“Apa kamu serius dengan nominal segitu?” lanjutnya membuat Ziandra menundukkan kepala dengan gugup.
Sambil memilin ujung kemejanya, Ziandra mencoba untuk membalas ucapan Angga dengan suara lirih. “Ya. Itu cukup untuk semua biaya yang kubutuhkan. Kalau terlalu besar, saya bisa menguranginya...,”
“Mengurangi? Astaga, Ziandra. Tiga puluh juta itu bahkan tak cukup untuk biaya makan malam keluargaku sekali duduk.”
Angga memotong ucapan Ziandra dengan menyindir halus. Ia meraih pena di meja, menambahkan angka nol di akhir nominal itu, lalu mengembalikan cek itu ke tangan Ziandra.
Ziandra menatap cek itu dengan mata melebar, tak menyangka bahwa uang sebesar 300 juta ada di genggamannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang sebanyak itu, apalagi itu akan jadi miliknya.
Ziandra mengenyahkan pikiran buruknya dengan menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Angga, ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerimanya.”
Ziandra bermaksud mengembalikan cek itu dan akan menulis nominal yang wajar untuknya. Ia tak mau dianggap tamak.
“Anggap saja itu kompensasi untuk waktumu selama tiga bulan ke depan. Lagi pula, aku tidak ingin kekasih sandiwaraku terlihat murahan. Kau bisa pakai uang itu untuk beli beberapa pakaian mahal dan barang bermerk untuk koleksi pribadimu, atau hamburkan untuk hal lainnya itu terserah padamu!” ujar Angga dengan tegas memerintahkan Ziandra untuk menerimanya.
Meski dengan perasaan gelisah, mau tak mau Ziandra akhirnya mengangguk patuh. Ia pamit untuk kembali ke mejanya melanjutkan pekerjaan. Tetapi, suara Angga kembali menginterupsi langkahnya yang sudah hampir sampai di pintu.
“Mulai besok posisimu akan jadi sekretaris pribadiku. Kau bisa mulai persiapkan kepindahanmu dari sekarang!” Angga dengan suara amat tenang membuat bulu kuduk Ziandra yang mendengarnya meremang.
Angga tak memperdulikan Ziandra yang masih mematung di ambang pintu. Dirinya meraih gagang telepon dan menghubungi seseorang dengan suara beratnya yang tentu saja masih mampu didengar oleh Ziandra yang belum beranjak.
“Pindahkan posisi Ziandra agar jadi sekretaris pribadiku. Pokoknya, mulai besok dia harus sudah mulai bekerja di depan ruanganku!”
Angga menutup sambungan dan meletakkan gagang telepon ke tempat semula. Ia menatap datar ke arah punggung Ziandra yang belum berkutik. “Apa yang kau lakukan di situ? Tidakkah harusnya kau mulai persiapkan kepindahanmu?” tegurnya dengan suara mengalun lembut.
Ziandra mengepalkan kedua tangannya dengan perasaan terluka. Bukankah sudah ia katakan bahwa hubungan dia dan Angga tidak boleh diketahui oleh karyawan lain? Tapi apa-apaan dengan yang barusan Angga lakukan? Itu sama saja ia sedang menunjukkan kedekatannya dengan Ziandra secara teran-terangan.
Ziandra berbalik badan untuk menatap wajah Angga yang saat ini sudah tersenyum miring dengan bahu terangkat tak peduli.
“Apa Anda sengaja melakukan ini?” tuding Ziandra menekan tak suka.
“Sengaja seperti apa maksudmu? Aku hanya ingin mempermudah pekerjaan dengan menempatkanmu dalam jangkauan terdekatku. Dengan begitu, kita akan jauh lebih mudah berinteraksi untuk menunjukkan kedekatan di depan orangtuaku nanti. Hanya itu, tidak lebih.”
“Tapi sikap Anda akan membuat kecurigaan karyawan lain. Mereka akan berpikir saya sukses menggodamu sehingga bisa membuat saya naik jabatan. Tidak tahukah bahwa ini akan membuatku kesulitan ke depannya?” tukas Ziandra berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahannya dan tetap hormat pada atasan.
Angga mendecih mendengar ucapan Ziandra yang terlalu jauh berpikir.
“Jika mereka mengganggumu, katakan padaku! Aku akan dengan senang hati membereskan mereka. Sudah, berhenti mendebat keputusanku dan kembalilah bekerja! Kau akan jadi sekretaris pribadiku sekaligus kekasihku mulai besok, ingat saja itu!”Angga mengibaskan tangan kanannya untuk mengusir Ziandra keluar dari ruangannya. Meski belum sepenuhnya sepakat, Ziandra tak bisa berbuat banyak selain menurut. Cek yang ada padanya sudah cukup membuktikan bahwa dia tak bisa melawan.
Angga yang melihat kepergian Ziandra hanya mendengus pelan. “Itu kulakukan agar kita bisa semakin dekat. Kenapa kau susah sekali untuk sadar bahwa aku tertarik padamu, sih?”
***** Ziandra duduk di kursinya dengan wajah murung. Ia mengenyahkan perasaan tidak enak yang sejak tadi menggerayanginya sejak menerima kesepakatan dengan Angga.“Semoga saja aku tidak salah keputusan. Aku tidak ingin membuat kehidupanku jadi sulit ke depannya. Aku hanya ingin hidup tenang dan nyaman,” keluhnya menggerundel di balik wajah yang ia sembunyikan di lipatan tangannya sendiri.
Ziandra mencoba fokus pada pekerjaannya yang belum selesai. Hari ini harus ia tuntaskan jika besok memang dirinya serius akan dipindahkan posisinya menjadi sekretaris Angga. Dia memutuskan akan lembur malam ini.
Saat semua karyawan mulai bersiap untuk pulang, salah seorang dari mereka mendekati meja Ziandra.
“Kau tidak pulang? Bukankah hari ini kau tidak memiliki tugas menumpuk hingga membuatmu jadi lembur, ‘kan?” tegurnya melirik sekilas pada layar monitor Ziandra yang masih menyala terang. “Kau bisa menyelesaikannya besok saja.”
Ziandra menggelengkan kepala mendengar ucapan Jenna. Bisa dibilang Jenna satu-satunya teman kantor yang begitu peduli padanya, namun sayang mereka berbeda divisi sehingga membuat mereka jarang berinteraksi.
“Aku harus menyelesaikan tugasku malam ini. Besok tidak ada waktu.”
Jenna mengernyit bingung mendengarnya. “Memang kau akan ke mana?”
Jenna menduga bahwa Ziandra akan mengambil cuti besok, makanya dia harus selesaikan hari ini agar tidak kepikiran.
Karena Ziandra tak menjawab pertanyaannya, Jenna makin yakin bahwa temannya itu akan libur besok.
“Ya sudah jika itu pilihanmu. Aku pulang duluan kalau begitu. Jika ada apa-apa segera hubungi aku, ya.” Jenna pamit sambil menepuk pelan pundak Ziandra. Memberikannya semangat untuk tetap tegar.
Sejujurnya Jenna agak khawatir dengan gosip yang berembus mengenai Ziandra. Inginnya ia langsung menanyakan perasaannya tapi tak berani melakukan hal itu. Ia tahu, Ziandra paling tidak suka terlihat lemah.
Jenna hanya berharap bahwa Ziandra sendirilah yang nanti akan memberinya penjelasan. Ia yakin betul bahwa gosip buruk soalnya tidaklah benar.
Ziandra melirik sekilas ke arah Jenna yang sudah berjalan menjauh. Dirinya lalu mengedarkan pandangan ke penjuru lantai dua tempatnya bekerja yang sudah sepi, hanya tersisa dirinya saja dengan layar monitor menyala.
“Sejujurnya aku ingin bercerita pada Jenna soal apa yang sedang kualami ini, tapi rasanya terlalu malu. Yeah, aku takut dia berpikir bahwa aku wanita tidak benar.”
Ziandra menghembuskan napas berat lalu berusaha kembali fokus berkutat pada pekerjaannya. Dia tak sadar bahwa seseorang sedang memperhatikannya dari balik tembok yang gelap.
Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.“Kau belum pulang?” Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga,
Ziandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.“Sebaiknya aku bawakan Elden maka
Ziandra berangkat ke kantor jauh lebih awal dari biasanya. Bukannya langsung masuk ke dalam, ia malah duduk di bagian lobi kantor untuk menunggu seseorang. Dan tepat 20 menit kemudian, sosok Elden langsung mencuri perhatiannya.Ziandra berlari mendekati Elden dan memanggilnya terburu-buru. Tentu saja Elden merasa aneh dengan sikap Ziandra. Dirinya pikir kemarin Ziandra itu marah besar padanya dan tentu saja hubungan mereka bisa dikatakan berakhir, bukan?Senyuman Elden terbit ketika Ziandra yang sudah berdiri di depannya langsung memegang lengannya. “Ada apa, Sayang? Tumben pagi-pagi sudah menungguiku,” ungkapnya membuat Ziandra langsung melepaskan pegangannya.“Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Dan biar kuperingatkan padamu satu hal, bahwa kita sudah putus jadi jangan memanggilku dengan sebutan sayang! Kau tidak amnesia soal semalam, ‘kan?” sinis Ziandra lalu menyuruh Elden agar mengikutinya.Keduanya tiba di rooftop kantor yang sama sekali tidak ada orang selain mereka. Ziandra l
Selesai acara pengenalan CEO baru, Ziandra buru-buru keluar dari aula dan duduk ke kursinya dengan resah. Sambil terus membisiki dirinya sendiri, “Itu tidak mungkin. Pria semalam tidak mungkin bosku.”Ia menolak keras kebenaran bahwa pria yang tidur dengannya adalah orang yang sama. Sedang mengkhawatirkan hal itu, ia dikejutkan sapaan beberapa teman kantornya yang tiba-tiba saja mengerubungi mejanya.“Ada apa?” tanya Ziandra mengangkat sebelah alisnya.Salah satu dari mereka malah menertawakannya. Ia menyentil bahu Ziandra dengan gaya angkuhnya.“Kudengar bahwa kau dan Elden sudah putus, ya? Astaga, akhirnya Elden sadar juga bahwa kau itu tidak layak bersanding dengannya. Selamat atas kandasnya hubungan kalian, ya,” ejeknya dengan suara sengaja dilantangkan agar semua yang ada di sana mendengar berita itu.Banyak karyawan yang berasal dari divisi lain ikut menengok ke arah Ziandra ketika tak sengaja berjalan di mejanya, membuat Ziandra tentu saja merasa malu yang teramat sangat karena
Ziandra merutuki dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya kabur begitu saja setelah ditegur atasannya tadi. pikirannya kalut, bahkan ia hampir melupakan rencananya untuk pergi ke bank setelah pulang kerja guna mengajukan pinjaman.Dengan berat hati, Ziandra memutar langkah, berjalan kaki menuju bank meski kosnya sudah hampir terlihat di ujung jalan. Langkahnya terasa lambat, seolah-olah seluruh tenaganya terkuras habis oleh rasa malu dan putus asa.Sesampainya di bank, semuanya berjalan lebih cepat dari dugaannya. Tak butuh waktu lama, ia sudah keluar dengan wajah tertunduk lesu. Hatinya seperti dihantam batu besar. Pengajuan pinjamannya ditolah mentah-mentah oleh pihak bank.“Kenapa sulit sekali untuk meminjam uang, sih? Padahal aku sudah janji akan membayar tepat waktu. Aku juga nggak mungkin kabur,” keluhnya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.Alasan penolakan bank masih terngiang di telinganya. Ziandra yang tidak memiliki jaminan
Angga menatapnya dengan senyum misterius. “Bisa dibilang, aku menawarkan pekerjaan tambahan padamu. Secara pribadi.”Ziandra menelan ludah dengan susah payah, merasa ada yang tidak beres dari kalimat itu. “Memangnya pekerjaan apa yang Anda maksudkan?”“Jadilah kekasih sewaanku selama 3 bulan. Sebagai gantinya, aku akan memberikan berapa pun yang kau butuhkan,” ungkap Angga seraya menyodorkan cek kosong ke tangan Ziandra.Ziandra menatap Angga dengan campuran rasa takut dan bingung. Cek kosong yang sudah berpindah ke tangannya terasa berat seperti batu.“Kutunggu jawabanmu besok,” kata Angga sebelum berbalik pergi, meninggalkan Ziandra yang terpaku di tempat.Saat langkah Angga menjauh, Ziandra segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Tubuhnya langsung merosot di lantai. Ia menatap cek kosong di tangannya dengan napas yang terasa sesak.Namun, pikirannya segera teralihkan saat ponselnya yang ada di saku celana berbunyi. Pesan dari sepupunya di desa masuk.[Kondisi nenek semakin lem
Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.“Kau belum pulang?” Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga,
“Apa kamu serius dengan nominal segitu?” lanjutnya membuat Ziandra menundukkan kepala dengan gugup.Sambil memilin ujung kemejanya, Ziandra mencoba untuk membalas ucapan Angga dengan suara lirih. “Ya. Itu cukup untuk semua biaya yang kubutuhkan. Kalau terlalu besar, saya bisa menguranginya...,”“Mengurangi? Astaga, Ziandra. Tiga puluh juta itu bahkan tak cukup untuk biaya makan malam keluargaku sekali duduk.”Angga memotong ucapan Ziandra dengan menyindir halus. Ia meraih pena di meja, menambahkan angka nol di akhir nominal itu, lalu mengembalikan cek itu ke tangan Ziandra.Ziandra menatap cek itu dengan mata melebar, tak menyangka bahwa uang sebesar 300 juta ada di genggamannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang sebanyak itu, apalagi itu akan jadi miliknya.Ziandra mengenyahkan pikiran buruknya dengan menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Angga, ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerimanya.”Ziandra bermaksud mengembalikan cek itu dan akan menulis nominal yang wajar untuknya
Angga menatapnya dengan senyum misterius. “Bisa dibilang, aku menawarkan pekerjaan tambahan padamu. Secara pribadi.”Ziandra menelan ludah dengan susah payah, merasa ada yang tidak beres dari kalimat itu. “Memangnya pekerjaan apa yang Anda maksudkan?”“Jadilah kekasih sewaanku selama 3 bulan. Sebagai gantinya, aku akan memberikan berapa pun yang kau butuhkan,” ungkap Angga seraya menyodorkan cek kosong ke tangan Ziandra.Ziandra menatap Angga dengan campuran rasa takut dan bingung. Cek kosong yang sudah berpindah ke tangannya terasa berat seperti batu.“Kutunggu jawabanmu besok,” kata Angga sebelum berbalik pergi, meninggalkan Ziandra yang terpaku di tempat.Saat langkah Angga menjauh, Ziandra segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Tubuhnya langsung merosot di lantai. Ia menatap cek kosong di tangannya dengan napas yang terasa sesak.Namun, pikirannya segera teralihkan saat ponselnya yang ada di saku celana berbunyi. Pesan dari sepupunya di desa masuk.[Kondisi nenek semakin lem
Ziandra merutuki dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya kabur begitu saja setelah ditegur atasannya tadi. pikirannya kalut, bahkan ia hampir melupakan rencananya untuk pergi ke bank setelah pulang kerja guna mengajukan pinjaman.Dengan berat hati, Ziandra memutar langkah, berjalan kaki menuju bank meski kosnya sudah hampir terlihat di ujung jalan. Langkahnya terasa lambat, seolah-olah seluruh tenaganya terkuras habis oleh rasa malu dan putus asa.Sesampainya di bank, semuanya berjalan lebih cepat dari dugaannya. Tak butuh waktu lama, ia sudah keluar dengan wajah tertunduk lesu. Hatinya seperti dihantam batu besar. Pengajuan pinjamannya ditolah mentah-mentah oleh pihak bank.“Kenapa sulit sekali untuk meminjam uang, sih? Padahal aku sudah janji akan membayar tepat waktu. Aku juga nggak mungkin kabur,” keluhnya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.Alasan penolakan bank masih terngiang di telinganya. Ziandra yang tidak memiliki jaminan
Selesai acara pengenalan CEO baru, Ziandra buru-buru keluar dari aula dan duduk ke kursinya dengan resah. Sambil terus membisiki dirinya sendiri, “Itu tidak mungkin. Pria semalam tidak mungkin bosku.”Ia menolak keras kebenaran bahwa pria yang tidur dengannya adalah orang yang sama. Sedang mengkhawatirkan hal itu, ia dikejutkan sapaan beberapa teman kantornya yang tiba-tiba saja mengerubungi mejanya.“Ada apa?” tanya Ziandra mengangkat sebelah alisnya.Salah satu dari mereka malah menertawakannya. Ia menyentil bahu Ziandra dengan gaya angkuhnya.“Kudengar bahwa kau dan Elden sudah putus, ya? Astaga, akhirnya Elden sadar juga bahwa kau itu tidak layak bersanding dengannya. Selamat atas kandasnya hubungan kalian, ya,” ejeknya dengan suara sengaja dilantangkan agar semua yang ada di sana mendengar berita itu.Banyak karyawan yang berasal dari divisi lain ikut menengok ke arah Ziandra ketika tak sengaja berjalan di mejanya, membuat Ziandra tentu saja merasa malu yang teramat sangat karena
Ziandra berangkat ke kantor jauh lebih awal dari biasanya. Bukannya langsung masuk ke dalam, ia malah duduk di bagian lobi kantor untuk menunggu seseorang. Dan tepat 20 menit kemudian, sosok Elden langsung mencuri perhatiannya.Ziandra berlari mendekati Elden dan memanggilnya terburu-buru. Tentu saja Elden merasa aneh dengan sikap Ziandra. Dirinya pikir kemarin Ziandra itu marah besar padanya dan tentu saja hubungan mereka bisa dikatakan berakhir, bukan?Senyuman Elden terbit ketika Ziandra yang sudah berdiri di depannya langsung memegang lengannya. “Ada apa, Sayang? Tumben pagi-pagi sudah menungguiku,” ungkapnya membuat Ziandra langsung melepaskan pegangannya.“Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Dan biar kuperingatkan padamu satu hal, bahwa kita sudah putus jadi jangan memanggilku dengan sebutan sayang! Kau tidak amnesia soal semalam, ‘kan?” sinis Ziandra lalu menyuruh Elden agar mengikutinya.Keduanya tiba di rooftop kantor yang sama sekali tidak ada orang selain mereka. Ziandra l
Ziandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.“Sebaiknya aku bawakan Elden maka