Share

BAB 11

Dirra membuka matanya ketika suara ibunya terdengar membangunkannya. Selama perjalanan kepalanya terasa sakit dan mual yang tidak tertahankan sehingga Dirra memutuskan untuk tidur saja.

Perjalanan ini memakan waktu sampai lima jam.

“Ayo keluar nak..” Ibunya membuka pintu dan mengajak Dirra keluar dari mobil.

Dirra turun dari mobil dan mendapati angin yang begitu dingin menusuk menyambutnya, ibunya yang tahu akan hal itu segera memakaikan Dirra jaket tebal.

“Disini dingin, jadi jangan cuma pake kaos aja..”

Dirra memakai jaketnya, membuat dirinya tetap hangat di dalam.

“Ini…di pegunungan bu?” Dirra bertanya ketika dia melihat sekeliling, meskipun gelap dengan samar-samar dia bisa melihat banyak pohon yang melebihi atap rumah.

“Iya, ini di kaki gunung. Kalau kamu ke bawah sedikit sudah banyak rumah warga, ibu dan ayah ngecek rumah-rumah disini tapi hanya ini saja yang kosong.” Ujar ibunya menjelaskan sambil tersenyum lembut, mengelus puncak kepala Dirra.

Dirra mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah itu.

Beberapa hari lalu dia terkejut ketika ibunya pulang bekerja sebelum waktunya, dia dan ayahnya bertanya-tanya apa yang terjadi. Ibunya menjelaskan kalau dia mendadak di mutasi oleh perusahaan.

Ayahnya langsung mengerti, ini pasti ulah ibu Janggala.

Mereka menerima sejumlah uang dengan nominal yang tidak sedikit dan kemudian membatalkan mengontrak rumah, ibunya ditugaskan ke sebuah perkampungan yang begitu jauh dan diberikan rumah untuk ditempati.

Dirra meringis, dinginnya kaki gunung begitu menusuk kulitnya meskipun dia sudah mengenakkan jaket tebal. Dia menghela napas, ingatannya mengenai Janggala yang berlari mengejar mobilnya terlintas.

“Jangan tengok ke belakang! Tidak perlu! Kalau kamu masih memaksa untuk bersama Janggala, anak kamu dalam bahaya!” Ibunya memperingatkan ketika dengan histeris Dirra memanggil-manggil Janggala dari dalam mobil, dia menangis dengan kencang namun ibunya hanya memeluknya tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Dirra menyentuh perutnya, sebelum pergi kesini ibunya mengajak dia ke Rumah Sakit untuk memeriksa kandungannya.

“Usia kandungannya sudah tiga bulan, bayinya sehat.” Dokter itu menjelaskan dengan wajah ceria sedangkan Kaili menanggapinya dengan dingin, Dirra hanya tersenyum kecil melihat apa yang ditunjuk dokter sebagai ‘janin’.

Di dalam bulatan itu ada makhluk kecil yang belum terlihat bentuknya.

Dirra merogoh tas punggungnya, membuka pouch yang ada di dalam tas dan mengeluarkan hasil USG. Dia merabanya dengan pelan.

“Itu masih belum kelihatan, harus nunggu beberapa bulan lagi baru kelihatan bentuknya.” Suara ibunya membuat Dirra menoleh, wanita itu tersenyum lebar pada Dirra dan duduk di sebelahnya. “Kamu disini bisa muntah sekencang mungkin, gak akan ada yang dengar. Kamu bisa menangis juga.. Tidak akan ada yang sibuk bertanya mengapa kamu begini dan begitu..”

Dirra menatap ibunya, mata yang seingat Dirra ketika dia masih kecil terlihat begitu bersinar kini sudah mulai meredup. Guratan ketuaan mulai terlihat di wajah ibunya. Kedua orangtuanya memiliki Dirra di usia yang tidak lagi muda, maka ketika kini Dirra beranjak dewasa orangtuanya sudah hampir melewati usia produktif.

“Maafin Dirra ya bu..” Bisik Dirra lembut, masih menatap ibunya dia memeluk ibunya, membiarkan kepalanya bersandar di bahu sang ibu.

“Ibu sudah maafin Dirra, sekarang gak perlu lagi merasa bersalah. Yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Yang penting Dirra bisa ambil pelajarannya.. Anak ini, ayo kita besarkan bersama-sama.”

Dirra kemudian menitikkan airmata.

Kata-kata hangat ibunya membuatnya tenang.

“Tapi Dirra yakin bu, Gala akan sekuat tenaga mencari Dirra dan anak ini.. Kalau saat itu tiba, Dirra harap mamanya Gala sudah mau menerima Dirra.”

Tidak ada respon apapun yang keluar dari mulut Kaili, dia hanya memeluk Dirra lebih erat. Dia tahu hal itu tidak akan terjadi, sampai kapanpun wanita tua penuh intrik itu akan mencegah hal itu terjadi.

Uang yang masuk ke rekening Kaili adalah bukti kalau wanita tua itu memperingatkannya untuk tidak pernah kembali lagi ke kota dimana mereka berada.

“Aduh malah pelukan aja ini berdua, bukannya bantuin ayah beres-beres.” Ayah Dirra datang dengan wajah penuh peluh sambil tersenyum lebar.

“Sudah diturunkan semua yah?” Tanya Kaili sambil terkekeh, melepas pelukannya pada Dirra.

“Tinggal dibereskan aja bu, semuanya sudah ditata.”

“Ayo Dir.” Ajak ibunya sambil menggandeng tangan Dirra.

Dirra masuk ke dalam rumah barunya, rumah kecil itu memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, ruang makan dan dapur. Berbeda dengan rumah sebelumnya, meskipun kecil namun rumah ini luas dan memiliki halaman di depan serta belakang.

Menyusuri rumah itu Dirra seperti tengah berkenalan dengan hal baru, beberapa bulan lagi anaknya akan lahir dan akan dibesarkan di rumah ini. Entah apa yang akan terjadi nantinya, namun Dirra yakin seperti sekarang, dia akan melaluinya dengan baik-baik saja.

“Oh ya Dir, ini ponsel kamu. Nomor barunya yang ini, ibu sudah hapus nomor Gala. Semoga kamu gak hapal nomornya ya..” Ucap ibunya, menyerahkan ponsel dan juga nomor baru pada Dirra yang terdiam.

Sebuah nomor baru….Ibunya benar-benar tidak ingin dia kembali pada Janggala.

Dia menyalakan ponselnya, keningnya berkerut ketika melihat banyak sekali telepon masuk yang tidak dia kenali nomornya. Salah satunya ada panggilan tidak terjawab dari tiga nomor dengan nomor kantor.

Tapi dia tidak ingin berpikir hal-hal lain, mungkin hanya panggilan interview karena sebelumnya dia memasukkan beberapa lamaran pekerjaan ke perusahaan. Dia kemudian mengeluarkan kartu dari dalam ponsel, berpikir untuk membuangnya namun Dirra mengurungkan niatnya.

Dia menyimpan nomor itu di dalam dompet kecilnya dan menggantinya dengan nomor baru. Meskipun di kaki gunung sinyal disini sudah cukup kuat, dia mengecek beberapa nomor yang sudah tidak ada lagi di ponselnya.

Ibunya menghapus semua nomor teman-teman kerja dan teman sekolahnya.

Dirra menghela napas, dia sudah benar-benar harus membuat hidup yang baru tanpa Janggala. Setidaknya, dia membawa Janggala kecil bersamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status