Di dalam hutan purba yang megah dan lebat, pepohonan besar yang menjulang tinggi menjadi penjaga alami dalam keheningan alam. Matahari berusaha menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kerlap-kerlip cahaya di atas lantai hutan yang penuh dengan semak belukar yang rimbun.
Karena hewan-hewan di sekitar suku telah diburu habis, Sahya terpaksa masuk lebih dalam ke hutan untuk berburu. Namun, semakin jauh ia dari suku, semakin besar pula risikonya.
Di tengah hutan yang lebat, Sahya bergerak dengan hati-hati di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Cahaya matahari yang mencoba menembus kanopi hanya menghasilkan sinar tipis yang menciptakan pola bayangan aneh di tanah.
Suara burung-burung dan serangga yang bersahutan memberikan latar belakang ritmis pada suasana yang sepi.
Saat melangkah lebih dalam, Sahya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin, dan desiran angin membawa aroma tanah basah yang segar.
Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar suara gemuruh yang aneh.
"Apa itu?" pikir Sahya, menyipitkan mata dan mencoba menajamkan pendengarannya. Suara itu semakin lama semakin jelas, seperti sesuatu yang besar sedang mendekat. Dengan cepat, ia berjongkok di balik semak-semak, menyembunyikan dirinya sambil menggenggam tombak erat-erat.
Dari balik pepohonan, muncul seekor babi hutan raksasa. "Astaga, besar sekali!" Sahya berbicara dalam hati.
Ukurannya tiga kali lebih besar dari babi hutan biasa, dengan taring yang panjang dan tajam. Babi itu mengendus-endus tanah, mencari makan, tanpa menyadari keberadaan Sahya.
"Jangan panik, Manusia Penakut. Fokus," ia menenangkan dirinya sendiri, menahan napas, matanya tak lepas dari makhluk itu.
Perlahan, ia memindahkan tangannya ke kantong kecil di pinggangnya, meraih beberapa biji buah yang bisa digunakan untuk mengalihkan perhatian babi hutan.
"Semoga ini berhasil," bisiknya, lalu dengan hati-hati, ia melemparkan biji-biji itu ke arah yang berlawanan.
"Bagus, teruslah di sana," Sahya berbicara dalam hati, mulai bergerak perlahan, berusaha menjauh dari babi hutan tanpa menarik perhatiannya.
Sahya berdiri sejenak, ragu, sebelum perlahan-lahan melangkah mundur. Namun, tanpa sengaja, kakinya menginjak sebuah dahan pohon.
"Sialan!" gumamnya dengan nada getir, mendengar suara patahan dahan yang memecah keheningan hutan. Dalam sekejap, tubuhnya menegang, dan ia menggenggam tombak buatannya dengan erat.
Babi hutan raksasa itu menyerbu dengan kecepatan luar biasa.
Sahya melompat ke samping, menghindari serudukan pertama, namun babi itu segera berbalik dan melancarkan serangan kedua.
"Tahan, tahan!" Sahya menggunakan tombaknya untuk menghalau serangan itu, namun kekuatan babi hutan membuatnya terdorong mundur beberapa langkah.
Darah mengalir deras dari luka di lengan Sahya akibat gesekan dengan taring babi hutan. "Ugh! Sialan"
Dengan cepat, ia memutar tubuhnya, menyelinap di antara pepohonan untuk mengurangi ruang gerak babi hutan dan mencari celah untuk kabur.
Ketika babi hutan itu kembali menyerbu, Sahya memanfaatkan kekuatannya untuk melompat ke atas akar pohon yang menonjol, memberi dirinya posisi yang lebih tinggi sejenak.
"Ini kesempatanmu, lari!" pikir Sahya. Ia melompat dari akar pohon dan mulai berlari secepat mungkin, menghindari rintangan-rintangan di tanah yang tidak rata. Babi hutan itu mengerang marah dan mengejarnya dengan liar.
…
Beberapa saat kemudian, Sahya bersandar di sebatang pohon. Jantungnya berdetak kencang seolah-olah dia baru saja lari maraton.
Suara geraman dari babi hutan memenuhi pikirannya. Hanya masalah waktu sebelum dia merasakan ketajaman gigi kelinci itu mencabik daging dan tulangnya.
Sahya menggerakkan kakinya melewati semak belukar dan akar pohon yang menjuntai dengan tenaga terakhir yang tersisa. Langkah-langkahnya cepat, meskipun dirinya kelelahan.
Tepat saat matanya mulai kabur, Sahya melihat tebing berbatu di kejauhan. Sebuah ide tiba-tiba muncul di benaknya menatap puncak tebing tersebut. Tanpa ragu, dia memaksakan diri untuk terus berlari secepat yang dia bisa menuju tebing itu, walaupun rasa sakit menusuk di bahunya semakin terasa.
Sahya mulai menaiki tebing itu dengan sekuat tenaga. Tangan yang gemetar dan kaki yang lelah tetap berusaha mencengkeram bebatuan tebing untuk mendaki. Saat dia mencapai ujung dari tebing tersebut, dia menoleh dan melihat ke bawah, babi hutan itu sudah menatapnya dari kaki tebing dengan mata tajam.
Tepat saat babi hutan itu hendak menyerangnya lagi, sebuah kesempatan muncul. Dengan satu gerakan cepat, Sahya mengayunkan tangannya sekuat tenaga dan menusukkan belati itu ke bagian lehernya.
Darah memercik di wajahnya saat kelinci itu menggeliat kesakitan, perlahan darah itu menetes ke tanah.
Namun, tidak berhenti di situ, belati Sahya menusuk kepala kelinci itu beberapa kali.
Babi hutan itu itu meronta-ronta kesakitan dengan pisau batu yang tertancap di kepalanya. Dan tanpa menunda, anak itu menghentakkan kakinya kearah kepalanya, dan benar saja belati itu semakin masuk ke dalam.
Akhirnya setelah beberapa detik setelahnya, babi hutan itu akhirnya mati.
Sahya berlutut di depan binatang buruannya, terengah-engah, berlumuran keringat dan darah dari lengannya yang terluka. Pikiran-pikiran bergejolak dalam benaknya,
"Tadi itu hampir saja," gumamnya dalam hati, merasa lega karena usahanya dalam berburu akhirnya membuahkan hasil. Sayangnya, ketika ia melihat kembali hasil buruannya, wajahnya berubah datar.
"Jadi, bagaimana caranya membawa pulang daging ini? Huh…" Sahya menarik napas panjang, merasa sedikit lega.
Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, dari balik semak-semak, muncul seekor makhluk yang sangat besar dengan taring yang panjang dan tajam.
"Apa itu?" Sahya bergumam dengan cemas. Di hadapannya berdiri empat Smilodon, kucing bertaring tajam yang dianggap punah.
Binatang itu mungkin mencium bau darah dari babi buruannya
Saat mereka semakin dekat, Sahya memegang belatinya dengan kedua tangan dengan panik. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya gemetar, dia tahu bahwa melarikan diri bukanlah pilihan karena mereka dapat berlari lebih cepat dan mengejarnya dengan mudah.
Seekor smilodon berjalan mendekatinya dengan perlahan seolah-olah mereka sedang bermain, mereka mengepungnya dan menutup celah baginya untuk melarikan diri.
Pada saat Sahya pikir ia tidak akan pernah kembali hidup-hidup, tiba-tiba sesuatu terbang dari atas pohon dan mengenai salah satu smilodon yang mengepungnya. Itu adalah sebuah tombak batu.
Hewan yang terluka itu meraung sejenak kemudian jatuh ke tanah, hantaman tombak itu menyebabkan organ vitalnya rusak dan ia mati seketika. Melihat rekannya mati, smilodon yang tersisa langsung kabur.
Seorang penjaga muda memegang tombak itu dengan wajah bosan tiba-tiba muncul dari belakangnya. Dia adalah salah seorang penjaga yang belasan kali menyeret Sahya kembali. Yah, itu bagus, itu membuat mereka berdua saling mengenal.
“Nawa?”.
"Apakah kau masih ingin berlari menyelinap keluar, Teman Kecil?," Nawa mencibir. Sebelum Sahya sempat berbicara, pria itu telah mengangkat menempat anak itu ke bahu dan menyeret babi hutab raksasa seolah-olah ia tidak memiliki beban apa pun.
"Eh, Astaga! Lepaskan aku! Turunkan aku!" teriak Sahya, memukul-mukulkan tangan mungilnya ke punggung penjaga itu. Nawa tidak peduli, ia terus saja berjalan menuju area suku.
"Ngomong-ngomong, lemparan tombakmu masih sangat menyedihkan" Tiba-tiba Nawa berkata sambil terkekeh.
"Tunggu, kau lihat itu!? Kenapa kau tidak menyelamatkanku saat kau melihatnya!" tanya Sahya. Penjaga itu tidak menjawab kali ini dan terus berjalan hingga daerah desa itu tidak jauh lagi.
Namun, tak lama, tiba-tiba suasana berubah. Hutan yang tadinya riuh dengan suara berangsur-angsur menjadi sunyi dan suasana yang mencekam kembali terbentuk.
“Aku terkutuk!” Sahya bergumam.
Beberapa saat kemudian, sekawanan burung gagak besar mulai berkokok dan berkumpul di atas kepala mereka.
Penjaga itu membeku dan matanya terbelalak merasakan sesuatu yang akan datang. Tiba-tiba garis-garis pola tato muncul di tubuhnya, termasuk wajahnya, bersinar, memancarkan cahaya yang menyilaukan.
"Tu... Tunggu sebentar-" Sebelum Sahya sempat menyelesaikan kalimatnya, penjaga itu meletakkannya dengan lembut di tanah dan berbisik, "Sembunyilah."
***
Hening yang terasa begitu mencekam. Meskipun sinar matahari terang di langit, waktu seperti telah membeku, dan sunyi yang teramat dalam seolah menyatakan bahwa seluruh jagat ini telah mati, tak bergerak.Sahya dengan cepat melakukan apa yang disuruh dan bersembunyi di balik pohon di sebelahnya, dia menunduk untuk mengintip keluar dan menunggu dengan hati berdebar saat dia menyaksikan kejadian yang akan terjadi.Tiba-tiba, sinar putih kilat memotong dari arah kanan mereka. Sebuah entitas muncul berjalan secara perlahan. Sosok itu berbentuk manusia namun kulitnya putih bersih tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dengan rambut hitam mengalir, tangan dan kaki berujung kuku tajam. Wajahnya menyerupai topeng dan matanya menyala merah bak bara api itu memberikan tatapan menakutkan.Makhluk itu menyerupai seorang wanita, namun gerakannya seperti bayangan yang memudar ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan jejak kehadiran yang dingin dan sunyi.Mata Nawa menyipit tajam, kedua tangannya
"Eh, aku sudah sembuh?" Sahya yang beristirahat, menatap tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda luka, hanya bekas luka dan luka kecil yang masih terlihat. Setiap orang di suku ini memiliki kemampuan penyembuhan yang kuat. Seseorang dapat berdiri sendiri lagi setelah istirahat beberapa hari meskipun sebelumnya Ia terluka parah. Dan setelah satu atau dua bulan, tubuhnya akan menjadi seperti baru. Mungkin Itu pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat sukunya tidak peduli dengan perkelahian. Sahya membalikkan tubuhnya sedikit dan mengangkat tinjunya, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya. Matanya kemudian melihat sekeliling, Sahya mendesah pelan. Dia tidak lagi berniat untuk mengendap-endap keluar suku. Di satu sisi karena dunia luar masih terasa menakutkan, di sisi lain karena dia sudah mengumpulkan banyak daging, meskipun, mungkin akan tiba saat baginya untuk pergi berburu lagi. Di saat-saat seperti ini Sahya menghabiskan waktunya dengan menjelajahi gua Tawon. Sebenarn
Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-
“Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso
Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh
Cianjur, 1974Aura pegunungan yang hijau dan penuh kehidupan mulai membawa kesegaran bagaikan bagi orang yang telah lama terperangkap dalam rutinitas kota yang monoton.Saat ini, sebuah bus yang berisi rombongan mahasiswa dan arkeolog sedang menuju desa kecil pegunungan yang letaknya relatif terpencil. Situs Gunung Padang, Dikabarkan bahwa benda-benda dari Zaman Batu ditemukan di sana.Salah satu dari rombangan mereka adalah Sahya, si Mahasiswa Teknik ‘Donatur Kampus’. Ia biasanya hanya mengenal kebisingan dan lampu-lampu kota, namun kali ini pemuda itu bisa merasakan kedamaian yang luar biasa.Pemandangan pegunungan yang hijau serta sesekali suara burung dan gesekan daun-daun yang bergoyang menjadi musik alam yang menenangkan.Namun, tidak hanya keindahan alam yang membuat hari itu terasa spesial, cerita-cerita yang dibagikan oleh Upik, seorang teman arkeologinya, juga turut menambah warna dalam perjalan. Dan tentu saja, Ia juga biang keladi Sahya berada di dalam rombongan ini.Sahya
Di dalam sebuah gua yang terletak di kaki bukit, terdapat puluhan anak tergeletak tak beraturan dimana-mana. Lapisan kulit hewan tipis dan compang-camping menutupi badan mereka.Langit-langitnya terdapat lubang-lubang ventilasi udara yang cukup besar. Melalui lubang itu juga sinar matahari masuk. Mungkin karena sudah lama tidak dibersihkan, bau busuk menjadi menyengat di sekitar gua.Di bawah ventilasi udara yang penuh debu, ada seorang anak kecil duduk dengan celana kulit yang compang-camping menyelimuti sebagian kakinya yang kurus. Satu tangannya sibuk memainkan giginya yang goyah, sementara matanya yang sayu kelam menelusuri sisi gua di hadapannya. Tubuhnya terlihat lebih ringkih dibandingkan dengan anak-anak lain di gua itu.Perutnya bergemuruh, seolah menjerit meminta makanan, namun karena tidak punya makanan, ia hanya melamun dengan tenang sambil memikirkan cara berburu binatang di sekitar suku untuk mengisi perutnya.Anak itu memejamkan mata kembali rapat-rapat, berharap rasa s