Cianjur, 1974
Aura pegunungan yang hijau dan penuh kehidupan mulai membawa kesegaran bagaikan bagi orang yang telah lama terperangkap dalam rutinitas kota yang monoton.
Saat ini, sebuah bus yang berisi rombongan mahasiswa dan arkeolog sedang menuju desa kecil pegunungan yang letaknya relatif terpencil. Situs Gunung Padang, Dikabarkan bahwa benda-benda dari Zaman Batu ditemukan di sana.
Salah satu dari rombangan mereka adalah Sahya, si Mahasiswa Teknik ‘Donatur Kampus’. Ia biasanya hanya mengenal kebisingan dan lampu-lampu kota, namun kali ini pemuda itu bisa merasakan kedamaian yang luar biasa.
Pemandangan pegunungan yang hijau serta sesekali suara burung dan gesekan daun-daun yang bergoyang menjadi musik alam yang menenangkan.
Namun, tidak hanya keindahan alam yang membuat hari itu terasa spesial, cerita-cerita yang dibagikan oleh Upik, seorang teman arkeologinya, juga turut menambah warna dalam perjalan. Dan tentu saja, Ia juga biang keladi Sahya berada di dalam rombongan ini.
Sahya tak punya pilihan selain mendengarkan penjelasan berbagai perkembangan zaman, mulai dari ketika manusia pertama kali mengolah peralatan batu hingga fase baru peradaban manusia.
Temannya bahkan mengambil jurnal dan memperlihatkan beberapa gambar serta menjelaskannya secara detail, atau mungkin terlalu detail.
Meskipun Sahya tidak mengerti apa pun, dia tetap melihat jurnalnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
Di salah satu halaman jurnal, terdapat mural yang ditemukan oleh para arkeolog yang berusia 44.000 tahun di gua Sulawesi. Sahya melihat sekilas gambar jurnal itu, lalu sedikit mengernyit. Lukisannya tidak lebih baik dari buatan keponakan-keponakannya yang bahkan belum masuk sekolah dasar.
Garis-garis pada gambarnya cukup sederhana dan kebanyakan dari mereka berupa gambar manusia yang memegang peralatan berburu serta gambar berbagai spesies hewan. Namun, selebihnya, dia tidak tahu apa itu.
“Hoh!, Ini gambar seekor kambing? Tapi bukankah ini terlalu besar?” kata Sahya sambil menunjuk ke sebuah gambar.
Di sebelah gambar itu terdapat coretan seperti ada seseorang yang memegang busur dan anak panah. Namun, rasio tersebut tampaknya tidak normal. Beberapa gambar lainnya juga sama, proporsi tubuh kelinci mirip dengan beruang, di sebelah kiri lukisan tersebut bahkan ada lukisan kuda, meski tubuhnya digambar mungkin agak terlalu pendek.
“Tentu saja, tidak semua gambar seperti itu. Gaya mural di setiap era dan wilayah semuanya berbeda-beda, kamu bisa melihat bagian belakang dari halaman ini, rasionya digambarkan lebih mirip aslinya” Upik memberikan isyarat kepada Sahya untuk melihat lebih dekat pada sketsa-sketsa yang tersebar di halaman belakang jurnal tua itu.
Sahya terus membalik kertasnya. Sesaat kemudian, ia menemukan beberapa gambar yang memiliki warna. Tampaknya, warna tersebut memberikan tampilan yang lebih jelas pada gambar tersebut
"Wah!, gambar ini lebih lucu lagi. Tanduknya terlalu besar! Dan gambar manusianya… Sebelumnya hanya mencapai punggung kambing, namun di gambar ini, manusia tersebut hanya mencapai tinggi tengkuk kaki rusa ini!, eh, apa itu di pojok kanan bawah?~ buaya berkaki delapan?!" Sahya tidak dapat menyembunyikan rasa keanehan terhadap gaya lukisan manusia primitif.
Upik menggaruk kepalanya. "Pada masa itu, manusia belum terlalu memahami nilai estetika, lukisan-lukisan itu mungkin hanya mewakili semacam makna simbolis."
"Pernah ada seorang peneliti yang, saat mempelajari mural tersebut, berhipotesis bahwa alasan mengapa manusia pada masa itu membuat mural yang berkaitan dengan perburuan ini di dinding gua atau batu besar adalah agar para pemburu atau pejuang suku tersebut memiliki semangat di dalam hati sebelum berangkat. Atau mungkin ada upacara yang tidak kita ketahui, khususnya mural yang digambar oleh dukun itu," ucap Upik dengan semangat menjelaskan topik ini.
“Dukun?” Dalam benak Sahya gambaran seorang penipu tua dan aneh muncul.
“Ah, kenapa wajahmu seperti itu? Izinkan aku memberitahumu hal ini, dukun pada masa itu belum tentu menduduki posisi rendah dalam suku. Sebaliknya, sangat mungkin mereka berada di posisi tertinggi.”
"Aku tahu” Sahya mengangguk.
Upik kemudian mulai berbicara tentang perkembangan dukun dari zaman kuno sampai sekarang tanpa memperdulikan Sahya.
Dia juga menggunakan jargon khusus dan bahkan mengutip berbagai karya klasik dan kontemporer, hal itu menyebabkan si mahasiswa ‘Donatur Kampus’ tersebut’ mengeluarkan wajah datar karena terpaksa mendengarkannya.
“Yah… bagaimanapun, mereka suka melebih-lebihkan, seperti kata orang bijak, tidak pernah ada kebenaran dalam sejarah, seorang arkeolog hanya seorang yang menggali beberapa sudut dan tepian, adapun kebenarannya aslinya, siapa yang tahu?.”
Tak lama kemudian, bus berhenti di tempat parkirnya disusul oleh rombongan ekspedisi yang mulai keluar dari kedua pintunya.
Embusan angin segar yang menyusup melalui daun-daun mengantar mereka ke suatu tempat yang tak hanya dipenuhi reruntuhan zaman batu, tetapi juga kisah-kisah yang telah lama terpendam di dalamnya.
“Menarik sekali melihat orang-orang hidup dengan teknologi primitif seperti itu. Tapi ngomong-ngomong, memikirkan bagaimana mereka mengangkat batu sebesar itu hanya dengan tangan kosong dan membawanya untuk membangun reruntuhan ini membuat ku penasaran,” kata Sahya sambil mengambil sepotong pecahan batu dan mengangkatnya.
"Itu adalah misteri lain dari zaman batu" Upik menghela nafas. “Aku akan berbicara denganmu setelah bekerja hari ini, pemandangan di tempat ini cukup bagus, pegunungan hijau, langit biru, dan suasana pedesaan~ jadi bersihkan paru-parumu, Teman” Setelah berbicara, Upik mengambil peralatannya dan pergi, namun sebelum dia melangkah menjauh dia berhenti, “Jangan bertingkah aneh di tempat ini!” Upik mengeluarkan wajah datar.
“Baiklah~” kata Sahya sambil mengangguk namun matanya melihat kearah lain. ”Hoh! apa itu? Aku akan kesana sebentar, sampai jumpa!”
“Hei!... Walah Asu Buntung!” Upik menghela nafas.
…
Cahaya senja memerah merambat di langit, menciptakan bayangan panjang yang menghampiri Sahya. Di situ, di tengah kondisi yang lelah, ia duduk di atas sebongkah batu yang letaknya Tak jauh dari situs peninggalan.
“Sepertinya sudah waktunya untuk pulang,” gumam Sahya sambil mengecek jamnya, menghela nafas dalam sejenak.
Tiba-tiba dari arah belakangnya terdengar suara gemerisik dari semak-semak.
Sahya terperanjat mendengar suara itu. Jantungnya berdebar kencang, namun ia berusaha tetap tenang. Perlahan ia berbalik, memandang sosok wanita bersaput kerudung yang berdiri di balik semak-semak.
"Siapa disana?" tanya Sahya, suaranya sedikit gemetar.
Wanita itu tak menjawab, hanya berdiri diam memandang Sahya. Tatapannya seolah mampu menembus jiwa Sahya, membuat bulu kuduknya meremang.
Dalam keheningan itu, Sahya menangkap sesuatu yang aneh pada wanita tersebut. Ada aura misterius yang menyelimutinya, seolah ia bukan sekedar manusia biasa.
"Kau…," ujar wanita itu tiba-tiba, suaranya lembut namun terdengar menggema. Wanita itu perlahan menyibak rambut yang menutupi wajahnya, memperlihatkan sepasang mata yang memancarkan cahaya mistik. Senyum tipis tersungging di bibirnya.
Namun, sebelum wanita itu sempat berkata lagi, tiba-tiba saja ia mulai memudar, seakan-akan terkikis oleh angin senja. Sahya membelalakkan mata, tak mampu mempercayai apa yang dilihatnya.
Jantung Sahya berdebar kencang, napasnya terengah-engah. Apa yang baru saja terjadi? Apakah itu hanya halusinasi atau memang nyata?
Sahya mengedarkan pandangan, mencari-cari sosok wanita itu, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaannya. Seolah-olah ia memang hanya hantu, muncul dan menghilang begitu saja.
Tanpa peringatan, tanah tempatnya berdiri tiba-tiba runtuh, membawa Sahya terjatuh ke dalam lubang yang tersembunyi. Udara lembab menyergap tubuhnya saat ia terhempas ke tanah keras di bawah.
Sahya mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan pandangan dengan kegelapan yang menyelimuti. Perlahan-lahan ia bangkit, membersihkan tanah yang menempel di pakaiannya.
Ketika ia memandang sekeliling, Sahya terperangah. Ia kini berada di dalam sebuah lorong bawah tanah yang gelap dan sempit. Dinding-dinding yang terbuat dari batu kapur memberikan kesan kuno dan mistis.
"Di mana aku?" gumamnya, suaranya bergema di dalam lorong.
Sahya mengambil korek api, berusaha menghilangkan sedikit kegelapan. Namun, alih-alih mendapatkan cahaya, yang terdengar hanyalah bunyi klik yang lemah. Entah berapa kali dia mencoba.
Panik mulai merasukinya. Ia terperangkap di dalam lorong bawah tanah yang gelap dan asing. Bagaimana ia bisa keluar dari sini?
Tiba-tiba, sebuah cahaya samar menerangi lorong itu.
Tanpa berpikir dua kali, Sahya memutuskan untuk masuk. Ia berasumsi bahwa gua tersebut mungkin merupakan sisa-sisa Zaman Batu yang mungkin masih belum terjamah manusia.
"Ini adalah penemuan! " Sahya berbisik pada dirinya sendiri saat menjelajahi gua. Itu dihias dengan baik dan dia memperhatikan berbagai artefak batu, matanya kemudian menangkap sesuatu yang aneh.
Di dalam gua itu terdapat pancaran cahaya berwarna merah menyala. Saat Sahya meliriknya, dia melihat sebuah batu aneh yang tergeletak di sudut ruangan itu.
“Apa ini?” Sahya mengangkat bahu, ia membawanya agar bisa mengurangi kegelapan.
Lorong gua menanjak, Ia tiba-tiba teringat akan penemuan lukisan-lukisan hewan purba yang terdapat di jurnal Upik. Tepat di saat itu juga, sudut matanya menangkap gerakan yang mencurigakan.
Dari dinding yang gelap, muncul sosok yang menyerupai ular raksasa dengan tubuh yang setebal paha orang dewasa, persis seperti yang tergambar dalam ingatannya. Cahaya yang memantul dari sisik-sisiknya menciptakan kilatan dingin yang membuat darah dalam tubuh Sahya seakan membeku.
Hawa dingin merayap di sepanjang punggungnya, membuat setiap helai rambutnya berdiri tegak. Tubuhnya tegang, jari-jarinya mulai gemetar, dan dia bisa merasakan denyut jantungnya yang semakin cepat. Sebuah rasa ngilu mencekam mengguncang dirinya, dia menelan ludah dengan susah payah, berusaha menahan diri untuk tidak melompat dalam ketakutan.
Namun, ketika Sahya berkedip dan mengalihkan pandangannya, tidak ada yang terjadi. Dinding batu tersebut masih merupakan dinding biasa.
“Apakah itu Ilusi?” desahnya pelan, tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Sahya memalingkan wajahnya dari sudut tembok yang runtuh dan melihat-lihat dinding lain. Ketika matanya kembali fokus, kepalanya terbentur.
Sebuah retakan tiba-tiba melintang di permukaan dinding, kemudian tanpa aba-aba, lubang terbentuk di hadapannya. Di balik lubang, terdapat sebuah batu besar dengan tunas hijau kecil yang tumbuh di atasnya. Perlahan namun pasti, tunas hijau itu mulai tumbuh dengan kecepatan luar biasa.
“Tidak mungkin, tidak, tidak” bisik Sahya, napasnya tersengal, matanya membelalak ketika melihat tunas itu tumbuh semakin cepat. Seolah menanggapi keraguan Sahya, tunas hijau bertransformasi menjadi sulur-sulur tanaman merambat yang menjulur dengan kilat ke segala arah.
Dalam sekejap, tanaman itu mengambil alih batu, merayap di sepanjang dinding dalam hitungan detik.
Sahya mundur beberapa langkah, napasnya memburu. Ia merasakan dingin keringat di pelipisnya kemudian berseru pada dirinya sendiri, “Ini tidak mungkin nyata” Ia menggosok matanya dengan punggung tangan.
Setelah beberapa tarikan napas dalam dan memaksakan diri untuk tenang, Sahya membuka matanya kembali. Keajaiban itu sirna, dinding kembali tampak seperti semula—kosong dan tak ada tanda-tanda tanaman merambat yang barusan menjalar.
Merasakan sesuatu yang tak biasa, Sahya menatap tangannya. Batu aneh yang ia temukan sebelumnya menjadi pasir dalam sekejap. Mereka menyelinap melalui celah di antara jari-jemarinya.
Tak lama kemudian, pandangan Sahya menjadi gelap gulita.
***
Di dalam sebuah gua yang terletak di kaki bukit, terdapat puluhan anak tergeletak tak beraturan dimana-mana. Lapisan kulit hewan tipis dan compang-camping menutupi badan mereka.Langit-langitnya terdapat lubang-lubang ventilasi udara yang cukup besar. Melalui lubang itu juga sinar matahari masuk. Mungkin karena sudah lama tidak dibersihkan, bau busuk menjadi menyengat di sekitar gua.Di bawah ventilasi udara yang penuh debu, ada seorang anak kecil duduk dengan celana kulit yang compang-camping menyelimuti sebagian kakinya yang kurus. Satu tangannya sibuk memainkan giginya yang goyah, sementara matanya yang sayu kelam menelusuri sisi gua di hadapannya. Tubuhnya terlihat lebih ringkih dibandingkan dengan anak-anak lain di gua itu.Perutnya bergemuruh, seolah menjerit meminta makanan, namun karena tidak punya makanan, ia hanya melamun dengan tenang sambil memikirkan cara berburu binatang di sekitar suku untuk mengisi perutnya.Anak itu memejamkan mata kembali rapat-rapat, berharap rasa s
Di dalam hutan purba yang megah dan lebat, pepohonan besar yang menjulang tinggi menjadi penjaga alami dalam keheningan alam. Matahari berusaha menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kerlap-kerlip cahaya di atas lantai hutan yang penuh dengan semak belukar yang rimbun.Karena hewan-hewan di sekitar suku telah diburu habis, Sahya terpaksa masuk lebih dalam ke hutan untuk berburu. Namun, semakin jauh ia dari suku, semakin besar pula risikonya.Di tengah hutan yang lebat, Sahya bergerak dengan hati-hati di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Cahaya matahari yang mencoba menembus kanopi hanya menghasilkan sinar tipis yang menciptakan pola bayangan aneh di tanah.Suara burung-burung dan serangga yang bersahutan memberikan latar belakang ritmis pada suasana yang sepi.Saat melangkah lebih dalam, Sahya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin, dan desiran angin membawa aroma tanah basah yang segar.Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar
Hening yang terasa begitu mencekam. Meskipun sinar matahari terang di langit, waktu seperti telah membeku, dan sunyi yang teramat dalam seolah menyatakan bahwa seluruh jagat ini telah mati, tak bergerak.Sahya dengan cepat melakukan apa yang disuruh dan bersembunyi di balik pohon di sebelahnya, dia menunduk untuk mengintip keluar dan menunggu dengan hati berdebar saat dia menyaksikan kejadian yang akan terjadi.Tiba-tiba, sinar putih kilat memotong dari arah kanan mereka. Sebuah entitas muncul berjalan secara perlahan. Sosok itu berbentuk manusia namun kulitnya putih bersih tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dengan rambut hitam mengalir, tangan dan kaki berujung kuku tajam. Wajahnya menyerupai topeng dan matanya menyala merah bak bara api itu memberikan tatapan menakutkan.Makhluk itu menyerupai seorang wanita, namun gerakannya seperti bayangan yang memudar ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan jejak kehadiran yang dingin dan sunyi.Mata Nawa menyipit tajam, kedua tangannya
"Eh, aku sudah sembuh?" Sahya yang beristirahat, menatap tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda luka, hanya bekas luka dan luka kecil yang masih terlihat. Setiap orang di suku ini memiliki kemampuan penyembuhan yang kuat. Seseorang dapat berdiri sendiri lagi setelah istirahat beberapa hari meskipun sebelumnya Ia terluka parah. Dan setelah satu atau dua bulan, tubuhnya akan menjadi seperti baru. Mungkin Itu pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat sukunya tidak peduli dengan perkelahian. Sahya membalikkan tubuhnya sedikit dan mengangkat tinjunya, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya. Matanya kemudian melihat sekeliling, Sahya mendesah pelan. Dia tidak lagi berniat untuk mengendap-endap keluar suku. Di satu sisi karena dunia luar masih terasa menakutkan, di sisi lain karena dia sudah mengumpulkan banyak daging, meskipun, mungkin akan tiba saat baginya untuk pergi berburu lagi. Di saat-saat seperti ini Sahya menghabiskan waktunya dengan menjelajahi gua Tawon. Sebenarn
Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-
“Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso
Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh
Ketika Sahya tenggelam dalam pikirannya tentang apakah dia harus menghancurkan kepala mereka dengan batu atau dengan tangan kosong, ketiga anak itu sudah berbaris di dekat tempat persembunyiannya, mereka masih tidak menyadari penyergapan.Butuh waktu yang cukup lama untuk ketiga anak itu sampai di dekat tempat persembunyian Sahya berada. Selama waktu ini, Ia terus mengamati mereka dengan seksama.Tampaknya perhatian anak-anak itu tertuju pada hal lain, salah satunya menghindari tertimpa batu yang berjatuhan. Mereka bergerak dengan hati-hati, sesekali menjerit kaget ketika batu-batu kecil bergulir di dekat kaki mereka. Ketiga anak itu tidak tahu jalan mana yang aman untuk didaki, jadi mereka hanya bisa mencoba mengambil jalan memutar.“Apakah ini arah yang benar, Tomo?” Kibu berjalan di depan kelompok mereka, dia baru saja menghindari batu yang jatuh dari tebing di atasnya.Sorot matanya yang tajam tertuju ke arah orang yang berada di belakangn
"Siapa di sana?!" Sahya menahan napas, sementara detak jantungnya semakin cepat, berdentum keras di telinganya. Rambutnya berdiri tegak, dan tubuhnya gemetar karena ketakutan. Kekakuan merayap ke setiap serat sarafnya, menghilangkan suaranya dan membuatnya tidak mampu bergerak.Dalam hitungan detik, sesuatu yang dingin dan basah menyentuh kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri saat lidah makhluk itu melintasi kulitnya. Sahya menatap dua titik merah yang berkelap-kelip dalam kegelapan.Makhluk itu perlahan mendekatinya, setiap langkah disertai tatapan menghantui dan menakutkan. "Enak sekali~," desisnya sambil menyeringai, suaranya melengking menyusup ke telinga siapa pun yang mendengarnya. Sahya terjatuh tiba-tiba ke tanah. Tak lama, makhluk itu mendekat dan dengan kejam menginjak dadanya.Mata Sahya terpaku pada makhluk yang berdiri di atasnya, mata merah menyala dalam gelap seperti dua bara api kecil. Dalam pandangannya, ia melihat gigi dan cakar tajam, serta
Saat matahari mulai terbit dan menyebarkan kehangatannya, Pato kembali ke Gua Tawon, ditemani oleh beberapa pria. Senyum akrab yang menghiasi wajah Pato tampak familier, tetapi ketika anak-anak melihat pria-pria yang menyusul di belakangnya, mereka mulai menyadari adanya niat buruk dari Pato.“Persetan!” gerutu anak-anak dalam hati mereka.Setiap tahun, di awal musim hujan dan sebelum dimulainya Festival Langit, mereka akan dipaksa mandi di sungai. Secara tradisional, ini berarti mereka harus mandi sebelum mengikuti ritual kebangkitan kekuatan roh. Namun, kenyataannya, mereka yang enggan mandi akan diseret ke sungai dan dimandikan secara paksa.Melihat para pria yang dibawa oleh Pato, anak-anak pun gemetar ketakutan.Sahya berjalan menuju sungai, memperhatikan bayangannya di permukaan air. Meskipun riak membuat bayangan itu kabur, ia tetap bisa melihat bahwa penampilannya sangat berantakan. "Sepertinya seseorang memang perlu disikat!"Para pejuang yang kuat dan gagah berani mungkin bi
Seperti pepatah mengatakan, jangan pernah meremehkan kekuatan orang bodoh dalam kelompok besar. Peristiwa yang melibatkan anak-anak gua terhadap Kibu dan kedua anak buahnya membuktikan kebenaran pepatah ini. Jika bukan karena kehadiran orang tua mereka dan Pato yang menyelamatkan Kibu dan kedua anteknya, nasib ketiga anak itu mungkin berbeda.Kejadian tersebut juga membantu masyarakat suku untuk menyegarkan kembali pemahaman mereka tentang anak-anak di dalam gua. Ternyata, anak-anak ini mampu bersatu menghadapi musuh bersama. Beberapa orang yang berniat jahat pun terpaksa menyembunyikan maksud mereka setelah melihat situasi tersebut.Setelah mengatasi gangguan Kibu, Sahya mengumpulkan anak-anak ganas itu kembali ke gua. Tak lama kemudian, hanya dengan beberapa tarikan nafas, beruang besar dimakan bersih. Satu-satunya bagian yang tersisa hanyalah tulang-tulangnya yang kokoh.Pada saat yang sama, Pato kembali ke Gua Tawon. “Bukankah dia sudah mengantarkan ma
Saat senja tiba dan matahari mulai meredup di langit, Pato, seorang pria paruh baya, dengan tekun menjalankan tugasnya mengantar makanan ke gua Tawon setiap hari. Pato mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar Ogi, terutama setelah kehilangan salah satu lengannya akibat kecelakaan tragis saat misi perburuan. Peristiwa tersebut juga mengakhiri karirnya sebagai pemburu.Meski diberi tugas yang tampak sepele, Pato merasa puas karena sukunya tetap memberinya tempat tinggal dan makanan. Begitu mangkuk batu diletakkan, anak-anak di gua langsung berhamburan seolah-olah mereka tidak makan selama berhari-hari. Walaupun mereka masih anak-anak, pemandangan itu seperti medan pertempuran untuk mendapatkan makanan.Menyaksikan kekacauan ini, Sahya hanya bisa menghela nafas. Dia sadar bahwa situasi ini tidak akan berubah dalam waktu dekat.Sejak lama, pemimpin suku Tawon terlalu sibuk dengan perselisihan internal di antara anggota sukunya. Akibatnya, mereka mengabaikan kondisi d
Kibu terbaring lemas di tanah, mengalami rasa sakit dan amarah yang memuncak. Dengan gerakan gemetar, tangannya perlahan mengusap lembut kepalanya yang terasa berdenyut-denyut akibat cedera.Wajahnya yang bengkak dipenuhi dengan ekspresi kemarahan yang sulit untuk disembunyikan. Lubang hidungnya yang masih mengucurkan sedikit darah menambahkan sentuhan kejut kepada keseluruhan pemandangan tragis yang mengelilinginya.Dalam benaknya, Kibu bersumpah untuk tidak pernah melupakan penghinaan ini sepanjang hidupnya. Rasa dendam yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat, menyalakan bara kemarahan yang membara di dalam dadanya.Matanya memperhatikan dengan tajam ke arah Sahya yang sedang sibuk memilih batu-batu di kejauhan, tampaknya tidak menyadari kesengsaraan yang dialami oleh Kibu.Kibu yakin bahwa Sahya pasti telah mengumpulkan beberapa batu yang berharga meski jarak di antara mereka terlalu jauh untuk bisa terlihat secara langsung. Beberapa batu bagus bisa dit
Ketika Sahya tenggelam dalam pikirannya tentang apakah dia harus menghancurkan kepala mereka dengan batu atau dengan tangan kosong, ketiga anak itu sudah berbaris di dekat tempat persembunyiannya, mereka masih tidak menyadari penyergapan.Butuh waktu yang cukup lama untuk ketiga anak itu sampai di dekat tempat persembunyian Sahya berada. Selama waktu ini, Ia terus mengamati mereka dengan seksama.Tampaknya perhatian anak-anak itu tertuju pada hal lain, salah satunya menghindari tertimpa batu yang berjatuhan. Mereka bergerak dengan hati-hati, sesekali menjerit kaget ketika batu-batu kecil bergulir di dekat kaki mereka. Ketiga anak itu tidak tahu jalan mana yang aman untuk didaki, jadi mereka hanya bisa mencoba mengambil jalan memutar.“Apakah ini arah yang benar, Tomo?” Kibu berjalan di depan kelompok mereka, dia baru saja menghindari batu yang jatuh dari tebing di atasnya.Sorot matanya yang tajam tertuju ke arah orang yang berada di belakangn
Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh
“Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso
Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-