“Apa kamu serius dengan nominal segitu?” lanjutnya membuat Ziandra menundukkan kepala dengan gugup.
Sambil memilin ujung kemejanya, Ziandra mencoba untuk membalas ucapan Angga dengan suara lirih. “Ya. Itu cukup untuk semua biaya yang kubutuhkan. Kalau terlalu besar, saya bisa menguranginya...,”
“Mengurangi? Astaga, Ziandra. Tiga puluh juta itu bahkan tak cukup untuk biaya makan malam keluargaku sekali duduk.”
Angga memotong ucapan Ziandra dengan menyindir halus. Ia meraih pena di meja, menambahkan angka nol di akhir nominal itu, lalu mengembalikan cek itu ke tangan Ziandra.
Ziandra menatap cek itu dengan mata melebar, tak menyangka bahwa uang sebesar 300 juta ada di genggamannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang sebanyak itu, apalagi itu akan jadi miliknya.
Ziandra mengenyahkan pikiran buruknya dengan menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Angga, ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerimanya.”
Ziandra bermaksud mengembalikan cek itu dan akan menulis nominal yang wajar untuknya. Ia tak mau dianggap tamak.
“Anggap saja itu kompensasi untuk waktumu selama tiga bulan ke depan. Lagi pula, aku tidak ingin kekasih sandiwaraku terlihat murahan. Kau bisa pakai uang itu untuk beli beberapa pakaian mahal dan barang bermerk untuk koleksi pribadimu, atau hamburkan untuk hal lainnya itu terserah padamu!” ujar Angga dengan tegas memerintahkan Ziandra untuk menerimanya.
Meski dengan perasaan gelisah, mau tak mau Ziandra akhirnya mengangguk patuh. Ia pamit untuk kembali ke mejanya melanjutkan pekerjaan. Tetapi, suara Angga kembali menginterupsi langkahnya yang sudah hampir sampai di pintu.
“Mulai besok posisimu akan jadi sekretaris pribadiku. Kau bisa mulai persiapkan kepindahanmu dari sekarang!” Angga dengan suara amat tenang membuat bulu kuduk Ziandra yang mendengarnya meremang.
Angga tak memperdulikan Ziandra yang masih mematung di ambang pintu. Dirinya meraih gagang telepon dan menghubungi seseorang dengan suara beratnya yang tentu saja masih mampu didengar oleh Ziandra yang belum beranjak.
“Pindahkan posisi Ziandra agar jadi sekretaris pribadiku. Pokoknya, mulai besok dia harus sudah mulai bekerja di depan ruanganku!”
Angga menutup sambungan dan meletakkan gagang telepon ke tempat semula. Ia menatap datar ke arah punggung Ziandra yang belum berkutik. “Apa yang kau lakukan di situ? Tidakkah harusnya kau mulai persiapkan kepindahanmu?” tegurnya dengan suara mengalun lembut.
Ziandra mengepalkan kedua tangannya dengan perasaan terluka. Bukankah sudah ia katakan bahwa hubungan dia dan Angga tidak boleh diketahui oleh karyawan lain? Tapi apa-apaan dengan yang barusan Angga lakukan? Itu sama saja ia sedang menunjukkan kedekatannya dengan Ziandra secara teran-terangan.
Ziandra berbalik badan untuk menatap wajah Angga yang saat ini sudah tersenyum miring dengan bahu terangkat tak peduli.
“Apa Anda sengaja melakukan ini?” tuding Ziandra menekan tak suka.
“Sengaja seperti apa maksudmu? Aku hanya ingin mempermudah pekerjaan dengan menempatkanmu dalam jangkauan terdekatku. Dengan begitu, kita akan jauh lebih mudah berinteraksi untuk menunjukkan kedekatan di depan orangtuaku nanti. Hanya itu, tidak lebih.”
“Tapi sikap Anda akan membuat kecurigaan karyawan lain. Mereka akan berpikir saya sukses menggodamu sehingga bisa membuat saya naik jabatan. Tidak tahukah bahwa ini akan membuatku kesulitan ke depannya?” tukas Ziandra berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahannya dan tetap hormat pada atasan.
Angga mendecih mendengar ucapan Ziandra yang terlalu jauh berpikir.
“Jika mereka mengganggumu, katakan padaku! Aku akan dengan senang hati membereskan mereka. Sudah, berhenti mendebat keputusanku dan kembalilah bekerja! Kau akan jadi sekretaris pribadiku sekaligus kekasihku mulai besok, ingat saja itu!”Angga mengibaskan tangan kanannya untuk mengusir Ziandra keluar dari ruangannya. Meski belum sepenuhnya sepakat, Ziandra tak bisa berbuat banyak selain menurut. Cek yang ada padanya sudah cukup membuktikan bahwa dia tak bisa melawan.
Angga yang melihat kepergian Ziandra hanya mendengus pelan. “Itu kulakukan agar kita bisa semakin dekat. Kenapa kau susah sekali untuk sadar bahwa aku tertarik padamu, sih?”
***** Ziandra duduk di kursinya dengan wajah murung. Ia mengenyahkan perasaan tidak enak yang sejak tadi menggerayanginya sejak menerima kesepakatan dengan Angga.“Semoga saja aku tidak salah keputusan. Aku tidak ingin membuat kehidupanku jadi sulit ke depannya. Aku hanya ingin hidup tenang dan nyaman,” keluhnya menggerundel di balik wajah yang ia sembunyikan di lipatan tangannya sendiri.
Ziandra mencoba fokus pada pekerjaannya yang belum selesai. Hari ini harus ia tuntaskan jika besok memang dirinya serius akan dipindahkan posisinya menjadi sekretaris Angga. Dia memutuskan akan lembur malam ini.
Saat semua karyawan mulai bersiap untuk pulang, salah seorang dari mereka mendekati meja Ziandra.
“Kau tidak pulang? Bukankah hari ini kau tidak memiliki tugas menumpuk hingga membuatmu jadi lembur, ‘kan?” tegurnya melirik sekilas pada layar monitor Ziandra yang masih menyala terang. “Kau bisa menyelesaikannya besok saja.”
Ziandra menggelengkan kepala mendengar ucapan Jenna. Bisa dibilang Jenna satu-satunya teman kantor yang begitu peduli padanya, namun sayang mereka berbeda divisi sehingga membuat mereka jarang berinteraksi.
“Aku harus menyelesaikan tugasku malam ini. Besok tidak ada waktu.”
Jenna mengernyit bingung mendengarnya. “Memang kau akan ke mana?”
Jenna menduga bahwa Ziandra akan mengambil cuti besok, makanya dia harus selesaikan hari ini agar tidak kepikiran.
Karena Ziandra tak menjawab pertanyaannya, Jenna makin yakin bahwa temannya itu akan libur besok.
“Ya sudah jika itu pilihanmu. Aku pulang duluan kalau begitu. Jika ada apa-apa segera hubungi aku, ya.” Jenna pamit sambil menepuk pelan pundak Ziandra. Memberikannya semangat untuk tetap tegar.
Sejujurnya Jenna agak khawatir dengan gosip yang berembus mengenai Ziandra. Inginnya ia langsung menanyakan perasaannya tapi tak berani melakukan hal itu. Ia tahu, Ziandra paling tidak suka terlihat lemah.
Jenna hanya berharap bahwa Ziandra sendirilah yang nanti akan memberinya penjelasan. Ia yakin betul bahwa gosip buruk soalnya tidaklah benar.
Ziandra melirik sekilas ke arah Jenna yang sudah berjalan menjauh. Dirinya lalu mengedarkan pandangan ke penjuru lantai dua tempatnya bekerja yang sudah sepi, hanya tersisa dirinya saja dengan layar monitor menyala.
“Sejujurnya aku ingin bercerita pada Jenna soal apa yang sedang kualami ini, tapi rasanya terlalu malu. Yeah, aku takut dia berpikir bahwa aku wanita tidak benar.”
Ziandra menghembuskan napas berat lalu berusaha kembali fokus berkutat pada pekerjaannya. Dia tak sadar bahwa seseorang sedang memperhatikannya dari balik tembok yang gelap.
Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.“Kau belum pulang?” Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga,
Keesokan harinya, seperti yang sudah Ziandra duga, kantor langsung dipenuhi bisik-bisik saat ia datang. Semua mata tertuju padanya seolah ia baru saja melakukan sesuatu yang salah.“Hei, kau sudah dengar? Ziandra jadi sekretaris pribadi Pak Angga sekarang.”“Serius? Gimana caranya? Dia pasti pakai jalan pintas.”“Gila, aku iri setengah mati. Padahal dia cuma pegawai biasa kemarin.” Ziandra menundukkan kepala, berusaha mengabaikan tatapan menusuk dan komentar-komentar pedas soal dirinya. Langkahnya ia percepat berusaha untuk menjauh secepat mungkin.Di sudut ruangan lain, Elden bersandar santai di dinding dekat pantry dengan segelas kopi di tangannya. Ia mendengarkan gosip yang berseliweran dengan ekspresi tenang, lalu tersenyum miring.Semalam, Elden berniat mengejek Ziandra karena melihatnya lembur sendirian, terlihat begitu menyedihkan setelah putus darinya. Namun, siapa sangka justru ada moment menarik yang dilihatnya.Elden melihat kebersamaan antara Ziandra dan Angga—atasannya ya
Ziandra menatap pesan itu dengan dahi mengernyit bingung. Tak butuh waktu lama untuknya segera membalas pesan.[Siapa kamu? Apa maksud dari pesanmu ini?]Namun hingga belasan menit Ziandra menunggu, tak ada balasan apapun dari pengirim pesan padahal sudah ada tanda dibaca.Ziandra pun memutuskan menghubungi nomor itu untuk mencari tahu. Tepat saat dirinya menekan tombol panggil, suara ponsel berdering di belakangnya membuat ia cepat menoleh.“Elden, jadi kau orangnya? Kenapa mengirimiku pesan seperti itu? Menyebalkan sekali,” kecam Ziandra ketika Elden berjalan mendekatinya.Elden menaikkan sebelah alisnya. Sebelah tangannya ia gunakan mengambil ponsel yang terselip di saku celana dan mengangkat telepon itu dengan tenang sambil memperhatikan tatapan terkejut Ziandra padanya.“Iya, sebentar lagi aku akan datang. Kau bisa mulai dulu mempersiapkan rapatnya.”Usai menjawab teleponnya, Elden menatap sepenuhnya pada Ziandra yang masih bengong.“Kau itu kenapa? Tiba-tiba marah padaku dan men
Ziandra menangis di depan Angga. Ia tak peduli tanggapan bosnya itu akan seperti apa melihatnya berantakan dengan tangis pecah begini. Ia terlalu kalut memikirkan kalau peneror itu sungguh akan melaporkannya pada keluarganya di desa.“Ada apa denganmu? Hey, berhentilah menangis dan katakan padaku apa yang terjadi!” ucap Angga sambil menuntun Ziandra agar masuk ke ruangannya.Meski Angga yakin semua karyawan sudah pulang, ia tak mau ambil risiko bahwa terpergok berduaan dengan Ziandra di depan pintu ruang kerjanya.Dengan lembut Angga mendudukkan Ziandra di sofa yang ada di ruangannya. Ia juga menyodorkan botol air mineral pada Ziandra.“Tenang dan jelaskan padaku dengan perlahan-lahan! Aku janji akan membantumu sebisanya,” ujar Angga kembali menginterupsi Ziandra yang tampak masih terpukul dengan masalahnya.Ziandra mengangguk patuh. Ia menenggak hampir separuh isi botol dan menatap ke arah Angga dengan ragu.Setelah meyakinkan dirinya bahwa ini keputusan yang tepat, ia memberanikan u
Ziandra menggeleng cepat. “Aku tidak bisa. Itu akan semakin membuat gosip berkembang—,”“Peduli setan dengan gosip!” suara Angga meninggi, membuat Ziandra tersentak. Angga menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya sebelum kembali berbicara lebih lembut. “Aku lebih peduli pada keselamatanmu. Gosip bisa dengan mudah menghilang, tapi kalau terjadi sesuatu padamu, aku tidak bisa menerimanya. Ayolah, menurut padaku!”Ziandra meremas ujung bajunya. Rasa ragu dan takut bercampur jadi satu. Tetapi, melihat tatapan serius Angga yang terlihat sangat khawatir padanya, ia tahu bahwa pria itu tidak main-main.Ziandra pun memberi anggukan kecil pertanda memberi persetujuan. Bukan karena dipaksa, tapi karena di dalam hatinya ia takut tinggal sendirian di sini.Angga tersenyum lega mendapat persetujuan dari Ziandra. “Cepat kemas barang-barang yang kau butuhkan. Aku akan menunggu di luar sini sambil memantau keadaan sekitar.”Ziandra masuk ke dalam kamar dengan perasaan campur aduk. Sementara di l
“Kenapa mempertanyakan hal itu? Apa kau sudah tahu siapa orang yang menerorku? Jika iya, cepat katakan siapa, Angga!” tuntut Ziandra yang berfirasat bahwa Angga mengetahui sesuatu, mungkin saja dia sudah tahu pelakunya.“Aku belum memastikan dia orangnya. Tapi, aku menunggu jawabanmu. Apa yang kau lakukan jika tahu pelakunya?” tegas Angga dengan suara otoriternya.Ziandra tampak berpikir dengan menggembungkan sebelah pipinya. “Entahlah, aku hanya akan bilang padanya bahwa jangan sampai memberitahukan rumor itu pada keluargaku. Akan kuberi penjelasan bahwa itu hanyalah gosip palsu yang tidak benar.”“Lalu, kau akan melepaskannya begitu saja? Setelah teror yang dia lakukan, kau hanya akan memberinya sebuah penjelasan dan setelah itu melupakan kesalahannya. Aku tak habis pikir, apa kau tak marah dan dendam padanya karena perbuatannya itu?” gerutu Angga kurang setuju dengan apa yang disampaikan Ziandra.Bahkan meski bukan Angga yang diteror, ia sudah kesal dan marah. Tapi, malah Ziandra t
Angga menuangkan alkohol ke gelas sloki milik Ziandra yang menerimanya dengan sopan."Aku hanya terlalu cemas soal masalahmu, hingga tanpa sadar malah melewati batas seperti tadi," kata Angga memulai pembicaraan.Angga sengaja mengajak Ziandra minum malam ini untuk berbaikan, ia pikir jika dalam keadaan sadar akan cukup canggung baginya maupun Ziandra.Ziandra meneguk alkoholnya hanya separuh gelas, sedangkan Angga langsung menghabiskannya dan kembali mengisinya hingga penuh."Kau ingat, tidak, bagaimana kita bertemu pertama kali?" tanya Angga tersenyum tipis lalu kembali meneguk alkoholnya hingga tandas.Ziandra yang melihatnya sampai dibuat melongo karena toleransi alkohol Angga sangat tinggi. Ia bahkan belum terlihat seperti sedang mabuk."Itu sungguh ketidaksengajaan. Aku juga tak menyangka kalau ternyata pria yang kutemui malam itu adalah dirimu, bosku sendiri. Aku ke kelab waktu itu juga hanya berniat mabuk, bukan malah melakukan hal yang lebih dari itu. Maaf jika pertemuan kita
Angga menunggu izin dari Ziandra untuk bertindak lebih jauh. Ia pikir Ziandra akan menolaknya karena wanita itu hanya diam menatapnya sejak tadi. Angga bermaksud turun dari tubuh Ziandra dan membiarkan wanita itu kembali ke kamarnya.Meski tak bisa dipungkiri bahwa sesuatu di bawah sana sudah tegak, Angga tak mau bertindak egois. Ia akan melepaskan Ziandra dan membiarkannya pergi.Namun, sebelum Angga beringsut turun, Ziandra malah menahan tangannya. Memberinya tatapan lembut dan anggukan kepala yang amat pelan. Senyum Angga langsung terkembang merekah."Aku akan pelan-pelan melakukannya agar kau tidak kesakitan," ucap Angga berjanji dengan semangat.Ziandra tersenyum melihat betapa antusiasnya Angga padanya. Pria itu sudah melepas bajunya dan kembali menindih Ziandra. Senyum tulus Angga adalah hal terakhir yang Ziandra ingat sebelum ia menutup mata membiarkan Angga bermain dengan tubuhnya.*****Pemandangan pertama yang menyambut bangunnya Ziandra adalah wajah tampan Angga yang sedan
Ziandra menyandarkan kepalanya di jendela mobil, matanya menatap lampu-lampu jalan yang berpendar di tengah kota. Devan menyetir dengan satu tangan di kemudi, sementara tangan satunya menopang dagu.“Turunkan aku di tikungan sebelum apartemen,” ujar Ziandra tiba-tiba.Devan meliriknya sekilas, tapi tak langsung menjawab. “Kenapa? Apartemen Angga ‘kan tidak jauh lagi?”Ziandra menghela napas. “Aku tidak ingin Angga salah paham kalau melihatku turun dari mobilmu.”Devan terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. Ia tahu ini bukan tentang malu atau takut. Ziandra hanya ingin menjaga hubungan rumah tangganya tetap baik. Sementara itu, ia sendiri sadar bahwa setelah ini, kebersamaan mereka mungkin akan berakhir. Ziandra takkan lagi duduk di sebelahnya, tertawa kecil mendengar leluconnya, atau menatapnya tanpa rasa curiga seperti tadi.Dan entah kenapa, itu terasa menyebalkan.Namun, Devan bukan seseorang yang
Satu jam berlalu tanpa terasa. Ziandra mengira makan malam ini akan terasa canggung, tapi nyatanya, ia malah menikmati waktu bersama Devan. Pria itu jauh lebih menyenangkan dari yang ia bayangkan—humoris, santai, dan bahkan bisa membuatnya tertawa di sela-sela makan.Devan menyuapkan potongan steak ke mulutnya, lalu menatap Ziandra dengan seringai menggoda. “Jadi, bagaimana sebenarnya kau dan Angga bisa bertemu?”Ziandra yang sedang mengunyah, nyaris tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia buru-buru meneguk air putihnya, berusaha menjaga ekspresi agar tetap tenang.“Oh, itu ...,” Ziandra menunduk sedikit, menyusun kebohongan yang terdengar masuk akal. “Kami bertemu secara kebetulan. Layaknya pasangan lain, kau tahu? Awalnya tidak menyangka, lalu saling tertarik dan jatuh cinta begitu saja.”Devan mengangkat alis, seolah tidak percaya begitu saja. “Kebetulan, ya?”Ziandra mengangguk gugup, tersenyu
Ziandra duduk sendirian di halte bus, pandangannya kosong menatap jalanan yang mulai gelap. Lampu-lampu kota berpendar, kendaraan berlalu-lalang, tapi ia hanya diam, larut dalam pikirannya sendiri.Sikap dingin Pak Yuda dan bentakan Angga tadi membuat hatinya terasa berat. Ia tahu suaminya sedang tertekan, tapi tetap saja, menerima perlakuan seperti itu dari orang yang ia cintai membuatnya terluka.Ziandra menarik napas panjang. Ia ingin pulang ke apartemen Angga, tapi di sana ia hanya akan sendirian. Itu akan terasa jauh lebih menyakitkan daripada duduk di halte ini. Setidaknya di sini, ia bisa menenangkan pikirannya meski hanya sementara.Tiba-tiba suara klakson mobil membuatnya tersentak. Ziandra menoleh dan melihat sebuah mobil mewah berhenti tak jauh darinya. Kaca jendela perlahan turun, memperlihatkan sosok yang duduk di balik kemudi.“Devan?” gumam Ziandra terkejut, tak menyangka bertemu adik iparnya.Pria itu menyunggingkan seny
Saat Angga tiba di depan ruangannya, ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu dengan cepat.Di dalam, Pak Yuda sudah duduk di kursinya dengan ekspresi datar. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tapi sorot matanya tajam, menusuk ke arah Angga yang baru masuk. Seakan sedang menghakimi setiap gerak-geriknya.“Duduk,” perintahnya singkat.Angga menelan ludah. Ia tahu, setiap kali ayahnya bersikap seperti ini, itu berarti ada sesuatu yang serius. Ia melangkah mendekat, lalu duduk di kursi yang ada di hadapan sang ayah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menekan. Pak Yuda tidak langsung berbicara, hanya menatapnya seolah sedang menimbang sesuatu.“Aku mendengar kabar bahwa kau dan Devan sedang berselisih soal jabatan,” ujar Pak Yuda akhirnya, suaranya tenang namun berisi tekanan. “Benarkah?”Angga mengangguk kecil, lalu bersandar di kursinya. “Itu benar,” jawabnya lugas.Pak
Ziandra menghentikan langkahnya sejenak, lalu berbalik. Matanya menatap Elden dengan jengah. “Apa?”Keduanya sedang ada di koridor yang cukup sepi. Elden sengaja terus mengekori Ziandra di belakang hingga membuat wanita itu risih sendiri dan akhirnya mau menyapanya seperti sekarang.Elden menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatapnya dengan ekspresi santai, tapi nada suaranya penuh rasa ingin tahu. “Sepertinya ada perang dingin yang cukup besar antara suamimu dan saudara tirinya itu. Gosip menyebar dengan cepat mengatakan kalau mereka sedang berselisih karena perebutan kekuasaan. Apa itu benar? Kau pasti tahu lebih banyak, kan?”Ziandra menghela napas, jelas tak ingin terlibat dalam pembicaraan ini. “Jangan penasaran dan cari tahu! Ini urusan keluarga,” jawabnya singkat.Elden terkekeh, sama sekali tak mengacuhkan peringatan Ziandra padanya. Sebaliknya, ia malah makin tertantang untuk mencari tahu. “Oh, ayolah, Zia
Langkah-langkah Angga menggema di sepanjang koridor kantor, tergesa dan penuh amarah. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup kuat, sementara jemarinya mengepal di sisi tubuh. Kabar yang baru saja ia terima benar-benar tak masuk akal—Devan saat ini sedang memimpin rapat besar terkait proyek yang seharusnya ada di bawah kendalinya.Sialan! Anak itu benar-benar berani melewati batas, amuknya membatin.Begitu sampai di depan ruang rapat, Angga mendorong pintu tanpa ragu, mengabaikan tatapan terkejut dari para eksekutif yang tengah berkumpul. Matanya langsung mengunci pada sosok yang berdiri di depan layar presentasi—Devan, dengan ekspresi santai dan percaya diri. Seolah-olah ia memang berhak berada di sana.“Siapa yang mengizinkanmu mengambil alih proyek ini?” suara Angga terdengar tajam, nyaris seperti ancaman.Devan menyeringai kecil, tangan di sakunya. Ia menunjukkan bahwa sama sekali tidak gentar dengan kemarahan kakaknya. “Ah
Setibanya di apartemen, Angga menarik napas dalam. Meski hanya sebuah unit modern yang diisi hanya dirinya dan sang istri, tempat ini terasa jauh lebih nyaman dibandingkan rumah keluarganya. Tidak ada tatapan dingin ibu tirinya, tidak ada rasa tersudut karena sikap ayahnya, bahkan tak perlu bersitegang dengan Devan. Yang paling penting, hanya ada dirinya dan Ziandra, berdua dan tenang.Ziandra pun merasakan hal yang sama. Ia menyadari bahwa sikap Angga lebih santai begitu mereka tiba di sini. Suaminya itu melepas jasnya, mengendurkan dasi, lalu duduk di sofa dengan ekspresi yang jauh lebih rileks.“Kau mau teh atau kopi?” tanya Ziandra sambil melangkah ke dapur.“Kopi,” jawab Angga singkat, matanya mengawasi Ziandra yang mulai sibuk di dapur.Ziandra tidak hanya menyiapkan kopi, tetapi juga membuat sarapan sederhana dengan bahan yang ada di kulkas. Tadi pagi, mereka hampir tidak menyentuh makanan di rumah Angga karena suaminya buru
Pagi harinya, Ziandra bangun dengan perasaan lebih ringan. Ia menoleh ke sisi tempat tidur dan melihat Angga masih tertidur dengan napas yang teratur. Ia tersenyum kecil, merasa aneh melihat pria setegas Angga tampak begitu tenang dalam tidurnya.Sebelah tangan Ziandra terulur untuk mengelus pipi Angga. Karena pergerakannya itu, membuat tidur Angga sedikit terganggu.“Ada apa?” tanya Angga dengan suara serak khas bangun tidur. Sesaat kemudian ia menguap lebar dan menarik Ziandra untuk dipeluknya. Ia masih ingin melanjutkan tidur, rasanya nyaman ketika Ziandra ada di sampingnya begini.Ziandra memukul kecil lengan Angga sambil terkekeh. “Kita sudah terlambat bangun. Ayo, cepat bersiap!” ujarnya berusaha melepaskan diri dari pelukan erat suaminya.Angga mengeluh, “Tapi aku masih ingin bermanja denganmu. Nanti siang saja kita keluar kamarnya.”Angga tahu alasan kenapa Ziandra menyuruhnya untuk segera bangun. Pagi in
Selesai acara, Ziandra dan Angga masuk ke dalam kamar. Kamar pengantin mereka begitu mewah, dengan pencahayaan lembut dan lampu-lampu di sudut ruangan. Sengaja Angga sedikit merubah desain kamar yang sebelumnya memiliki nuansa gelap, kini sedikit jauh lebih hangat dan nyaman.Ziandra duduk di kursi meja rias, melepas perlahan perhiasan yang tadi menghiasi tubuhnya. Sementara itu, Angga berdiri di dekat jendela yang terbuka, mengendorkan dasi dan menggulung lengan kemejanya, menghirup udara malam dengan santai.Angga melirik ke arah Ziandra yang tampak kesulitan melepaskan kalung yang melingkar di lehernya. Tanpa basa-basi, ia bergerak tenang untuk membantu melepas kaitan kalung itu dengan berdiri di belakang Ziandra.“Capek?” tanya Angga sembari melirik ke arah Ziandra lewat cermin.Mata keduanya bertatapan di cermin. Anggukan kecil dan senyum tipis Ziandra terlihat oleh mata Angga yang seketika membuatnya ikut tersenyum.Angga memutar