Setelah percakapan panjang di rooftop, suasana hati Ziandra sedikit lebih ringan. Ia dan Jenna kini bisa saling memandang tanpa beban besar seperti sebelumnya. Mungkin belum benar-benar pulih, tetapi langkah menuju perbaikan sudah dimulai.
Saat jam istirahat usai, Ziandra kembali ke ruangannya. Ia duduk di kursi kerja, memandangi layar komputer yang masih menampilkan dokumen yang belum rampung. Jemarinya sempat mengambang di atas keyboard, tapi pikirannya masih belum fokus.
Namun, ketika Jenna sengaja lewat ke tempatnya dan mengedipkan mata sambil menunjukkan isyarat akan pulang bersama nanti, seulas senyum tipis akhirnya mengembang di wajahnya. Setidaknya, hari ini tidak sepenuhnya buruk.
*****
Sementara itu, di ruangannya, Angga hanya bisa memandangi jam dinding yang terasa berjalan lambat. Setiap menit yang berlalu terasa seperti menyiksa. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Ziandra sekarang, apakah hatinya sudah sedikit terbuka, atau justru semakin tert
Langkah Ziandra pelan memasuki apartemen. Sepi. Lampu ruang tamu menyala redup, menyambutnya dengan kehangatan yang tak ia sangka-sangka. Saat menutup pintu perlahan, matanya langsung menangkap sosok seseorang yang terbaring di sofa—Angga.Laki-laki itu tertidur dalam posisi setengah duduk, tangan kanannya menjuntai ke lantai, sementara ponselnya tergeletak tak jauh dari sana. Napasnya teratur, wajahnya tenang. Untuk sesaat, semua amarah yang sempat menggelayuti hati Ziandra menguap begitu saja.Ia mendekat pelan, berjongkok agar sejajar dengan wajah Angga. Cahaya lembut dari lampu mengenainya dari samping, membuat sorot wajah itu tampak lebih damai dari biasanya.Seperti bayi ... batin Ziandra.Tangan kanan Ziandra terangkat, mengelus pelan pipi Angga yang terasa hangat. Sentuhan itu lembut, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. Ia tersenyum kecil, mengagumi garis wajah suaminya yang—di balik semua kelakuan dan dinginnya sikap—
Pagi itu terasa biasa saja—hangat, tenang, dan penuh semangat. Setidaknya begitu yang dirasakan Angga dan Ziandra saat melangkah beriringan memasuki lobi kantor. Saling tersenyum kecil, menyapa beberapa staf yang membalas dengan tatapan lega, seolah menyambut kembalinya kedamaian antara keduanya.Namun, langkah mereka terhenti seketika.Di depan lift yang belum juga terbuka, berdiri seseorang dengan postur tegak dan senyum angkuh yang sangat dikenal oleh keduanya. Sosok itu menoleh perlahan—dan saat matanya bertemu dengan milik Ziandra dan Angga, senyum tipisnya makin melebar.“Selamat pagi, Pak Angga, Bu Ziandra.” Suaranya terdengar manis, tapi jelas terasa menusuk.Liona.Ziandra refleks menahan napas. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Angga pun tidak kalah terkejut. Rahangnya mengeras, tubuhnya langsung menegang.Dengan langkah ringan, Liona mendekati mereka. Ia membungkuk kecil dengan sikap sopan yang dibuat-buat, lalu berdiri tegak kembali dengan ekspres
Angga menggeram pelan, lalu kembali mengeluarkan ponsel dari sakunya. Satu kali lagi, ia mencoba menelepon ayahnya. Jari-jarinya menekan tombol cepat dengan gerakan tepat dan penuh amarah. Dada masih naik turun, rahangnya mengeras.Kali ini sambungan berhasil tersambung.Namun, yang menjawab bukan suara sang ayah.[“Halo?”]Suaranya lembut, tenang, dan sangat dikenal. Vidia.Angga langsung mendecih tajam, merasa perutnya melilit oleh rasa kesal yang makin mendidih. “Kenapa kau yang menjawab ponsel ayahku? Di mana dia?”[“Ayahmu sedang menikmati waktu bersama denganku. Kami baru saja sarapan, lho.”]“Aku tidak menelepon untuk mendengar omong kosongmu. Berikan telepon ini pada Ayah. Aku ingin bicara langsung dengannya.” Nada Angga tajam, tanpa basa-basi.[“Ayahmu sekarang sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu.”]“Tidak mungkin,” desis Angga. “Dia pasti bisa bicara. Kau hanya sengaja menjauhkannya dariku.”Terdengar helaan napas malas dari seberang. [“Kalau kau terlalu sibuk menaru
Ziandra mendengus lirih ketika menerima telepon dari Elden. Pria itu tiba-tiba mengajaknya bertemu secepatnya, dengan alasan ada hal penting yang harus dibicarakan. Namun, sebelum sempat menolak, sambungan sudah lebih dulu terputus.Ia menghela napas pelan, menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum meletakkannya di pangkuan. Sekilas, pandangannya berpindah ke Angga yang tengah menyetir dengan tatapan serius. Suaminya itu jelas sedang tidak tenang—sorot matanya kosong, rahangnya mengeras, dan tangannya menggenggam kemudi dengan kencang.Dengan gerakan hati-hati, Ziandra menggenggam tangan Angga yang bebas. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya ingin menyalurkan sedikit ketenangan lewat sentuhan hangat itu.Angga menoleh sekilas, menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa?”Ziandra membuka mulut, ingin meminta izin kalau nanti akan bertemu Elden sebentar untuk urusan penting. Tapi mulutnya serasa terkunci, ia terdiam. Melihat raut letih Angga membuatnya mengurungkan niat bicara. Ia tahu, uca
Angga melangkah mendekat dengan langkah lambat, setiap jejaknya seolah menggema dalam keheningan yang mencekam.“Kenapa kau ada di sini bersama Elden?” tanyanya, datar. Sudah jelas itu ditujukan pada Ziandra karena hanya ada mereka bertiga di sana.Ziandra membuka mulut, ingin menjelaskan. Namun, suaranya tercekat. Ia tahu, dalam posisi seperti ini, penjelasan sering kali terdengar seperti pembelaan yang lemah. Ia mencoba menatap mata Angga, tetapi pria itu malah memalingkan pandangannya ke Elden.“Dan kau,” lanjut Angga, nadanya naik satu oktaf. “Sudah kuperingatkan untuk jangan lagi mendekati Ziandra! Sepertinya kau memang meremehkan atasanmu ini, kan? Kau pikir aku main-main dengan ancamanku jika sampai kau mengganggu istriku lagi?”Elden menggeleng cepat. “Kau salah paham. Aku hanya—”“Cukup.” Angga memotong, suaranya tajam. “Mulai sekarang, kau bukan lagi bagian dari perusahaan ini. Kau kupecat, Elden.”Angga lalu beralih menatap ke arah Ziandra lagi.“Aku ini suamimu, tapi kau m
Sebulan kemudian....Sudah hampir seminggu lamanya Elden bekerja sebagai buruh harian di sebuah pabrik pengemasan di kawasan industri dekat tempat tinggalnya. Hari-harinya kini diisi dengan rutinitas monoton: bangun sebelum matahari terbit, menempuh perjalanan dengan berjalan kaki karena ongkos transportasi terlalu mahal, lalu berdiri berjam-jam di depan mesin yang menderu tanpa henti.Tubuhnya mulai terbiasa dengan rasa pegal, tetapi tidak dengan rasa lelah yang menggerogoti harga dirinya.Ia yang sebelumnya bekerja di perusahaan besar milik keluarga Angga membuatnya disegani oleh orang-orang di sekitar rumahnya, bahkan para teman alumni sekolah juga. Namun kini, ia tak lebih dari seorang pria yang bekerja serabutan untuk mencukupi hidupnya.Pulang malam itu, Elden duduk di lantai kosannya yang sempit dan lembap. Makanan instan sudah jadi teman setianya selama beberapa hari terakhir. Ia membuka ponselnya, mengecek pesan—masih tidak ada kabar dari Ziandra maupun perusahaan. Bahkan taw
Angga akhirnya bisa sedikit bernapas lega ketika mendengar kabar dari orang kepercayaannya bahwa ayahnya akan pulang. Setelah berjibaku dengan masalah pelik sebulan lebih akibat ulah Devan, akhirnya ia akan bebas. Ia akan langsung menemui ayahnya untuk mendapatkan kejelasan.Karena tidak mau Vidia makin menghasut ayahnya, Angga harus bertindak cepat ketika ada kesempatan. Ia buru-buru keluar dari ruang kerjanya sambil memakai jas yang sebelumnya sudah dilepas olehnya.Ziandra yang ada di luar ruangan, ketika melihat Angga keluar tampak tergesa, segera menghampirinya.“Mau ke mana? Kau terlihat buru-buru sekali, padahal kita baru tiba di kantor beberapa menit yang lalu.” Ziandra tampak khawatir, tak mau suaminya menyembunyikan apapun darinya.Angga menoleh sekilas. Langkah kaki yang awalnya lebar dan tergesa, kini mulai melambat. Saat di depan lift, Angga berbalik menghadap Ziandra.“Aku akan menemui Ayah. Dia baru saja pulang dari liburannya. Kau doakan aku agar bisa mendapat hasil me
Ziandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.“Sebaiknya aku bawakan Elden maka
Angga akhirnya bisa sedikit bernapas lega ketika mendengar kabar dari orang kepercayaannya bahwa ayahnya akan pulang. Setelah berjibaku dengan masalah pelik sebulan lebih akibat ulah Devan, akhirnya ia akan bebas. Ia akan langsung menemui ayahnya untuk mendapatkan kejelasan.Karena tidak mau Vidia makin menghasut ayahnya, Angga harus bertindak cepat ketika ada kesempatan. Ia buru-buru keluar dari ruang kerjanya sambil memakai jas yang sebelumnya sudah dilepas olehnya.Ziandra yang ada di luar ruangan, ketika melihat Angga keluar tampak tergesa, segera menghampirinya.“Mau ke mana? Kau terlihat buru-buru sekali, padahal kita baru tiba di kantor beberapa menit yang lalu.” Ziandra tampak khawatir, tak mau suaminya menyembunyikan apapun darinya.Angga menoleh sekilas. Langkah kaki yang awalnya lebar dan tergesa, kini mulai melambat. Saat di depan lift, Angga berbalik menghadap Ziandra.“Aku akan menemui Ayah. Dia baru saja pulang dari liburannya. Kau doakan aku agar bisa mendapat hasil me
Sebulan kemudian....Sudah hampir seminggu lamanya Elden bekerja sebagai buruh harian di sebuah pabrik pengemasan di kawasan industri dekat tempat tinggalnya. Hari-harinya kini diisi dengan rutinitas monoton: bangun sebelum matahari terbit, menempuh perjalanan dengan berjalan kaki karena ongkos transportasi terlalu mahal, lalu berdiri berjam-jam di depan mesin yang menderu tanpa henti.Tubuhnya mulai terbiasa dengan rasa pegal, tetapi tidak dengan rasa lelah yang menggerogoti harga dirinya.Ia yang sebelumnya bekerja di perusahaan besar milik keluarga Angga membuatnya disegani oleh orang-orang di sekitar rumahnya, bahkan para teman alumni sekolah juga. Namun kini, ia tak lebih dari seorang pria yang bekerja serabutan untuk mencukupi hidupnya.Pulang malam itu, Elden duduk di lantai kosannya yang sempit dan lembap. Makanan instan sudah jadi teman setianya selama beberapa hari terakhir. Ia membuka ponselnya, mengecek pesan—masih tidak ada kabar dari Ziandra maupun perusahaan. Bahkan taw
Angga melangkah mendekat dengan langkah lambat, setiap jejaknya seolah menggema dalam keheningan yang mencekam.“Kenapa kau ada di sini bersama Elden?” tanyanya, datar. Sudah jelas itu ditujukan pada Ziandra karena hanya ada mereka bertiga di sana.Ziandra membuka mulut, ingin menjelaskan. Namun, suaranya tercekat. Ia tahu, dalam posisi seperti ini, penjelasan sering kali terdengar seperti pembelaan yang lemah. Ia mencoba menatap mata Angga, tetapi pria itu malah memalingkan pandangannya ke Elden.“Dan kau,” lanjut Angga, nadanya naik satu oktaf. “Sudah kuperingatkan untuk jangan lagi mendekati Ziandra! Sepertinya kau memang meremehkan atasanmu ini, kan? Kau pikir aku main-main dengan ancamanku jika sampai kau mengganggu istriku lagi?”Elden menggeleng cepat. “Kau salah paham. Aku hanya—”“Cukup.” Angga memotong, suaranya tajam. “Mulai sekarang, kau bukan lagi bagian dari perusahaan ini. Kau kupecat, Elden.”Angga lalu beralih menatap ke arah Ziandra lagi.“Aku ini suamimu, tapi kau m
Ziandra mendengus lirih ketika menerima telepon dari Elden. Pria itu tiba-tiba mengajaknya bertemu secepatnya, dengan alasan ada hal penting yang harus dibicarakan. Namun, sebelum sempat menolak, sambungan sudah lebih dulu terputus.Ia menghela napas pelan, menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum meletakkannya di pangkuan. Sekilas, pandangannya berpindah ke Angga yang tengah menyetir dengan tatapan serius. Suaminya itu jelas sedang tidak tenang—sorot matanya kosong, rahangnya mengeras, dan tangannya menggenggam kemudi dengan kencang.Dengan gerakan hati-hati, Ziandra menggenggam tangan Angga yang bebas. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya ingin menyalurkan sedikit ketenangan lewat sentuhan hangat itu.Angga menoleh sekilas, menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa?”Ziandra membuka mulut, ingin meminta izin kalau nanti akan bertemu Elden sebentar untuk urusan penting. Tapi mulutnya serasa terkunci, ia terdiam. Melihat raut letih Angga membuatnya mengurungkan niat bicara. Ia tahu, uca
Angga menggeram pelan, lalu kembali mengeluarkan ponsel dari sakunya. Satu kali lagi, ia mencoba menelepon ayahnya. Jari-jarinya menekan tombol cepat dengan gerakan tepat dan penuh amarah. Dada masih naik turun, rahangnya mengeras.Kali ini sambungan berhasil tersambung.Namun, yang menjawab bukan suara sang ayah.[“Halo?”]Suaranya lembut, tenang, dan sangat dikenal. Vidia.Angga langsung mendecih tajam, merasa perutnya melilit oleh rasa kesal yang makin mendidih. “Kenapa kau yang menjawab ponsel ayahku? Di mana dia?”[“Ayahmu sedang menikmati waktu bersama denganku. Kami baru saja sarapan, lho.”]“Aku tidak menelepon untuk mendengar omong kosongmu. Berikan telepon ini pada Ayah. Aku ingin bicara langsung dengannya.” Nada Angga tajam, tanpa basa-basi.[“Ayahmu sekarang sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu.”]“Tidak mungkin,” desis Angga. “Dia pasti bisa bicara. Kau hanya sengaja menjauhkannya dariku.”Terdengar helaan napas malas dari seberang. [“Kalau kau terlalu sibuk menaru
Pagi itu terasa biasa saja—hangat, tenang, dan penuh semangat. Setidaknya begitu yang dirasakan Angga dan Ziandra saat melangkah beriringan memasuki lobi kantor. Saling tersenyum kecil, menyapa beberapa staf yang membalas dengan tatapan lega, seolah menyambut kembalinya kedamaian antara keduanya.Namun, langkah mereka terhenti seketika.Di depan lift yang belum juga terbuka, berdiri seseorang dengan postur tegak dan senyum angkuh yang sangat dikenal oleh keduanya. Sosok itu menoleh perlahan—dan saat matanya bertemu dengan milik Ziandra dan Angga, senyum tipisnya makin melebar.“Selamat pagi, Pak Angga, Bu Ziandra.” Suaranya terdengar manis, tapi jelas terasa menusuk.Liona.Ziandra refleks menahan napas. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Angga pun tidak kalah terkejut. Rahangnya mengeras, tubuhnya langsung menegang.Dengan langkah ringan, Liona mendekati mereka. Ia membungkuk kecil dengan sikap sopan yang dibuat-buat, lalu berdiri tegak kembali dengan ekspres
Langkah Ziandra pelan memasuki apartemen. Sepi. Lampu ruang tamu menyala redup, menyambutnya dengan kehangatan yang tak ia sangka-sangka. Saat menutup pintu perlahan, matanya langsung menangkap sosok seseorang yang terbaring di sofa—Angga.Laki-laki itu tertidur dalam posisi setengah duduk, tangan kanannya menjuntai ke lantai, sementara ponselnya tergeletak tak jauh dari sana. Napasnya teratur, wajahnya tenang. Untuk sesaat, semua amarah yang sempat menggelayuti hati Ziandra menguap begitu saja.Ia mendekat pelan, berjongkok agar sejajar dengan wajah Angga. Cahaya lembut dari lampu mengenainya dari samping, membuat sorot wajah itu tampak lebih damai dari biasanya.Seperti bayi ... batin Ziandra.Tangan kanan Ziandra terangkat, mengelus pelan pipi Angga yang terasa hangat. Sentuhan itu lembut, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. Ia tersenyum kecil, mengagumi garis wajah suaminya yang—di balik semua kelakuan dan dinginnya sikap—
Setelah percakapan panjang di rooftop, suasana hati Ziandra sedikit lebih ringan. Ia dan Jenna kini bisa saling memandang tanpa beban besar seperti sebelumnya. Mungkin belum benar-benar pulih, tetapi langkah menuju perbaikan sudah dimulai.Saat jam istirahat usai, Ziandra kembali ke ruangannya. Ia duduk di kursi kerja, memandangi layar komputer yang masih menampilkan dokumen yang belum rampung. Jemarinya sempat mengambang di atas keyboard, tapi pikirannya masih belum fokus.Namun, ketika Jenna sengaja lewat ke tempatnya dan mengedipkan mata sambil menunjukkan isyarat akan pulang bersama nanti, seulas senyum tipis akhirnya mengembang di wajahnya. Setidaknya, hari ini tidak sepenuhnya buruk.*****Sementara itu, di ruangannya, Angga hanya bisa memandangi jam dinding yang terasa berjalan lambat. Setiap menit yang berlalu terasa seperti menyiksa. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Ziandra sekarang, apakah hatinya sudah sedikit terbuka, atau justru semakin tert
Keputusan Angga memecat Liona, nyatanya belum bisa membuatnya puas. Yang ada hanya satu rasa sesak di dadanya, cemas akan Ziandra yang belum memaafkannya. Langkah kakinya cepat menyusuri lorong demi lorong, memeriksa ruang kerja, bahkan menuju pantry. Tak ada jejak Ziandra.Beberapa karyawan sempat menatapnya penasaran, tapi Angga tidak peduli. Ia hanya ingin menemukan istrinya, menjelaskan semuanya, dan memohon maaf.Setelah hampir lima belas menit berkeliling, akhirnya ia menemukan sosok itu di rooftop kantor—sendirian, membelakangi pagar pengaman, dengan angin sore menerpa rambutnya.Angga menelan ludah. Jarak beberapa langkah terasa sangat jauh sekarang. Tapi ia tetap mendekat, hati-hati, seperti mendekati sesuatu yang rapuh dan bisa hancur kapan saja.“Ziandra,” panggilnya pelan.Wanita itu tak bergeming.“Aku ingin bicara.”Masih tak ada respons.Angga menarik napas dalam. “Tolong denga