Share

Bab 6 : Etika

Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.

Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.

Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.

Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-gambaran yang tak terduga tentang kehidupan di suku ini, membawanya ke dalam dunia yang sebelumnya tidak pernah dia bayangkan.

Mungkin itu ingatan dari pemilik tubuh asli ini?

Setiap malam, mimpi-mimpi itu terasa semakin nyata, seolah-olah menghubungkannya dengan masa lalu yang penuh teka-teki.

Dengan bantuan mimpi aneh dan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik kehidupan sehari-hari suku tersebut, Sahya mulai meresapi dan memahami bahasa yang digunakan oleh penduduk lokal dengan lebih baik.

Awalnya, setiap kata dan frasa terasa asing, namun lambat laun, ia mulai menangkap irama dan makna di balik percakapan sehari-hari mereka.

Pemahaman yang semakin dalam ini membuka pintu bagi pengetahuan dan wawasan yang lebih luas tentang tradisi, budaya, dan kehidupan misterius di suku ini, termasuk misteri di balik batu atau wanita misterius yang membawanya ke dalam kehidupan ini.

Tak lama kemudian, dia melihat sebuah rumah dengan bentuk aneh. Beberapa komponennya terbuat dari kayu yang dipadukan dengan batu, rumput, dan tanah. Dibandingkan dengan rumah yang ia lewati sebelumnya, yang ini ukurannya sedikit lebih besar dan terlihat juga sedikit lebih kokoh.

Batu-batu besar yang digunakan sebagai fondasi memberikan kesan kekuatan dan ketahanan, sementara atap yang terbuat dari daun palem memberikan perlindungan dari hujan deras yang sering turun di hutan ini.

Selain itu, di salah satu sisinya terdapat bulu binatang yang digantung di dinding tempat tinggal mereka, memberikan kesan pedesaan dan kesukuan. Bulu-bulu itu berayun pelan diterpa angin, seolah-olah menceritakan kisah-kisah lama tentang perburuan dan petualangan nenek moyang mereka.

Sahya berhenti sejenak, mengamati setiap detail dengan rasa penasaran.

Tetap saja, tidak peduli apakah itu rumah biasa atau ‘rumah besar’ itu, di mata Sahya, mereka adalah bangunan yang sangat sederhana. Namun, setelah lama tinggal di gua, Sahya mulai mendambakan rumah besar dan aneh itu. Tingkah laku anak-anak yang tinggal dan aroma gua membuatnya frustasi.

Di sisi lain, sudah beberapa orang di suku sudah mulai bersiap-siap untuk pergi. Para lelaki telah mengeluarkan batu untuk mengasah peralatan mereka yang juga terbuat dari batu. mempersiapkan diri untuk berburu atau melakukan ekspedisi ke wilayah baru.

Sahya mengamati bagaimana para lelaki ini menggunakan teknik-teknik primitif namun efektif untuk mempersiapkan peralatan mereka, menunjukkan bahwa meskipun teknologi mereka sederhana, mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang cara memanfaatkan sumber daya alam.

Sementara itu, para perempuan sibuk dengan pekerjaan masing-masing seperti mengeringkan berbagai jenis makanan, termasuk daging dari hasil buruan, buah-buahan, dan tanaman liar yang mereka kumpulkan. Proses ini sangat penting untuk menyimpan makanan dalam jangka waktu yang lama, terutama untuk menghadapi saat-saat sulit.

"Menarik sekali!" Sahya bergumam pada dirinya sendiri. Dia selalu terpesona dengan rutinitas suku ini.

"Apakah aku benar-benar bagian dari dunia ini?" Sahya bertanya pada dirinya sendiri. "Atau hanya seorang pengamat yang kebetulan terperangkap di dalamnya?" Ia merasakan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, membawa aroma tanah dan dedaunan yang begitu akrab.

Sahya sadar bahwa meskipun ia merindukan kehidupan lamanya, ia tak tahu bagaimana untuk bisa pulang . Mungkin, di balik keberadaannya ada maksud tertentu.

Sambil mengamati anak-anak suku bermain di kejauhan, Sahya tersenyum. Mereka tampak bebas dan bahagia, tidak terbebani oleh pertanyaan-pertanyaan besar tentang eksistensi. Sahya berharap suatu hari ia bisa merasakan kebebasan yang sama.

Tiba-tiba bola matanya bergerak-gerak. Dihadapannya, Seseorang sedang memegang tongkat batu yang panjangnya dua meter berbentuk seperti tongkat bola kasti dan tentu saja jauh lebih tebal.

Itu mungkin sangat berat dan melelahkan menurut standar kehidupan Sahya di masa lalu. Anehnya, orang itu sepertinya memegangnya semudah memegang cangkul biasa. Tampaknya itu adalah hal yang normal di tempat ini.

Sambil menguap, pria itu dengan lesu berjalan ke atas gunung, mungkin menuju ke arah tempat berkumpulnya kelompok pemburu suku untuk mendiskusikan masalah tertentu.

Adapun Sahya, dia termasuk dalam kelompok lemah yang Kekuatan Rohnya belum terbangun.

Menurut informasi yang dia ketahui berdasarkan pengamatannya, kekuatan rohnya akan terbangun ketika dia mencapai usia sekitar 13 tahun dan baru kemudian dia akan dihitung sebagai pejuang suku yang memiliki kemampuan berburu.

Berbicara soal ‘kekuatan roh’, Itu adalah satu-satunya tingkat ukuran yang menentukan apakah seseorang mampu menjadi pejuang pemburu atau tidak dalam suku tersebut.

Mengenai apa itu sebenarnya?, Sahya tidak tahu. Mungkin dia akan mengerti ketika saatnya tiba.

Pria yang membawa tongkat batu dengan penampilan lesu di hadapannya tidak melihat celana yang dia kenakan hampir merosot hingga ke lututnya. Dia terus berjalan seolah-olah tidak ada yang salah. Tidak ada reaksi dari orang-orang sekitar saat melihatnya juga.

Sahya menahan diri untuk tidak memberitahunya, Namun, setelah beberapa detik konflik dalam dirinya, akhirnya ia berkata, “Paman yang membawa pentungan di depan, celanamu akan jatuh!” Ia bahkan berteriak tiga kali.

Baru setelah teriakan ketiga, barulah orang di depannya berbalik. Dia melirik ke arah Sahya, lalu melihat ke bawah ke celananya. Setelah itu, dia dengan tenang menariknya ke atas, mengencangkan ikat pinggangnya, dan terus berjalan menuju gunung dengan tongkat di bahunya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Sahya ternganga.

Dalam perspektif masyarakat suku ini. Kesopanan? Malu? Apa itu? Bisakah kamu memakannya? Jika tidak bisa, apa gunanya membicarakannya?

“Yah… Aku lupa jika etika juga belum ditemukan di tempat ini” Sahya bergumam pada dirinya sendiri.

Saat Sahya masih terkejut, tiba-tiba seekor anak monyet melompat dari pohon dan mencuri ikat pinggang pria itu. Celananya pun jatuh lagi. Pria itu berbalik, melihat anak monyet yang berlari sambil memegang ikat pinggang, lalu memutuskan untuk mengejarnya. Sambil tertawa kecil, Sahya berpikir, "Mungkin ini cara alam mengajarkan etika?"

Dan siapa sangka, pelajaran etika di dunia ini ternyata diawali dengan celana yang melorot dan seekor monyet yang nakal!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status