Angga menatapnya dengan senyum misterius. “Bisa dibilang, aku menawarkan pekerjaan tambahan padamu. Secara pribadi.”
Ziandra menelan ludah dengan susah payah, merasa ada yang tidak beres dari kalimat itu. “Memangnya pekerjaan apa yang Anda maksudkan?”
“Jadilah kekasih sewaanku selama 3 bulan. Sebagai gantinya, aku akan memberikan berapa pun yang kau butuhkan,” ungkap Angga seraya menyodorkan cek kosong ke tangan Ziandra.
Ziandra menatap Angga dengan campuran rasa takut dan bingung. Cek kosong yang sudah berpindah ke tangannya terasa berat seperti batu.
“Kutunggu jawabanmu besok,” kata Angga sebelum berbalik pergi, meninggalkan Ziandra yang terpaku di tempat.
Saat langkah Angga menjauh, Ziandra segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Tubuhnya langsung merosot di lantai. Ia menatap cek kosong di tangannya dengan napas yang terasa sesak.
Namun, pikirannya segera teralihkan saat ponselnya yang ada di saku celana berbunyi. Pesan dari sepupunya di desa masuk.
[Kondisi nenek semakin lemah. Dokter bilang harus segera operasi. Kami nggak tahu harus gimana lagi kalau nggak ada uangnya.]
Ziandra menggigit bibirnya, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia tentu tak bisa biarkan nyawa nenek tercintanya terancam hanya karena uang. Sambil menatap lekat cek kosong di tangannya, ia mencoba meyakinkan bahwa ini keputusan yang tepat.
“Tiga bulan saja. Tidak apa-apa. Aku hanya harus bertahan tiga bulan,” gumamnya pelan dengan napas berat.
Ziandra mengangguk yakin. Lalu dia berusaha untuk tidur malam ini, meskipun itu sangat sulit.
*****
Keesokan harinya, Ziandra berangkat ke kantor dengan berat hati. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan pertemuannya dengan Angga membuat perutnya terasa mual. Saat tiba di mejanya, ia langsung menunduk dan sibuk dengan pekerjaannya.
Saat istirahat makan siang, Ziandra tak berniat untuk pergi ke kantin. Rasa malas menjadi bahan gunjingan para rekan kerja soal hubungan dengan Elden masih berembus begitu panas membuatnya enggan menambah masalah.
“Zia, Pak Angga minta kau ke ruangannya sekarang!” ujar salah satu karyawan yang beda divisi dengannya.
Karena rumor buruk itu, semua karyawan jadi mengenali dirinya sebagai wanita matre yang memanfaatkan Elden. Itu membuatnya kesal minta ampun.
“Untuk apa?” tanya Ziandra sambil berdiri untuk membereskan mejanya dari tumpukan berkas yang berserakan.
“Mana kutahu, tanyakan langsung saja pada Pak Angga!” ketusnya membuat Ziandra sedikit terhenyak.
Ziandra diam saja ketika karyawan itu buru-buru pergi menghindarinya. Ia terlihat kesal dan marah karena harus bicara dengan Ziandra, padahal hanya diminta untuk memanggilnya ke ruangan si bos.
Ziandra mengabaikan sikap tak mengenakkan karyawan itu dan memilih menetralkan jantungnya yang berdegup kencang karena harus menghadap Angga sekarang juga. Ia takut untuk mengiyakan tawarannya, bisa saja ini akan jadi masalah lebih besar ke depannya karena berhubungan dengan atasannya.
Saat tiba di depan pintu, ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk.
“Masuk,” suara Angga terdengar tegas dari dalam.
Ziandra membuka pintu dan melangkah masuk. Angga berdiri di dekat jendela, memandangi kota yang sibuk di bawah sana. Ia berbalik, menatap Ziandra dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Sudah memutuskan?” tanyanya tanpa basa-basi.
Ziandra menggenggam erat tangannya, mencoba mencari keberanian dari dalam dirinya. Dengan napas panjang, ia akhirnya berkata. “Saya terima tawaran Anda. Tapi, saya punya satu syarat.”
Angga mengangkat alis, terlihat tertarik. “Syarat apa?”
“Hubungan sandiwara ini jangan sampai diketahui karyawan kantor!” terang Ziandra sambil menunduk tak berani menatap mata atasannya.
Ziandra tidak mau beredar rumor buruk soal dirinya, seperti sengaja menggoda Angga untuk menguras hartanya. Ia akui memang sedang memanfaatkan Angga untuk kepentingan pribadinya, yaitu untuk mendapatkan uangnya. Tapi, ini hanyalah pekerjaan di mana dia akan digaji karena bekerja secara pribadi pada Angga ... tidak lebih. Dan sandiwara ini akan berakhir di bulan ketiga setelah keduanya memutuskan berpisah. Ziandra pikir tak perlu para rekan kerjanya mengetahui hal ini.
Angga menyunggingkan senyum tipis. Dengan santai ia berjalan menuju kursi kerjanya dan duduk sambil menyandarkan punggung. Tatapannya tertuju lurus ke arah Ziandra yang masih tidak berani membalas menatapnya.
“Permintaanmu menarik. Tapi, bukankah gunanya menjadi kekasih sandiwara adalah menunjukkan bahwa aku sudah ada ‘pemiliknya’? Kalau tidak ada yang tahu, apa gunanya?” kecamnya membuat Ziandra menghembuskan napas berat.
“Saya muak jadi bahan gunjingan orang-orang di kantor.”
Kali ini Ziandra berani menatap balik ke arah Angga, mencoba menekan rasa gugupnya. “Saya hanya ingin menghindari gunjingan buruk tentangku. Kalau Anda keberatan, lebih baik saya mundur sekarang.”
Ziandra meletakkan cek kosong itu ke meja Angga. Sambil membungkuk hormat, ia berniat pamit untuk kembali bekerja.
“Baiklah, aku setuju dengan syaratmu. Tapi, kamu tidak bisa mengelak untuk berkenalan dengan keluargaku. Aku juga tak bisa jamin 100% bahwa karyawan di kantor akan selamanya buta untuk menyadari hubungan kita. Aku takkan mengatakan apapun soal hubungan ini pada mereka dan berusaha bertindak wajar seolah kita hanya karyawan dan atasan pada umumnya sehingga takkan ada yang curiga. Apa ini cukup untuk membuatmu tenang dan mau menerima tawaranku, hem?”
Suara bariton Angga yang menghentikan pergerakan langkah Ziandra menuju pintu membuat ruangan yang hanya diisi dua orang itu menjadi hening. Beberapa saat terasa sangat lama bagi Angga untuk menunggu respons Ziandra yang belum juga berbalik badan menghadapnya.
Angga mulai cemas dengan keterdiaman Ziandra yang tak segera menyahutinya. Dirinya yang sudah bangkit dari kursi mengetukkan jari telunjuknya ke meja berulang kali hingga menimbulkan suara irama.
“Apa yang membuatmu masih ragu? Aku hanya meminta tiga bulan waktumu. Dan sebagai gantinya, kau akan mendapatkan berapapun uang yang kau butuhkan.”
Ziandra hanya sedikit menolehkannya kepalanya lalu berujar lirih tapi masih bisa didengar oleh Angga yang menatapnya lamat-lamat. “Apa setelah tiga bulan selesai, Anda tidak akan lagi mengganggu hidupku?”
Angga menyunggingkan seringai tipisnya yang tak disadari oleh Ziandra. “Setelah tiga bulan selesai, kita akan kembali ke kehidupan masing-masing. Tidak ada kontrak tambahan, tidak ada hubungan apapun seolah kita tak pernah kenal. Bagaimana?”
Barulah setelah itu Ziandra mau berbalik badan untuk menghadap Angga yang sudah kembali duduk di kursinya. Dengan isyarat matanya, Angga menyuruh Ziandra mengambil kembali cek itu dari atas mejanya.
“Tulis nominal yang kau butuhkan!”
Ziandra perlahan mengambil cek itu, lalu menuliskan nominal uang yang dibutuhkannya. Ia menatap angka itu dengan ragu. Apa nominal segini tidak terlalu besar untuknya? Apa dia tidak terlihat tamak dengan kesempatan ini? Rasanya pikirannya berkecambuk.
Ziandra bermaksud merubah nominal yang sudah terlanjur ditulisnya di cek, namun kalah cepat dengan tangan Angga yang mengambil cek itu tanpa bicara. Matanya melirik angka yang tertulis di sana.
“Tiga puluh juta?” Angga tersenyum sinis.
“Apa kamu serius dengan nominal segitu?” lanjutnya membuat Ziandra menundukkan kepala dengan gugup.Sambil memilin ujung kemejanya, Ziandra mencoba untuk membalas ucapan Angga dengan suara lirih. “Ya. Itu cukup untuk semua biaya yang kubutuhkan. Kalau terlalu besar, saya bisa menguranginya...,”“Mengurangi? Astaga, Ziandra. Tiga puluh juta itu bahkan tak cukup untuk biaya makan malam keluargaku sekali duduk.”Angga memotong ucapan Ziandra dengan menyindir halus. Ia meraih pena di meja, menambahkan angka nol di akhir nominal itu, lalu mengembalikan cek itu ke tangan Ziandra.Ziandra menatap cek itu dengan mata melebar, tak menyangka bahwa uang sebesar 300 juta ada di genggamannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang sebanyak itu, apalagi itu akan jadi miliknya.Ziandra mengenyahkan pikiran buruknya dengan menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Angga, ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerimanya.”Ziandra bermaksud mengembalikan cek itu dan akan menulis nominal yang wajar untuknya
Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.“Kau belum pulang?” Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga,
Ziandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.“Sebaiknya aku bawakan Elden maka
Ziandra berangkat ke kantor jauh lebih awal dari biasanya. Bukannya langsung masuk ke dalam, ia malah duduk di bagian lobi kantor untuk menunggu seseorang. Dan tepat 20 menit kemudian, sosok Elden langsung mencuri perhatiannya.Ziandra berlari mendekati Elden dan memanggilnya terburu-buru. Tentu saja Elden merasa aneh dengan sikap Ziandra. Dirinya pikir kemarin Ziandra itu marah besar padanya dan tentu saja hubungan mereka bisa dikatakan berakhir, bukan?Senyuman Elden terbit ketika Ziandra yang sudah berdiri di depannya langsung memegang lengannya. “Ada apa, Sayang? Tumben pagi-pagi sudah menungguiku,” ungkapnya membuat Ziandra langsung melepaskan pegangannya.“Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Dan biar kuperingatkan padamu satu hal, bahwa kita sudah putus jadi jangan memanggilku dengan sebutan sayang! Kau tidak amnesia soal semalam, ‘kan?” sinis Ziandra lalu menyuruh Elden agar mengikutinya.Keduanya tiba di rooftop kantor yang sama sekali tidak ada orang selain mereka. Ziandra l
Selesai acara pengenalan CEO baru, Ziandra buru-buru keluar dari aula dan duduk ke kursinya dengan resah. Sambil terus membisiki dirinya sendiri, “Itu tidak mungkin. Pria semalam tidak mungkin bosku.”Ia menolak keras kebenaran bahwa pria yang tidur dengannya adalah orang yang sama. Sedang mengkhawatirkan hal itu, ia dikejutkan sapaan beberapa teman kantornya yang tiba-tiba saja mengerubungi mejanya.“Ada apa?” tanya Ziandra mengangkat sebelah alisnya.Salah satu dari mereka malah menertawakannya. Ia menyentil bahu Ziandra dengan gaya angkuhnya.“Kudengar bahwa kau dan Elden sudah putus, ya? Astaga, akhirnya Elden sadar juga bahwa kau itu tidak layak bersanding dengannya. Selamat atas kandasnya hubungan kalian, ya,” ejeknya dengan suara sengaja dilantangkan agar semua yang ada di sana mendengar berita itu.Banyak karyawan yang berasal dari divisi lain ikut menengok ke arah Ziandra ketika tak sengaja berjalan di mejanya, membuat Ziandra tentu saja merasa malu yang teramat sangat karena
Ziandra merutuki dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya kabur begitu saja setelah ditegur atasannya tadi. pikirannya kalut, bahkan ia hampir melupakan rencananya untuk pergi ke bank setelah pulang kerja guna mengajukan pinjaman.Dengan berat hati, Ziandra memutar langkah, berjalan kaki menuju bank meski kosnya sudah hampir terlihat di ujung jalan. Langkahnya terasa lambat, seolah-olah seluruh tenaganya terkuras habis oleh rasa malu dan putus asa.Sesampainya di bank, semuanya berjalan lebih cepat dari dugaannya. Tak butuh waktu lama, ia sudah keluar dengan wajah tertunduk lesu. Hatinya seperti dihantam batu besar. Pengajuan pinjamannya ditolah mentah-mentah oleh pihak bank.“Kenapa sulit sekali untuk meminjam uang, sih? Padahal aku sudah janji akan membayar tepat waktu. Aku juga nggak mungkin kabur,” keluhnya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.Alasan penolakan bank masih terngiang di telinganya. Ziandra yang tidak memiliki jaminan
Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.“Kau belum pulang?” Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga,
“Apa kamu serius dengan nominal segitu?” lanjutnya membuat Ziandra menundukkan kepala dengan gugup.Sambil memilin ujung kemejanya, Ziandra mencoba untuk membalas ucapan Angga dengan suara lirih. “Ya. Itu cukup untuk semua biaya yang kubutuhkan. Kalau terlalu besar, saya bisa menguranginya...,”“Mengurangi? Astaga, Ziandra. Tiga puluh juta itu bahkan tak cukup untuk biaya makan malam keluargaku sekali duduk.”Angga memotong ucapan Ziandra dengan menyindir halus. Ia meraih pena di meja, menambahkan angka nol di akhir nominal itu, lalu mengembalikan cek itu ke tangan Ziandra.Ziandra menatap cek itu dengan mata melebar, tak menyangka bahwa uang sebesar 300 juta ada di genggamannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang sebanyak itu, apalagi itu akan jadi miliknya.Ziandra mengenyahkan pikiran buruknya dengan menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Angga, ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerimanya.”Ziandra bermaksud mengembalikan cek itu dan akan menulis nominal yang wajar untuknya
Angga menatapnya dengan senyum misterius. “Bisa dibilang, aku menawarkan pekerjaan tambahan padamu. Secara pribadi.”Ziandra menelan ludah dengan susah payah, merasa ada yang tidak beres dari kalimat itu. “Memangnya pekerjaan apa yang Anda maksudkan?”“Jadilah kekasih sewaanku selama 3 bulan. Sebagai gantinya, aku akan memberikan berapa pun yang kau butuhkan,” ungkap Angga seraya menyodorkan cek kosong ke tangan Ziandra.Ziandra menatap Angga dengan campuran rasa takut dan bingung. Cek kosong yang sudah berpindah ke tangannya terasa berat seperti batu.“Kutunggu jawabanmu besok,” kata Angga sebelum berbalik pergi, meninggalkan Ziandra yang terpaku di tempat.Saat langkah Angga menjauh, Ziandra segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Tubuhnya langsung merosot di lantai. Ia menatap cek kosong di tangannya dengan napas yang terasa sesak.Namun, pikirannya segera teralihkan saat ponselnya yang ada di saku celana berbunyi. Pesan dari sepupunya di desa masuk.[Kondisi nenek semakin lem
Ziandra merutuki dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya kabur begitu saja setelah ditegur atasannya tadi. pikirannya kalut, bahkan ia hampir melupakan rencananya untuk pergi ke bank setelah pulang kerja guna mengajukan pinjaman.Dengan berat hati, Ziandra memutar langkah, berjalan kaki menuju bank meski kosnya sudah hampir terlihat di ujung jalan. Langkahnya terasa lambat, seolah-olah seluruh tenaganya terkuras habis oleh rasa malu dan putus asa.Sesampainya di bank, semuanya berjalan lebih cepat dari dugaannya. Tak butuh waktu lama, ia sudah keluar dengan wajah tertunduk lesu. Hatinya seperti dihantam batu besar. Pengajuan pinjamannya ditolah mentah-mentah oleh pihak bank.“Kenapa sulit sekali untuk meminjam uang, sih? Padahal aku sudah janji akan membayar tepat waktu. Aku juga nggak mungkin kabur,” keluhnya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.Alasan penolakan bank masih terngiang di telinganya. Ziandra yang tidak memiliki jaminan
Selesai acara pengenalan CEO baru, Ziandra buru-buru keluar dari aula dan duduk ke kursinya dengan resah. Sambil terus membisiki dirinya sendiri, “Itu tidak mungkin. Pria semalam tidak mungkin bosku.”Ia menolak keras kebenaran bahwa pria yang tidur dengannya adalah orang yang sama. Sedang mengkhawatirkan hal itu, ia dikejutkan sapaan beberapa teman kantornya yang tiba-tiba saja mengerubungi mejanya.“Ada apa?” tanya Ziandra mengangkat sebelah alisnya.Salah satu dari mereka malah menertawakannya. Ia menyentil bahu Ziandra dengan gaya angkuhnya.“Kudengar bahwa kau dan Elden sudah putus, ya? Astaga, akhirnya Elden sadar juga bahwa kau itu tidak layak bersanding dengannya. Selamat atas kandasnya hubungan kalian, ya,” ejeknya dengan suara sengaja dilantangkan agar semua yang ada di sana mendengar berita itu.Banyak karyawan yang berasal dari divisi lain ikut menengok ke arah Ziandra ketika tak sengaja berjalan di mejanya, membuat Ziandra tentu saja merasa malu yang teramat sangat karena
Ziandra berangkat ke kantor jauh lebih awal dari biasanya. Bukannya langsung masuk ke dalam, ia malah duduk di bagian lobi kantor untuk menunggu seseorang. Dan tepat 20 menit kemudian, sosok Elden langsung mencuri perhatiannya.Ziandra berlari mendekati Elden dan memanggilnya terburu-buru. Tentu saja Elden merasa aneh dengan sikap Ziandra. Dirinya pikir kemarin Ziandra itu marah besar padanya dan tentu saja hubungan mereka bisa dikatakan berakhir, bukan?Senyuman Elden terbit ketika Ziandra yang sudah berdiri di depannya langsung memegang lengannya. “Ada apa, Sayang? Tumben pagi-pagi sudah menungguiku,” ungkapnya membuat Ziandra langsung melepaskan pegangannya.“Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Dan biar kuperingatkan padamu satu hal, bahwa kita sudah putus jadi jangan memanggilku dengan sebutan sayang! Kau tidak amnesia soal semalam, ‘kan?” sinis Ziandra lalu menyuruh Elden agar mengikutinya.Keduanya tiba di rooftop kantor yang sama sekali tidak ada orang selain mereka. Ziandra l
Ziandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.“Sebaiknya aku bawakan Elden maka