Share

Padang : Lantai Pertama
Padang : Lantai Pertama
Author: Keong.sawah

Bab 1 : Gua Rahasia

Cianjur, 1974

Aura pegunungan yang hijau dan penuh kehidupan mulai membawa kesegaran bagaikan bagi orang yang telah lama terperangkap dalam rutinitas kota yang monoton.

Saat ini, sebuah bus yang berisi rombongan mahasiswa dan arkeolog sedang menuju desa kecil pegunungan yang letaknya relatif terpencil. Situs Gunung Padang, Dikabarkan bahwa benda-benda dari Zaman Batu ditemukan di sana.

Salah satu dari rombangan mereka adalah Sahya, si Mahasiswa Teknik ‘Donatur Kampus’. Ia biasanya hanya mengenal kebisingan dan lampu-lampu kota, namun kali ini pemuda itu bisa merasakan kedamaian yang luar biasa.

Pemandangan pegunungan yang hijau serta sesekali suara burung dan gesekan daun-daun yang bergoyang menjadi musik alam yang menenangkan.

Namun, tidak hanya keindahan alam yang membuat hari itu terasa spesial, cerita-cerita yang dibagikan oleh Upik, seorang teman arkeologinya, juga turut menambah warna dalam perjalan. Dan tentu saja, Ia juga biang keladi Sahya berada di dalam rombongan ini.

Sahya tak punya pilihan selain mendengarkan penjelasan berbagai perkembangan zaman, mulai dari ketika manusia pertama kali mengolah peralatan batu hingga fase baru peradaban manusia.

Temannya bahkan mengambil jurnal dan memperlihatkan beberapa gambar serta menjelaskannya secara detail, atau mungkin terlalu detail.

Meskipun Sahya tidak mengerti apa pun, dia tetap melihat jurnalnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

Di salah satu halaman jurnal, terdapat mural yang ditemukan oleh para arkeolog yang berusia 44.000 tahun di gua Sulawesi. Sahya melihat sekilas gambar jurnal itu, lalu sedikit mengernyit. Lukisannya tidak lebih baik dari buatan keponakan-keponakannya yang bahkan belum masuk sekolah dasar.

Garis-garis pada gambarnya cukup sederhana dan kebanyakan dari mereka berupa gambar manusia yang memegang peralatan berburu serta gambar berbagai spesies hewan. Namun, selebihnya, dia tidak tahu apa itu.

“Hoh!, Ini gambar seekor kambing? Tapi bukankah ini terlalu besar?” kata Sahya sambil menunjuk ke sebuah gambar.

Di sebelah gambar itu terdapat coretan seperti ada seseorang yang memegang busur dan anak panah. Namun, rasio tersebut tampaknya tidak normal. Beberapa gambar lainnya juga sama, proporsi tubuh kelinci mirip dengan beruang, di sebelah kiri lukisan tersebut bahkan ada lukisan kuda, meski tubuhnya digambar mungkin agak terlalu pendek.

“Tentu saja, tidak semua gambar seperti itu. Gaya mural di setiap era dan wilayah semuanya berbeda-beda, kamu bisa melihat bagian belakang dari halaman ini, rasionya digambarkan lebih mirip aslinya” Upik memberikan isyarat kepada Sahya untuk melihat lebih dekat pada sketsa-sketsa yang tersebar di halaman belakang jurnal tua itu.

Sahya terus membalik kertasnya. Sesaat kemudian, ia menemukan beberapa gambar yang memiliki warna. Tampaknya, warna tersebut memberikan tampilan yang lebih jelas pada gambar tersebut

"Wah!, gambar ini lebih lucu lagi. Tanduknya terlalu besar! Dan gambar manusianya… Sebelumnya hanya mencapai punggung kambing, namun di gambar ini, manusia tersebut hanya mencapai tinggi tengkuk kaki rusa ini!, eh, apa itu di pojok kanan bawah?~ buaya berkaki delapan?!" Sahya tidak dapat menyembunyikan rasa keanehan terhadap gaya lukisan manusia primitif.

Upik menggaruk kepalanya. "Pada masa itu, manusia belum terlalu memahami nilai estetika, lukisan-lukisan itu mungkin hanya mewakili semacam makna simbolis."

"Pernah ada seorang peneliti yang, saat mempelajari mural tersebut, berhipotesis bahwa alasan mengapa manusia pada masa itu membuat mural yang berkaitan dengan perburuan ini di dinding gua atau batu besar adalah agar para pemburu atau pejuang suku tersebut memiliki semangat di dalam hati sebelum berangkat. Atau mungkin ada upacara yang tidak kita ketahui, khususnya mural yang digambar oleh dukun itu," ucap Upik dengan semangat menjelaskan topik ini.

“Dukun?” Dalam benak Sahya gambaran seorang penipu tua dan aneh muncul.

“Ah, kenapa wajahmu seperti itu? Izinkan aku memberitahumu hal ini, dukun pada masa itu belum tentu menduduki posisi rendah dalam suku. Sebaliknya, sangat mungkin mereka berada di posisi tertinggi.”

"Aku tahu” Sahya mengangguk.

Upik kemudian mulai berbicara tentang perkembangan dukun dari zaman kuno sampai sekarang tanpa memperdulikan Sahya.

Dia juga menggunakan jargon khusus dan bahkan mengutip berbagai karya klasik dan kontemporer, hal itu menyebabkan si mahasiswa ‘Donatur Kampus’ tersebut’ mengeluarkan wajah datar karena terpaksa mendengarkannya.

“Yah… bagaimanapun, mereka suka melebih-lebihkan, seperti kata orang bijak, tidak pernah ada kebenaran dalam sejarah, seorang arkeolog hanya seorang yang menggali beberapa sudut dan tepian, adapun kebenarannya aslinya, siapa yang tahu?.”

Tak lama kemudian, bus berhenti di tempat parkirnya disusul oleh rombongan ekspedisi yang mulai keluar dari kedua pintunya.

Embusan angin segar yang menyusup melalui daun-daun mengantar mereka ke suatu tempat yang tak hanya dipenuhi reruntuhan zaman batu, tetapi juga kisah-kisah yang telah lama terpendam di dalamnya.

“Menarik sekali melihat orang-orang hidup dengan teknologi primitif seperti itu. Tapi ngomong-ngomong, memikirkan bagaimana mereka mengangkat batu sebesar itu hanya dengan tangan kosong dan membawanya untuk membangun reruntuhan ini membuat ku penasaran,” kata Sahya sambil mengambil sepotong pecahan batu dan mengangkatnya.

"Itu adalah misteri lain dari zaman batu" Upik menghela nafas. “Aku akan berbicara denganmu setelah bekerja hari ini, pemandangan di tempat ini cukup bagus, pegunungan hijau, langit biru, dan suasana pedesaan~ jadi bersihkan paru-parumu, Teman” Setelah berbicara, Upik mengambil peralatannya dan pergi, namun sebelum dia melangkah menjauh dia berhenti, “Jangan bertingkah aneh di tempat ini!” Upik mengeluarkan wajah datar.

“Baiklah~” kata Sahya sambil mengangguk namun matanya melihat kearah lain. ”Hoh! apa itu? Aku akan kesana sebentar, sampai jumpa!”

“Hei!... Walah Asu Buntung!” Upik menghela nafas.

Cahaya senja memerah merambat di langit, menciptakan bayangan panjang yang menghampiri Sahya. Di situ, di tengah kondisi yang lelah, ia duduk di atas sebongkah batu yang letaknya Tak jauh dari situs peninggalan.

“Sepertinya sudah waktunya untuk pulang,” gumam Sahya sambil mengecek jamnya, menghela nafas dalam sejenak.

Tiba-tiba dari arah belakangnya terdengar suara gemerisik dari semak-semak.

Sahya terperanjat mendengar suara itu. Jantungnya berdebar kencang, namun ia berusaha tetap tenang. Perlahan ia berbalik, memandang sosok wanita bersaput kerudung yang berdiri di balik semak-semak.

"Siapa disana?" tanya Sahya, suaranya sedikit gemetar.

Wanita itu tak menjawab, hanya berdiri diam memandang Sahya. Tatapannya seolah mampu menembus jiwa Sahya, membuat bulu kuduknya meremang.

Dalam keheningan itu, Sahya menangkap sesuatu yang aneh pada wanita tersebut. Ada aura misterius yang menyelimutinya, seolah ia bukan sekedar manusia biasa.

"Kau…," ujar wanita itu tiba-tiba, suaranya lembut namun terdengar menggema. Wanita itu perlahan menyibak rambut yang menutupi wajahnya, memperlihatkan sepasang mata yang memancarkan cahaya mistik. Senyum tipis tersungging di bibirnya.

Namun, sebelum wanita itu sempat berkata lagi, tiba-tiba saja ia mulai memudar, seakan-akan terkikis oleh angin senja. Sahya membelalakkan mata, tak mampu mempercayai apa yang dilihatnya.

Jantung Sahya berdebar kencang, napasnya terengah-engah. Apa yang baru saja terjadi? Apakah itu hanya halusinasi atau memang nyata?

Sahya mengedarkan pandangan, mencari-cari sosok wanita itu, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaannya. Seolah-olah ia memang hanya hantu, muncul dan menghilang begitu saja.

Tanpa peringatan, tanah tempatnya berdiri tiba-tiba runtuh, membawa Sahya terjatuh ke dalam lubang yang tersembunyi. Udara lembab menyergap tubuhnya saat ia terhempas ke tanah keras di bawah.

Sahya mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan pandangan dengan kegelapan yang menyelimuti. Perlahan-lahan ia bangkit, membersihkan tanah yang menempel di pakaiannya.

Ketika ia memandang sekeliling, Sahya terperangah. Ia kini berada di dalam sebuah lorong bawah tanah yang gelap dan sempit. Dinding-dinding yang terbuat dari batu kapur memberikan kesan kuno dan mistis.

"Di mana aku?" gumamnya, suaranya bergema di dalam lorong.

Sahya mengambil korek api, berusaha menghilangkan sedikit kegelapan. Namun, alih-alih mendapatkan cahaya, yang terdengar hanyalah bunyi klik yang lemah. Entah berapa kali dia mencoba.

Panik mulai merasukinya. Ia terperangkap di dalam lorong bawah tanah yang gelap dan asing. Bagaimana ia bisa keluar dari sini?

Tiba-tiba, sebuah cahaya samar menerangi lorong itu.

Tanpa berpikir dua kali, Sahya memutuskan untuk masuk. Ia berasumsi bahwa gua tersebut mungkin merupakan sisa-sisa Zaman Batu yang mungkin masih belum terjamah manusia.

"Ini adalah penemuan! " Sahya berbisik pada dirinya sendiri saat menjelajahi gua. Itu dihias dengan baik dan dia memperhatikan berbagai artefak batu, matanya kemudian menangkap sesuatu yang aneh.

Di dalam gua itu terdapat pancaran cahaya berwarna merah menyala. Saat Sahya meliriknya, dia melihat sebuah batu aneh yang tergeletak di sudut ruangan itu.

“Apa ini?” Sahya mengangkat bahu, ia membawanya agar bisa mengurangi kegelapan.

Lorong gua menanjak, Ia tiba-tiba teringat akan penemuan lukisan-lukisan hewan purba yang terdapat di jurnal Upik. Tepat di saat itu juga, sudut matanya menangkap gerakan yang mencurigakan.

Dari dinding yang gelap, muncul sosok yang menyerupai ular raksasa dengan tubuh yang setebal paha orang dewasa, persis seperti yang tergambar dalam ingatannya. Cahaya yang memantul dari sisik-sisiknya menciptakan kilatan dingin yang membuat darah dalam tubuh Sahya seakan membeku.

Hawa dingin merayap di sepanjang punggungnya, membuat setiap helai rambutnya berdiri tegak. Tubuhnya tegang, jari-jarinya mulai gemetar, dan dia bisa merasakan denyut jantungnya yang semakin cepat. Sebuah rasa ngilu mencekam mengguncang dirinya, dia menelan ludah dengan susah payah, berusaha menahan diri untuk tidak melompat dalam ketakutan.

Namun, ketika Sahya berkedip dan mengalihkan pandangannya, tidak ada yang terjadi. Dinding batu tersebut masih merupakan dinding biasa.

“Apakah itu Ilusi?” desahnya pelan, tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Sahya memalingkan wajahnya dari sudut tembok yang runtuh dan melihat-lihat dinding lain. Ketika matanya kembali fokus, kepalanya terbentur.

Sebuah retakan tiba-tiba melintang di permukaan dinding, kemudian tanpa aba-aba, lubang terbentuk di hadapannya. Di balik lubang, terdapat sebuah batu besar dengan tunas hijau kecil yang tumbuh di atasnya. Perlahan namun pasti, tunas hijau itu mulai tumbuh dengan kecepatan luar biasa.

“Tidak mungkin, tidak, tidak” bisik Sahya, napasnya tersengal, matanya membelalak ketika melihat tunas itu tumbuh semakin cepat. Seolah menanggapi keraguan Sahya, tunas hijau bertransformasi menjadi sulur-sulur tanaman merambat yang menjulur dengan kilat ke segala arah.

Dalam sekejap, tanaman itu mengambil alih batu, merayap di sepanjang dinding dalam hitungan detik.

Sahya mundur beberapa langkah, napasnya memburu. Ia merasakan dingin keringat di pelipisnya kemudian berseru pada dirinya sendiri, “Ini tidak mungkin nyata” Ia menggosok matanya dengan punggung tangan.

Setelah beberapa tarikan napas dalam dan memaksakan diri untuk tenang, Sahya membuka matanya kembali. Keajaiban itu sirna, dinding kembali tampak seperti semula—kosong dan tak ada tanda-tanda tanaman merambat yang barusan menjalar.

Merasakan sesuatu yang tak biasa, Sahya menatap tangannya. Batu aneh yang ia temukan sebelumnya menjadi pasir dalam sekejap. Mereka menyelinap melalui celah di antara jari-jemarinya.

Tak lama kemudian, pandangan Sahya menjadi gelap gulita.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status