Janggala masuk ke dalam kantor, seperti hari-hari biasa tatapan sinis orang-orang disana tidak pernah berubah. Semenjak dia diangkat jadi penerus sementara semua orang menyepelekannya.
Tentu saja, siapa yang mau tunduk pada anak berusia dua puluh tahun yang bahkan masuk kuliah saja belum.
Berbeda dengan Dirra yang lebih dulu bekerja setelah lulus sekolah, Janggala menghabiskan waktunya untuk berleha-leha dibawah ketiak orangtuanya. Setelah ayahnya meninggal dan dia diberikan tugas yang berat, dia baru merasa sangat kewalahan. Itulah mengapa dia absen memberi kabar pada Dirra setelah apa yang mereka lakukan di hotel.
Dia masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh sekretarisnya.
“Hari ini ada jadwal rapat sampai jam dua sore aja pak.” Ujar Siska, mengecek jadwal Janggala di tablet milik kantor yang selalu dia bawa kemanapun.
Janggala melepaskan jas dan menggantungnya, ia duduk di kursinya menatap area kerjanya.
“Sis, kamu bisa pesankan saya taksi nanti setelah jam dua?”
Siska terdiam sebentar, mencerna ucapan Janggala.
“Pak, saya bukannya gak mau…”
“Saya tahu,” Potong Janggala, dia memainkan jemarinya diatas meja karena gugup. “Tapi saya harus bertemu Dirra, saya tahu kamu pasti diminta Eveline untuk mengawasi saya. Saya janji hanya sebentar.”
Siska menghela napas, dia sudah diberi mandat oleh Eveline untuk mengawasi tuan muda di kantor selama Eveline bertugas menemani sang nyonya besar. Dia juga tahu permasalahan apa yang tengah menimpa keluarga Tantra.
“Pak, setengah jam. Bapak cuma punya waktu setengah jam sebelum kembali kesini, nyonya dan bu Eveline akan datang pukul tiga sore.” Siska berkata sambil keluar dari dalam ruangan Janggala.
Janggala berjingkrak girang, akhirnya dia berhasil membujuk salah satu karyawan ibunya untuk berpihak padanya. Dia kemudian berusaha untuk menyelesaikan semua pekerjaannya secepat mungkin.
Dia mengikuti rapat dengan penuh fokus bahkan tidak berniat untuk makan siang. Isi kepalanya hanya dipenuhi oleh Dirra. Dia harus bertemu dengan wanita itu sebelum terlambat, dia harus memastikan semua perkataan ibunya mengenai Dirra dan keluarganya.
Janggala tengah membaca berkas-berkas ketika pintu kantornya diketuk, dia mengangkat kepalanya dan mendapati Lavani berada disana tersenyum dengan lebar. Perempuan muda itu masuk ke ruangan, dia mengenakkan pakaian kasual hari ini.
Celana jeans dengan baju putih berlengan panjang.
“Jam setengah satu loh, kok gak makan siang?” Tanyanya sambil mengecek jam di tangan kirinya.
“Lagi gak nafsu. Kamu kok disini?”
Lavani mengerenyitkan hidungnya, meledek jawaban Janggala. Perempuan itu mendekat dan duduk di sofa ruangan Gala.
“Aku habis ketemu beberapa klien.”
Janggala mengangkat kedua alisnya, “Berpakaian seperti ini?” Ujarnya sambil menunjuk pakaian kasual yang tengah Lavani pakai.
“Gak boleh ya?” Ucapnya sambil tertawa.
“Well, memang tergantung sih.. Klien bagaimana dulu..”
Lavani tertawa sekali lagi mendengar sindiran yang dilayangkan padanya.
“Ga, kamu sudah booking apartemen yang kemarin aku bilang ke tante Nancy?” Topik pembicaraan Lavani seketika berubah, membuat Janggala kini gantian mengerenyitkan dahinya tidak mengerti.
“Apartemen?” Janggala menyimpan dokumen yang tengah dia baca dan tanda tangani, mulai tertarik dengan pembahasan Lavani.
“Loh? Kata tante Nancy kamu yang minta lokasi apartemennya dekat sama apartemenku?”
Janggala masih terdiam sebelum akhirnya dia mulai menyusun puzzle yang tengah dilempar oleh Lavani.
Ibunya menyinggung masalah apartemen?
“Apartemen dimana?”
Kini gantian Lavani yang terlihat bingung mendengar pertanyaan Janggala, karena sepahamnya Janggala yang meminta mengenai apartemen tersebut. Ia mengalihkan pandangannya pada Janggala.
“New York, kata tante Nancy minggu depan kamu sudah pergi ke New York untuk mengikuti ujian penerimaan mahasiswa baru.”
Tangan Janggala seketika mengepal mendengar hal itu. Dia tahu ibunya tengah merencanakan sesuatu, tapi dia tidak pernah berpikir ibunya dengan segera mendaftarkan dia untuk berkuliah di New York.
Wanita tua itu benar-benar ingin memisahkannya dengan Dirra.
“Bukannya kamu akan menetap di Indonesia?” Tanya Janggala kemudian.
“Karena tante Nancy bilang kamu mau berkuliah disana, ayah jadi mengizinkan aku menyelesaikan kuliah disana juga. Eh, jangan bilang kamu belum tahu?”
Janggala berdiri dari duduknya, tanpa basa-basi dia mengambil jas yang tergantung dan pergi keluar meninggalkan Lavani yang memanggil-manggilnya dari dalam ruangan. Siska terkejut melihat Janggala keluar, berusaha mencegahnya namun percuma.
Dengan segera dia menyetop taksi dan pergi masuk ke dalam, dia akan pergi ke rumah Dirra. Kalau dia saja dengan mudah diperlakukan seperti ini oleh ibunya, bagaimana dengan Dirra?
Janggala menatap jalanan dengan hati yang tidak karuan. Ada banyak spekulasi dan ketakutan yang dia harap tidak terjadi, dia takut apa yang ibunya katakan mengenai Dirra dan keluarganya menjadi kenyataan.
Taksi berhenti di sebuah gang perumahan padat penduduk, Janggala dengan langkah panjangnya masuk ke dalam. Dia kemudian berhenti ketika melihat mobil truk besar mulai berjalan meninggalkan rumah Dirra, kalau dilihat dari banyaknya barang yang dibawa, dia yakin benar kalau Dirra dan keluarganya akan pindah.
“Dir! Dirra!” Janggala memekik ketika dia melihat sosok perempuan yang dia kenali sebagai Dirra masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam.
Dirra menoleh, matanya terlihat cekung dan wajahnya pucat, dia terlihat sangat kurus dari yang terakhir Janggala lihat.
“Gala! Gala!” Dirra berteriak ketika tangannya ditarik paksa dari dalam mobil, ayahnya datang dan memaksa Dirra masuk ke dalam mobil.
Dirra menoleh dan berteriak memanggil nama Janggala.
“Dir! Dirra!! Dirra!!” Janggala memekik, dia mulai berlari ketika mobil sedan itu berjalan pergi menjauh. Dia bisa melihat Dirra menoleh padanya dan berteriak memanggil namanya dari dalam mobil, menangis.
Dia terus berlari mengejar mobil itu.
Janggala berlari sampai keluar gang mengejar mobil sedan itu. Mata mereka bertemu tapi mobil itu tidak berhenti.
“Dirra! Dirra! Berhenti! Hentikan mobilnya!!” Pekik Janggala, dia berlari dan terus berlari.
“ASTAGA MAS! MAS! AWAS MAS!!!!!!” Seseorang dari seberang jalan memperingatkannya, namun Janggala tidak mendengar, dia terus berlari mengejar mobil sedan hitam yang sudah tidak tampak lagi sebelum akhirnya sebuah mobil menghantam tubuhnya dengan kencang.
“ASTAGA! ADA ORANG KETABRAK!!” Seru banyak orang, mereka menjerit.
Janggala tidak merasakan apapun, yang dia ingat hanyalah dia menatap langit.
Langit yang biru, airmata tidak berhenti menetes, hatinya remuk. Dan matanya terpejam.
Nancy buru-buru masuk ke dalam lobi Rumah Sakit, napasnya terengah-engah, dia sudah tidak peduli beberapa pasang mata yang menatapnya aneh karena berlari seperti orang yang sudah kehilangan kewarasan.Dia baru saja menerima telepon dari kepolisian mengenai Janggala.“Apa betul ini dengan keluarga dari tuan Janggala Tantra? Putra ibu berada di Rumah Sakit SANJAYA karena mengalami kecelakaan.”Polisi mengabarkan langsung padanya sehingga Nancy begitu histeris ketika mendengarnya. Eveline dan supir segera mengantarnya namun pikirannya begitu kalut ketika sampai di Rumah Sakit.Tangannya gemetar tidak berhenti.Dia takut kehilangan Janggala.“Keluarga tuan Janggala Tantra?” Salah satu perawat memanggil nama itu ketika Nancy baru saja masuk ke dalam IGD dibantu oleh Eveline.“Kami keluarganya.” Eveline segera menjawab dan mendekat kepada perawat sedangkan Nancy dibantu oleh supir pribadinya untu
Nancy datang dengan tergesa ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar kalau operasi yang dijalankan oleh Janggala sudah selesai. Dia sempat ke kantor polisi untuk menyelesaikan beberapa hal, seperti laporan dan lain-lain.Lavani dan kedua orangtuanya berpamitan pulang dan berjanji akan pulang setelah operasi Janggala selesai.Nancy sedikit berlari menuju ruang rawat inap Janggala, namun ketika dia sampai Janggala tidak ada disana.“Bu Nancy..” Direktur Rumah Sakit memanggilnya, pria paruh baya itu mendekat pada Nancy di dampingi oleh empat dokter.“Bagaimana dengan Gala?” Tanya Nancy tergesa, suaranya bergetar.“Biar dokter Salim yang menjelaskan.” Ucap sang Direktur mempersilahkan dokter yang bertugas mengoperasi Janggala.Dokter itu menunduk, memberi hormat pada Nancy sebelum mulai bicara.“Saya yang bertugas mengoperasi tuan muda Janggala, nama saya dokter Salim.” Dia memperkenalkan diri
Dirra membuka matanya ketika suara ibunya terdengar membangunkannya. Selama perjalanan kepalanya terasa sakit dan mual yang tidak tertahankan sehingga Dirra memutuskan untuk tidur saja.Perjalanan ini memakan waktu sampai lima jam.“Ayo keluar nak..” Ibunya membuka pintu dan mengajak Dirra keluar dari mobil.Dirra turun dari mobil dan mendapati angin yang begitu dingin menusuk menyambutnya, ibunya yang tahu akan hal itu segera memakaikan Dirra jaket tebal.“Disini dingin, jadi jangan cuma pake kaos aja..”Dirra memakai jaketnya, membuat dirinya tetap hangat di dalam.“Ini…di pegunungan bu?” Dirra bertanya ketika dia melihat sekeliling, meskipun gelap dengan samar-samar dia bisa melihat banyak pohon yang melebihi atap rumah.“Iya, ini di kaki gunung. Kalau kamu ke bawah sedikit sudah banyak rumah warga, ibu dan ayah ngecek rumah-rumah disini tapi hanya ini saja yang kosong.” Ujar i
Dirra sudah mulai beradaptasi tinggal di lingkungan baru. Orang-orang di dekat rumahnya begitu baik dan perhatian, semua warga sudah tahu kalau Dirra tengah hamil. Ibunya berkata kalau Dirra baru menikah secara agama waktu ditinggalkan suaminya begitu saja.Beberapa orang ada saja yang nyinyir mendengar hal itu, tapi sebagian menerima Dirra dengan baik.Ibunya dipindahtugaskan ke kantor desa yang kecil, sedangkan sebagian uang ibunya dijadikan ayahnya sebagai modal bertani. Di desa ini sebagian besar warganya menanam banyak sekali sayur, mereka menjual hasil tani kepada tengkulak dari desa sebelah.Luas tanah rumah yang di tempati Dirra ternyata sangat lebar sampai ke belakang sehingga ayahnya bisa memulai menanam beberapa sayur.Memasuki usia kehamilan lima bulan, mual muntah Dirra sudah menghilang, nafsu makannya sudah kembali dan wajahnya terlihat jauh lebih segar. Di desa ini juga ada bidan yang bertugas sehingga Dirra bisa rutin memeriksakan dirinya.
Kehamilan Dirra berjalan dengan baik, setiap bulannya dia rutin pergi ke Bidan dan mendapatkan beberapa vitamin serta pengecekan rutin. Untuk USG dia harus pergi ke kota yang jaraknya hampir dua jam dari perkampungan yang dia tinggali.Cukup menguras waktu dan tenaga, tapi untungnya ada Elang yang selalu siap mengantarnya.“Itu yang diluar suaminya bu?” Tanya dokter ketika hendak memeriksa Dirra yang masuk ke dalam ruangan, sebelum ruangan ditutup Dirra sempat menitip botol minum pada Elang dan dokter melihatnya.“Oh bukan dok.. Teman.” Jawaban Dirra membuat dokter dan asistennya mengangguk, meskipun tidak mengatakan apapun namun hawa di ruangan menjadi agak sedikit canggung.Dirra tahu beberapa orang di kampung juga bertanya-tanya mengenai keakuratan cerita ibunya meskipun mereka tetap menghargai Dirra dan keluarga dengan tidak bertanya secara langsung.Dirra juga beberapa kali menolak tawaran Elang untuk mengantarnya pergi ke dokter, namun orangtua Elang justru paling semangat memin
Kaki mungil dengan sepatu berenda itu berlari dengan kecepatan tinggi, meskipun larinya kecil-kecil namun dengan kecepatan seperti seekor kancil orang dewasa sekalipun akan kesulitan untuk mengejarnya.Anak perempuan itu memakai baju overall panjang berwarna kuning dengan dalaman berwarna putih, rambut hitam panjangnya dikuncir dua dengan pita berwarna oranye. Warna-warna tersebut begitu kontras dengan kulitnya sehingga dia terlihat begitu bercahaya ketika berlarian.“Astaga DALENNA GAVAH!” Dirra memekik sambil mengejar putrinya yang tengah melarikan diri dari jadwal makan siangnya, anak itu terkekeh geli sambil menjauh menuju teras rumah. Napasnya sudah satu-satu mengejar Dalenna, anak itu sedang aktif-aktifnya.“Hayo! Ketangkep! Lari dari makan siang ya?” Ujar Elang yang dengan cekatan menghentikan acara kejar-kejaran ibu anak itu, dia menggendong Dalenna yang kemudian memekik geli karena Elang menciumi pipinya.“Aduh! Untung ada kamu Lang!” Dirra berhenti sambil berjongkok, berusa
“Kakek! Kakek!” Dalenna memekik riang, tangannya penuh dengan bunga warna-warni. Hari ini dia memakai baju terusan selutut berwarna ungu cerah, rambutnya dibiarkan tergerai dengan bondu sebagai aksesorisnya.“Pelan-pelan Lenna!” Kaili sedikit berteriak sambil menggeleng melihat kelakuan cucunya yang memang begitu berisik dan aktif.“Haduh, maksa pakai baju itu katanya biar kakek lihat padahal mau ke makam..” Dirra mengeluh di sebelah Kaili, mereka tengah berjalan masuk ke dalam pemakaman umum.Satu bulan sudah berlalu sejak hari peringatan ayahnya, Dirra dan Kaili hampir lupa karena sibuk mengurus acara ulang tahun Dalenna. Mereka baru bisa meluangkan waktu berziarah hari ini.“Itu baju yang dibelikan Elang ya?” Tanya Kaili.“Iya, sudah Dirra bilang untuk gak belikan baju Lenna tapi setiap kali ke kota pasti bawa baju baru.”Kaili tertawa, dia tahu benar Elang tengah berusaha begitu keras mengambil hati Dirra meskipun sejauh ini Kaili lihat Dirra tidak berpikir untuk membangun hubunga
Janggala melirik ke arah jam dinding untuk ke sekian kalinya, kakinya tidak mau diam berjalan kesana kemari. Dia sudah begitu gelisah, jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Dia menengok lagi ke belakang, mengecek kalau-kalau ibunya turun dari tangga meskipun kemungkinannya sedikit tapi tidak ada yang tidak mungkin.Dia mengecek ponselnya lagi, mencari sebuah nama dan memencet tombol panggil. Hanya ada suara dengung panjang tanda telepon itu tersambung namun tidak ada jawaban.“Van, jawab dong..” Gumamnya gelisah, dia sudah berusaha menelepon supir Lavani namun juga tidak ada jawaban.Dia sekali lagi membuka gorden, mengecek apakah mobil Lavani sudah masuk halaman atau belum.“Ga?” Suara ibunya menyentak Janggala, jantungnya hampir copot karena mendengar suara itu. Dia menoleh dan mendapati ibunya turun dari tangga, masih mengenakkan piyama tidur dari sutranya. “Kamu lagi ngapain?”“Ah enggak ma, mama kok b