Ziandra berangkat ke kantor jauh lebih awal dari biasanya. Bukannya langsung masuk ke dalam, ia malah duduk di bagian lobi kantor untuk menunggu seseorang. Dan tepat 20 menit kemudian, sosok Elden langsung mencuri perhatiannya.
Ziandra berlari mendekati Elden dan memanggilnya terburu-buru. Tentu saja Elden merasa aneh dengan sikap Ziandra. Dirinya pikir kemarin Ziandra itu marah besar padanya dan tentu saja hubungan mereka bisa dikatakan berakhir, bukan?
Senyuman Elden terbit ketika Ziandra yang sudah berdiri di depannya langsung memegang lengannya. “Ada apa, Sayang? Tumben pagi-pagi sudah menungguiku,” ungkapnya membuat Ziandra langsung melepaskan pegangannya.
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Dan biar kuperingatkan padamu satu hal, bahwa kita sudah putus jadi jangan memanggilku dengan sebutan sayang! Kau tidak amnesia soal semalam, ‘kan?” sinis Ziandra lalu menyuruh Elden agar mengikutinya.
Keduanya tiba di rooftop kantor yang sama sekali tidak ada orang selain mereka. Ziandra langsung berbalik untuk menatap Elden yang kebingungan dengan sikapnya. Setelah menumpulkan keberaniannya, Ziandra segera menjelaskan maksud tujuannya mengajak bicara Elden di sini.
“Aku mau dirimu kembalikan uangku! Kau meminjam banyak padaku, tapi sekalipun tak pernah kau kembalikan hingga sekarang.”
Elden menyipitkan mata, nada sinis keluar dari mulutnya. “Uang? Jadi kau memanggilku pagi-pagi hanya untuk menuntut uang? Bukankah kita sudah selesai? Kau sendiri yang bilang tadi, hubungan ini sudah berakhir.”
Ziandra berusaha mengontrol amarahnya dengan mengepalkan kedua tangan yang ada di sisi tubuhnya. “Iya, memang benar bahwa kita sudah putus. Tapi, bukan berarti kau jadi tidak membayar hutang padaku. Dan aku juga mau kau kembalikan uang tabungan untuk rencana pernikahan kita. Kau mengajakku menabung di akun bank yang sama, tapi kusadari kau sama sekali tidak ikut menyumbang satu sen pun. Karena sekarang hubungan kita sudah kandas, itu berarti uang tabungan itu harus kau kembalikan!”
Elden melihat arloji di tangannya sebentar, lalu memasukkan kedua tangannya ke saku celananya dan menatap Ziandra yang menunggu reaksinya.
“Kita bahas ini kapan-kapan saja! Aku terlambat menghadiri rapat di timku,” ujar Elden yang langsung berbalik badan untuk pergi dari rooftop.
Ziandra tentu tidak bodoh untuk membiarkan Elden bisa pergi begitu saja. Dengan cepat dirinya meraih bahu Elden agar berhenti melangkah.
“Jangan mengelak dari tanggung jawab!” tekan Ziandra membuat Elden langsung menyentak tangan Ziandra yang bertengger di bahunya.
Elden membentak marah sampai terlihat urat di lehernya. “Aku sudah bilang kalau terlambat rapat, bukannya mau kabur. Toh, kita ini ada di kantor yang sama.”
“Kalau begitu katakan padaku, kapan kau akan membayarnya!? Aku tidak mau kau selalu menunda dan berakhir aku dibohongi. Kau sudah berkhianat dariku dan sekarang kau berpikir untuk menilap uangku.”
Habis sudah kesabaran Elden menghadapi Ziandra yang terus merengek padanya. Tanpa berperasaan, ia menampar pipi Ziandra hingga wanita itu terhuyung jatuh. Terlihat gores kemerahan di pipi Ziandra karena tanpa sengaja Elden menampar dengan tangannya yang memakai arloji.
Elden sempat terkejut menyadari bahwa pipi Ziandra berdarah karena ulahnya, namun karena dirinya tak mau mengakui dan terlihat bersalah, ia memilih untuk abai.
Sambil jari telunjuk ia tudingkan pada Ziandra, dirinya berujar dengan nada tajam penuh penekanan. “Jika kau berani mengusikku, jangan salahkan aku kalau bertindak lebih kasar dari ini!”
Ziandra mendongak, menatap Elden dengan sorot mata penuh kebencian dan kecewa.
“Aku sangat membutuhkan uang itu, El. Nenekku di desa harus segera menjalani perawatan medis, jadi kumohon segera kembalikan uangku. Begini saja, kau boleh tidak membayar utangmu selama kita pacaran, anggap aku memberikannya dengan sepenuh hati itu sungguh tak masalah bagiku. Tapi, kau harus berikan uang tabunganku! Itu milikku dan hakku untuk mendapatkannya kembali.”
Tak peduli dengan rengekan memelas dari Ziandra, Elden dengan tak acuh malah melengos pergi meninggalkannya begitu saja.
Ziandra menyeka air matanya yang sempat bergulir. Ia sungguh tak menyangka bahwa pria yang dulu dicintai dan sangat diagung-agungkannya, nyatanya adalah pria brengsek yang begitu menjijikkan. Ketika butuh uang saja, barulah Elden akan bersikap sangat manis. Tapi sekarang? Ini berbanding jauh terbalik.
Ditinggal sendirian di rooftop, Ziandra kembali dibuat bingung. Ia tak tahu harus bagaimana dan di mana untuk bisa mendapatkan uang agar bisa dikirim ke desanya. Ia tak lagi bisa berharap pada Elden mengingat sifat mantannya itu yang kasar seperti tadi.
Dengan melangkah lemas menuruni rooftop, ia memutuskan untuk pinjam ke bank setelah pulang kerja. Ia harus cepat bertindak agar neneknya tidak terlalu lama menunggu. Biar nanti saja ia pikirkan cara untuk membayar cicilan ke bank.
Tapi saat turun, ia dibuat gelagapan karena semua karyawan terlihat tidak ada di meja kerja mereka. Sambil bertanya-tanya pada diri sendiri, Ziandra berusaha mencari ke ruang aula. Dan benar saja seperti tebakannya, semua karyawan sedang berada di sana semuanya.
Ziandra dengan pelan-pelan segera menyelinap di antara barisan paling belakang. Ia berbisik pada seseorang yang ada di sebelahnya. “Sudah sejak kapan berkumpul di aula?”
“Sekitar 30 menit yang lalu.”
Ziandra mengangguk mengerti lalu kembali bertanya lagi dengan suara berbisik, “Memangnya kenapa kita dikumpulkan di sini? Kemarin sepertinya tidak ada pengumuman apapun.”
Wanita yang ditanyai agak sedikit kesal karena Ziandra terus mengusiknya, sedangkan dia mau fokus mendengarkan seseorang yang sedang bicara serius di podium. Tak segera memberi jawaban, Ziandra malah menyenggol lengannya yang membuat ia oleng dan membentur karyawan lain yang ada di sebelahnya. Tentu saja itu membuat kasak-kusuk di barisan belakang yang membuat atensi pembicara di podium teralihkan.
“Ada apa ribut-ribut di barisan belakang? Tidak bisakah kalian tenang!?” tegur si pembicara dengan nada tegas.
Karyawan wanita itu menunduk takut, ia menyenggol Ziandra di sampingnya agar bicara. “Buruan katakan bahwa ini karena ulahmu! Kalau kau tidak berisik dan menyenggolku, takkan ada keributan.”
Ziandra dengan berat hati karena terus disudutkan oleh wanita itu akhirnya mengangkat tangan tinggi-tinggi.
“Maafkan saya.” Ziandra mengucapkannya dengan suara keras agar bisa didengar sampai ke depan.
“Baiklah, tapi jangan diulangi lagi. Oh ya, sambutan dariku sudah selesai. Kalian semua juga sudah kuperkenalkan dengan CEO yang baru. Kuharap, perusahaan bisa semakin maju dengan adanya pergantian posisi ini.”
Lega sekali hati Ziandra karena kesalahannya tidak dipermasalahkan dan berakhir damai. Ia pun sedikit melongok ke depan sambil memicingkan mata elangnya untuk bisa melihat seperti apa rupa CEO baru.
Seorang pria menaiki podium dan memberikan sedikit sambutan yang menurut Ziandra sangatlah kurang. Ziandra bisa langsung tahu bahwa CEO barunya itu adalah sosok misterius yang irit bicara.
Tapi, betapa kagetnya Ziandra ketika melihat wajah CEO itu meskipun agak sedikit kabur, ia bisa mengenalinya. Bagaimana ia bisa lupa kalau itu adalah wajah yang sama ... wajah pria yang tidur dengannya semalam.
“Astaga, aku pasti hanya mimpi.” Ziandra menggelengkan kepalanya berulang kali, berharap bahwa itu adalah orang yang berbeda.
Dan makin terkejut dirinya ketika CEO itu secara terang-terangnya menatap ke arahnya dan tersenyum tipis sambil berbicara dengan tenang. “Nama saya Anggara Dhanesswara.”
Selesai acara pengenalan CEO baru, Ziandra buru-buru keluar dari aula dan duduk ke kursinya dengan resah. Sambil terus membisiki dirinya sendiri, “Itu tidak mungkin. Pria semalam tidak mungkin bosku.”Ia menolak keras kebenaran bahwa pria yang tidur dengannya adalah orang yang sama. Sedang mengkhawatirkan hal itu, ia dikejutkan sapaan beberapa teman kantornya yang tiba-tiba saja mengerubungi mejanya.“Ada apa?” tanya Ziandra mengangkat sebelah alisnya.Salah satu dari mereka malah menertawakannya. Ia menyentil bahu Ziandra dengan gaya angkuhnya.“Kudengar bahwa kau dan Elden sudah putus, ya? Astaga, akhirnya Elden sadar juga bahwa kau itu tidak layak bersanding dengannya. Selamat atas kandasnya hubungan kalian, ya,” ejeknya dengan suara sengaja dilantangkan agar semua yang ada di sana mendengar berita itu.Banyak karyawan yang berasal dari divisi lain ikut menengok ke arah Ziandra ketika tak sengaja berjalan di mejanya, membuat Ziandra tentu saja merasa malu yang teramat sangat karena
Ziandra merutuki dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya kabur begitu saja setelah ditegur atasannya tadi. pikirannya kalut, bahkan ia hampir melupakan rencananya untuk pergi ke bank setelah pulang kerja guna mengajukan pinjaman.Dengan berat hati, Ziandra memutar langkah, berjalan kaki menuju bank meski kosnya sudah hampir terlihat di ujung jalan. Langkahnya terasa lambat, seolah-olah seluruh tenaganya terkuras habis oleh rasa malu dan putus asa.Sesampainya di bank, semuanya berjalan lebih cepat dari dugaannya. Tak butuh waktu lama, ia sudah keluar dengan wajah tertunduk lesu. Hatinya seperti dihantam batu besar. Pengajuan pinjamannya ditolah mentah-mentah oleh pihak bank.“Kenapa sulit sekali untuk meminjam uang, sih? Padahal aku sudah janji akan membayar tepat waktu. Aku juga nggak mungkin kabur,” keluhnya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.Alasan penolakan bank masih terngiang di telinganya. Ziandra yang tidak memiliki jaminan
Angga menatapnya dengan senyum misterius. “Bisa dibilang, aku menawarkan pekerjaan tambahan padamu. Secara pribadi.”Ziandra menelan ludah dengan susah payah, merasa ada yang tidak beres dari kalimat itu. “Memangnya pekerjaan apa yang Anda maksudkan?”“Jadilah kekasih sewaanku selama 3 bulan. Sebagai gantinya, aku akan memberikan berapa pun yang kau butuhkan,” ungkap Angga seraya menyodorkan cek kosong ke tangan Ziandra.Ziandra menatap Angga dengan campuran rasa takut dan bingung. Cek kosong yang sudah berpindah ke tangannya terasa berat seperti batu.“Kutunggu jawabanmu besok,” kata Angga sebelum berbalik pergi, meninggalkan Ziandra yang terpaku di tempat.Saat langkah Angga menjauh, Ziandra segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Tubuhnya langsung merosot di lantai. Ia menatap cek kosong di tangannya dengan napas yang terasa sesak.Namun, pikirannya segera teralihkan saat ponselnya yang ada di saku celana berbunyi. Pesan dari sepupunya di desa masuk.[Kondisi nenek semakin lem
“Apa kamu serius dengan nominal segitu?” lanjutnya membuat Ziandra menundukkan kepala dengan gugup.Sambil memilin ujung kemejanya, Ziandra mencoba untuk membalas ucapan Angga dengan suara lirih. “Ya. Itu cukup untuk semua biaya yang kubutuhkan. Kalau terlalu besar, saya bisa menguranginya...,”“Mengurangi? Astaga, Ziandra. Tiga puluh juta itu bahkan tak cukup untuk biaya makan malam keluargaku sekali duduk.”Angga memotong ucapan Ziandra dengan menyindir halus. Ia meraih pena di meja, menambahkan angka nol di akhir nominal itu, lalu mengembalikan cek itu ke tangan Ziandra.Ziandra menatap cek itu dengan mata melebar, tak menyangka bahwa uang sebesar 300 juta ada di genggamannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang sebanyak itu, apalagi itu akan jadi miliknya.Ziandra mengenyahkan pikiran buruknya dengan menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Angga, ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerimanya.”Ziandra bermaksud mengembalikan cek itu dan akan menulis nominal yang wajar untuknya
Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.“Kau belum pulang?” Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga,
Ziandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.“Sebaiknya aku bawakan Elden maka
Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.“Kau belum pulang?” Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga,
“Apa kamu serius dengan nominal segitu?” lanjutnya membuat Ziandra menundukkan kepala dengan gugup.Sambil memilin ujung kemejanya, Ziandra mencoba untuk membalas ucapan Angga dengan suara lirih. “Ya. Itu cukup untuk semua biaya yang kubutuhkan. Kalau terlalu besar, saya bisa menguranginya...,”“Mengurangi? Astaga, Ziandra. Tiga puluh juta itu bahkan tak cukup untuk biaya makan malam keluargaku sekali duduk.”Angga memotong ucapan Ziandra dengan menyindir halus. Ia meraih pena di meja, menambahkan angka nol di akhir nominal itu, lalu mengembalikan cek itu ke tangan Ziandra.Ziandra menatap cek itu dengan mata melebar, tak menyangka bahwa uang sebesar 300 juta ada di genggamannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang sebanyak itu, apalagi itu akan jadi miliknya.Ziandra mengenyahkan pikiran buruknya dengan menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Angga, ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerimanya.”Ziandra bermaksud mengembalikan cek itu dan akan menulis nominal yang wajar untuknya
Angga menatapnya dengan senyum misterius. “Bisa dibilang, aku menawarkan pekerjaan tambahan padamu. Secara pribadi.”Ziandra menelan ludah dengan susah payah, merasa ada yang tidak beres dari kalimat itu. “Memangnya pekerjaan apa yang Anda maksudkan?”“Jadilah kekasih sewaanku selama 3 bulan. Sebagai gantinya, aku akan memberikan berapa pun yang kau butuhkan,” ungkap Angga seraya menyodorkan cek kosong ke tangan Ziandra.Ziandra menatap Angga dengan campuran rasa takut dan bingung. Cek kosong yang sudah berpindah ke tangannya terasa berat seperti batu.“Kutunggu jawabanmu besok,” kata Angga sebelum berbalik pergi, meninggalkan Ziandra yang terpaku di tempat.Saat langkah Angga menjauh, Ziandra segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Tubuhnya langsung merosot di lantai. Ia menatap cek kosong di tangannya dengan napas yang terasa sesak.Namun, pikirannya segera teralihkan saat ponselnya yang ada di saku celana berbunyi. Pesan dari sepupunya di desa masuk.[Kondisi nenek semakin lem
Ziandra merutuki dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya kabur begitu saja setelah ditegur atasannya tadi. pikirannya kalut, bahkan ia hampir melupakan rencananya untuk pergi ke bank setelah pulang kerja guna mengajukan pinjaman.Dengan berat hati, Ziandra memutar langkah, berjalan kaki menuju bank meski kosnya sudah hampir terlihat di ujung jalan. Langkahnya terasa lambat, seolah-olah seluruh tenaganya terkuras habis oleh rasa malu dan putus asa.Sesampainya di bank, semuanya berjalan lebih cepat dari dugaannya. Tak butuh waktu lama, ia sudah keluar dengan wajah tertunduk lesu. Hatinya seperti dihantam batu besar. Pengajuan pinjamannya ditolah mentah-mentah oleh pihak bank.“Kenapa sulit sekali untuk meminjam uang, sih? Padahal aku sudah janji akan membayar tepat waktu. Aku juga nggak mungkin kabur,” keluhnya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.Alasan penolakan bank masih terngiang di telinganya. Ziandra yang tidak memiliki jaminan
Selesai acara pengenalan CEO baru, Ziandra buru-buru keluar dari aula dan duduk ke kursinya dengan resah. Sambil terus membisiki dirinya sendiri, “Itu tidak mungkin. Pria semalam tidak mungkin bosku.”Ia menolak keras kebenaran bahwa pria yang tidur dengannya adalah orang yang sama. Sedang mengkhawatirkan hal itu, ia dikejutkan sapaan beberapa teman kantornya yang tiba-tiba saja mengerubungi mejanya.“Ada apa?” tanya Ziandra mengangkat sebelah alisnya.Salah satu dari mereka malah menertawakannya. Ia menyentil bahu Ziandra dengan gaya angkuhnya.“Kudengar bahwa kau dan Elden sudah putus, ya? Astaga, akhirnya Elden sadar juga bahwa kau itu tidak layak bersanding dengannya. Selamat atas kandasnya hubungan kalian, ya,” ejeknya dengan suara sengaja dilantangkan agar semua yang ada di sana mendengar berita itu.Banyak karyawan yang berasal dari divisi lain ikut menengok ke arah Ziandra ketika tak sengaja berjalan di mejanya, membuat Ziandra tentu saja merasa malu yang teramat sangat karena
Ziandra berangkat ke kantor jauh lebih awal dari biasanya. Bukannya langsung masuk ke dalam, ia malah duduk di bagian lobi kantor untuk menunggu seseorang. Dan tepat 20 menit kemudian, sosok Elden langsung mencuri perhatiannya.Ziandra berlari mendekati Elden dan memanggilnya terburu-buru. Tentu saja Elden merasa aneh dengan sikap Ziandra. Dirinya pikir kemarin Ziandra itu marah besar padanya dan tentu saja hubungan mereka bisa dikatakan berakhir, bukan?Senyuman Elden terbit ketika Ziandra yang sudah berdiri di depannya langsung memegang lengannya. “Ada apa, Sayang? Tumben pagi-pagi sudah menungguiku,” ungkapnya membuat Ziandra langsung melepaskan pegangannya.“Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Dan biar kuperingatkan padamu satu hal, bahwa kita sudah putus jadi jangan memanggilku dengan sebutan sayang! Kau tidak amnesia soal semalam, ‘kan?” sinis Ziandra lalu menyuruh Elden agar mengikutinya.Keduanya tiba di rooftop kantor yang sama sekali tidak ada orang selain mereka. Ziandra l
Ziandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.“Sebaiknya aku bawakan Elden maka