“Apa kamu serius dengan nominal segitu?” lanjutnya membuat Ziandra menundukkan kepala dengan gugup.
Sambil memilin ujung kemejanya, Ziandra mencoba untuk membalas ucapan Angga dengan suara lirih. “Ya. Itu cukup untuk semua biaya yang kubutuhkan. Kalau terlalu besar, saya bisa menguranginya...,”
“Mengurangi? Astaga, Ziandra. Tiga puluh juta itu bahkan tak cukup untuk biaya makan malam keluargaku sekali duduk.”
Angga memotong ucapan Ziandra dengan menyindir halus. Ia meraih pena di meja, menambahkan angka nol di akhir nominal itu, lalu mengembalikan cek itu ke tangan Ziandra.
Ziandra menatap cek itu dengan mata melebar, tak menyangka bahwa uang sebesar 300 juta ada di genggamannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang sebanyak itu, apalagi itu akan jadi miliknya.
Ziandra mengenyahkan pikiran buruknya dengan menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Angga, ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerimanya.”
Ziandra bermaksud mengembalikan cek itu dan akan menulis nominal yang wajar untuknya. Ia tak mau dianggap tamak.
“Anggap saja itu kompensasi untuk waktumu selama tiga bulan ke depan. Lagi pula, aku tidak ingin kekasih sandiwaraku terlihat murahan. Kau bisa pakai uang itu untuk beli beberapa pakaian mahal dan barang bermerk untuk koleksi pribadimu, atau hamburkan untuk hal lainnya itu terserah padamu!” ujar Angga dengan tegas memerintahkan Ziandra untuk menerimanya.
Meski dengan perasaan gelisah, mau tak mau Ziandra akhirnya mengangguk patuh. Ia pamit untuk kembali ke mejanya melanjutkan pekerjaan. Tetapi, suara Angga kembali menginterupsi langkahnya yang sudah hampir sampai di pintu.
“Mulai besok posisimu akan jadi sekretaris pribadiku. Kau bisa mulai persiapkan kepindahanmu dari sekarang!” Angga dengan suara amat tenang membuat bulu kuduk Ziandra yang mendengarnya meremang.
Angga tak memperdulikan Ziandra yang masih mematung di ambang pintu. Dirinya meraih gagang telepon dan menghubungi seseorang dengan suara beratnya yang tentu saja masih mampu didengar oleh Ziandra yang belum beranjak.
“Pindahkan posisi Ziandra agar jadi sekretaris pribadiku. Pokoknya, mulai besok dia harus sudah mulai bekerja di depan ruanganku!”
Angga menutup sambungan dan meletakkan gagang telepon ke tempat semula. Ia menatap datar ke arah punggung Ziandra yang belum berkutik. “Apa yang kau lakukan di situ? Tidakkah harusnya kau mulai persiapkan kepindahanmu?” tegurnya dengan suara mengalun lembut.
Ziandra mengepalkan kedua tangannya dengan perasaan terluka. Bukankah sudah ia katakan bahwa hubungan dia dan Angga tidak boleh diketahui oleh karyawan lain? Tapi apa-apaan dengan yang barusan Angga lakukan? Itu sama saja ia sedang menunjukkan kedekatannya dengan Ziandra secara teran-terangan.
Ziandra berbalik badan untuk menatap wajah Angga yang saat ini sudah tersenyum miring dengan bahu terangkat tak peduli.
“Apa Anda sengaja melakukan ini?” tuding Ziandra menekan tak suka.
“Sengaja seperti apa maksudmu? Aku hanya ingin mempermudah pekerjaan dengan menempatkanmu dalam jangkauan terdekatku. Dengan begitu, kita akan jauh lebih mudah berinteraksi untuk menunjukkan kedekatan di depan orangtuaku nanti. Hanya itu, tidak lebih.”
“Tapi sikap Anda akan membuat kecurigaan karyawan lain. Mereka akan berpikir saya sukses menggodamu sehingga bisa membuat saya naik jabatan. Tidak tahukah bahwa ini akan membuatku kesulitan ke depannya?” tukas Ziandra berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahannya dan tetap hormat pada atasan.
Angga mendecih mendengar ucapan Ziandra yang terlalu jauh berpikir.
“Jika mereka mengganggumu, katakan padaku! Aku akan dengan senang hati membereskan mereka. Sudah, berhenti mendebat keputusanku dan kembalilah bekerja! Kau akan jadi sekretaris pribadiku sekaligus kekasihku mulai besok, ingat saja itu!”Angga mengibaskan tangan kanannya untuk mengusir Ziandra keluar dari ruangannya. Meski belum sepenuhnya sepakat, Ziandra tak bisa berbuat banyak selain menurut. Cek yang ada padanya sudah cukup membuktikan bahwa dia tak bisa melawan.
Angga yang melihat kepergian Ziandra hanya mendengus pelan. “Itu kulakukan agar kita bisa semakin dekat. Kenapa kau susah sekali untuk sadar bahwa aku tertarik padamu, sih?”
***** Ziandra duduk di kursinya dengan wajah murung. Ia mengenyahkan perasaan tidak enak yang sejak tadi menggerayanginya sejak menerima kesepakatan dengan Angga.“Semoga saja aku tidak salah keputusan. Aku tidak ingin membuat kehidupanku jadi sulit ke depannya. Aku hanya ingin hidup tenang dan nyaman,” keluhnya menggerundel di balik wajah yang ia sembunyikan di lipatan tangannya sendiri.
Ziandra mencoba fokus pada pekerjaannya yang belum selesai. Hari ini harus ia tuntaskan jika besok memang dirinya serius akan dipindahkan posisinya menjadi sekretaris Angga. Dia memutuskan akan lembur malam ini.
Saat semua karyawan mulai bersiap untuk pulang, salah seorang dari mereka mendekati meja Ziandra.
“Kau tidak pulang? Bukankah hari ini kau tidak memiliki tugas menumpuk hingga membuatmu jadi lembur, ‘kan?” tegurnya melirik sekilas pada layar monitor Ziandra yang masih menyala terang. “Kau bisa menyelesaikannya besok saja.”
Ziandra menggelengkan kepala mendengar ucapan Jenna. Bisa dibilang Jenna satu-satunya teman kantor yang begitu peduli padanya, namun sayang mereka berbeda divisi sehingga membuat mereka jarang berinteraksi.
“Aku harus menyelesaikan tugasku malam ini. Besok tidak ada waktu.”
Jenna mengernyit bingung mendengarnya. “Memang kau akan ke mana?”
Jenna menduga bahwa Ziandra akan mengambil cuti besok, makanya dia harus selesaikan hari ini agar tidak kepikiran.
Karena Ziandra tak menjawab pertanyaannya, Jenna makin yakin bahwa temannya itu akan libur besok.
“Ya sudah jika itu pilihanmu. Aku pulang duluan kalau begitu. Jika ada apa-apa segera hubungi aku, ya.” Jenna pamit sambil menepuk pelan pundak Ziandra. Memberikannya semangat untuk tetap tegar.
Sejujurnya Jenna agak khawatir dengan gosip yang berembus mengenai Ziandra. Inginnya ia langsung menanyakan perasaannya tapi tak berani melakukan hal itu. Ia tahu, Ziandra paling tidak suka terlihat lemah.
Jenna hanya berharap bahwa Ziandra sendirilah yang nanti akan memberinya penjelasan. Ia yakin betul bahwa gosip buruk soalnya tidaklah benar.
Ziandra melirik sekilas ke arah Jenna yang sudah berjalan menjauh. Dirinya lalu mengedarkan pandangan ke penjuru lantai dua tempatnya bekerja yang sudah sepi, hanya tersisa dirinya saja dengan layar monitor menyala.
“Sejujurnya aku ingin bercerita pada Jenna soal apa yang sedang kualami ini, tapi rasanya terlalu malu. Yeah, aku takut dia berpikir bahwa aku wanita tidak benar.”
Ziandra menghembuskan napas berat lalu berusaha kembali fokus berkutat pada pekerjaannya. Dia tak sadar bahwa seseorang sedang memperhatikannya dari balik tembok yang gelap.
Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.“Kau belum pulang?” Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga,
Keesokan harinya, seperti yang sudah Ziandra duga, kantor langsung dipenuhi bisik-bisik saat ia datang. Semua mata tertuju padanya seolah ia baru saja melakukan sesuatu yang salah.“Hei, kau sudah dengar? Ziandra jadi sekretaris pribadi Pak Angga sekarang.”“Serius? Gimana caranya? Dia pasti pakai jalan pintas.”“Gila, aku iri setengah mati. Padahal dia cuma pegawai biasa kemarin.” Ziandra menundukkan kepala, berusaha mengabaikan tatapan menusuk dan komentar-komentar pedas soal dirinya. Langkahnya ia percepat berusaha untuk menjauh secepat mungkin.Di sudut ruangan lain, Elden bersandar santai di dinding dekat pantry dengan segelas kopi di tangannya. Ia mendengarkan gosip yang berseliweran dengan ekspresi tenang, lalu tersenyum miring.Semalam, Elden berniat mengejek Ziandra karena melihatnya lembur sendirian, terlihat begitu menyedihkan setelah putus darinya. Namun, siapa sangka justru ada moment menarik yang dilihatnya.Elden melihat kebersamaan antara Ziandra dan Angga—atasannya ya
Ziandra menatap pesan itu dengan dahi mengernyit bingung. Tak butuh waktu lama untuknya segera membalas pesan.[Siapa kamu? Apa maksud dari pesanmu ini?]Namun hingga belasan menit Ziandra menunggu, tak ada balasan apapun dari pengirim pesan padahal sudah ada tanda dibaca.Ziandra pun memutuskan menghubungi nomor itu untuk mencari tahu. Tepat saat dirinya menekan tombol panggil, suara ponsel berdering di belakangnya membuat ia cepat menoleh.“Elden, jadi kau orangnya? Kenapa mengirimiku pesan seperti itu? Menyebalkan sekali,” kecam Ziandra ketika Elden berjalan mendekatinya.Elden menaikkan sebelah alisnya. Sebelah tangannya ia gunakan mengambil ponsel yang terselip di saku celana dan mengangkat telepon itu dengan tenang sambil memperhatikan tatapan terkejut Ziandra padanya.“Iya, sebentar lagi aku akan datang. Kau bisa mulai dulu mempersiapkan rapatnya.”Usai menjawab teleponnya, Elden menatap sepenuhnya pada Ziandra yang masih bengong.“Kau itu kenapa? Tiba-tiba marah padaku dan men
Ziandra menangis di depan Angga. Ia tak peduli tanggapan bosnya itu akan seperti apa melihatnya berantakan dengan tangis pecah begini. Ia terlalu kalut memikirkan kalau peneror itu sungguh akan melaporkannya pada keluarganya di desa.“Ada apa denganmu? Hey, berhentilah menangis dan katakan padaku apa yang terjadi!” ucap Angga sambil menuntun Ziandra agar masuk ke ruangannya.Meski Angga yakin semua karyawan sudah pulang, ia tak mau ambil risiko bahwa terpergok berduaan dengan Ziandra di depan pintu ruang kerjanya.Dengan lembut Angga mendudukkan Ziandra di sofa yang ada di ruangannya. Ia juga menyodorkan botol air mineral pada Ziandra.“Tenang dan jelaskan padaku dengan perlahan-lahan! Aku janji akan membantumu sebisanya,” ujar Angga kembali menginterupsi Ziandra yang tampak masih terpukul dengan masalahnya.Ziandra mengangguk patuh. Ia menenggak hampir separuh isi botol dan menatap ke arah Angga dengan ragu.Setelah meyakinkan dirinya bahwa ini keputusan yang tepat, ia memberanikan u
Ziandra menggeleng cepat. “Aku tidak bisa. Itu akan semakin membuat gosip berkembang—,”“Peduli setan dengan gosip!” suara Angga meninggi, membuat Ziandra tersentak. Angga menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya sebelum kembali berbicara lebih lembut. “Aku lebih peduli pada keselamatanmu. Gosip bisa dengan mudah menghilang, tapi kalau terjadi sesuatu padamu, aku tidak bisa menerimanya. Ayolah, menurut padaku!”Ziandra meremas ujung bajunya. Rasa ragu dan takut bercampur jadi satu. Tetapi, melihat tatapan serius Angga yang terlihat sangat khawatir padanya, ia tahu bahwa pria itu tidak main-main.Ziandra pun memberi anggukan kecil pertanda memberi persetujuan. Bukan karena dipaksa, tapi karena di dalam hatinya ia takut tinggal sendirian di sini.Angga tersenyum lega mendapat persetujuan dari Ziandra. “Cepat kemas barang-barang yang kau butuhkan. Aku akan menunggu di luar sini sambil memantau keadaan sekitar.”Ziandra masuk ke dalam kamar dengan perasaan campur aduk. Sementara di l
“Kenapa mempertanyakan hal itu? Apa kau sudah tahu siapa orang yang menerorku? Jika iya, cepat katakan siapa, Angga!” tuntut Ziandra yang berfirasat bahwa Angga mengetahui sesuatu, mungkin saja dia sudah tahu pelakunya.“Aku belum memastikan dia orangnya. Tapi, aku menunggu jawabanmu. Apa yang kau lakukan jika tahu pelakunya?” tegas Angga dengan suara otoriternya.Ziandra tampak berpikir dengan menggembungkan sebelah pipinya. “Entahlah, aku hanya akan bilang padanya bahwa jangan sampai memberitahukan rumor itu pada keluargaku. Akan kuberi penjelasan bahwa itu hanyalah gosip palsu yang tidak benar.”“Lalu, kau akan melepaskannya begitu saja? Setelah teror yang dia lakukan, kau hanya akan memberinya sebuah penjelasan dan setelah itu melupakan kesalahannya. Aku tak habis pikir, apa kau tak marah dan dendam padanya karena perbuatannya itu?” gerutu Angga kurang setuju dengan apa yang disampaikan Ziandra.Bahkan meski bukan Angga yang diteror, ia sudah kesal dan marah. Tapi, malah Ziandra t
Angga menuangkan alkohol ke gelas sloki milik Ziandra yang menerimanya dengan sopan."Aku hanya terlalu cemas soal masalahmu, hingga tanpa sadar malah melewati batas seperti tadi," kata Angga memulai pembicaraan.Angga sengaja mengajak Ziandra minum malam ini untuk berbaikan, ia pikir jika dalam keadaan sadar akan cukup canggung baginya maupun Ziandra.Ziandra meneguk alkoholnya hanya separuh gelas, sedangkan Angga langsung menghabiskannya dan kembali mengisinya hingga penuh."Kau ingat, tidak, bagaimana kita bertemu pertama kali?" tanya Angga tersenyum tipis lalu kembali meneguk alkoholnya hingga tandas.Ziandra yang melihatnya sampai dibuat melongo karena toleransi alkohol Angga sangat tinggi. Ia bahkan belum terlihat seperti sedang mabuk."Itu sungguh ketidaksengajaan. Aku juga tak menyangka kalau ternyata pria yang kutemui malam itu adalah dirimu, bosku sendiri. Aku ke kelab waktu itu juga hanya berniat mabuk, bukan malah melakukan hal yang lebih dari itu. Maaf jika pertemuan kita
Angga menunggu izin dari Ziandra untuk bertindak lebih jauh. Ia pikir Ziandra akan menolaknya karena wanita itu hanya diam menatapnya sejak tadi. Angga bermaksud turun dari tubuh Ziandra dan membiarkan wanita itu kembali ke kamarnya.Meski tak bisa dipungkiri bahwa sesuatu di bawah sana sudah tegak, Angga tak mau bertindak egois. Ia akan melepaskan Ziandra dan membiarkannya pergi.Namun, sebelum Angga beringsut turun, Ziandra malah menahan tangannya. Memberinya tatapan lembut dan anggukan kepala yang amat pelan. Senyum Angga langsung terkembang merekah."Aku akan pelan-pelan melakukannya agar kau tidak kesakitan," ucap Angga berjanji dengan semangat.Ziandra tersenyum melihat betapa antusiasnya Angga padanya. Pria itu sudah melepas bajunya dan kembali menindih Ziandra. Senyum tulus Angga adalah hal terakhir yang Ziandra ingat sebelum ia menutup mata membiarkan Angga bermain dengan tubuhnya.*****Pemandangan pertama yang menyambut bangunnya Ziandra adalah wajah tampan Angga yang sedan
“Aku tidak setuju dengan keputusanmu. Bagaimana kau tega memperlakukan Devan seperti itu? Dia juga anakmu. Kau harus adil dengan kedua anakmu tanpa pilih kasih.” Vidia langsung menyanggah dengan keras atas keputusan suaminya.Angga berdiri dengan santai, menatap dengan senyum remeh ke arah Vidia sebelum membungkuk hormat ke ayahnya untuk pamit.“Tentu saja perlakuan kami harus berbeda. Yang satu anak sah, sedangkan satunya tak lebih dari anak perebut suami orang.”Angga dengan sengaja menyindir saat berjalan di belakang kursi Vidia. Tentu saja itu membuatnya langsung tersinggung marah.Vidia dengan mata terbelalak merah, berdiri dan berbalik untuk menatap Angga yang bahkan tak mempedulikannya. Angga tetap berjalan pongah, keluar dari rumah ayahnya.“Sayang, kau tak dengar ucapannya Angga barusan? Dia menghinaku dengan begitu kejam.” Vidia mengadu dengan wajah tersinggung kesal.Yuda menatapnya sekilas. “Yang dikatakan Angga memang benar.”Vidia langsung terdiam seketika mendengar ucap
Angga akhirnya bisa sedikit bernapas lega ketika mendengar kabar dari orang kepercayaannya bahwa ayahnya akan pulang. Setelah berjibaku dengan masalah pelik sebulan lebih akibat ulah Devan, akhirnya ia akan bebas. Ia akan langsung menemui ayahnya untuk mendapatkan kejelasan.Karena tidak mau Vidia makin menghasut ayahnya, Angga harus bertindak cepat ketika ada kesempatan. Ia buru-buru keluar dari ruang kerjanya sambil memakai jas yang sebelumnya sudah dilepas olehnya.Ziandra yang ada di luar ruangan, ketika melihat Angga keluar tampak tergesa, segera menghampirinya.“Mau ke mana? Kau terlihat buru-buru sekali, padahal kita baru tiba di kantor beberapa menit yang lalu.” Ziandra tampak khawatir, tak mau suaminya menyembunyikan apapun darinya.Angga menoleh sekilas. Langkah kaki yang awalnya lebar dan tergesa, kini mulai melambat. Saat di depan lift, Angga berbalik menghadap Ziandra.“Aku akan menemui Ayah. Dia baru saja pulang dari liburannya. Kau doakan aku agar bisa mendapat hasil me
Sebulan kemudian....Sudah hampir seminggu lamanya Elden bekerja sebagai buruh harian di sebuah pabrik pengemasan di kawasan industri dekat tempat tinggalnya. Hari-harinya kini diisi dengan rutinitas monoton: bangun sebelum matahari terbit, menempuh perjalanan dengan berjalan kaki karena ongkos transportasi terlalu mahal, lalu berdiri berjam-jam di depan mesin yang menderu tanpa henti.Tubuhnya mulai terbiasa dengan rasa pegal, tetapi tidak dengan rasa lelah yang menggerogoti harga dirinya.Ia yang sebelumnya bekerja di perusahaan besar milik keluarga Angga membuatnya disegani oleh orang-orang di sekitar rumahnya, bahkan para teman alumni sekolah juga. Namun kini, ia tak lebih dari seorang pria yang bekerja serabutan untuk mencukupi hidupnya.Pulang malam itu, Elden duduk di lantai kosannya yang sempit dan lembap. Makanan instan sudah jadi teman setianya selama beberapa hari terakhir. Ia membuka ponselnya, mengecek pesan—masih tidak ada kabar dari Ziandra maupun perusahaan. Bahkan taw
Angga melangkah mendekat dengan langkah lambat, setiap jejaknya seolah menggema dalam keheningan yang mencekam.“Kenapa kau ada di sini bersama Elden?” tanyanya, datar. Sudah jelas itu ditujukan pada Ziandra karena hanya ada mereka bertiga di sana.Ziandra membuka mulut, ingin menjelaskan. Namun, suaranya tercekat. Ia tahu, dalam posisi seperti ini, penjelasan sering kali terdengar seperti pembelaan yang lemah. Ia mencoba menatap mata Angga, tetapi pria itu malah memalingkan pandangannya ke Elden.“Dan kau,” lanjut Angga, nadanya naik satu oktaf. “Sudah kuperingatkan untuk jangan lagi mendekati Ziandra! Sepertinya kau memang meremehkan atasanmu ini, kan? Kau pikir aku main-main dengan ancamanku jika sampai kau mengganggu istriku lagi?”Elden menggeleng cepat. “Kau salah paham. Aku hanya—”“Cukup.” Angga memotong, suaranya tajam. “Mulai sekarang, kau bukan lagi bagian dari perusahaan ini. Kau kupecat, Elden.”Angga lalu beralih menatap ke arah Ziandra lagi.“Aku ini suamimu, tapi kau m
Ziandra mendengus lirih ketika menerima telepon dari Elden. Pria itu tiba-tiba mengajaknya bertemu secepatnya, dengan alasan ada hal penting yang harus dibicarakan. Namun, sebelum sempat menolak, sambungan sudah lebih dulu terputus.Ia menghela napas pelan, menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum meletakkannya di pangkuan. Sekilas, pandangannya berpindah ke Angga yang tengah menyetir dengan tatapan serius. Suaminya itu jelas sedang tidak tenang—sorot matanya kosong, rahangnya mengeras, dan tangannya menggenggam kemudi dengan kencang.Dengan gerakan hati-hati, Ziandra menggenggam tangan Angga yang bebas. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya ingin menyalurkan sedikit ketenangan lewat sentuhan hangat itu.Angga menoleh sekilas, menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa?”Ziandra membuka mulut, ingin meminta izin kalau nanti akan bertemu Elden sebentar untuk urusan penting. Tapi mulutnya serasa terkunci, ia terdiam. Melihat raut letih Angga membuatnya mengurungkan niat bicara. Ia tahu, uca
Angga menggeram pelan, lalu kembali mengeluarkan ponsel dari sakunya. Satu kali lagi, ia mencoba menelepon ayahnya. Jari-jarinya menekan tombol cepat dengan gerakan tepat dan penuh amarah. Dada masih naik turun, rahangnya mengeras.Kali ini sambungan berhasil tersambung.Namun, yang menjawab bukan suara sang ayah.[“Halo?”]Suaranya lembut, tenang, dan sangat dikenal. Vidia.Angga langsung mendecih tajam, merasa perutnya melilit oleh rasa kesal yang makin mendidih. “Kenapa kau yang menjawab ponsel ayahku? Di mana dia?”[“Ayahmu sedang menikmati waktu bersama denganku. Kami baru saja sarapan, lho.”]“Aku tidak menelepon untuk mendengar omong kosongmu. Berikan telepon ini pada Ayah. Aku ingin bicara langsung dengannya.” Nada Angga tajam, tanpa basa-basi.[“Ayahmu sekarang sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu.”]“Tidak mungkin,” desis Angga. “Dia pasti bisa bicara. Kau hanya sengaja menjauhkannya dariku.”Terdengar helaan napas malas dari seberang. [“Kalau kau terlalu sibuk menaru
Pagi itu terasa biasa saja—hangat, tenang, dan penuh semangat. Setidaknya begitu yang dirasakan Angga dan Ziandra saat melangkah beriringan memasuki lobi kantor. Saling tersenyum kecil, menyapa beberapa staf yang membalas dengan tatapan lega, seolah menyambut kembalinya kedamaian antara keduanya.Namun, langkah mereka terhenti seketika.Di depan lift yang belum juga terbuka, berdiri seseorang dengan postur tegak dan senyum angkuh yang sangat dikenal oleh keduanya. Sosok itu menoleh perlahan—dan saat matanya bertemu dengan milik Ziandra dan Angga, senyum tipisnya makin melebar.“Selamat pagi, Pak Angga, Bu Ziandra.” Suaranya terdengar manis, tapi jelas terasa menusuk.Liona.Ziandra refleks menahan napas. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Angga pun tidak kalah terkejut. Rahangnya mengeras, tubuhnya langsung menegang.Dengan langkah ringan, Liona mendekati mereka. Ia membungkuk kecil dengan sikap sopan yang dibuat-buat, lalu berdiri tegak kembali dengan ekspres
Langkah Ziandra pelan memasuki apartemen. Sepi. Lampu ruang tamu menyala redup, menyambutnya dengan kehangatan yang tak ia sangka-sangka. Saat menutup pintu perlahan, matanya langsung menangkap sosok seseorang yang terbaring di sofa—Angga.Laki-laki itu tertidur dalam posisi setengah duduk, tangan kanannya menjuntai ke lantai, sementara ponselnya tergeletak tak jauh dari sana. Napasnya teratur, wajahnya tenang. Untuk sesaat, semua amarah yang sempat menggelayuti hati Ziandra menguap begitu saja.Ia mendekat pelan, berjongkok agar sejajar dengan wajah Angga. Cahaya lembut dari lampu mengenainya dari samping, membuat sorot wajah itu tampak lebih damai dari biasanya.Seperti bayi ... batin Ziandra.Tangan kanan Ziandra terangkat, mengelus pelan pipi Angga yang terasa hangat. Sentuhan itu lembut, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. Ia tersenyum kecil, mengagumi garis wajah suaminya yang—di balik semua kelakuan dan dinginnya sikap—
Setelah percakapan panjang di rooftop, suasana hati Ziandra sedikit lebih ringan. Ia dan Jenna kini bisa saling memandang tanpa beban besar seperti sebelumnya. Mungkin belum benar-benar pulih, tetapi langkah menuju perbaikan sudah dimulai.Saat jam istirahat usai, Ziandra kembali ke ruangannya. Ia duduk di kursi kerja, memandangi layar komputer yang masih menampilkan dokumen yang belum rampung. Jemarinya sempat mengambang di atas keyboard, tapi pikirannya masih belum fokus.Namun, ketika Jenna sengaja lewat ke tempatnya dan mengedipkan mata sambil menunjukkan isyarat akan pulang bersama nanti, seulas senyum tipis akhirnya mengembang di wajahnya. Setidaknya, hari ini tidak sepenuhnya buruk.*****Sementara itu, di ruangannya, Angga hanya bisa memandangi jam dinding yang terasa berjalan lambat. Setiap menit yang berlalu terasa seperti menyiksa. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Ziandra sekarang, apakah hatinya sudah sedikit terbuka, atau justru semakin tert