dalam benaknya, Kibu bersumpah untuk tidak pernah melupakan penghinaan ini sepanjang hidupnya. Rasa dendam yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat, menyalakan bara kemarahan yang membara di dalam dadanya.Matanya memperhatikan dengan tajam ke arah Sahya yang sedang sibuk memilih batu-batu di kejauhan, tampaknya tidak menyadari kesengsaraan yang dialami oleh Kibu.Kibu yakin bahwa Sahya pasti telah mengumpulkan beberapa batu yang berharga meski jarak di antara mereka terlalu jauh untuk bisa terlihat secara langsung. Beberapa batu bagus bisa dit

Bab terbaru

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 14 : Firasat Buruk

    "Siapa di sana?!" Sahya menahan napas, sementara detak jantungnya semakin cepat, berdentum keras di telinganya. Rambutnya berdiri tegak, dan tubuhnya gemetar karena ketakutan. Kekakuan merayap ke setiap serat sarafnya, menghilangkan suaranya dan membuatnya tidak mampu bergerak.Dalam hitungan detik, sesuatu yang dingin dan basah menyentuh kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri saat lidah makhluk itu melintasi kulitnya. Sahya menatap dua titik merah yang berkelap-kelip dalam kegelapan.Makhluk itu perlahan mendekatinya, setiap langkah disertai tatapan menghantui dan menakutkan. "Enak sekali~," desisnya sambil menyeringai, suaranya melengking menyusup ke telinga siapa pun yang mendengarnya. Sahya terjatuh tiba-tiba ke tanah. Tak lama, makhluk itu mendekat dan dengan kejam menginjak dadanya.Mata Sahya terpaku pada makhluk yang berdiri di atasnya, mata merah menyala dalam gelap seperti dua bara api kecil. Dalam pandangannya, ia melihat gigi dan cakar tajam, serta

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 13 : Monster di Kegelapan

    Saat matahari mulai terbit dan menyebarkan kehangatannya, Pato kembali ke Gua Tawon, ditemani oleh beberapa pria. Senyum akrab yang menghiasi wajah Pato tampak familier, tetapi ketika anak-anak melihat pria-pria yang menyusul di belakangnya, mereka mulai menyadari adanya niat buruk dari Pato.“Persetan!” gerutu anak-anak dalam hati mereka.Setiap tahun, di awal musim hujan dan sebelum dimulainya Festival Langit, mereka akan dipaksa mandi di sungai. Secara tradisional, ini berarti mereka harus mandi sebelum mengikuti ritual kebangkitan kekuatan roh. Namun, kenyataannya, mereka yang enggan mandi akan diseret ke sungai dan dimandikan secara paksa.Melihat para pria yang dibawa oleh Pato, anak-anak pun gemetar ketakutan.Sahya berjalan menuju sungai, memperhatikan bayangannya di permukaan air. Meskipun riak membuat bayangan itu kabur, ia tetap bisa melihat bahwa penampilannya sangat berantakan. "Sepertinya seseorang memang perlu disikat!"Para pejuang yang kuat dan gagah berani mungkin bi

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 12 : Sang Dukun

    Seperti pepatah mengatakan, jangan pernah meremehkan kekuatan orang bodoh dalam kelompok besar. Peristiwa yang melibatkan anak-anak gua terhadap Kibu dan kedua anak buahnya membuktikan kebenaran pepatah ini. Jika bukan karena kehadiran orang tua mereka dan Pato yang menyelamatkan Kibu dan kedua anteknya, nasib ketiga anak itu mungkin berbeda.Kejadian tersebut juga membantu masyarakat suku untuk menyegarkan kembali pemahaman mereka tentang anak-anak di dalam gua. Ternyata, anak-anak ini mampu bersatu menghadapi musuh bersama. Beberapa orang yang berniat jahat pun terpaksa menyembunyikan maksud mereka setelah melihat situasi tersebut.Setelah mengatasi gangguan Kibu, Sahya mengumpulkan anak-anak ganas itu kembali ke gua. Tak lama kemudian, hanya dengan beberapa tarikan nafas, beruang besar dimakan bersih. Satu-satunya bagian yang tersisa hanyalah tulang-tulangnya yang kokoh.Pada saat yang sama, Pato kembali ke Gua Tawon. “Bukankah dia sudah mengantarkan ma

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 11 : Mereka Lagi?

    Saat senja tiba dan matahari mulai meredup di langit, Pato, seorang pria paruh baya, dengan tekun menjalankan tugasnya mengantar makanan ke gua Tawon setiap hari. Pato mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar Ogi, terutama setelah kehilangan salah satu lengannya akibat kecelakaan tragis saat misi perburuan. Peristiwa tersebut juga mengakhiri karirnya sebagai pemburu.Meski diberi tugas yang tampak sepele, Pato merasa puas karena sukunya tetap memberinya tempat tinggal dan makanan. Begitu mangkuk batu diletakkan, anak-anak di gua langsung berhamburan seolah-olah mereka tidak makan selama berhari-hari. Walaupun mereka masih anak-anak, pemandangan itu seperti medan pertempuran untuk mendapatkan makanan.Menyaksikan kekacauan ini, Sahya hanya bisa menghela nafas. Dia sadar bahwa situasi ini tidak akan berubah dalam waktu dekat.Sejak lama, pemimpin suku Tawon terlalu sibuk dengan perselisihan internal di antara anggota sukunya. Akibatnya, mereka mengabaikan kondisi d

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 10 : Ubi Merah Berambut

    Kibu terbaring lemas di tanah, mengalami rasa sakit dan amarah yang memuncak. Dengan gerakan gemetar, tangannya perlahan mengusap lembut kepalanya yang terasa berdenyut-denyut akibat cedera.Wajahnya yang bengkak dipenuhi dengan ekspresi kemarahan yang sulit untuk disembunyikan. Lubang hidungnya yang masih mengucurkan sedikit darah menambahkan sentuhan kejut kepada keseluruhan pemandangan tragis yang mengelilinginya.Dalam benaknya, Kibu bersumpah untuk tidak pernah melupakan penghinaan ini sepanjang hidupnya. Rasa dendam yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat, menyalakan bara kemarahan yang membara di dalam dadanya.Matanya memperhatikan dengan tajam ke arah Sahya yang sedang sibuk memilih batu-batu di kejauhan, tampaknya tidak menyadari kesengsaraan yang dialami oleh Kibu.Kibu yakin bahwa Sahya pasti telah mengumpulkan beberapa batu yang berharga meski jarak di antara mereka terlalu jauh untuk bisa terlihat secara langsung. Beberapa batu bagus bisa dit

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 9 : Perkelahian Anak Kecil

    Ketika Sahya tenggelam dalam pikirannya tentang apakah dia harus menghancurkan kepala mereka dengan batu atau dengan tangan kosong, ketiga anak itu sudah berbaris di dekat tempat persembunyiannya, mereka masih tidak menyadari penyergapan.Butuh waktu yang cukup lama untuk ketiga anak itu sampai di dekat tempat persembunyian Sahya berada. Selama waktu ini, Ia terus mengamati mereka dengan seksama.Tampaknya perhatian anak-anak itu tertuju pada hal lain, salah satunya menghindari tertimpa batu yang berjatuhan. Mereka bergerak dengan hati-hati, sesekali menjerit kaget ketika batu-batu kecil bergulir di dekat kaki mereka. Ketiga anak itu tidak tahu jalan mana yang aman untuk didaki, jadi mereka hanya bisa mencoba mengambil jalan memutar.“Apakah ini arah yang benar, Tomo?” Kibu berjalan di depan kelompok mereka, dia baru saja menghindari batu yang jatuh dari tebing di atasnya.Sorot matanya yang tajam tertuju ke arah orang yang berada di belakangn

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 8 : Mereka Lagi

    Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 7 : Saatnya Mengumpulkan Batu!

    “Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 6 : Etika

    Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-

DMCA.com Protection Status