Ziandra merutuki dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya kabur begitu saja setelah ditegur atasannya tadi. pikirannya kalut, bahkan ia hampir melupakan rencananya untuk pergi ke bank setelah pulang kerja guna mengajukan pinjaman.
Dengan berat hati, Ziandra memutar langkah, berjalan kaki menuju bank meski kosnya sudah hampir terlihat di ujung jalan. Langkahnya terasa lambat, seolah-olah seluruh tenaganya terkuras habis oleh rasa malu dan putus asa.
Sesampainya di bank, semuanya berjalan lebih cepat dari dugaannya. Tak butuh waktu lama, ia sudah keluar dengan wajah tertunduk lesu. Hatinya seperti dihantam batu besar. Pengajuan pinjamannya ditolah mentah-mentah oleh pihak bank.
“Kenapa sulit sekali untuk meminjam uang, sih? Padahal aku sudah janji akan membayar tepat waktu. Aku juga nggak mungkin kabur,” keluhnya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Alasan penolakan bank masih terngiang di telinganya. Ziandra yang tidak memiliki jaminan selain kartu pekerjaannya sebagai karyawan perusahaan, membuat bank enggan memberikannya pinjaman. Realita pahit hidupnya sebagai perantau melarat seperti menampar keras kesadarannya.
“Setelah ini, aku harus bagaimana? Apa aku nekat pinjam ke rentenir ilegal? Tapi ... kalau nanti ke depannya ada masalah saat penagihan, aku bisa makin terpuruk,” gumamnya sambil menggigit bibir bawah. Pikirannya semakin kacau.
Ia masih berdiri di halaman bank, tatapannya kosong menembus aspal parkiran. Suara deru mobil yang masuk pelataran parkir sama sekali tidak menarik perhatiannya. Bahkan saat pintu belakang mobil itu terbuka dan seseorang keluar, ia tetap tak sadar.
“Sedang apa kau melamun dan hanya berdiri saja di sini?” panggilnya diikuti tepukan lembut di pundaknya.
Ziandra menoleh dan tersentak kaget, matanya langsung melebar. Rasanya udara di sekitarnya berhenti bergerak.
“Pak Angga?” gumamnya dengan nada tak percaya.
Angga tersenyum tipis. “Kau belum menjawab pertanyaanku. Sedang apa melamun di sini?” ujarnya dengan suara tenang tapi menusuk.
Ziandra menelan ludah susah payah. Ia menundukkan kepala sambil berusaha mencari alasan. “Saya ... sedang mengurus sesuatu, Pak,” jawabnya tergagap. “Tapi ini tidak penting. Anda abaikan saja keberadaan saya dan bisa fokus dengan kegiatan Anda sendiri. Kalau begitu, saya permisi.”
Ziandra buru-buru membungkukkan badan, berbalik, dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Lebih tepatnya ingin menghindari Angga dengan segera. Namun, baru beberapa langkah, suara Angga kembali terdengar untuk menginterupsinya.
Ziandra berusaha mengabaikan panggilannya dan mempercepat langkahnya. Tetapi, langkah kaki Angga yang mengejarnya di belakang membuat napasnya tertahan.
“Kalau kau terus kabur seperti ini, aku tidak akan segan memanggilmu ke ruanganku besok,” ancamnya dengan suara dingin.
Terpaksa, Ziandra akhirnya berhenti dan berbalik dengan wajah penuh keraguan. Di depannya berdiri Angga, CEO baru di perusahaannya dengan senyuman miring yang membuat Ziandra semakin terpojok.
“Apa maksud Anda, Pak?” tanyanya dengan suara bergetar.
Angga melipat tangan di dada, menatapnya lekat-lekat. “Ada yang ingin kubicarakan berdua denganmu,” ujar Angga sambil melirik sebuah restoran kecil di seberang jalan.
“Maaf, tapi saya harus segera pulang,” tolak Ziandra seraya menggeleng cepat.
Angga membungkukkan badannya sedikit dan berbicara dekat telinga Ziandra dengan suara pelan. “Kau pikir aku tidak mengenalimu? Wanita yang tidur denganku di hotel tempo hari ... itu kau.”
Ziandra membelalak, tubuhnya seketika tegang. Dengan wajah memucat dan hati berdebar kencang, Ziandra akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, Pak. Tapi, hanya sebentar.”
Angga tersenyum puas. “Bagus. Ayo, kita pergi.”
*****
Di restoran, suasana terasa canggung untuk Ziandra, tetapi tidak untuk Angga yang terlihat begitu santai. Ia memesan minuman untuk mereka berdua sebelum memulai pembicaraan.
“Kau tahu, kejadian malam itu cukup mengejutkan,” katanya sambil menatap Ziandra lekat-lekat.
Ziandra hampir tersedak mendengar ucapannya. “I—itu hanya sebuah kesalahan. Saya benar-benar tidak tahu siapa Anda saat itu. Saya minta maaf. Tapi tolong, lupakan saja kejadian itu seolah tak pernah terjadi, Pak!”
Namun, Angga malah tersenyum tipis. “Kenapa aku harus melupakannya? Itu adalah malam berkesan yang tentu saja takkan mudah kuabaikan.”
“Tapi ... ini salah. Tak seharusnya kita terjebak dalam situasi seperti ini,” desis Ziandra putus asa.
“Mungkin bagimu ini hanyalah sebuah kesalahan. Tapi bagiku, itu cukup untuk membuatku tertarik padamu, Ziandra. Kau mungkin akan menganggapku hanya bicara omong kosong, tapi aku bersungguh-sungguh.”
Ziandra membeku mendengar apa yang baru saja atasannya itu ungkapnya. Setelah keterdiamannya beberapa detik, ia langsung bangkit dari kursinya dan membungkukkan badan dengan sopan.
“Maaf, jika sudah tak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit.”
Tanpa menunggu izin dari Angga, ia langsung bergegas pergi. Ziandra terlalu syok mendengar pernyataan mengejutkan atasannya itu. Mereka bahkan baru sekali bertemu karena kesalahan bodohnya yang mabuk malam itu, tapi Angga bilang sudah bisa membuatnya tertarik? Sungguh tak masuk akal.
*****
“Kenapa hidupku jadi serumit ini?” gumamnya sambil membuka pintu kos kecilnya. Ruangan itu sempit yang hanya berisi tempat tidur single, lemari pakaian kecil, dan meja sederhana.
Ziandra yang sudah lelah seharian ini dengan serentetan masalah, langsung menjatuhkan diri ke kasur, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Saat hampir terlelap, suara ketukan pintu membuatnya telonjak kaget. Ia melirik jam dinding—sudah hampir pukul sepuluh malam.
“Siapa yang datang malam-malam begini?” gumamnya dengan malas berjalan ke pintu.
Ketika pintu terbuka, tubuh Ziandra membeku. Di hadapannya, berdiri Angga dengan wajah santai dan tangan yang dimasukkan ke saku celananya.
“Mau apa Anda ke sini? Dan tahu dari mana tempat tinggal saya?” ucapnya dengan suara nyaris berbisik.
“Kau butuh uang, ‘kan? Untuk sesuatu yang penting. Kau ke bank tadi untuk meminjam uang, tapi mereka menolakmu. Aku tahu semua itu,” jawab Angga dengan santai. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya—selembar cek kosong.
“Apa maksudnya ini, Pak?” ujar Ziandra menatap waspada pada tangan Angga yang bermaksud menyodorkan cek ke arahnya.
“Isi nominal yang kau butuhkan. Dan sebagai gantinya, aku ingin satu hal darimu.”
Ziandra merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia tahu, ini bukan tawaran biasa. Dengan gemetar ia memberanikan diri mendongakkan kepala untuk menatap wajah Angga. Sambil kedua tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya, ia berusaha bicara meski dengan suara bergetar.
“Apa Anda pikir saya wanita murahan? Maaf, tindakan Anda sekarang sangat melukai perasaan saya. Bisakah Anda tinggalkan tempat ini dan berhenti mengganggu!?” tekannya membuat Angga sempat terhenyak sebentar.
Angga dengan mudah menetralkan keterkejutannya dan kembali bersikap biasa. Wajahnya mencerminkan ketenangan yang mampu dia kuasai, berbanding terbalik dengan Ziandra yang terlihat ketakutan.
“Sepertinya kau sedikit salah paham dengan niat baikku untuk menolongmu. Biar kujelaskan sedikit, bahwa tawaranku ini akan menguntungkan kedua belah pihak. Kau takkan rugi apapun, begitupun sebaliknya. Aku butuh kau ... dan kau butuh uangku.”
Angga menatapnya dengan senyum misterius. “Bisa dibilang, aku menawarkan pekerjaan tambahan padamu. Secara pribadi.”Ziandra menelan ludah dengan susah payah, merasa ada yang tidak beres dari kalimat itu. “Memangnya pekerjaan apa yang Anda maksudkan?”“Jadilah kekasih sewaanku selama 3 bulan. Sebagai gantinya, aku akan memberikan berapa pun yang kau butuhkan,” ungkap Angga seraya menyodorkan cek kosong ke tangan Ziandra.Ziandra menatap Angga dengan campuran rasa takut dan bingung. Cek kosong yang sudah berpindah ke tangannya terasa berat seperti batu.“Kutunggu jawabanmu besok,” kata Angga sebelum berbalik pergi, meninggalkan Ziandra yang terpaku di tempat.Saat langkah Angga menjauh, Ziandra segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Tubuhnya langsung merosot di lantai. Ia menatap cek kosong di tangannya dengan napas yang terasa sesak.Namun, pikirannya segera teralihkan saat ponselnya yang ada di saku celana berbunyi. Pesan dari sepupunya di desa masuk.[Kondisi nenek semakin lem
“Apa kamu serius dengan nominal segitu?” lanjutnya membuat Ziandra menundukkan kepala dengan gugup.Sambil memilin ujung kemejanya, Ziandra mencoba untuk membalas ucapan Angga dengan suara lirih. “Ya. Itu cukup untuk semua biaya yang kubutuhkan. Kalau terlalu besar, saya bisa menguranginya...,”“Mengurangi? Astaga, Ziandra. Tiga puluh juta itu bahkan tak cukup untuk biaya makan malam keluargaku sekali duduk.”Angga memotong ucapan Ziandra dengan menyindir halus. Ia meraih pena di meja, menambahkan angka nol di akhir nominal itu, lalu mengembalikan cek itu ke tangan Ziandra.Ziandra menatap cek itu dengan mata melebar, tak menyangka bahwa uang sebesar 300 juta ada di genggamannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang sebanyak itu, apalagi itu akan jadi miliknya.Ziandra mengenyahkan pikiran buruknya dengan menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Angga, ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerimanya.”Ziandra bermaksud mengembalikan cek itu dan akan menulis nominal yang wajar untuknya
Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.“Kau belum pulang?” Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga,
Ziandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.“Sebaiknya aku bawakan Elden maka
Ziandra berangkat ke kantor jauh lebih awal dari biasanya. Bukannya langsung masuk ke dalam, ia malah duduk di bagian lobi kantor untuk menunggu seseorang. Dan tepat 20 menit kemudian, sosok Elden langsung mencuri perhatiannya.Ziandra berlari mendekati Elden dan memanggilnya terburu-buru. Tentu saja Elden merasa aneh dengan sikap Ziandra. Dirinya pikir kemarin Ziandra itu marah besar padanya dan tentu saja hubungan mereka bisa dikatakan berakhir, bukan?Senyuman Elden terbit ketika Ziandra yang sudah berdiri di depannya langsung memegang lengannya. “Ada apa, Sayang? Tumben pagi-pagi sudah menungguiku,” ungkapnya membuat Ziandra langsung melepaskan pegangannya.“Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Dan biar kuperingatkan padamu satu hal, bahwa kita sudah putus jadi jangan memanggilku dengan sebutan sayang! Kau tidak amnesia soal semalam, ‘kan?” sinis Ziandra lalu menyuruh Elden agar mengikutinya.Keduanya tiba di rooftop kantor yang sama sekali tidak ada orang selain mereka. Ziandra l
Selesai acara pengenalan CEO baru, Ziandra buru-buru keluar dari aula dan duduk ke kursinya dengan resah. Sambil terus membisiki dirinya sendiri, “Itu tidak mungkin. Pria semalam tidak mungkin bosku.”Ia menolak keras kebenaran bahwa pria yang tidur dengannya adalah orang yang sama. Sedang mengkhawatirkan hal itu, ia dikejutkan sapaan beberapa teman kantornya yang tiba-tiba saja mengerubungi mejanya.“Ada apa?” tanya Ziandra mengangkat sebelah alisnya.Salah satu dari mereka malah menertawakannya. Ia menyentil bahu Ziandra dengan gaya angkuhnya.“Kudengar bahwa kau dan Elden sudah putus, ya? Astaga, akhirnya Elden sadar juga bahwa kau itu tidak layak bersanding dengannya. Selamat atas kandasnya hubungan kalian, ya,” ejeknya dengan suara sengaja dilantangkan agar semua yang ada di sana mendengar berita itu.Banyak karyawan yang berasal dari divisi lain ikut menengok ke arah Ziandra ketika tak sengaja berjalan di mejanya, membuat Ziandra tentu saja merasa malu yang teramat sangat karena
Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.“Kau belum pulang?” Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga,
“Apa kamu serius dengan nominal segitu?” lanjutnya membuat Ziandra menundukkan kepala dengan gugup.Sambil memilin ujung kemejanya, Ziandra mencoba untuk membalas ucapan Angga dengan suara lirih. “Ya. Itu cukup untuk semua biaya yang kubutuhkan. Kalau terlalu besar, saya bisa menguranginya...,”“Mengurangi? Astaga, Ziandra. Tiga puluh juta itu bahkan tak cukup untuk biaya makan malam keluargaku sekali duduk.”Angga memotong ucapan Ziandra dengan menyindir halus. Ia meraih pena di meja, menambahkan angka nol di akhir nominal itu, lalu mengembalikan cek itu ke tangan Ziandra.Ziandra menatap cek itu dengan mata melebar, tak menyangka bahwa uang sebesar 300 juta ada di genggamannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang sebanyak itu, apalagi itu akan jadi miliknya.Ziandra mengenyahkan pikiran buruknya dengan menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Angga, ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerimanya.”Ziandra bermaksud mengembalikan cek itu dan akan menulis nominal yang wajar untuknya
Angga menatapnya dengan senyum misterius. “Bisa dibilang, aku menawarkan pekerjaan tambahan padamu. Secara pribadi.”Ziandra menelan ludah dengan susah payah, merasa ada yang tidak beres dari kalimat itu. “Memangnya pekerjaan apa yang Anda maksudkan?”“Jadilah kekasih sewaanku selama 3 bulan. Sebagai gantinya, aku akan memberikan berapa pun yang kau butuhkan,” ungkap Angga seraya menyodorkan cek kosong ke tangan Ziandra.Ziandra menatap Angga dengan campuran rasa takut dan bingung. Cek kosong yang sudah berpindah ke tangannya terasa berat seperti batu.“Kutunggu jawabanmu besok,” kata Angga sebelum berbalik pergi, meninggalkan Ziandra yang terpaku di tempat.Saat langkah Angga menjauh, Ziandra segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Tubuhnya langsung merosot di lantai. Ia menatap cek kosong di tangannya dengan napas yang terasa sesak.Namun, pikirannya segera teralihkan saat ponselnya yang ada di saku celana berbunyi. Pesan dari sepupunya di desa masuk.[Kondisi nenek semakin lem
Ziandra merutuki dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya kabur begitu saja setelah ditegur atasannya tadi. pikirannya kalut, bahkan ia hampir melupakan rencananya untuk pergi ke bank setelah pulang kerja guna mengajukan pinjaman.Dengan berat hati, Ziandra memutar langkah, berjalan kaki menuju bank meski kosnya sudah hampir terlihat di ujung jalan. Langkahnya terasa lambat, seolah-olah seluruh tenaganya terkuras habis oleh rasa malu dan putus asa.Sesampainya di bank, semuanya berjalan lebih cepat dari dugaannya. Tak butuh waktu lama, ia sudah keluar dengan wajah tertunduk lesu. Hatinya seperti dihantam batu besar. Pengajuan pinjamannya ditolah mentah-mentah oleh pihak bank.“Kenapa sulit sekali untuk meminjam uang, sih? Padahal aku sudah janji akan membayar tepat waktu. Aku juga nggak mungkin kabur,” keluhnya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.Alasan penolakan bank masih terngiang di telinganya. Ziandra yang tidak memiliki jaminan
Selesai acara pengenalan CEO baru, Ziandra buru-buru keluar dari aula dan duduk ke kursinya dengan resah. Sambil terus membisiki dirinya sendiri, “Itu tidak mungkin. Pria semalam tidak mungkin bosku.”Ia menolak keras kebenaran bahwa pria yang tidur dengannya adalah orang yang sama. Sedang mengkhawatirkan hal itu, ia dikejutkan sapaan beberapa teman kantornya yang tiba-tiba saja mengerubungi mejanya.“Ada apa?” tanya Ziandra mengangkat sebelah alisnya.Salah satu dari mereka malah menertawakannya. Ia menyentil bahu Ziandra dengan gaya angkuhnya.“Kudengar bahwa kau dan Elden sudah putus, ya? Astaga, akhirnya Elden sadar juga bahwa kau itu tidak layak bersanding dengannya. Selamat atas kandasnya hubungan kalian, ya,” ejeknya dengan suara sengaja dilantangkan agar semua yang ada di sana mendengar berita itu.Banyak karyawan yang berasal dari divisi lain ikut menengok ke arah Ziandra ketika tak sengaja berjalan di mejanya, membuat Ziandra tentu saja merasa malu yang teramat sangat karena
Ziandra berangkat ke kantor jauh lebih awal dari biasanya. Bukannya langsung masuk ke dalam, ia malah duduk di bagian lobi kantor untuk menunggu seseorang. Dan tepat 20 menit kemudian, sosok Elden langsung mencuri perhatiannya.Ziandra berlari mendekati Elden dan memanggilnya terburu-buru. Tentu saja Elden merasa aneh dengan sikap Ziandra. Dirinya pikir kemarin Ziandra itu marah besar padanya dan tentu saja hubungan mereka bisa dikatakan berakhir, bukan?Senyuman Elden terbit ketika Ziandra yang sudah berdiri di depannya langsung memegang lengannya. “Ada apa, Sayang? Tumben pagi-pagi sudah menungguiku,” ungkapnya membuat Ziandra langsung melepaskan pegangannya.“Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Dan biar kuperingatkan padamu satu hal, bahwa kita sudah putus jadi jangan memanggilku dengan sebutan sayang! Kau tidak amnesia soal semalam, ‘kan?” sinis Ziandra lalu menyuruh Elden agar mengikutinya.Keduanya tiba di rooftop kantor yang sama sekali tidak ada orang selain mereka. Ziandra l
Ziandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.“Sebaiknya aku bawakan Elden maka