Di dalam sebuah gua yang terletak di kaki bukit, terdapat puluhan anak tergeletak tak beraturan dimana-mana. Lapisan kulit hewan tipis dan compang-camping menutupi badan mereka.
Langit-langitnya terdapat lubang-lubang ventilasi udara yang cukup besar. Melalui lubang itu juga sinar matahari masuk. Mungkin karena sudah lama tidak dibersihkan, bau busuk menjadi menyengat di sekitar gua.
Di bawah ventilasi udara yang penuh debu, ada seorang anak kecil duduk dengan celana kulit yang compang-camping menyelimuti sebagian kakinya yang kurus. Satu tangannya sibuk memainkan giginya yang goyah, sementara matanya yang sayu kelam menelusuri sisi gua di hadapannya. Tubuhnya terlihat lebih ringkih dibandingkan dengan anak-anak lain di gua itu.
Perutnya bergemuruh, seolah menjerit meminta makanan, namun karena tidak punya makanan, ia hanya melamun dengan tenang sambil memikirkan cara berburu binatang di sekitar suku untuk mengisi perutnya.
Anak itu memejamkan mata kembali rapat-rapat, berharap rasa sakit di perutnya bisa sedikit reda. Namun, semakin ia mencoba, semakin sakit yang dirasakan. ia hanya bisa mendesah pelan, bertahan dalam rasa lapar yang menghujam. Mulutnya mengeluarkan senyum pahit, memikirkan rasa laparnya itu mungkin adalah akibat dari jatah makanannya diambil oleh anak lain.
Dia adalah Sahya, seorang yang tiba-tiba terbangun di tempat ini. Mungkin ini yang dimaksud transmigrasi?
Tiba di daerah mirip suku primitif dengan cara yang tak terlukiskan dan kembali menjadi bocah kecil membuat dirinya merasa ingin mengumpat setiap hari.
Tubuhnya sangat lemah, kemungkinan besar belum mampu menyembuhkan penyakit apa pun.
Sudah 4 bulan berlalu sejak Sahya terbangun dalam tubuh ini. Meskipun jika dia belum terbiasa, dia hanya bisa menggertakkan gigi dan menahannya.
Ia tidak pernah menyangka akan benar-benar datang ke tempat seperti ini. Ada perbedaan besar dari suku primitif zaman batu yang dia pelajari sebelumnya jika dibandingkan dengan suku ini.
Penampilan mereka tidak terlihat istimewa, namun jika melihat bagaimana seseorang dari suku tersebut mengangkat batu seukuran mobil dengan mudahnya, orang-orang dari kehidupan sebelumnya akan merasa takjub.
Adapun gua yang saat ini Sahya tinggal, nama aslinya Gua Tawon, terletak di wilayah kaki bukit pemukiman suku. Dinamai demikian oleh sang Dukun pertama karena bentuknya yang unik mirip sarang lebah raksasa, gua ini menyimpan berbagai cerita dan misteri dalam setiap lekukannya.
Cahaya yang masuk melalui celah-celah sempit membuat bayangan yang bergerak serupa dengan gerak lebah yang sibuk.
Gua Tawon tidak hanya menjadi tempat perlindungan dari cuaca atau binatang buas yang tiba-tiba masuk, tetapi juga menjadi sebuah 'rumah besar' bagi anak-anak yang terlantar.
Sahya belum pernah melihat orang-orang dari suku lain sejak ia berada di tempat ini. Seluruh hidupnya yang baru terpusat dalam rutinitas yang ada di sekitar wilayah sukunya.
Pegunungan yang mengelilingi daerah ini seolah menjadi tembok alami yang membatasi dunia kecilnya. Setiap kali ia mencoba untuk membayangkan ada apa di balik pegunungan itu, hanya kehampaan yang bisa ia rasakan.
Mungkin di sekitar pegunungan ini, hanya ada satu suku?.
Suku ini bernama ‘Palon Dihyang’, sebuah suku terpencil. Mereka makan, minum, dan hidup dari hasil usaha mereka sendiri.
Orang-orang Palon Dihyang ahli dalam berburu dan meramu. Mereka mengenal setiap sudut hutan ini, dari jalur yang hanya bisa dilalui dengan kaki telanjang hingga pohon-pohon yang menyimpan air dalam cambuk dedaunannya.
Kehidupan di suku itu sangat sederhana namun penuh kekuatan. Mereka hidup dalam harmoni dengan alam, menggunakan setiap sumber daya yang tersedia dengan cara yang berkelanjutan.
Sebuah desahan keluar dari mulut anak itu.
Beberapa saat kemudian, sinar matahari memasuki gua melalui celah dari ventilasi dan mengenai anak-anak gua, hal itu menyebabkan mereka terbangun satu per satu.
Saat melihat anak-anak itu bangun, Sahya kemudian mengumpulkan kekuatan untuk berdiri dan berjalan keluar gua dengan alat berburu di tangan kecilnya.
Cahaya matahari yang lembut dan hangat itu menyelimuti rambutnya, memberikan kilauan emas yang indah pada rambut hitam yang ia miliki. Pada saat yang sama, sinar itu semakin melimpah hingga memenuhi seluruh sudut mata sayunya yang sembab, sedikit mengaburkan penglihatannya. Perlahan, dengan gerakan yang berat, ia mengusap matanya dengan telapak tangan yang kasar, mencoba mengatur fokus pandangannya kembali.
Sahya berdiri tegak di ambang pintu gua. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma tanah dan dedaunan dari hutan yang mengelilingi perkampungan sukunya. ia memandang ke depan, menatap luasnya lanskap yang membentang—bukit, lembah, sungai yang berkelok, dan pepohonan rindang yang seakan menyatu menari.
Jika dia tak mendengar suara gemuruh dari perutnya sekali lagi mungkin pemandang itu akan terasa sempurna.
Dalam keheningan pagi itu, Sahya merasa seolah waktu berhenti bergerak, ia berdiri diam beberapa saat, pemandangan itu mengingatkannya saat hari pertama ia bertransmigrasi ke kehidupan ini.
Meski sudah seharian penuh berada di tengah-tengah suku Zaman Batu, ia belum juga bisa sepenuhnya memahami bahasa yang digunakan oleh penduduk lokal, apalagi mengidentifikasi gaya berpakaian mereka yang sangat unik dan primitif.
Penampilan mereka dengan kulit binatang dan aksesoris dari tulang-tulang membuatnya merasa seperti terlempar jauh ke masa yang tidak ia dikenali.
Sahya tak punya pilihan selain menghabiskan hari pertamanya dengan berpura-pura. Setiap kata yang terdengar ia tirukan dengan nada suara serupa tanpa mengerti arti sebenarnya.
Ia juga berlagak cepat dalam melihat dan mengambil langkah, berusaha keras menyesuaikan diri dengan anak-anak sebaya yang berlari lincah di antara pepohonan dan bebatuan. Beruntung, tubuh yang ditempatinya adalah anak kecil, hal itu membuatnya tidak terlalu mencolok atau dicurigai oleh orang-orang dewasa di sekitarnya.
Malam harinya, saat semua telah tertidur dan hanya suara alam yang terdengar memenuhi keheningan malam, sesuatu dalam dirinya terbangun. Sebuah mimpi aneh muncul, membawanya kembali ke situs peninggalan kemudian ke lorong tersembunyi, tempat terakhir yang dia ingat sebelum menyebrang ke dunia ini.
Dalam mimpi tersebut, ia menemukan batu aneh yang pernah ditemukannya di sudut gua. Sangat jelas dalam mimpinya itu, batu itu bertransformasi menjadi pasir halus dan mulai terhembus memasuki tubuhnya melalui pori-pori kulit.
Perubahan mulai terjadi, sebuah kekuatan baru terasa mengalir dalam dirinya. Apakah mungkin, batu tersebut adalah kunci untuk mengungkap misteri keberadaannya di sini, atau bahkan mungkin untuk memahami dan beradaptasi dengan kehidupan di Zaman ini?
Tiba-tiba suara burung elang datang dan memaksa Sahya lamunannya. Tak lama kemudian, dia menghela nafas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara segar pagi itu,
“Hari lain untuk berjuang di dunia ini …”
…
Di sekeliling tempat tinggal suku itu terdapat dua wilayah terlarang yang tak dijamah. Satu di antaranya adalah Gunung di barat suku, tempat tinggal makhluk Dihyang yang kuat dan menjelma sebagai ancaman yang mematikan. Dan yang lainnya Danau Besar, sebuah danau luas di timur yang dihuni oleh spesies ikan langka dan berbahaya, dikatakan hewan itu memiliki kebiasaan menyerang dengan menggigit daging apapun yang masuk ke dalam air.
Sementara itu, menurut penuturan dari orang-orang suku, terdapat makhluk yang suka memangsa manusa menjadi cerita yang terus beredar. Dipercayai bahwa makhluk ini akan muncul berwujud binatang buas mengerikan apabila seseorang berani mendekat dan memasuki wilayahnya.
Sahya awalnya mengira bahwa itu hanyalah cerita untuk menakut-nakuti anak-anak dan membuat mereka tidak melarikan diri, namun, ia terkejut saat mengetahui bahwa peringatan itu nyata adanya setelah melihat makhluk aneh yang menyerang suku beberapa hari lalu.
Makhluk itu bernama Ndaru, makhluk humanoid besar mengerikan yang berbulu dengan cakar yang panjang dan taring yang tajam. Menurut cerita masyarakat suku tersebut, Ndaru adalah manusia yang diubah oleh suatu entitas aneh lain.
Meskipun Ndaru tampak mengerikan dan kuat, makhluk itu dengan mudah dibunuh sebelum mendekati suku tersebut oleh penjaga.
Setelah kejadian itu, Sahya malah menjadi bersemangat. Yah, tentu saja, jika ia berhasil mengatasi hari-hari kelaparannya terlebih dahulu.
Dengan tongkat tajam di tangan kanannya dan tali yang diikatkan di pinggangnya, ia berniat mencari kelinci liar atau bahkan tikus kecil di hutan terdekat. Meski saat ini adalah pertama kalinya ia berburu, Sahya nampak percaya diri.
Sebenarnya sukunya melarang anak-anak suku untuk melakukan perburuan meski mereka tampak sudah cukup kuat. Para penjaga akan menyeret anak yang keras kelapa jika mereka mengetahuinya.
Ngomong-ngomong, Sahya juga termasuk salah satu anak itu, dia bahkan sudah diseret belasan kali dalam minggu ini!
Untungnya kali ini dia berhasil menyelinap keluar, atau begitulah yang dia kira.
Sementara Sahya sedang berlarian dengan panik ke arah hutan, dua orang penjaga mengawasinya dari kejauhan. Orang-orang ini selalu bosan karena tidak banyak ancaman yang datang, jadi anak ini adalah hiburan lanka untuk mereka.
“Nawa, sekarang giliran mu,” Salah seorang penjaga tiba-tiba berkata.
Pria yang dipanggil namanya terkekeh, tak lama kemudian Ia berdiri dan mulai berjalan ke arah Sahya yang masih berlari dikejauhan.
***
Di dalam hutan purba yang megah dan lebat, pepohonan besar yang menjulang tinggi menjadi penjaga alami dalam keheningan alam. Matahari berusaha menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kerlap-kerlip cahaya di atas lantai hutan yang penuh dengan semak belukar yang rimbun.Karena hewan-hewan di sekitar suku telah diburu habis, Sahya terpaksa masuk lebih dalam ke hutan untuk berburu. Namun, semakin jauh ia dari suku, semakin besar pula risikonya.Di tengah hutan yang lebat, Sahya bergerak dengan hati-hati di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Cahaya matahari yang mencoba menembus kanopi hanya menghasilkan sinar tipis yang menciptakan pola bayangan aneh di tanah.Suara burung-burung dan serangga yang bersahutan memberikan latar belakang ritmis pada suasana yang sepi.Saat melangkah lebih dalam, Sahya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin, dan desiran angin membawa aroma tanah basah yang segar.Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar
Hening yang terasa begitu mencekam. Meskipun sinar matahari terang di langit, waktu seperti telah membeku, dan sunyi yang teramat dalam seolah menyatakan bahwa seluruh jagat ini telah mati, tak bergerak.Sahya dengan cepat melakukan apa yang disuruh dan bersembunyi di balik pohon di sebelahnya, dia menunduk untuk mengintip keluar dan menunggu dengan hati berdebar saat dia menyaksikan kejadian yang akan terjadi.Tiba-tiba, sinar putih kilat memotong dari arah kanan mereka. Sebuah entitas muncul berjalan secara perlahan. Sosok itu berbentuk manusia namun kulitnya putih bersih tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dengan rambut hitam mengalir, tangan dan kaki berujung kuku tajam. Wajahnya menyerupai topeng dan matanya menyala merah bak bara api itu memberikan tatapan menakutkan.Makhluk itu menyerupai seorang wanita, namun gerakannya seperti bayangan yang memudar ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan jejak kehadiran yang dingin dan sunyi.Mata Nawa menyipit tajam, kedua tangannya
"Eh, aku sudah sembuh?" Sahya yang beristirahat, menatap tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda luka, hanya bekas luka dan luka kecil yang masih terlihat. Setiap orang di suku ini memiliki kemampuan penyembuhan yang kuat. Seseorang dapat berdiri sendiri lagi setelah istirahat beberapa hari meskipun sebelumnya Ia terluka parah. Dan setelah satu atau dua bulan, tubuhnya akan menjadi seperti baru. Mungkin Itu pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat sukunya tidak peduli dengan perkelahian. Sahya membalikkan tubuhnya sedikit dan mengangkat tinjunya, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya. Matanya kemudian melihat sekeliling, Sahya mendesah pelan. Dia tidak lagi berniat untuk mengendap-endap keluar suku. Di satu sisi karena dunia luar masih terasa menakutkan, di sisi lain karena dia sudah mengumpulkan banyak daging, meskipun, mungkin akan tiba saat baginya untuk pergi berburu lagi. Di saat-saat seperti ini Sahya menghabiskan waktunya dengan menjelajahi gua Tawon. Sebenarn
Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-
“Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso
Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh
Cianjur, 1974Aura pegunungan yang hijau dan penuh kehidupan mulai membawa kesegaran bagaikan bagi orang yang telah lama terperangkap dalam rutinitas kota yang monoton.Saat ini, sebuah bus yang berisi rombongan mahasiswa dan arkeolog sedang menuju desa kecil pegunungan yang letaknya relatif terpencil. Situs Gunung Padang, Dikabarkan bahwa benda-benda dari Zaman Batu ditemukan di sana.Salah satu dari rombangan mereka adalah Sahya, si Mahasiswa Teknik ‘Donatur Kampus’. Ia biasanya hanya mengenal kebisingan dan lampu-lampu kota, namun kali ini pemuda itu bisa merasakan kedamaian yang luar biasa.Pemandangan pegunungan yang hijau serta sesekali suara burung dan gesekan daun-daun yang bergoyang menjadi musik alam yang menenangkan.Namun, tidak hanya keindahan alam yang membuat hari itu terasa spesial, cerita-cerita yang dibagikan oleh Upik, seorang teman arkeologinya, juga turut menambah warna dalam perjalan. Dan tentu saja, Ia juga biang keladi Sahya berada di dalam rombongan ini.Sahya