Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.
Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.
Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.
“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.
Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keheningan yang meresap ke dalam setiap sosok yang berada di sekitar arena latihan. Seseorang mungkin hanya merasakan hawa dingin dari perbukitan terdekat, namun bagi Sahya, itu adalah waktu yang paling menegangkan.
Suara batu yang dihantam oleh kekuatan yang luar biasa. Dari atas, terlihat batu-batu yang jauh lebih besar menggelinding ke bawah sisi gunung. Akan sangat beresiko jika Sahya berjalan ke sana jika Ogi tidak memberitahunya tentang rute yang aman.
Sahya terus berjalan dengan santai sambil merapikan rambutnya yang berantakan dan membersihkan serpihan kecil batu yang menempel di kulitnya.
Tempat di mana Ogi berlatih berada di dekat puncak bukit. Karena lokasi tersebut merupakan area latihan bagi para pejuang, tidak terdapat jalur yang rata yang telah dibuat. Hal ini menyebabkan akses yang sulit untuk dilalui. Saat Sahya akhirnya mencapai wilayah yang telah ditunjukkan oleh Ogi sebelumnya, lengan, tangan, dan kakinya terluka dan berdarah.
Lukanya tidak menjadi perhatian Sahya saat ini meskipun terlihat menyakitkan, mungkin ia berpikir bahwa lukanya akan sembuh setelah istirahat beberapa hari. Semuanya akan sia-sia jika dia tidak berhasil menemukan beberapa batu bagus.
Batu-batu dengan berbagai ukuran dan bentuk berserakan di tanah yang tidak rata, sedangkan di seberang tebing terdapat lubang-lubang dengan kedalaman berbeda-beda dengan bekas lekukan di tepi permukaan batu.
Sahya berasumsi bahwa pasti ada batu yang lebih keras yang tertanam di lubang tempat latihan ini. Jika beruntung menemukannya, Ia akan membawanya kembali untuk dijadikan alat berburu lainnya. Batuan keras dan halus tidak tersebar rata di wilayah ini. Sebagian berada di permukaan dan sebagian lagi terkubur jauh di dalam tanah.
Para pejuang tidak diperkenankan secara membabi buta menghancurkan tempat hanya untuk mencari sebuah batu, jadi menemukan batu-batu bagus ini pada akhirnya akan bergantung pada keberuntungan mereka.
Selain lubang, ada tanda bekas tapak tangan dan kaki di tebing. Mungkin di tempat inilah Ogi melatih dirinya. Pejuang mengembangkan teknik tinju mereka sendiri dan kekuatan roh menjadikannya pukulannya lebih kuat. Sahya akan mematahkan jari-jarinya jika dia memaksakan diri untuk memukul bagian tebing yang paling rentan sekalipun.
Batu terkeras dengan bentuk yang sesuai telah mungkin sudah diambil Ogi. Namun, tetap saja, masih ada beberapa batu dengan kualitas rata-rata yang bisa digunakan Sahya.
Tanpa berpikir dua kali, Dia harus bergegas sebelum orang lain datang untuk merampok temuannya.
Sahya mengambil pecahan batu yang panjang. Panjangnya setengah kaki dengan bentuk tidak beraturan dan tidak terlalu besar atau berat. Sahya tahu bahwa kualitas sebuah batu tidak bergantung pada beratnya.
Ada banyak jenis batu yang ada di sini yang belum pernah dilihat Sahya di kehidupan sebelumnya. Faktanya, menggunakan akal sehat dari kehidupan masa lalunya terbukti tidak berguna di kehidupan ini.
Berbeda dengan pejuang berpengalaman yang dapat mengevaluasi dan menilai batu berdasarkan tekstur dan penampilannya, Sahya tidak tahu apa pun tentang cara mengidentifikasi kualitas batu karena dia tidak memiliki banyak pengalaman di bidang ini. Jadi dia menggunakan metode primitif di mana dia akan menemukan batu yang bentuknya cocok untuk dikerjakan dan menggunakan pisau batunya untuk mencoba memotongnya dan melihat apakah pisaunya akan meninggalkan bekas pada batu tersebut atau tidak. Biasanya, semakin dangkal ukirannya, semakin baik kualitas batunya.
Sahya mengangkat pisaunya tinggi-tinggi dan memukul tepi batu dengan tekad yang menggetarkan udara di sekelilingnya. Suara berdentum keras pecahan batu terdengar diantara gemuruh alam yang dihiasi cahaya matahari sore. Matanya berbinar melihat goresan halus yang muncul di permukaan batu tersebut.
Anak itu sangat senang, karena dia mengetahui bahwa benda itu dapat dibuat menjadi anak panah atau ujung tombak. Pengrajin periuk dapat memutuskan akan membuat batu apa, yang perlu dilakukannya hanyalah menemukan batu yang bagus dan menukar batu itu dengan makanan.
Sahya cekatan membenamkan batu temuannya ke dalam tas kulit yang penuh dengan lubang. Namun, niatnya untuk berencana untuk terus mencari bebatuan harus pupus karena dari kejauhan matanya melihat sesuatu yang tidak beres.
Tiga anak sepertinya sedang mendekat ke arah tempatnya berada. Berumur sekitar tiga belas tahun, dada mereka sudah bidang, lebih tinggi beberapa senti dari Sahya. Sesuatu yang paling menjengkelkan dari mereka adalah merampok barang-barang miliknya.
“Ketiga bajingan kecil itu,” gumam Sahya dalam hati.
Mereka bukan berasal dari Gua Tawon, melainkan dari keluarga yang tinggal di kawasan kaki bukit. Mereka sering berkumpul bersama dan mulai merampok Sahya hanya beberapa hari setelah dia terbangun di kehidupan ini.
Pada awalnya, Sahya yang masih terikat dengan nilai-nilai moral modern cenderung bertindak seperti halnya dia di kehidupan sebelumnya. Dalam situasi bertarung sekalipun, dia selalu menahan diri, berusaha tidak melampaui batas, memelihara sifat murah hati dan kebaikan.
Namun, sikap itu justru membawanya pada kerugian yang besar; semua daging kering yang dia kumpulkan dengan susah payah hilang, ditambah lagi dia harus menanggung penganiayaan dari ketiga penyerangnya itu.
Kejadian itu menjadi pelajaran keras bagi dirinya. Dia mulai menyadari bahwa kondisinya saat ini jauh berbeda; ia tidak bisa lagi hidup dengan pegangan nilai lama yang mungkin tidak relevan di lingkungan barunya. Dengan berat hati, dia memutuskan untuk beradaptasi, belajar dari setiap peristiwa yang dialami.
Sahya memikirkan hal ini lalu membuat keputusan; Dia tidak akan lagi menahan diri saat bertarung dengan mereka. Aturan dalam suku mereka adalah tidak boleh membunuh dan tidak boleh melumpuhkan. Jadi tidak ada yang akan ikut campur jika tidak ada yang terbunuh atau cacat. Penduduk di wilayah kaki bukit sudah terbiasa dengan aturan barbar ini.
Adapun ketiga anak itu, Sahya tidak setinggi atau sekuat mereka dan dia tidak mendapat nutrisi yang baik seperti mereka. Jadi, apa yang bisa dia gunakan untuk bertarung?
Tiba-tiba sebuah seringai terbentuk di wajahnya.
***
Cianjur, 1974Aura pegunungan yang hijau dan penuh kehidupan mulai membawa kesegaran bagaikan bagi orang yang telah lama terperangkap dalam rutinitas kota yang monoton.Saat ini, sebuah bus yang berisi rombongan mahasiswa dan arkeolog sedang menuju desa kecil pegunungan yang letaknya relatif terpencil. Situs Gunung Padang, Dikabarkan bahwa benda-benda dari Zaman Batu ditemukan di sana.Salah satu dari rombangan mereka adalah Sahya, si Mahasiswa Teknik ‘Donatur Kampus’. Ia biasanya hanya mengenal kebisingan dan lampu-lampu kota, namun kali ini pemuda itu bisa merasakan kedamaian yang luar biasa.Pemandangan pegunungan yang hijau serta sesekali suara burung dan gesekan daun-daun yang bergoyang menjadi musik alam yang menenangkan.Namun, tidak hanya keindahan alam yang membuat hari itu terasa spesial, cerita-cerita yang dibagikan oleh Upik, seorang teman arkeologinya, juga turut menambah warna dalam perjalan. Dan tentu saja, Ia juga biang keladi Sahya berada di dalam rombongan ini.Sahya
Di dalam sebuah gua yang terletak di kaki bukit, terdapat puluhan anak tergeletak tak beraturan dimana-mana. Lapisan kulit hewan tipis dan compang-camping menutupi badan mereka.Langit-langitnya terdapat lubang-lubang ventilasi udara yang cukup besar. Melalui lubang itu juga sinar matahari masuk. Mungkin karena sudah lama tidak dibersihkan, bau busuk menjadi menyengat di sekitar gua.Di bawah ventilasi udara yang penuh debu, ada seorang anak kecil duduk dengan celana kulit yang compang-camping menyelimuti sebagian kakinya yang kurus. Satu tangannya sibuk memainkan giginya yang goyah, sementara matanya yang sayu kelam menelusuri sisi gua di hadapannya. Tubuhnya terlihat lebih ringkih dibandingkan dengan anak-anak lain di gua itu.Perutnya bergemuruh, seolah menjerit meminta makanan, namun karena tidak punya makanan, ia hanya melamun dengan tenang sambil memikirkan cara berburu binatang di sekitar suku untuk mengisi perutnya.Anak itu memejamkan mata kembali rapat-rapat, berharap rasa s
Di dalam hutan purba yang megah dan lebat, pepohonan besar yang menjulang tinggi menjadi penjaga alami dalam keheningan alam. Matahari berusaha menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kerlap-kerlip cahaya di atas lantai hutan yang penuh dengan semak belukar yang rimbun.Karena hewan-hewan di sekitar suku telah diburu habis, Sahya terpaksa masuk lebih dalam ke hutan untuk berburu. Namun, semakin jauh ia dari suku, semakin besar pula risikonya.Di tengah hutan yang lebat, Sahya bergerak dengan hati-hati di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Cahaya matahari yang mencoba menembus kanopi hanya menghasilkan sinar tipis yang menciptakan pola bayangan aneh di tanah.Suara burung-burung dan serangga yang bersahutan memberikan latar belakang ritmis pada suasana yang sepi.Saat melangkah lebih dalam, Sahya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin, dan desiran angin membawa aroma tanah basah yang segar.Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar
Hening yang terasa begitu mencekam. Meskipun sinar matahari terang di langit, waktu seperti telah membeku, dan sunyi yang teramat dalam seolah menyatakan bahwa seluruh jagat ini telah mati, tak bergerak.Sahya dengan cepat melakukan apa yang disuruh dan bersembunyi di balik pohon di sebelahnya, dia menunduk untuk mengintip keluar dan menunggu dengan hati berdebar saat dia menyaksikan kejadian yang akan terjadi.Tiba-tiba, sinar putih kilat memotong dari arah kanan mereka. Sebuah entitas muncul berjalan secara perlahan. Sosok itu berbentuk manusia namun kulitnya putih bersih tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dengan rambut hitam mengalir, tangan dan kaki berujung kuku tajam. Wajahnya menyerupai topeng dan matanya menyala merah bak bara api itu memberikan tatapan menakutkan.Makhluk itu menyerupai seorang wanita, namun gerakannya seperti bayangan yang memudar ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan jejak kehadiran yang dingin dan sunyi.Mata Nawa menyipit tajam, kedua tangannya
"Eh, aku sudah sembuh?" Sahya yang beristirahat, menatap tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda luka, hanya bekas luka dan luka kecil yang masih terlihat. Setiap orang di suku ini memiliki kemampuan penyembuhan yang kuat. Seseorang dapat berdiri sendiri lagi setelah istirahat beberapa hari meskipun sebelumnya Ia terluka parah. Dan setelah satu atau dua bulan, tubuhnya akan menjadi seperti baru. Mungkin Itu pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat sukunya tidak peduli dengan perkelahian. Sahya membalikkan tubuhnya sedikit dan mengangkat tinjunya, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya. Matanya kemudian melihat sekeliling, Sahya mendesah pelan. Dia tidak lagi berniat untuk mengendap-endap keluar suku. Di satu sisi karena dunia luar masih terasa menakutkan, di sisi lain karena dia sudah mengumpulkan banyak daging, meskipun, mungkin akan tiba saat baginya untuk pergi berburu lagi. Di saat-saat seperti ini Sahya menghabiskan waktunya dengan menjelajahi gua Tawon. Sebenarn
Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-
“Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso