"Eh, aku sudah sembuh?" Sahya yang beristirahat, menatap tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda luka, hanya bekas luka dan luka kecil yang masih terlihat.
Setiap orang di suku ini memiliki kemampuan penyembuhan yang kuat. Seseorang dapat berdiri sendiri lagi setelah istirahat beberapa hari meskipun sebelumnya Ia terluka parah. Dan setelah satu atau dua bulan, tubuhnya akan menjadi seperti baru. Mungkin Itu pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat sukunya tidak peduli dengan perkelahian. Sahya membalikkan tubuhnya sedikit dan mengangkat tinjunya, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya. Matanya kemudian melihat sekeliling, Sahya mendesah pelan. Dia tidak lagi berniat untuk mengendap-endap keluar suku. Di satu sisi karena dunia luar masih terasa menakutkan, di sisi lain karena dia sudah mengumpulkan banyak daging, meskipun, mungkin akan tiba saat baginya untuk pergi berburu lagi. Di saat-saat seperti ini Sahya menghabiskan waktunya dengan menjelajahi gua Tawon. Sebenarnya, gua Tawon merupakan gua yang sangat besar dan banyak ruangan batu di dalamnya. Saat suku ini berdiri, gua ini digunakan sebagai tempat orang-orang suku pertama kali singgah. Lambat laun jumlah mereka bertambah banyak dan mulai membangun rumah di luar gua. Tak lama kemudian, Gua ini menjadi jarang dikunjungi oleh penduduk suku. Kemarin, ketika dia sedang merapikan salah satu ruang di gua tersebut, dia menemukan lukisan aneh di dinding ruangan tersebut. Lukisan itu sudah tua dan itu tampak seperti simbol atau lambang suku yang tertutup oleh berbagai peralatan dari batu. Dengan perlahan, Sahya mulai menyapu debu dan lumut yang menutupi lukisan itu, kemudian dengan hati-hati memindahkan peralatan batu yang berada di depannya. Sahya berdiri dan menarik napas dalam-dalam setelah seluruh lukisan dinding akhirnya dibersihkan. Dia menggerakkan lengan dan kakinya untuk meredakan rasa sakit dan nyeri sebelum dia mundur beberapa langkah untuk melihat lukisan di dinding batu dengan cahaya dari obor yang dibawanya. Beberapa bagiannya tidak cukup jelas sehingga Sahya harus mendekatkan obor ke dinding batu. Selain dua lukisan yang pertama kali dilihat Sahya, ada beberapa lukisan menakjubkan lainnya yang tersembunyi di balik lapisan debu. Lukisan itu menggambarkan kisah panjang dan penuh warna tentang suku mereka, dari awal berdirinya hingga masa jatuhnya. Di bagian awal lukisan, terlihat nenek moyang mereka yang hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk aneh. Makhluk-makhluk itu memiliki bentuk yang berbeda-beda, beberapa di antaranya sangat mirip dengan makhluk yang baru saja ditemui Sahya di hutan. Namun, yang paling menarik perhatian Sahya adalah sosok besar di tengah lukisan itu. Sosok tersebut memiliki tato yang mirip dengan yang ada di tubuh Nawa. Sosok besar itu digambarkan sebagai pelindung kuno, yang memiliki ikatan erat dengan suku mereka. Makhluk ini bukanlah ancaman, melainkan penjaga yang telah lama melindungi suku mereka dari berbagai bahaya. Namun, lukisan itu juga menampilkan sisi gelap dari sejarah suku mereka. Di bagian akhir lukisan, terlihat makhluk-makhluk menyeramkan yang menghancurkan dan membunuh anggota suku. Makhluk-makhluk itu datang dengan kebencian dan kekuatan destruktif, mengakibatkan kehancuran dan jatuhnya suku mereka. Sahya merasakan ketegangan dan ketakutan yang mendalam saat melihat adegan-adegan mengerikan tersebut. Disisi lain dinding, Sahya melihat sebuah lukisan yang berkaitan dengan pertanian dan pertenakan, hal itu sangat kontras dengan kehidupan sukunya saat ini. “Hoh! Lihat orang-orang yang bekerja di ladang itu, beberapa dari mereka bahkan telah memelihara domba” Ada seseorang berjubah mewah memegang cangkir anggur indah dengan pola mewah yang rumit, ada beberapa wanita yang memetik buah-buahan sambil memegang keranjang di pelukannya. Bahkan ada yang sedang menunggang kuda, di salah satu lukisan ada seorang pria yang sedang menunggang kuda bersama seorang anak. Di sebelahnya terdapat lukisan yang menggambarkan misi berburu atau perang, yang ukurannya relatif lebih besar dari yang lain, dan menempati hampir separuh tembok. Di depannya ada seekor kuda yang tinggi, di punggungnya duduk seorang prajurit tegap yang jelas lebih kuat dari yang lain, dengan hiasan bulu di kepalanya. Kepalanya terangkat tinggi untuk menunjukkan penampilannya yang mengesankan. Mungkin dia adalah pemimpin kelompok itu. Di sekitar dan di belakang prajurit kokoh itu, ada beberapa pria yang menunggang kuda bersamanya. “Di samping mereka, ada anjing?” pikir Sahya bingung “mereka juga mengerti pemeliharaan anjing?” Beberapa di antaranya bahkan memiliki ekor yang melengkung. Mereka mungkin anjing pemburu. Beberapa anjing menampakkan lidahnya dengan mulut terbuka, seolah terengah-engah. Dua orang lainnya mencondongkan kepala ke arah orang-orang yang menunggang kuda itu, seolah-olah mendengarkan kata-kata seseorang. Di latar belakang lukisan itu, ada beberapa bangunan, yang jauh lebih besar dan tinggi daripada yang pernah dilihat Sahya di suku ini. Dia mendengar bahwa orang-orang di atas bukit memiliki kondisi kehidupan yang lebih baik. Sahya membayangkan dalam benaknya berdasarkan informasi yang dia dengar, dan dia memperkirakan bahwa bahkan rumah-rumah yang berada di wilayah sekitar puncak bukit tidak dapat dibandingkan dengan rumah-rumah besar di lukisan dinding. Lukisan dinding di sebelah kiri memiliki perbedaan yang jelas dengan lukisan dinding di bagian kanan dinding batu. Di tengah yang membedakan kiri dan kanan, hanya terdapat garis dan bentuk abstrak. Sangat abstrak sehingga Sahya tidak dapat memahaminya. Tampaknya berantakan pada pandangan pertama, dan Sahya juga tidak dapat menebak maknanya dari lukisan lain. Namun, yang jelas setelah garis dan bentuk ini, gaya lukisan dindingnya telah banyak berubah. Banyak lukisan yang menggambarkan sesuatu yang suram dan sunyi. Para wanita berlutut di tanah sambil menangis. Anak-anak berdiri tegak, dengan pandangan kosong dan bingung, seolah-olah mereka tidak tahu apa-apa. Latar belakangnya tidak dipenuhi dengan rumah-rumah besar itu, tetapi gua tempat Sahya tinggal. Tidak ada lagi pertanian selain pertanian dan peternakan. Tidak ada lagi lukisan tentang tiga atau lima perempuan yang membawa keranjang untuk mengumpulkan makanan. Tidak ada lagi berkuda dan menembak, tidak ada lagi anjing pemburu, dan tidak ada lagi tembikar, yang bentuknya jauh lebih halus daripada kerajinan batu. “Jadi, apakah itu menunjukkan kehidupan suku sebelumnya?” Sahya mengenang Upik, sang teman arkeolog dari kehidupan sebelumnya, ia mengatakan bahwa pada dasarnya, lukisan dinding menggambarkan kehidupan sehari-hari manusia pada zaman itu, atau fantasi dan harapan mereka, yang juga merupakan semacam rezeki spiritual umat manusia pada saat itu. Lukisan-lukisan yang terukir di dinding batu ruangan itu sama sekali bukan pemandangan khayalan. Emosi yang terisi dalam lukisan itu begitu kuat. Hanya pengalaman nyata dan hal-hal nyata yang dapat membangkitkan emosi orang yang lebih dalam, lebih kaya, dan lebih intens. Apa yang terjadi di suku itu? Bencana alam? Bencana yang disebabkan oleh entitas tertentu? “Atau keduanya?” Satu persatu pertanyaan datang silih berganti. Di ujung lukisan di dinding batu, terdapat banyak sekali lukisan seukuran telapak tangan dengan berbagai gaya. Ambil contoh yang di kiri atas; ada laba-laba yang bertengger di jaringnya. Atau yang di ujung kanan, ada tumbuhan seperti bambu atau semacamnya. Dalam salah satu lukisan bahkan ada sesuatu yang berupa topeng, sangat menyeramkan untuk dilihat. Dalam lukisan-lukisan itu terdapat tumbuhan, hewan, dan banyak hal yang melampaui imajinasi terliar Sahya. Saat Sahya memusatkan perhatiannya pada lukisan dinding itu, dia mendengar seseorang datang dan semua anak-anak gua lain menjadi riuh. “Huh! Sepertinya sekarang adalah waktu makan” pikir Sahya. ***Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-
“Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso
Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh
Cianjur, 1974Aura pegunungan yang hijau dan penuh kehidupan mulai membawa kesegaran bagaikan bagi orang yang telah lama terperangkap dalam rutinitas kota yang monoton.Saat ini, sebuah bus yang berisi rombongan mahasiswa dan arkeolog sedang menuju desa kecil pegunungan yang letaknya relatif terpencil. Situs Gunung Padang, Dikabarkan bahwa benda-benda dari Zaman Batu ditemukan di sana.Salah satu dari rombangan mereka adalah Sahya, si Mahasiswa Teknik ‘Donatur Kampus’. Ia biasanya hanya mengenal kebisingan dan lampu-lampu kota, namun kali ini pemuda itu bisa merasakan kedamaian yang luar biasa.Pemandangan pegunungan yang hijau serta sesekali suara burung dan gesekan daun-daun yang bergoyang menjadi musik alam yang menenangkan.Namun, tidak hanya keindahan alam yang membuat hari itu terasa spesial, cerita-cerita yang dibagikan oleh Upik, seorang teman arkeologinya, juga turut menambah warna dalam perjalan. Dan tentu saja, Ia juga biang keladi Sahya berada di dalam rombongan ini.Sahya
Di dalam sebuah gua yang terletak di kaki bukit, terdapat puluhan anak tergeletak tak beraturan dimana-mana. Lapisan kulit hewan tipis dan compang-camping menutupi badan mereka.Langit-langitnya terdapat lubang-lubang ventilasi udara yang cukup besar. Melalui lubang itu juga sinar matahari masuk. Mungkin karena sudah lama tidak dibersihkan, bau busuk menjadi menyengat di sekitar gua.Di bawah ventilasi udara yang penuh debu, ada seorang anak kecil duduk dengan celana kulit yang compang-camping menyelimuti sebagian kakinya yang kurus. Satu tangannya sibuk memainkan giginya yang goyah, sementara matanya yang sayu kelam menelusuri sisi gua di hadapannya. Tubuhnya terlihat lebih ringkih dibandingkan dengan anak-anak lain di gua itu.Perutnya bergemuruh, seolah menjerit meminta makanan, namun karena tidak punya makanan, ia hanya melamun dengan tenang sambil memikirkan cara berburu binatang di sekitar suku untuk mengisi perutnya.Anak itu memejamkan mata kembali rapat-rapat, berharap rasa s
Di dalam hutan purba yang megah dan lebat, pepohonan besar yang menjulang tinggi menjadi penjaga alami dalam keheningan alam. Matahari berusaha menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kerlap-kerlip cahaya di atas lantai hutan yang penuh dengan semak belukar yang rimbun.Karena hewan-hewan di sekitar suku telah diburu habis, Sahya terpaksa masuk lebih dalam ke hutan untuk berburu. Namun, semakin jauh ia dari suku, semakin besar pula risikonya.Di tengah hutan yang lebat, Sahya bergerak dengan hati-hati di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Cahaya matahari yang mencoba menembus kanopi hanya menghasilkan sinar tipis yang menciptakan pola bayangan aneh di tanah.Suara burung-burung dan serangga yang bersahutan memberikan latar belakang ritmis pada suasana yang sepi.Saat melangkah lebih dalam, Sahya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin, dan desiran angin membawa aroma tanah basah yang segar.Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar
Hening yang terasa begitu mencekam. Meskipun sinar matahari terang di langit, waktu seperti telah membeku, dan sunyi yang teramat dalam seolah menyatakan bahwa seluruh jagat ini telah mati, tak bergerak.Sahya dengan cepat melakukan apa yang disuruh dan bersembunyi di balik pohon di sebelahnya, dia menunduk untuk mengintip keluar dan menunggu dengan hati berdebar saat dia menyaksikan kejadian yang akan terjadi.Tiba-tiba, sinar putih kilat memotong dari arah kanan mereka. Sebuah entitas muncul berjalan secara perlahan. Sosok itu berbentuk manusia namun kulitnya putih bersih tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dengan rambut hitam mengalir, tangan dan kaki berujung kuku tajam. Wajahnya menyerupai topeng dan matanya menyala merah bak bara api itu memberikan tatapan menakutkan.Makhluk itu menyerupai seorang wanita, namun gerakannya seperti bayangan yang memudar ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan jejak kehadiran yang dingin dan sunyi.Mata Nawa menyipit tajam, kedua tangannya