“Mendaki bukit dengan tubuh ini? Ah, seperti mencoba membuat kucing belajar main piano,” keluh Sahya sambil berhenti sejenak, menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya. Butiran keringat mengalir deras membasahi keningnya, membuat rambutnya yang kusut dan lepek menempel di dahinya seperti mi instan yang terlalu lama direbus.
Tujuan Sahya bukanlah puncak bukit sukunya, melainkan sisi lain dari bukit itu. Setiap beberapa hari sekali, dia akan mendaki ke tempat ini untuk mengamankan makanan yang ia dapatkan atau memakan makanan itu.
Dia beristirahat sejenak di tepian tebing, menikmati pemandangan yang membentang luas di depannya. Daratan dan pegunungan tak berujung terbentang ke cakrawala, sebagian besar diselimuti hutan lebat berwarna hijau gelap, seperti lautan hutan yang tak pernah berakhir.
Bukit-bukit yang jarang vegetasinya muncul seperti pulau-pulau gersang di tengah samudra pepohonan, dengan warna coklat kemerahan tanah dan bebatuan kasar yang tampak seperti brownies gosong dari kejauhan. "Sayangnya, bukit ini tidak bisa dimakan," gumamnya
Bukit ini merupakan tempat latihan berburu para pejuang sekaligus sumber utama batu yang digunakan oleh suku mereka. Bebatuannya membuat tempat ini tidak cocok untuk tanaman, namun sangat ideal untuk berlatih.
Dari alat-alat rumah tangga hingga senjata dan peralatan berburu, batu-batu dari bukit ini adalah bahan mentah yang berharga. Meskipun medan yang keras dan tandus, tempat ini menjadi pusat penting bagi kelangsungan hidup suku mereka.
Sahya kemudian melanjutkan perjalanannya dengan semangat yang baru, meskipun langkahnya masih seberat batu. Sesekali, dia harus berhenti untuk mengatur napas dan mengelap keringat yang semakin deras mengalir.
Saat dia berjalan, kakinya tiba-tiba tergelincir pada kerikil licin. "Hati-hati, dasar ceroboh!" Sahya menyeimbangkan diri dengan gaya yang mirip tarian aneh, lalu kembali melangkah dengan hati-hati.
Setelah beberapa menit singkat, Sahya akhirnya sampai di lapangan berkerikil. Kerikil ini terbuat dari batu besar yang telah pecah akibat latihan para pejuang suku, bukan batu yang terbentuk secara alami.
Semua batu berguna yang dapat dibuat menjadi periuk telah diambil oleh orang lain dalam suku tersebut dan sisanya hanyalah sampah, sehingga biasanya tidak ada orang lain yang mau repot-repot untuk mengunjungi tempat ini.
Suasana tampak sepi, namun tetap saja, suara batu pecah terdengar dari perbukitan di dekatnya. Sahya sendiri belum pernah melihat pelatihan pejuang. Konon katanya kekuatan destruktif yang diciptakan oleh pejuang roh begitu besar sehingga orang-orang yang rentan, seperti Sahya dilarang untuk mendekat.
Sahya berjalan ke arah sebuah pohon pendek di tepi halaman kerikil dan mulai membersihkan lapisan permukaan tanahnya. Dengan pisau batu kasar yang tergantung di pinggangnya, ia menggali di bawah tanah. "Rasanya seperti jadi arkeolog yang mencari harta karun, sayangnya tak ada emas di sini," gumamnya.
Tak lama kemudian, dia menemukan sebuah wadah batu yang dengan sepotong dendeng di dalamnya. Sahya segera mengeluarkan dendengnya dan mengubur wadahnya seperti sebelumnya.
Dendeng yang kering dan amis, hanya berukuran setengah tangan. Di kehidupan terakhirnya, Sahya tidak akan pernah menyangka akan memakan dendeng seperti itu. Namun saat, demi menjaga kelangsungan hidupnya dari kelaparan yang melanda, Ia tak punya pilihan.
“Dunia ini sangat keras untuk seorang anak kecil!” kata Sahya dalam hati sambil menggigit dendengnya.
Setelah sarapan dengan makanan sederhana itu, semangat Sahya kembali. Tubuhnya yang kelelahan dari aktivitas pagi kini terasa lebih bugar setelah mendapatkan asupan nutrisi yang cukup.
Meraih kedua tangan di atas kepalanya, Sahya merasakan otot-ototnya meregang dengan enak, menghilangkan kekakuan setelah dua jam mendaki. Setelah peregangan selesai, Sahya duduk kembali di tempat yang sejuk dan tenang.
Dari wadah batu, ia mengeluarkan sehelai lembaran kulit yang sudah agak usang namun tetap kokoh dan tinta buatannya yang khas.
Sahya mulai mencatat pengalaman di atas lembaran kulit tersebut dengan jari-jarinya. Tujuan tulisan ini adalah untuk menjaga kewarasannya dirinya di tengah kerasnya kehidupan dunia ini.
Sahya menyimpan lembaran kulit dan tinta dengan hati-hati. Matanya memeriksa setiap sudut, takut wadah batu yang menyimpan makanannya bisa diambil orang lain.
Selesai menulis, ia berdiri di tengah lapangan kerikil, napasnya mulai tenang. Dengan gerakan yang penuh kehati-hatian, ia pun mulai berlatih teknik tinju yang ia ingat dari kehidupan sebelumnya.
Pukulan demi pukulan menghantam udara, menciptakan irama yang menggema di pikirannya. Meskipun keringat mengalir deras, ketegangan dalam dirinya perlahan memudar.
Ia menutup mata sejenak, merasakan napasnya yang berat menjadi lebih teratur. Kehangatan sinar matahari menyelimuti kulitnya, memberikan rasa nyaman di tengah kesunyian. Ketika mata terbuka kembali, pandangannya tertuju pada sosok pria yang mendekat dari kejauhan.
Sosok itu semakin jelas di pandangannya. Pria itu sangat tinggi dan besar, dengan pakaian yang bagus namun sederhana dari kulit dan bulu, dihiasi dengan lapisan serpihan batu di beberapa bagian.
Wajahnya, penuh bekas luka, membuatnya terlihat garang. Sebuah perkakas batu yang terbuat dari batu halus tergantung di pinggangnya.
Orang itu berjalan dengan tenang, tak ada langkah kaki yang terdengar. Jika bukan karena wajahnya yang kebetulan mengarah ke sana, Sahya tidak akan pernah tahu ada yang datang bahkan ketika orang itu sudah berjarak sepuluh meter darinya.
"Selamat pagi, Paman Ogi!" Sahya menyapanya terlebih dahulu dengan suara yang sedikit gemetar namun penuh hormat.
Ogi memandangnya dan kemudian menatap tanda di lantai yang dibuat Sahya dari latihan sebelumnya. Kegembiraan tampak memenuhi matanya, namun senyumannya tidak melembutkan wajahnya yang keras karena bekas luka.
"Ah, Sahya. Kau sudah berlatih dengan tekun, aku melihatnya," Ogi berkata dengan nada suara yang dalam dan berwibawa. "Melatih dirimu sebelum kebangkitan kekuatan roh adalah langkah yang bijaksana."
Sahya menelan ludah, merasa gugup namun bersemangat. "Aku hanya ingin menjadi lebih kuat, Paman. Seperti Ayah dulu."
Hanya sedikit anak-anak dari suku dan anak-anak dari Gua Tawon yang keluar untuk berlatih di masa mudanya.
Pada dasarnya hidup mereka hanya berkisar pada makan dan tidur, hiburan mewah mereka hanya bermain sebentar. Pasalnya, berlatih dan bermain sama-sama membutuhkan tenaga, sementara terlalu banyak bergerak akan menyebabkan rasa lapar berkembang lebih cepat.
Ogi mengangguk pelan, matanya penuh kebijaksanaan yang hanya dimiliki oleh seseorang yang telah melalui banyak pengalaman hidup. "Ayahmu adalah pejuang yang hebat, Sahya. Dan aku melihat semangat yang sama dalam dirimu."
"Ngomong-ngomong, apakah besok Paman akan kembali berburu?" Sahya bertanya, suaranya penuh harap. "Semoga berhasil, Paman. Aku berharap Paman kembali dengan membawa muatan penuh!"
Ogi tersenyum mendengar kata-kata Sahya. Dia tidak banyak bicara dan bersiap untuk pergi, karena besok adalah hari perberburuan timnya dan mungkin perlu berhari-hari sebelum dia kembali. Dia perlu istirahat agar siap saat hari keberangkatan.
Sahya memandang pamannya dan melihatnya mengambil sepotong dendeng dari tas kulit binatangnya.
Dendeng yang dipegang Ogi di tangannya telah disiapkan sebelumnya dan dia berencana untuk memakan sisa kecil ini dalam perjalanan pulang. Namun, karena dia tiba-tiba melihat Sahya saat pulang, dia pun memberikannya tanpa ragu-ragu.
“Terima kasih, Paman!” ucap Sahya dengan tulus. Makanan langka di suku tersebut, jadi tidak semua orang bermurah hati membagikan daging seperti yang dilakukan Ogi.
Sosok Ogi perlahan pergi di kejauhan, Sahya mengambil dan mengubur wadah batu setelah memasukkan dendeng yang dia dapatkan dari Ogi dan meletakkan lapisan serpihan batu di atasnya untuk menyamarkannya.
Setelah sosok pria itu menghilang di kejauhan, Sahya mengubur wadah batu berisi dendeng yang dia dapatkan dari Ogi dan meletakkan lapisan serpihan batu di atasnya untuk menyamarkannya.
Sambil tetap memandang ke arah lokasi yang ditunjukkan oleh pamannya, Sahya yang bersemangat mengucapkan kata kepada dirinya sendiri, "Saatnya mengumpulkan batu!"
***
Para pejuang suku mendapat hak istimewa untuk memilih batu pertama yang akan dikumpulkan karena itu adalah tempat latihan mereka. Orang-orang yang lebih lemah, seperti Sahya, akan memiliki kesempatan untuk ‘Mengambil sisa makanan’ setelah itu.Biasanya, para penduduk suku lainnya akan 'Mengambil sisa makanan' pada jam makan malam, saat matahari hampir tenggelam. Hal ini disebabkan mayoritas pejuang berhenti berlatih dan istirahat setelah waktu tersebut.Bagi mereka yang belum membangkitkan kekuatan roh dan mereka yang memiliki kekuatan roh lemah, tempat latihan akan menjadi tempat yang agak berbahaya di waktu tertentu. Serpihan-serpihan yang menyebar akibat hantaman tinju pejuang ke batu pada dasarnya seperti peluru bagi mereka yang rentan.“Batu yang bagus bisa ditukar dengan banyak makanan” ucap Sahya dalam benaknya. Dengan adanya instruksi dari Ogi sebelumnya, Sahya akan lebih mudah dan aman dalam mencapai tujuannya.Suara gemuruh datang menyelimuti daerah tersebut dan mengusir keh
Cianjur, 1974Aura pegunungan yang hijau dan penuh kehidupan mulai membawa kesegaran bagaikan bagi orang yang telah lama terperangkap dalam rutinitas kota yang monoton.Saat ini, sebuah bus yang berisi rombongan mahasiswa dan arkeolog sedang menuju desa kecil pegunungan yang letaknya relatif terpencil. Situs Gunung Padang, Dikabarkan bahwa benda-benda dari Zaman Batu ditemukan di sana.Salah satu dari rombangan mereka adalah Sahya, si Mahasiswa Teknik ‘Donatur Kampus’. Ia biasanya hanya mengenal kebisingan dan lampu-lampu kota, namun kali ini pemuda itu bisa merasakan kedamaian yang luar biasa.Pemandangan pegunungan yang hijau serta sesekali suara burung dan gesekan daun-daun yang bergoyang menjadi musik alam yang menenangkan.Namun, tidak hanya keindahan alam yang membuat hari itu terasa spesial, cerita-cerita yang dibagikan oleh Upik, seorang teman arkeologinya, juga turut menambah warna dalam perjalan. Dan tentu saja, Ia juga biang keladi Sahya berada di dalam rombongan ini.Sahya
Di dalam sebuah gua yang terletak di kaki bukit, terdapat puluhan anak tergeletak tak beraturan dimana-mana. Lapisan kulit hewan tipis dan compang-camping menutupi badan mereka.Langit-langitnya terdapat lubang-lubang ventilasi udara yang cukup besar. Melalui lubang itu juga sinar matahari masuk. Mungkin karena sudah lama tidak dibersihkan, bau busuk menjadi menyengat di sekitar gua.Di bawah ventilasi udara yang penuh debu, ada seorang anak kecil duduk dengan celana kulit yang compang-camping menyelimuti sebagian kakinya yang kurus. Satu tangannya sibuk memainkan giginya yang goyah, sementara matanya yang sayu kelam menelusuri sisi gua di hadapannya. Tubuhnya terlihat lebih ringkih dibandingkan dengan anak-anak lain di gua itu.Perutnya bergemuruh, seolah menjerit meminta makanan, namun karena tidak punya makanan, ia hanya melamun dengan tenang sambil memikirkan cara berburu binatang di sekitar suku untuk mengisi perutnya.Anak itu memejamkan mata kembali rapat-rapat, berharap rasa s
Di dalam hutan purba yang megah dan lebat, pepohonan besar yang menjulang tinggi menjadi penjaga alami dalam keheningan alam. Matahari berusaha menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kerlap-kerlip cahaya di atas lantai hutan yang penuh dengan semak belukar yang rimbun.Karena hewan-hewan di sekitar suku telah diburu habis, Sahya terpaksa masuk lebih dalam ke hutan untuk berburu. Namun, semakin jauh ia dari suku, semakin besar pula risikonya.Di tengah hutan yang lebat, Sahya bergerak dengan hati-hati di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Cahaya matahari yang mencoba menembus kanopi hanya menghasilkan sinar tipis yang menciptakan pola bayangan aneh di tanah.Suara burung-burung dan serangga yang bersahutan memberikan latar belakang ritmis pada suasana yang sepi.Saat melangkah lebih dalam, Sahya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin, dan desiran angin membawa aroma tanah basah yang segar.Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar
Hening yang terasa begitu mencekam. Meskipun sinar matahari terang di langit, waktu seperti telah membeku, dan sunyi yang teramat dalam seolah menyatakan bahwa seluruh jagat ini telah mati, tak bergerak.Sahya dengan cepat melakukan apa yang disuruh dan bersembunyi di balik pohon di sebelahnya, dia menunduk untuk mengintip keluar dan menunggu dengan hati berdebar saat dia menyaksikan kejadian yang akan terjadi.Tiba-tiba, sinar putih kilat memotong dari arah kanan mereka. Sebuah entitas muncul berjalan secara perlahan. Sosok itu berbentuk manusia namun kulitnya putih bersih tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dengan rambut hitam mengalir, tangan dan kaki berujung kuku tajam. Wajahnya menyerupai topeng dan matanya menyala merah bak bara api itu memberikan tatapan menakutkan.Makhluk itu menyerupai seorang wanita, namun gerakannya seperti bayangan yang memudar ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan jejak kehadiran yang dingin dan sunyi.Mata Nawa menyipit tajam, kedua tangannya
"Eh, aku sudah sembuh?" Sahya yang beristirahat, menatap tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda luka, hanya bekas luka dan luka kecil yang masih terlihat. Setiap orang di suku ini memiliki kemampuan penyembuhan yang kuat. Seseorang dapat berdiri sendiri lagi setelah istirahat beberapa hari meskipun sebelumnya Ia terluka parah. Dan setelah satu atau dua bulan, tubuhnya akan menjadi seperti baru. Mungkin Itu pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat sukunya tidak peduli dengan perkelahian. Sahya membalikkan tubuhnya sedikit dan mengangkat tinjunya, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya. Matanya kemudian melihat sekeliling, Sahya mendesah pelan. Dia tidak lagi berniat untuk mengendap-endap keluar suku. Di satu sisi karena dunia luar masih terasa menakutkan, di sisi lain karena dia sudah mengumpulkan banyak daging, meskipun, mungkin akan tiba saat baginya untuk pergi berburu lagi. Di saat-saat seperti ini Sahya menghabiskan waktunya dengan menjelajahi gua Tawon. Sebenarn
Hari ini langit di atas suku Palon terlihat cerah seperti biasa, sinar matahari menembus pepohonan hutan memberikan kehidupan kepada tanah yang berada di bawahnya. Udara pagi yang segar dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang damai namun penuh energi.Setelah luka-lukanya sembuh sepenuhnya, Sahya memutuskan untuk menjelajahi kehidupan sehari-hari sukunya sambil berjalan-jalan dengan rasa bebas dan santai. Langkah-langkahnya terasa ringan saat ia menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan tinggi.Awalnya, aroma makanan dan pemandangan sekitar membuatnya merasa jijik karena ini adalah kesempatan pertamanya terpapar dengan kebiasaan dan kehidupan yang berbeda. Namun, hari demi hari, ia mulai terbiasa dengan bau khas rempah-rempah dan asap dari api unggun yang selalu menyala.Selama empat bulan itu, Sahya juga seringkali terhantui oleh mimpi-mimpi aneh saat malam hari. Mimpi-mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk misterius dan gambaran-