Hening yang terasa begitu mencekam. Meskipun sinar matahari terang di langit, waktu seperti telah membeku, dan sunyi yang teramat dalam seolah menyatakan bahwa seluruh jagat ini telah mati, tak bergerak.
Sahya dengan cepat melakukan apa yang disuruh dan bersembunyi di balik pohon di sebelahnya, dia menunduk untuk mengintip keluar dan menunggu dengan hati berdebar saat dia menyaksikan kejadian yang akan terjadi.
Tiba-tiba, sinar putih kilat memotong dari arah kanan mereka. Sebuah entitas muncul berjalan secara perlahan. Sosok itu berbentuk manusia namun kulitnya putih bersih tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dengan rambut hitam mengalir, tangan dan kaki berujung kuku tajam. Wajahnya menyerupai topeng dan matanya menyala merah bak bara api itu memberikan tatapan menakutkan.
Makhluk itu menyerupai seorang wanita, namun gerakannya seperti bayangan yang memudar ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan jejak kehadiran yang dingin dan sunyi.
Mata Nawa menyipit tajam, kedua tangannya mengepal erat, dan pola tato rohnya semakin tampak jelas di kulitnya.
Sesaat, makhluk itu menoleh ke arah pohon tempat Sahya bersembunyi, lalu beralih kepada Penjaga, menampilkan wajah yang hancur dan mengerikan. Namun, tampaknya ia tak peduli. Ia terus berjalan melewati mereka dengan tenang.
Saat makhluk itu semakin menjauh, burung gagak dan burung-burung lain kembali ke perilaku mereka yang biasa.
Penjaga kemudian menarik napas dalam-dalam, dan pola tato di tubuhnya perlahan menghilang.
Sahya memandang ke arah hutan, di mana makhluk itu telah lenyap dalam kegelapan."Apa itu tadi, Nawa? Makhluk itu... aku belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya."" Sahya bertanya, keheranan jelas terpancar dari matanya.
Ia masih ingat cerita-cerita tentang hantu dari kehidupan sebelumnya. Namun, di saat itu, tidak ada satu pun bayangan dari cerita-cerita itu yang setara dengan makhluk menyeramkan yang baru saja muncul.
Penjaga itu terdiam sejenak, matanya memperhatikan anak di depannya dengan tatapan bingung. “Aku juga tidak tahu pasti,”
“Sedikit nasehat untukmu, bocah kecil, jangan pergi ke daerah terlarang atau kamu akan dimakan bagi sesuatu yang lebih ganas daripada para Gigi Pedang itu!" Dia nampak kembali santai meski kemudian wajah penjaga itu menjadi serius saat melihat arah kepergian makhluk itu.
Sahya merenung, “Gigi pedang? Apakah dia merujuk pada Smilodon itu?” Dalam pikirannya, dia mengangguk tanda pemahaman.
Sebuah hembusan nafas lembut keluar dari bibirnya. "Ngomong-ngomong, terima kasih sudah menolongku… " kata Sahya secara tiba-tiba.
Penjaga itu hanya mengangguk.
“Eh, tunggu sebentar! Apa yang kau lakukan?” teriak Sahya, terkejut ketika tiba-tiba diangkat kembali oleh penjaga. “Aku mampu berjalan sendiri, hei!” katanya sambil berusaha membebaskan diri dari cengkraman si penjaga.
Suara ranting patah dan dedaunan kering berderak di bawah kaki mereka, menambah ketegangan suasana. Angin berbisik pelan, membawa serta aroma hutan yang lembab dan sedikit anyir.
Pola tato di tubuh Nawa berdenyut samar sementara tangannya siap siaga di gagang senjata. Sahya mengikuti di belakangnya, sesekali menoleh ke belakang dengan cemas.
Nawa berjalan dalam diam, hanya suara langkah kaki yang terdengar di bawah dedaunan yang basah. Setiap ranting yang patah atau daun yang terinjak membuat mereka tersentak, hati mereka berdegup kencang dengan ketakutan yang tidak dapat dijelaskan.
Tiba-tiba, suara gemerisik di semak-semak membuat mereka berhenti serentak. Nawa mengangkat tangan, memberi isyarat untuk diam. Mata mereka menyapu sekitar, mencari sumber suara. Rasa dingin yang sama seperti saat makhluk itu muncul, kembali menyelimuti mereka.
Di tengah perjalanan, suara gemuruh dari kejauhan menarik perhatian mereka. Seperti suara sesuatu yang besar dan berat sedang bergerak melalui hutan. "Apa itu?" bisik Sahya, suaranya nyaris tak terdengar.
Nawa menggeleng, tatapan matanya tetap waspada. “Tidak ada waktu untuk mencari tahu.”
Nawa mempercepat langkah, napas mereka semakin berat dan terburu-buru. Setiap langkah terasa semakin berat dengan beban ketakutan yang mereka rasakan.
Saat mereka hampir mencapai tepi hutan, suara mengerikan terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Sahya hampir terjatuh saat Nawa tersandung dahan pohon. Untung saja, penjaga dengan itu sigap menangkapnya kembali.
Tiba-tiba dari arah depan terdengar siulan dari penjaga desa lain. Perasaan mengerikan yang mereka rasakan hilang seketika. Akhirnya Nawa itu menghela nafas lega.
Saat perjalanan mereka berakhir, mereka sampai di wilayah suku. Di sana, terlihat kehidupan sehari-hari para manusia masa prasejarah berlangsung. Anak-anak riang bermain di jalanan, sementara orang dewasa sibuk dengan urusan sehari-hari mereka.
Mereka sama sekali tak memperhatikan seorang yang menggendong anak kecil dan menyeret seekor babi hutan raksasa.
Setengah dari hasil buruan yang ditangkap Sahya diberikan kepada Nawa, tetapi, alih menerimanya, si penjaga memasukkannya ke dalam keranjang untuk diolah dan dijadikan menjadi santapan rekan-rekannya yang lain.
Sahya merasakan ramuan herbal dengan aroma yang sangat aneh dioleskan ke luka-lukanya, meninggalkan sensasi yang hampir membuatnya muntah. Meskipun begitu, anehnya ramuan itu ternyata lumayan manjur. Rasa sakit pada tubuhnya sedikit mereda.
Ketika perut sudah penuh, Sahya memilih untuk menyimpan sisa daging buruan setelah mengolahnya menjadi dendeng. Dengan tulus, dia mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal kepada para penjaga lainnya.
Saat Sahya menghilang dari pandangan penolongnya, wajah sang penjaga mulai terlihat gelap. Rekannya terkejut dengan perubahan ekspresi Nawa dan tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Ada apa, Nawa?"
Nawa hanya menatap ke arah tempat Sahya pergi dalam keheningan. "Dihyang muncul," ucap Nawa dengan tenang, matanya masih tertuju ke arah yang sama.
Ketika nama makhluk tersebut diucapkan, kerumunan di sekitar mulai menengok ke arah Nawa dengan tatapan penuh kecurigaan, seakan mereka baru saja melihat sesuatu yang menakutkan.
"Tolong rahasiakan berita ini dari yang lain, Aku akan segera melapor kepada kepala suku..." kata Nawa tiba-tiba dengan nada serius.
…
Di dalam lebatnya hutan, jauh dari wilayah suku, sesosok makhluk mengerikan melangkah di antara pohon-pohon besar dan tinggi. Makhluk itu berdiri tegak dengan dua kaki seperti manusia. Matanya bercahaya merah menyala seperti bara, dengan pupil hitam yang membingungkan, menyebabkan segala yang ada di sekitarnya terlihat kabur. Kulitnya putih bersih namun kemudian berubah menjadi biru tua seperti langit malam, dengan bintik-bintik hitam di bahu dan punggungnya.
Makhluk itu adalah sosok yang sebelumnya ditemui Sahya dan Nawa saat perjalanan pulang kembali ke suku.
Makhluk itu tersenyum dingin, memperlihatkan taringnya, yang membuat siapa pun merinding dari ujung kepala sampai ujung kaki. Telinganya yang runcing terlihat semakin tajam saat ia tersenyum, menambah kesan seram. Namun, tiba-tiba terdengar suara aneh bergetar dari arah yang berbeda di dalam rimbunnya pepohonan.
"Itu kau?" Rambut hitamnya mulai berkibar tertiup angin, seketika hutan gelap di belakangnya kembali sunyi, tatapannya beralih ke sesuatu yang berada di depannya.
Setelah beberapa detik berlalu, sesosok makhluk muncul di sisi yang berlawanan dengannya. Memiliki tubuh tinggi besar dengan badan penuh bulu hitam, sorot matanya merah dan bersinar seperti api dalam kegelapan. Makhluk itu menatap Ratrau dengan penuh niat jahat, seolah ingin merobek tubuhnya kemudian memakan habis dagingnya.
Dalam genggaman tangannya terlihat seorang manusia yang penuh dengan darah dan tak bernyawa. Adapun yang lebih mengejutkan adalah pola tato pada tubuh manusia tersebut; pola yang sama dengan tato-tato yang hanya dimiliki oleh suku Palon Dihyang.
"Gandaru...," ucap Ratrau, mengisyaratkan kehadiran makhluk misterius itu. Setelah jeda singkat, Ratrau melanjutkan, "...apa niat tuanmu kali ini?" Suaranya tajam, menggema seperti raungan ratusan anjing saat berbicara di tengah kesunyian hutan.
"Aku hanya membawa kabar," jawab Gandaru, ia mengeluarkan seringai dingin.
Ratrau tetap terdiam, matanya menyimpan kebencian yang tak terucapkan saat ia menatap lawan bicaranya dengan tajam, jelas tidak senang dengan kedatangan sosok ini.
Tanpa diduga, kabut hitam mulai membentuk lingkaran di sekeliling Gandaru, menyelimutinya perlahan.
Tidak selang berapa lama, kabut itu pun mulai menyapu kepergiannya, membawa bersama sosok mengerikan itu, lenyap perlahan ke dalam kabut, meninggalkan hanya suara-suaranya yang bergema di antara pepohonan, "Semuanya berjalan sesuai rencananya."
***
"Eh, aku sudah sembuh?" Sahya yang beristirahat, menatap tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda luka, hanya bekas luka dan luka kecil yang masih terlihat. Setiap orang di suku ini memiliki kemampuan penyembuhan yang kuat. Seseorang dapat berdiri sendiri lagi setelah istirahat beberapa hari meskipun sebelumnya Ia terluka parah. Dan setelah satu atau dua bulan, tubuhnya akan menjadi seperti baru. Mungkin Itu pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat sukunya tidak peduli dengan perkelahian. Sahya membalikkan tubuhnya sedikit dan mengangkat tinjunya, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya. Matanya kemudian melihat sekeliling, Sahya mendesah pelan. Dia tidak lagi berniat untuk mengendap-endap keluar suku. Di satu sisi karena dunia luar masih terasa menakutkan, di sisi lain karena dia sudah mengumpulkan banyak daging, meskipun, mungkin akan tiba saat baginya untuk pergi berburu lagi. Di saat-saat seperti ini Sahya menghabiskan waktunya dengan menjelajahi gua Tawon. Sebenarn
Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-
“Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies goso
Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh
Cianjur, 1974Aura pegunungan yang hijau dan penuh kehidupan mulai membawa kesegaran bagaikan bagi orang yang telah lama terperangkap dalam rutinitas kota yang monoton.Saat ini, sebuah bus yang berisi rombongan mahasiswa dan arkeolog sedang menuju desa kecil pegunungan yang letaknya relatif terpencil. Situs Gunung Padang, Dikabarkan bahwa benda-benda dari Zaman Batu ditemukan di sana.Salah satu dari rombangan mereka adalah Sahya, si Mahasiswa Teknik ‘Donatur Kampus’. Ia biasanya hanya mengenal kebisingan dan lampu-lampu kota, namun kali ini pemuda itu bisa merasakan kedamaian yang luar biasa.Pemandangan pegunungan yang hijau serta sesekali suara burung dan gesekan daun-daun yang bergoyang menjadi musik alam yang menenangkan.Namun, tidak hanya keindahan alam yang membuat hari itu terasa spesial, cerita-cerita yang dibagikan oleh Upik, seorang teman arkeologinya, juga turut menambah warna dalam perjalan. Dan tentu saja, Ia juga biang keladi Sahya berada di dalam rombongan ini.Sahya
Di dalam sebuah gua yang terletak di kaki bukit, terdapat puluhan anak tergeletak tak beraturan dimana-mana. Lapisan kulit hewan tipis dan compang-camping menutupi badan mereka.Langit-langitnya terdapat lubang-lubang ventilasi udara yang cukup besar. Melalui lubang itu juga sinar matahari masuk. Mungkin karena sudah lama tidak dibersihkan, bau busuk menjadi menyengat di sekitar gua.Di bawah ventilasi udara yang penuh debu, ada seorang anak kecil duduk dengan celana kulit yang compang-camping menyelimuti sebagian kakinya yang kurus. Satu tangannya sibuk memainkan giginya yang goyah, sementara matanya yang sayu kelam menelusuri sisi gua di hadapannya. Tubuhnya terlihat lebih ringkih dibandingkan dengan anak-anak lain di gua itu.Perutnya bergemuruh, seolah menjerit meminta makanan, namun karena tidak punya makanan, ia hanya melamun dengan tenang sambil memikirkan cara berburu binatang di sekitar suku untuk mengisi perutnya.Anak itu memejamkan mata kembali rapat-rapat, berharap rasa s
Di dalam hutan purba yang megah dan lebat, pepohonan besar yang menjulang tinggi menjadi penjaga alami dalam keheningan alam. Matahari berusaha menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kerlap-kerlip cahaya di atas lantai hutan yang penuh dengan semak belukar yang rimbun.Karena hewan-hewan di sekitar suku telah diburu habis, Sahya terpaksa masuk lebih dalam ke hutan untuk berburu. Namun, semakin jauh ia dari suku, semakin besar pula risikonya.Di tengah hutan yang lebat, Sahya bergerak dengan hati-hati di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Cahaya matahari yang mencoba menembus kanopi hanya menghasilkan sinar tipis yang menciptakan pola bayangan aneh di tanah.Suara burung-burung dan serangga yang bersahutan memberikan latar belakang ritmis pada suasana yang sepi.Saat melangkah lebih dalam, Sahya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin, dan desiran angin membawa aroma tanah basah yang segar.Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar