Di dalam hutan purba yang megah dan lebat, pepohonan besar yang menjulang tinggi menjadi penjaga alami dalam keheningan alam. Matahari berusaha menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kerlap-kerlip cahaya di atas lantai hutan yang penuh dengan semak belukar yang rimbun.
Karena hewan-hewan di sekitar suku telah diburu habis, Sahya terpaksa masuk lebih dalam ke hutan untuk berburu. Namun, semakin jauh ia dari suku, semakin besar pula risikonya.
Di tengah hutan yang lebat, Sahya bergerak dengan hati-hati di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Cahaya matahari yang mencoba menembus kanopi hanya menghasilkan sinar tipis yang menciptakan pola bayangan aneh di tanah.
Suara burung-burung dan serangga yang bersahutan memberikan latar belakang ritmis pada suasana yang sepi.
Saat melangkah lebih dalam, Sahya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin, dan desiran angin membawa aroma tanah basah yang segar.
Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar suara gemuruh yang aneh.
"Apa itu?" pikir Sahya, menyipitkan mata dan mencoba menajamkan pendengarannya. Suara itu semakin lama semakin jelas, seperti sesuatu yang besar sedang mendekat. Dengan cepat, ia berjongkok di balik semak-semak, menyembunyikan dirinya sambil menggenggam tombak erat-erat.
Dari balik pepohonan, muncul seekor babi hutan raksasa. "Astaga, besar sekali!" Sahya berbicara dalam hati.
Ukurannya tiga kali lebih besar dari babi hutan biasa, dengan taring yang panjang dan tajam. Babi itu mengendus-endus tanah, mencari makan, tanpa menyadari keberadaan Sahya.
"Jangan panik, Manusia Penakut. Fokus," ia menenangkan dirinya sendiri, menahan napas, matanya tak lepas dari makhluk itu.
Perlahan, ia memindahkan tangannya ke kantong kecil di pinggangnya, meraih beberapa biji buah yang bisa digunakan untuk mengalihkan perhatian babi hutan.
"Semoga ini berhasil," bisiknya, lalu dengan hati-hati, ia melemparkan biji-biji itu ke arah yang berlawanan.
"Bagus, teruslah di sana," Sahya berbicara dalam hati, mulai bergerak perlahan, berusaha menjauh dari babi hutan tanpa menarik perhatiannya.
Sahya berdiri sejenak, ragu, sebelum perlahan-lahan melangkah mundur. Namun, tanpa sengaja, kakinya menginjak sebuah dahan pohon.
"Sialan!" gumamnya dengan nada getir, mendengar suara patahan dahan yang memecah keheningan hutan. Dalam sekejap, tubuhnya menegang, dan ia menggenggam tombak buatannya dengan erat.
Babi hutan raksasa itu menyerbu dengan kecepatan luar biasa.
Sahya melompat ke samping, menghindari serudukan pertama, namun babi itu segera berbalik dan melancarkan serangan kedua.
"Tahan, tahan!" Sahya menggunakan tombaknya untuk menghalau serangan itu, namun kekuatan babi hutan membuatnya terdorong mundur beberapa langkah.
Darah mengalir deras dari luka di lengan Sahya akibat gesekan dengan taring babi hutan. "Ugh! Sialan"
Dengan cepat, ia memutar tubuhnya, menyelinap di antara pepohonan untuk mengurangi ruang gerak babi hutan dan mencari celah untuk kabur.
Ketika babi hutan itu kembali menyerbu, Sahya memanfaatkan kekuatannya untuk melompat ke atas akar pohon yang menonjol, memberi dirinya posisi yang lebih tinggi sejenak.
"Ini kesempatanmu, lari!" pikir Sahya. Ia melompat dari akar pohon dan mulai berlari secepat mungkin, menghindari rintangan-rintangan di tanah yang tidak rata. Babi hutan itu mengerang marah dan mengejarnya dengan liar.
…
Beberapa saat kemudian, Sahya bersandar di sebatang pohon. Jantungnya berdetak kencang seolah-olah dia baru saja lari maraton.
Suara geraman dari babi hutan memenuhi pikirannya. Hanya masalah waktu sebelum dia merasakan ketajaman gigi kelinci itu mencabik daging dan tulangnya.
Sahya menggerakkan kakinya melewati semak belukar dan akar pohon yang menjuntai dengan tenaga terakhir yang tersisa. Langkah-langkahnya cepat, meskipun dirinya kelelahan.
Tepat saat matanya mulai kabur, Sahya melihat tebing berbatu di kejauhan. Sebuah ide tiba-tiba muncul di benaknya menatap puncak tebing tersebut. Tanpa ragu, dia memaksakan diri untuk terus berlari secepat yang dia bisa menuju tebing itu, walaupun rasa sakit menusuk di bahunya semakin terasa.
Sahya mulai menaiki tebing itu dengan sekuat tenaga. Tangan yang gemetar dan kaki yang lelah tetap berusaha mencengkeram bebatuan tebing untuk mendaki. Saat dia mencapai ujung dari tebing tersebut, dia menoleh dan melihat ke bawah, babi hutan itu sudah menatapnya dari kaki tebing dengan mata tajam.
Tepat saat babi hutan itu hendak menyerangnya lagi, sebuah kesempatan muncul. Dengan satu gerakan cepat, Sahya mengayunkan tangannya sekuat tenaga dan menusukkan belati itu ke bagian lehernya.
Darah memercik di wajahnya saat kelinci itu menggeliat kesakitan, perlahan darah itu menetes ke tanah.
Namun, tidak berhenti di situ, belati Sahya menusuk kepala kelinci itu beberapa kali.
Babi hutan itu itu meronta-ronta kesakitan dengan pisau batu yang tertancap di kepalanya. Dan tanpa menunda, anak itu menghentakkan kakinya kearah kepalanya, dan benar saja belati itu semakin masuk ke dalam.
Akhirnya setelah beberapa detik setelahnya, babi hutan itu akhirnya mati.
Sahya berlutut di depan binatang buruannya, terengah-engah, berlumuran keringat dan darah dari lengannya yang terluka. Pikiran-pikiran bergejolak dalam benaknya,
"Tadi itu hampir saja," gumamnya dalam hati, merasa lega karena usahanya dalam berburu akhirnya membuahkan hasil. Sayangnya, ketika ia melihat kembali hasil buruannya, wajahnya berubah datar.
"Jadi, bagaimana caranya membawa pulang daging ini? Huh…" Sahya menarik napas panjang, merasa sedikit lega.
Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, dari balik semak-semak, muncul seekor makhluk yang sangat besar dengan taring yang panjang dan tajam.
"Apa itu?" Sahya bergumam dengan cemas. Di hadapannya berdiri empat Smilodon, kucing bertaring tajam yang dianggap punah.
Binatang itu mungkin mencium bau darah dari babi buruannya
Saat mereka semakin dekat, Sahya memegang belatinya dengan kedua tangan dengan panik. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya gemetar, dia tahu bahwa melarikan diri bukanlah pilihan karena mereka dapat berlari lebih cepat dan mengejarnya dengan mudah.
Seekor smilodon berjalan mendekatinya dengan perlahan seolah-olah mereka sedang bermain, mereka mengepungnya dan menutup celah baginya untuk melarikan diri.
Pada saat Sahya pikir ia tidak akan pernah kembali hidup-hidup, tiba-tiba sesuatu terbang dari atas pohon dan mengenai salah satu smilodon yang mengepungnya. Itu adalah sebuah tombak batu.
Hewan yang terluka itu meraung sejenak kemudian jatuh ke tanah, hantaman tombak itu menyebabkan organ vitalnya rusak dan ia mati seketika. Melihat rekannya mati, smilodon yang tersisa langsung kabur.
Seorang penjaga muda memegang tombak itu dengan wajah bosan tiba-tiba muncul dari belakangnya. Dia adalah salah seorang penjaga yang belasan kali menyeret Sahya kembali. Yah, itu bagus, itu membuat mereka berdua saling mengenal.
“Nawa?”.
"Apakah kau masih ingin berlari menyelinap keluar, Teman Kecil?," Nawa mencibir. Sebelum Sahya sempat berbicara, pria itu telah mengangkat menempat anak itu ke bahu dan menyeret babi hutab raksasa seolah-olah ia tidak memiliki beban apa pun.
"Eh, Astaga! Lepaskan aku! Turunkan aku!" teriak Sahya, memukul-mukulkan tangan mungilnya ke punggung penjaga itu. Nawa tidak peduli, ia terus saja berjalan menuju area suku.
"Ngomong-ngomong, lemparan tombakmu masih sangat menyedihkan" Tiba-tiba Nawa berkata sambil terkekeh.
"Tunggu, kau lihat itu!? Kenapa kau tidak menyelamatkanku saat kau melihatnya!" tanya Sahya. Penjaga itu tidak menjawab kali ini dan terus berjalan hingga daerah desa itu tidak jauh lagi.
Namun, tak lama, tiba-tiba suasana berubah. Hutan yang tadinya riuh dengan suara berangsur-angsur menjadi sunyi dan suasana yang mencekam kembali terbentuk.
“Aku terkutuk!” Sahya bergumam.
Beberapa saat kemudian, sekawanan burung gagak besar mulai berkokok dan berkumpul di atas kepala mereka.
Penjaga itu membeku dan matanya terbelalak merasakan sesuatu yang akan datang. Tiba-tiba garis-garis pola tato muncul di tubuhnya, termasuk wajahnya, bersinar, memancarkan cahaya yang menyilaukan.
"Tu... Tunggu sebentar-" Sebelum Sahya sempat menyelesaikan kalimatnya, penjaga itu meletakkannya dengan lembut di tanah dan berbisik, "Sembunyilah."
***
Hening yang terasa begitu mencekam. Meskipun sinar matahari terang di langit, waktu seperti telah membeku, dan sunyi yang teramat dalam seolah menyatakan bahwa seluruh jagat ini telah mati, tak bergerak.Sahya dengan cepat melakukan apa yang disuruh dan bersembunyi di balik pohon di sebelahnya, dia menunduk untuk mengintip keluar dan menunggu dengan hati berdebar saat dia menyaksikan kejadian yang akan terjadi.Tiba-tiba, sinar putih kilat memotong dari arah kanan mereka. Sebuah entitas muncul berjalan secara perlahan. Sosok itu berbentuk manusia namun kulitnya putih bersih tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dengan rambut hitam mengalir, tangan dan kaki berujung kuku tajam. Wajahnya menyerupai topeng dan matanya menyala merah bak bara api itu memberikan tatapan menakutkan.Makhluk itu menyerupai seorang wanita, namun gerakannya seperti bayangan yang memudar ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan jejak kehadiran yang dingin dan sunyi.Mata Nawa menyipit tajam, kedua tangannya
"Eh, aku sudah sembuh?" Sahya yang beristirahat, menatap tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda luka, hanya bekas luka dan luka kecil yang masih terlihat. Setiap orang di suku ini memiliki kemampuan penyembuhan yang kuat. Seseorang dapat berdiri sendiri lagi setelah istirahat beberapa hari meskipun sebelumnya Ia terluka parah. Dan setelah satu atau dua bulan, tubuhnya akan menjadi seperti baru. Mungkin Itu pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat sukunya tidak peduli dengan perkelahian. Sahya membalikkan tubuhnya sedikit dan mengangkat tinjunya, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya. Matanya kemudian melihat sekeliling, Sahya mendesah pelan. Dia tidak lagi berniat untuk mengendap-endap keluar suku. Di satu sisi karena dunia luar masih terasa menakutkan, di sisi lain karena dia sudah mengumpulkan banyak daging, meskipun, mungkin akan tiba saat baginya untuk pergi berburu lagi. Di saat-saat seperti ini Sahya menghabiskan waktunya dengan menjelajahi gua Tawon. Sebenarn
Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-
“Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso
Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh
Ketika Sahya tenggelam dalam pikirannya tentang apakah dia harus menghancurkan kepala mereka dengan batu atau dengan tangan kosong, ketiga anak itu sudah berbaris di dekat tempat persembunyiannya, mereka masih tidak menyadari penyergapan.Butuh waktu yang cukup lama untuk ketiga anak itu sampai di dekat tempat persembunyian Sahya berada. Selama waktu ini, Ia terus mengamati mereka dengan seksama.Tampaknya perhatian anak-anak itu tertuju pada hal lain, salah satunya menghindari tertimpa batu yang berjatuhan. Mereka bergerak dengan hati-hati, sesekali menjerit kaget ketika batu-batu kecil bergulir di dekat kaki mereka. Ketiga anak itu tidak tahu jalan mana yang aman untuk didaki, jadi mereka hanya bisa mencoba mengambil jalan memutar.“Apakah ini arah yang benar, Tomo?” Kibu berjalan di depan kelompok mereka, dia baru saja menghindari batu yang jatuh dari tebing di atasnya.Sorot matanya yang tajam tertuju ke arah orang yang berada di belakangn
Kibu terbaring lemas di tanah, mengalami rasa sakit dan amarah yang memuncak. Dengan gerakan gemetar, tangannya perlahan mengusap lembut kepalanya yang terasa berdenyut-denyut akibat cedera.Wajahnya yang bengkak dipenuhi dengan ekspresi kemarahan yang sulit untuk disembunyikan. Lubang hidungnya yang masih mengucurkan sedikit darah menambahkan sentuhan kejut kepada keseluruhan pemandangan tragis yang mengelilinginya.Dalam benaknya, Kibu bersumpah untuk tidak pernah melupakan penghinaan ini sepanjang hidupnya. Rasa dendam yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat, menyalakan bara kemarahan yang membara di dalam dadanya.Matanya memperhatikan dengan tajam ke arah Sahya yang sedang sibuk memilih batu-batu di kejauhan, tampaknya tidak menyadari kesengsaraan yang dialami oleh Kibu.Kibu yakin bahwa Sahya pasti telah mengumpulkan beberapa batu yang berharga meski jarak di antara mereka terlalu jauh untuk bisa terlihat secara langsung. Beberapa batu bagus bisa dit
Saat senja tiba dan matahari mulai meredup di langit, Pato, seorang pria paruh baya, dengan tekun menjalankan tugasnya mengantar makanan ke gua Tawon setiap hari. Pato mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar Ogi, terutama setelah kehilangan salah satu lengannya akibat kecelakaan tragis saat misi perburuan. Peristiwa tersebut juga mengakhiri karirnya sebagai pemburu.Meski diberi tugas yang tampak sepele, Pato merasa puas karena sukunya tetap memberinya tempat tinggal dan makanan. Begitu mangkuk batu diletakkan, anak-anak di gua langsung berhamburan seolah-olah mereka tidak makan selama berhari-hari. Walaupun mereka masih anak-anak, pemandangan itu seperti medan pertempuran untuk mendapatkan makanan.Menyaksikan kekacauan ini, Sahya hanya bisa menghela nafas. Dia sadar bahwa situasi ini tidak akan berubah dalam waktu dekat.Sejak lama, pemimpin suku Tawon terlalu sibuk dengan perselisihan internal di antara anggota sukunya. Akibatnya, mereka mengabaikan kondisi d
"Siapa di sana?!" Sahya menahan napas, sementara detak jantungnya semakin cepat, berdentum keras di telinganya. Rambutnya berdiri tegak, dan tubuhnya gemetar karena ketakutan. Kekakuan merayap ke setiap serat sarafnya, menghilangkan suaranya dan membuatnya tidak mampu bergerak.Dalam hitungan detik, sesuatu yang dingin dan basah menyentuh kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri saat lidah makhluk itu melintasi kulitnya. Sahya menatap dua titik merah yang berkelap-kelip dalam kegelapan.Makhluk itu perlahan mendekatinya, setiap langkah disertai tatapan menghantui dan menakutkan. "Enak sekali~," desisnya sambil menyeringai, suaranya melengking menyusup ke telinga siapa pun yang mendengarnya. Sahya terjatuh tiba-tiba ke tanah. Tak lama, makhluk itu mendekat dan dengan kejam menginjak dadanya.Mata Sahya terpaku pada makhluk yang berdiri di atasnya, mata merah menyala dalam gelap seperti dua bara api kecil. Dalam pandangannya, ia melihat gigi dan cakar tajam, serta
Saat matahari mulai terbit dan menyebarkan kehangatannya, Pato kembali ke Gua Tawon, ditemani oleh beberapa pria. Senyum akrab yang menghiasi wajah Pato tampak familier, tetapi ketika anak-anak melihat pria-pria yang menyusul di belakangnya, mereka mulai menyadari adanya niat buruk dari Pato.“Persetan!” gerutu anak-anak dalam hati mereka.Setiap tahun, di awal musim hujan dan sebelum dimulainya Festival Langit, mereka akan dipaksa mandi di sungai. Secara tradisional, ini berarti mereka harus mandi sebelum mengikuti ritual kebangkitan kekuatan roh. Namun, kenyataannya, mereka yang enggan mandi akan diseret ke sungai dan dimandikan secara paksa.Melihat para pria yang dibawa oleh Pato, anak-anak pun gemetar ketakutan.Sahya berjalan menuju sungai, memperhatikan bayangannya di permukaan air. Meskipun riak membuat bayangan itu kabur, ia tetap bisa melihat bahwa penampilannya sangat berantakan. "Sepertinya seseorang memang perlu disikat!"Para pejuang yang kuat dan gagah berani mungkin bi
Seperti pepatah mengatakan, jangan pernah meremehkan kekuatan orang bodoh dalam kelompok besar. Peristiwa yang melibatkan anak-anak gua terhadap Kibu dan kedua anak buahnya membuktikan kebenaran pepatah ini. Jika bukan karena kehadiran orang tua mereka dan Pato yang menyelamatkan Kibu dan kedua anteknya, nasib ketiga anak itu mungkin berbeda.Kejadian tersebut juga membantu masyarakat suku untuk menyegarkan kembali pemahaman mereka tentang anak-anak di dalam gua. Ternyata, anak-anak ini mampu bersatu menghadapi musuh bersama. Beberapa orang yang berniat jahat pun terpaksa menyembunyikan maksud mereka setelah melihat situasi tersebut.Setelah mengatasi gangguan Kibu, Sahya mengumpulkan anak-anak ganas itu kembali ke gua. Tak lama kemudian, hanya dengan beberapa tarikan nafas, beruang besar dimakan bersih. Satu-satunya bagian yang tersisa hanyalah tulang-tulangnya yang kokoh.Pada saat yang sama, Pato kembali ke Gua Tawon. “Bukankah dia sudah mengantarkan ma
Saat senja tiba dan matahari mulai meredup di langit, Pato, seorang pria paruh baya, dengan tekun menjalankan tugasnya mengantar makanan ke gua Tawon setiap hari. Pato mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar Ogi, terutama setelah kehilangan salah satu lengannya akibat kecelakaan tragis saat misi perburuan. Peristiwa tersebut juga mengakhiri karirnya sebagai pemburu.Meski diberi tugas yang tampak sepele, Pato merasa puas karena sukunya tetap memberinya tempat tinggal dan makanan. Begitu mangkuk batu diletakkan, anak-anak di gua langsung berhamburan seolah-olah mereka tidak makan selama berhari-hari. Walaupun mereka masih anak-anak, pemandangan itu seperti medan pertempuran untuk mendapatkan makanan.Menyaksikan kekacauan ini, Sahya hanya bisa menghela nafas. Dia sadar bahwa situasi ini tidak akan berubah dalam waktu dekat.Sejak lama, pemimpin suku Tawon terlalu sibuk dengan perselisihan internal di antara anggota sukunya. Akibatnya, mereka mengabaikan kondisi d
Kibu terbaring lemas di tanah, mengalami rasa sakit dan amarah yang memuncak. Dengan gerakan gemetar, tangannya perlahan mengusap lembut kepalanya yang terasa berdenyut-denyut akibat cedera.Wajahnya yang bengkak dipenuhi dengan ekspresi kemarahan yang sulit untuk disembunyikan. Lubang hidungnya yang masih mengucurkan sedikit darah menambahkan sentuhan kejut kepada keseluruhan pemandangan tragis yang mengelilinginya.Dalam benaknya, Kibu bersumpah untuk tidak pernah melupakan penghinaan ini sepanjang hidupnya. Rasa dendam yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat, menyalakan bara kemarahan yang membara di dalam dadanya.Matanya memperhatikan dengan tajam ke arah Sahya yang sedang sibuk memilih batu-batu di kejauhan, tampaknya tidak menyadari kesengsaraan yang dialami oleh Kibu.Kibu yakin bahwa Sahya pasti telah mengumpulkan beberapa batu yang berharga meski jarak di antara mereka terlalu jauh untuk bisa terlihat secara langsung. Beberapa batu bagus bisa dit
Ketika Sahya tenggelam dalam pikirannya tentang apakah dia harus menghancurkan kepala mereka dengan batu atau dengan tangan kosong, ketiga anak itu sudah berbaris di dekat tempat persembunyiannya, mereka masih tidak menyadari penyergapan.Butuh waktu yang cukup lama untuk ketiga anak itu sampai di dekat tempat persembunyian Sahya berada. Selama waktu ini, Ia terus mengamati mereka dengan seksama.Tampaknya perhatian anak-anak itu tertuju pada hal lain, salah satunya menghindari tertimpa batu yang berjatuhan. Mereka bergerak dengan hati-hati, sesekali menjerit kaget ketika batu-batu kecil bergulir di dekat kaki mereka. Ketiga anak itu tidak tahu jalan mana yang aman untuk didaki, jadi mereka hanya bisa mencoba mengambil jalan memutar.“Apakah ini arah yang benar, Tomo?” Kibu berjalan di depan kelompok mereka, dia baru saja menghindari batu yang jatuh dari tebing di atasnya.Sorot matanya yang tajam tertuju ke arah orang yang berada di belakangn
Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh
“Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso
Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-