Home / Historical / Padang : Lantai Pertama / Bab 4 : Makhluk Apa Itu?

Share

Bab 4 : Makhluk Apa Itu?

Author: Keong.sawah
last update Last Updated: 2024-08-12 02:24:49

Hening yang terasa begitu mencekam. Meskipun sinar matahari terang di langit, waktu seperti telah membeku, dan sunyi yang teramat dalam seolah menyatakan bahwa seluruh jagat ini telah mati, tak bergerak.

Sahya dengan cepat melakukan apa yang disuruh dan bersembunyi di balik pohon di sebelahnya, dia menunduk untuk mengintip keluar dan menunggu dengan hati berdebar saat dia menyaksikan kejadian yang akan terjadi.

Tiba-tiba, sinar putih kilat memotong dari arah kanan mereka. Sebuah entitas muncul berjalan secara perlahan. Sosok itu berbentuk manusia namun kulitnya putih bersih tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dengan rambut hitam mengalir, tangan dan kaki berujung kuku tajam. Wajahnya menyerupai topeng dan matanya menyala merah bak bara api itu memberikan tatapan menakutkan.

Makhluk itu menyerupai seorang wanita, namun gerakannya seperti bayangan yang memudar ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan jejak kehadiran yang dingin dan sunyi.

Mata Nawa menyipit tajam, kedua tangannya mengepal erat, dan pola tato rohnya semakin tampak jelas di kulitnya.

Sesaat, makhluk itu menoleh ke arah pohon tempat Sahya bersembunyi, lalu beralih kepada Penjaga, menampilkan wajah yang hancur dan mengerikan. Namun, tampaknya ia tak peduli. Ia terus berjalan melewati mereka dengan tenang.

Saat makhluk itu semakin menjauh, burung gagak dan burung-burung lain kembali ke perilaku mereka yang biasa.

Penjaga kemudian menarik napas dalam-dalam, dan pola tato di tubuhnya perlahan menghilang.

Sahya memandang ke arah hutan, di mana makhluk itu telah lenyap dalam kegelapan."Apa itu tadi, Nawa? Makhluk itu... aku belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya."" Sahya bertanya, keheranan jelas terpancar dari matanya.

Ia masih ingat cerita-cerita tentang hantu dari kehidupan sebelumnya. Namun, di saat itu, tidak ada satu pun bayangan dari cerita-cerita itu yang setara dengan makhluk menyeramkan yang baru saja muncul.

Penjaga itu terdiam sejenak, matanya memperhatikan anak di depannya dengan tatapan bingung. “Aku juga tidak tahu pasti,”

“Sedikit nasehat untukmu, bocah kecil, jangan pergi ke daerah terlarang atau kamu akan dimakan bagi sesuatu yang lebih ganas daripada para Gigi Pedang itu!" Dia nampak kembali santai meski kemudian wajah penjaga itu menjadi serius saat melihat arah kepergian makhluk itu.

Sahya merenung, “Gigi pedang? Apakah dia merujuk pada Smilodon itu?” Dalam pikirannya, dia mengangguk tanda pemahaman.

Sebuah hembusan nafas lembut keluar dari bibirnya. "Ngomong-ngomong, terima kasih sudah menolongku… " kata Sahya secara tiba-tiba.

Penjaga itu hanya mengangguk.

“Eh, tunggu sebentar! Apa yang kau lakukan?” teriak Sahya, terkejut ketika tiba-tiba diangkat kembali oleh penjaga. “Aku mampu berjalan sendiri, hei!” katanya sambil berusaha membebaskan diri dari cengkraman si penjaga.

Suara ranting patah dan dedaunan kering berderak di bawah kaki mereka, menambah ketegangan suasana. Angin berbisik pelan, membawa serta aroma hutan yang lembab dan sedikit anyir.

Pola tato di tubuh Nawa berdenyut samar sementara tangannya siap siaga di gagang senjata. Sahya mengikuti di belakangnya, sesekali menoleh ke belakang dengan cemas.

Nawa berjalan dalam diam, hanya suara langkah kaki yang terdengar di bawah dedaunan yang basah. Setiap ranting yang patah atau daun yang terinjak membuat mereka tersentak, hati mereka berdegup kencang dengan ketakutan yang tidak dapat dijelaskan.

Tiba-tiba, suara gemerisik di semak-semak membuat mereka berhenti serentak. Nawa mengangkat tangan, memberi isyarat untuk diam. Mata mereka menyapu sekitar, mencari sumber suara. Rasa dingin yang sama seperti saat makhluk itu muncul, kembali menyelimuti mereka.

Di tengah perjalanan, suara gemuruh dari kejauhan menarik perhatian mereka. Seperti suara sesuatu yang besar dan berat sedang bergerak melalui hutan. "Apa itu?" bisik Sahya, suaranya nyaris tak terdengar.

Nawa menggeleng, tatapan matanya tetap waspada. “Tidak ada waktu untuk mencari tahu.”

Nawa mempercepat langkah, napas mereka semakin berat dan terburu-buru. Setiap langkah terasa semakin berat dengan beban ketakutan yang mereka rasakan.

Saat mereka hampir mencapai tepi hutan, suara mengerikan terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Sahya hampir terjatuh saat Nawa tersandung dahan pohon. Untung saja, penjaga dengan itu sigap menangkapnya kembali.

Tiba-tiba dari arah depan terdengar siulan dari penjaga desa lain. Perasaan mengerikan yang mereka rasakan hilang seketika. Akhirnya Nawa itu menghela nafas lega.

Saat perjalanan mereka berakhir, mereka sampai di wilayah suku. Di sana, terlihat kehidupan sehari-hari para manusia masa prasejarah berlangsung. Anak-anak riang bermain di jalanan, sementara orang dewasa sibuk dengan urusan sehari-hari mereka.

Mereka sama sekali tak memperhatikan seorang yang menggendong anak kecil dan menyeret seekor babi hutan raksasa.

Setengah dari hasil buruan yang ditangkap Sahya diberikan kepada Nawa, tetapi, alih menerimanya, si penjaga memasukkannya ke dalam keranjang untuk diolah dan dijadikan menjadi santapan rekan-rekannya yang lain.

Sahya merasakan ramuan herbal dengan aroma yang sangat aneh dioleskan ke luka-lukanya, meninggalkan sensasi yang hampir membuatnya muntah. Meskipun begitu, anehnya ramuan itu ternyata lumayan manjur. Rasa sakit pada tubuhnya sedikit mereda.

Ketika perut sudah penuh, Sahya memilih untuk menyimpan sisa daging buruan setelah mengolahnya menjadi dendeng. Dengan tulus, dia mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal kepada para penjaga lainnya.

Saat Sahya menghilang dari pandangan penolongnya, wajah sang penjaga mulai terlihat gelap. Rekannya terkejut dengan perubahan ekspresi Nawa dan tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Ada apa, Nawa?"

Nawa hanya menatap ke arah tempat Sahya pergi dalam keheningan. "Dihyang muncul," ucap Nawa dengan tenang, matanya masih tertuju ke arah yang sama.

Ketika nama makhluk tersebut diucapkan, kerumunan di sekitar mulai menengok ke arah Nawa dengan tatapan penuh kecurigaan, seakan mereka baru saja melihat sesuatu yang menakutkan.

"Tolong rahasiakan berita ini dari yang lain, Aku akan segera melapor kepada kepala suku..." kata Nawa tiba-tiba dengan nada serius.

Di dalam lebatnya hutan, jauh dari wilayah suku, sesosok makhluk mengerikan melangkah di antara pohon-pohon besar dan tinggi. Makhluk itu berdiri tegak dengan dua kaki seperti manusia. Matanya bercahaya merah menyala seperti bara, dengan pupil hitam yang membingungkan, menyebabkan segala yang ada di sekitarnya terlihat kabur. Kulitnya putih bersih namun kemudian berubah menjadi biru tua seperti langit malam, dengan bintik-bintik hitam di bahu dan punggungnya.

Makhluk itu adalah sosok yang sebelumnya ditemui Sahya dan Nawa saat perjalanan pulang kembali ke suku.

Makhluk itu tersenyum dingin, memperlihatkan taringnya, yang membuat siapa pun merinding dari ujung kepala sampai ujung kaki. Telinganya yang runcing terlihat semakin tajam saat ia tersenyum, menambah kesan seram. Namun, tiba-tiba terdengar suara aneh bergetar dari arah yang berbeda di dalam rimbunnya pepohonan.

"Itu kau?" Rambut hitamnya mulai berkibar tertiup angin, seketika hutan gelap di belakangnya kembali sunyi, tatapannya beralih ke sesuatu yang berada di depannya.

Setelah beberapa detik berlalu, sesosok makhluk muncul di sisi yang berlawanan dengannya. Memiliki tubuh tinggi besar dengan badan penuh bulu hitam, sorot matanya merah dan bersinar seperti api dalam kegelapan. Makhluk itu menatap Ratrau dengan penuh niat jahat, seolah ingin merobek tubuhnya kemudian memakan habis dagingnya.

Dalam genggaman tangannya terlihat seorang manusia yang penuh dengan darah dan tak bernyawa. Adapun yang lebih mengejutkan adalah pola tato pada tubuh manusia tersebut; pola yang sama dengan tato-tato yang hanya dimiliki oleh suku Palon Dihyang.

"Gandaru...," ucap Ratrau, mengisyaratkan kehadiran makhluk misterius itu. Setelah jeda singkat, Ratrau melanjutkan, "...apa niat tuanmu kali ini?" Suaranya tajam, menggema seperti raungan ratusan anjing saat berbicara di tengah kesunyian hutan.

"Aku hanya membawa kabar," jawab Gandaru, ia mengeluarkan seringai dingin.

Ratrau tetap terdiam, matanya menyimpan kebencian yang tak terucapkan saat ia menatap lawan bicaranya dengan tajam, jelas tidak senang dengan kedatangan sosok ini.

Tanpa diduga, kabut hitam mulai membentuk lingkaran di sekeliling Gandaru, menyelimutinya perlahan.

Tidak selang berapa lama, kabut itu pun mulai menyapu kepergiannya, membawa bersama sosok mengerikan itu, lenyap perlahan ke dalam kabut, meninggalkan hanya suara-suaranya yang bergema di antara pepohonan, "Semuanya berjalan sesuai rencananya."

***

Related chapters

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 5 : Lukisan Dinding

    "Eh, aku sudah sembuh?" Sahya yang beristirahat, menatap tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda luka, hanya bekas luka dan luka kecil yang masih terlihat. Setiap orang di suku ini memiliki kemampuan penyembuhan yang kuat. Seseorang dapat berdiri sendiri lagi setelah istirahat beberapa hari meskipun sebelumnya Ia terluka parah. Dan setelah satu atau dua bulan, tubuhnya akan menjadi seperti baru. Mungkin Itu pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat sukunya tidak peduli dengan perkelahian. Sahya membalikkan tubuhnya sedikit dan mengangkat tinjunya, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya. Matanya kemudian melihat sekeliling, Sahya mendesah pelan. Dia tidak lagi berniat untuk mengendap-endap keluar suku. Di satu sisi karena dunia luar masih terasa menakutkan, di sisi lain karena dia sudah mengumpulkan banyak daging, meskipun, mungkin akan tiba saat baginya untuk pergi berburu lagi. Di saat-saat seperti ini Sahya menghabiskan waktunya dengan menjelajahi gua Tawon. Sebenarn

    Last Updated : 2024-08-12
  • Padang : Lantai Pertama   Bab 6 : Etika

    Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-

    Last Updated : 2024-09-15
  • Padang : Lantai Pertama   Bab 7 : Saatnya Mengumpulkan Batu!

    “Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso

    Last Updated : 2024-09-18
  • Padang : Lantai Pertama   Bab 8 : Mereka Lagi

    Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh

    Last Updated : 2024-09-19
  • Padang : Lantai Pertama   Bab 9 : Perkelahian Anak Kecil

    Ketika Sahya tenggelam dalam pikirannya tentang apakah dia harus menghancurkan kepala mereka dengan batu atau dengan tangan kosong, ketiga anak itu sudah berbaris di dekat tempat persembunyiannya, mereka masih tidak menyadari penyergapan.Butuh waktu yang cukup lama untuk ketiga anak itu sampai di dekat tempat persembunyian Sahya berada. Selama waktu ini, Ia terus mengamati mereka dengan seksama.Tampaknya perhatian anak-anak itu tertuju pada hal lain, salah satunya menghindari tertimpa batu yang berjatuhan. Mereka bergerak dengan hati-hati, sesekali menjerit kaget ketika batu-batu kecil bergulir di dekat kaki mereka. Ketiga anak itu tidak tahu jalan mana yang aman untuk didaki, jadi mereka hanya bisa mencoba mengambil jalan memutar.“Apakah ini arah yang benar, Tomo?” Kibu berjalan di depan kelompok mereka, dia baru saja menghindari batu yang jatuh dari tebing di atasnya.Sorot matanya yang tajam tertuju ke arah orang yang berada di belakangn

    Last Updated : 2024-09-25
  • Padang : Lantai Pertama   Bab 10 : Ubi Merah Berambut

    Kibu terbaring lemas di tanah, mengalami rasa sakit dan amarah yang memuncak. Dengan gerakan gemetar, tangannya perlahan mengusap lembut kepalanya yang terasa berdenyut-denyut akibat cedera.Wajahnya yang bengkak dipenuhi dengan ekspresi kemarahan yang sulit untuk disembunyikan. Lubang hidungnya yang masih mengucurkan sedikit darah menambahkan sentuhan kejut kepada keseluruhan pemandangan tragis yang mengelilinginya.Dalam benaknya, Kibu bersumpah untuk tidak pernah melupakan penghinaan ini sepanjang hidupnya. Rasa dendam yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat, menyalakan bara kemarahan yang membara di dalam dadanya.Matanya memperhatikan dengan tajam ke arah Sahya yang sedang sibuk memilih batu-batu di kejauhan, tampaknya tidak menyadari kesengsaraan yang dialami oleh Kibu.Kibu yakin bahwa Sahya pasti telah mengumpulkan beberapa batu yang berharga meski jarak di antara mereka terlalu jauh untuk bisa terlihat secara langsung. Beberapa batu bagus bisa dit

    Last Updated : 2024-09-26
  • Padang : Lantai Pertama   Bab 11 : Mereka Lagi?

    Saat senja tiba dan matahari mulai meredup di langit, Pato, seorang pria paruh baya, dengan tekun menjalankan tugasnya mengantar makanan ke gua Tawon setiap hari. Pato mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar Ogi, terutama setelah kehilangan salah satu lengannya akibat kecelakaan tragis saat misi perburuan. Peristiwa tersebut juga mengakhiri karirnya sebagai pemburu.Meski diberi tugas yang tampak sepele, Pato merasa puas karena sukunya tetap memberinya tempat tinggal dan makanan. Begitu mangkuk batu diletakkan, anak-anak di gua langsung berhamburan seolah-olah mereka tidak makan selama berhari-hari. Walaupun mereka masih anak-anak, pemandangan itu seperti medan pertempuran untuk mendapatkan makanan.Menyaksikan kekacauan ini, Sahya hanya bisa menghela nafas. Dia sadar bahwa situasi ini tidak akan berubah dalam waktu dekat.Sejak lama, pemimpin suku Tawon terlalu sibuk dengan perselisihan internal di antara anggota sukunya. Akibatnya, mereka mengabaikan kondisi d

    Last Updated : 2024-10-02
  • Padang : Lantai Pertama   Bab 12 : Sang Dukun

    Seperti pepatah mengatakan, jangan pernah meremehkan kekuatan orang bodoh dalam kelompok besar. Peristiwa yang melibatkan anak-anak gua terhadap Kibu dan kedua anak buahnya membuktikan kebenaran pepatah ini. Jika bukan karena kehadiran orang tua mereka dan Pato yang menyelamatkan Kibu dan kedua anteknya, nasib ketiga anak itu mungkin berbeda.Kejadian tersebut juga membantu masyarakat suku untuk menyegarkan kembali pemahaman mereka tentang anak-anak di dalam gua. Ternyata, anak-anak ini mampu bersatu menghadapi musuh bersama. Beberapa orang yang berniat jahat pun terpaksa menyembunyikan maksud mereka setelah melihat situasi tersebut.Setelah mengatasi gangguan Kibu, Sahya mengumpulkan anak-anak ganas itu kembali ke gua. Tak lama kemudian, hanya dengan beberapa tarikan nafas, beruang besar dimakan bersih. Satu-satunya bagian yang tersisa hanyalah tulang-tulangnya yang kokoh.Pada saat yang sama, Pato kembali ke Gua Tawon. “Bukankah dia sudah mengantarkan ma

    Last Updated : 2024-10-03

Latest chapter

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 14 : Firasat Buruk

    "Siapa di sana?!" Sahya menahan napas, sementara detak jantungnya semakin cepat, berdentum keras di telinganya. Rambutnya berdiri tegak, dan tubuhnya gemetar karena ketakutan. Kekakuan merayap ke setiap serat sarafnya, menghilangkan suaranya dan membuatnya tidak mampu bergerak.Dalam hitungan detik, sesuatu yang dingin dan basah menyentuh kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri saat lidah makhluk itu melintasi kulitnya. Sahya menatap dua titik merah yang berkelap-kelip dalam kegelapan.Makhluk itu perlahan mendekatinya, setiap langkah disertai tatapan menghantui dan menakutkan. "Enak sekali~," desisnya sambil menyeringai, suaranya melengking menyusup ke telinga siapa pun yang mendengarnya. Sahya terjatuh tiba-tiba ke tanah. Tak lama, makhluk itu mendekat dan dengan kejam menginjak dadanya.Mata Sahya terpaku pada makhluk yang berdiri di atasnya, mata merah menyala dalam gelap seperti dua bara api kecil. Dalam pandangannya, ia melihat gigi dan cakar tajam, serta

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 13 : Monster di Kegelapan

    Saat matahari mulai terbit dan menyebarkan kehangatannya, Pato kembali ke Gua Tawon, ditemani oleh beberapa pria. Senyum akrab yang menghiasi wajah Pato tampak familier, tetapi ketika anak-anak melihat pria-pria yang menyusul di belakangnya, mereka mulai menyadari adanya niat buruk dari Pato.“Persetan!” gerutu anak-anak dalam hati mereka.Setiap tahun, di awal musim hujan dan sebelum dimulainya Festival Langit, mereka akan dipaksa mandi di sungai. Secara tradisional, ini berarti mereka harus mandi sebelum mengikuti ritual kebangkitan kekuatan roh. Namun, kenyataannya, mereka yang enggan mandi akan diseret ke sungai dan dimandikan secara paksa.Melihat para pria yang dibawa oleh Pato, anak-anak pun gemetar ketakutan.Sahya berjalan menuju sungai, memperhatikan bayangannya di permukaan air. Meskipun riak membuat bayangan itu kabur, ia tetap bisa melihat bahwa penampilannya sangat berantakan. "Sepertinya seseorang memang perlu disikat!"Para pejuang yang kuat dan gagah berani mungkin bi

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 12 : Sang Dukun

    Seperti pepatah mengatakan, jangan pernah meremehkan kekuatan orang bodoh dalam kelompok besar. Peristiwa yang melibatkan anak-anak gua terhadap Kibu dan kedua anak buahnya membuktikan kebenaran pepatah ini. Jika bukan karena kehadiran orang tua mereka dan Pato yang menyelamatkan Kibu dan kedua anteknya, nasib ketiga anak itu mungkin berbeda.Kejadian tersebut juga membantu masyarakat suku untuk menyegarkan kembali pemahaman mereka tentang anak-anak di dalam gua. Ternyata, anak-anak ini mampu bersatu menghadapi musuh bersama. Beberapa orang yang berniat jahat pun terpaksa menyembunyikan maksud mereka setelah melihat situasi tersebut.Setelah mengatasi gangguan Kibu, Sahya mengumpulkan anak-anak ganas itu kembali ke gua. Tak lama kemudian, hanya dengan beberapa tarikan nafas, beruang besar dimakan bersih. Satu-satunya bagian yang tersisa hanyalah tulang-tulangnya yang kokoh.Pada saat yang sama, Pato kembali ke Gua Tawon. “Bukankah dia sudah mengantarkan ma

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 11 : Mereka Lagi?

    Saat senja tiba dan matahari mulai meredup di langit, Pato, seorang pria paruh baya, dengan tekun menjalankan tugasnya mengantar makanan ke gua Tawon setiap hari. Pato mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar Ogi, terutama setelah kehilangan salah satu lengannya akibat kecelakaan tragis saat misi perburuan. Peristiwa tersebut juga mengakhiri karirnya sebagai pemburu.Meski diberi tugas yang tampak sepele, Pato merasa puas karena sukunya tetap memberinya tempat tinggal dan makanan. Begitu mangkuk batu diletakkan, anak-anak di gua langsung berhamburan seolah-olah mereka tidak makan selama berhari-hari. Walaupun mereka masih anak-anak, pemandangan itu seperti medan pertempuran untuk mendapatkan makanan.Menyaksikan kekacauan ini, Sahya hanya bisa menghela nafas. Dia sadar bahwa situasi ini tidak akan berubah dalam waktu dekat.Sejak lama, pemimpin suku Tawon terlalu sibuk dengan perselisihan internal di antara anggota sukunya. Akibatnya, mereka mengabaikan kondisi d

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 10 : Ubi Merah Berambut

    Kibu terbaring lemas di tanah, mengalami rasa sakit dan amarah yang memuncak. Dengan gerakan gemetar, tangannya perlahan mengusap lembut kepalanya yang terasa berdenyut-denyut akibat cedera.Wajahnya yang bengkak dipenuhi dengan ekspresi kemarahan yang sulit untuk disembunyikan. Lubang hidungnya yang masih mengucurkan sedikit darah menambahkan sentuhan kejut kepada keseluruhan pemandangan tragis yang mengelilinginya.Dalam benaknya, Kibu bersumpah untuk tidak pernah melupakan penghinaan ini sepanjang hidupnya. Rasa dendam yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat, menyalakan bara kemarahan yang membara di dalam dadanya.Matanya memperhatikan dengan tajam ke arah Sahya yang sedang sibuk memilih batu-batu di kejauhan, tampaknya tidak menyadari kesengsaraan yang dialami oleh Kibu.Kibu yakin bahwa Sahya pasti telah mengumpulkan beberapa batu yang berharga meski jarak di antara mereka terlalu jauh untuk bisa terlihat secara langsung. Beberapa batu bagus bisa dit

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 9 : Perkelahian Anak Kecil

    Ketika Sahya tenggelam dalam pikirannya tentang apakah dia harus menghancurkan kepala mereka dengan batu atau dengan tangan kosong, ketiga anak itu sudah berbaris di dekat tempat persembunyiannya, mereka masih tidak menyadari penyergapan.Butuh waktu yang cukup lama untuk ketiga anak itu sampai di dekat tempat persembunyian Sahya berada. Selama waktu ini, Ia terus mengamati mereka dengan seksama.Tampaknya perhatian anak-anak itu tertuju pada hal lain, salah satunya menghindari tertimpa batu yang berjatuhan. Mereka bergerak dengan hati-hati, sesekali menjerit kaget ketika batu-batu kecil bergulir di dekat kaki mereka. Ketiga anak itu tidak tahu jalan mana yang aman untuk didaki, jadi mereka hanya bisa mencoba mengambil jalan memutar.“Apakah ini arah yang benar, Tomo?” Kibu berjalan di depan kelompok mereka, dia baru saja menghindari batu yang jatuh dari tebing di atasnya.Sorot matanya yang tajam tertuju ke arah orang yang berada di belakangn

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 8 : Mereka Lagi

    Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 7 : Saatnya Mengumpulkan Batu!

    “Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso

  • Padang : Lantai Pertama   Bab 6 : Etika

    Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status