Dirra membuka matanya ketika suara ibunya terdengar membangunkannya. Selama perjalanan kepalanya terasa sakit dan mual yang tidak tertahankan sehingga Dirra memutuskan untuk tidur saja.
Perjalanan ini memakan waktu sampai lima jam.
“Ayo keluar nak..” Ibunya membuka pintu dan mengajak Dirra keluar dari mobil.
Dirra turun dari mobil dan mendapati angin yang begitu dingin menusuk menyambutnya, ibunya yang tahu akan hal itu segera memakaikan Dirra jaket tebal.
“Disini dingin, jadi jangan cuma pake kaos aja..”
Dirra memakai jaketnya, membuat dirinya tetap hangat di dalam.
“Ini…di pegunungan bu?” Dirra bertanya ketika dia melihat sekeliling, meskipun gelap dengan samar-samar dia bisa melihat banyak pohon yang melebihi atap rumah.
“Iya, ini di kaki gunung. Kalau kamu ke bawah sedikit sudah banyak rumah warga, ibu dan ayah ngecek rumah-rumah disini tapi hanya ini saja yang kosong.” Ujar ibunya menjelaskan sambil tersenyum lembut, mengelus puncak kepala Dirra.
Dirra mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah itu.
Beberapa hari lalu dia terkejut ketika ibunya pulang bekerja sebelum waktunya, dia dan ayahnya bertanya-tanya apa yang terjadi. Ibunya menjelaskan kalau dia mendadak di mutasi oleh perusahaan.
Ayahnya langsung mengerti, ini pasti ulah ibu Janggala.
Mereka menerima sejumlah uang dengan nominal yang tidak sedikit dan kemudian membatalkan mengontrak rumah, ibunya ditugaskan ke sebuah perkampungan yang begitu jauh dan diberikan rumah untuk ditempati.
Dirra meringis, dinginnya kaki gunung begitu menusuk kulitnya meskipun dia sudah mengenakkan jaket tebal. Dia menghela napas, ingatannya mengenai Janggala yang berlari mengejar mobilnya terlintas.
“Jangan tengok ke belakang! Tidak perlu! Kalau kamu masih memaksa untuk bersama Janggala, anak kamu dalam bahaya!” Ibunya memperingatkan ketika dengan histeris Dirra memanggil-manggil Janggala dari dalam mobil, dia menangis dengan kencang namun ibunya hanya memeluknya tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Dirra menyentuh perutnya, sebelum pergi kesini ibunya mengajak dia ke Rumah Sakit untuk memeriksa kandungannya.
“Usia kandungannya sudah tiga bulan, bayinya sehat.” Dokter itu menjelaskan dengan wajah ceria sedangkan Kaili menanggapinya dengan dingin, Dirra hanya tersenyum kecil melihat apa yang ditunjuk dokter sebagai ‘janin’.
Di dalam bulatan itu ada makhluk kecil yang belum terlihat bentuknya.
Dirra merogoh tas punggungnya, membuka pouch yang ada di dalam tas dan mengeluarkan hasil USG. Dia merabanya dengan pelan.
“Itu masih belum kelihatan, harus nunggu beberapa bulan lagi baru kelihatan bentuknya.” Suara ibunya membuat Dirra menoleh, wanita itu tersenyum lebar pada Dirra dan duduk di sebelahnya. “Kamu disini bisa muntah sekencang mungkin, gak akan ada yang dengar. Kamu bisa menangis juga.. Tidak akan ada yang sibuk bertanya mengapa kamu begini dan begitu..”
Dirra menatap ibunya, mata yang seingat Dirra ketika dia masih kecil terlihat begitu bersinar kini sudah mulai meredup. Guratan ketuaan mulai terlihat di wajah ibunya. Kedua orangtuanya memiliki Dirra di usia yang tidak lagi muda, maka ketika kini Dirra beranjak dewasa orangtuanya sudah hampir melewati usia produktif.
“Maafin Dirra ya bu..” Bisik Dirra lembut, masih menatap ibunya dia memeluk ibunya, membiarkan kepalanya bersandar di bahu sang ibu.
“Ibu sudah maafin Dirra, sekarang gak perlu lagi merasa bersalah. Yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Yang penting Dirra bisa ambil pelajarannya.. Anak ini, ayo kita besarkan bersama-sama.”
Dirra kemudian menitikkan airmata.
Kata-kata hangat ibunya membuatnya tenang.
“Tapi Dirra yakin bu, Gala akan sekuat tenaga mencari Dirra dan anak ini.. Kalau saat itu tiba, Dirra harap mamanya Gala sudah mau menerima Dirra.”
Tidak ada respon apapun yang keluar dari mulut Kaili, dia hanya memeluk Dirra lebih erat. Dia tahu hal itu tidak akan terjadi, sampai kapanpun wanita tua penuh intrik itu akan mencegah hal itu terjadi.
Uang yang masuk ke rekening Kaili adalah bukti kalau wanita tua itu memperingatkannya untuk tidak pernah kembali lagi ke kota dimana mereka berada.
“Aduh malah pelukan aja ini berdua, bukannya bantuin ayah beres-beres.” Ayah Dirra datang dengan wajah penuh peluh sambil tersenyum lebar.
“Sudah diturunkan semua yah?” Tanya Kaili sambil terkekeh, melepas pelukannya pada Dirra.
“Tinggal dibereskan aja bu, semuanya sudah ditata.”
“Ayo Dir.” Ajak ibunya sambil menggandeng tangan Dirra.
Dirra masuk ke dalam rumah barunya, rumah kecil itu memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, ruang makan dan dapur. Berbeda dengan rumah sebelumnya, meskipun kecil namun rumah ini luas dan memiliki halaman di depan serta belakang.
Menyusuri rumah itu Dirra seperti tengah berkenalan dengan hal baru, beberapa bulan lagi anaknya akan lahir dan akan dibesarkan di rumah ini. Entah apa yang akan terjadi nantinya, namun Dirra yakin seperti sekarang, dia akan melaluinya dengan baik-baik saja.
“Oh ya Dir, ini ponsel kamu. Nomor barunya yang ini, ibu sudah hapus nomor Gala. Semoga kamu gak hapal nomornya ya..” Ucap ibunya, menyerahkan ponsel dan juga nomor baru pada Dirra yang terdiam.
Sebuah nomor baru….Ibunya benar-benar tidak ingin dia kembali pada Janggala.
Dia menyalakan ponselnya, keningnya berkerut ketika melihat banyak sekali telepon masuk yang tidak dia kenali nomornya. Salah satunya ada panggilan tidak terjawab dari tiga nomor dengan nomor kantor.
Tapi dia tidak ingin berpikir hal-hal lain, mungkin hanya panggilan interview karena sebelumnya dia memasukkan beberapa lamaran pekerjaan ke perusahaan. Dia kemudian mengeluarkan kartu dari dalam ponsel, berpikir untuk membuangnya namun Dirra mengurungkan niatnya.
Dia menyimpan nomor itu di dalam dompet kecilnya dan menggantinya dengan nomor baru. Meskipun di kaki gunung sinyal disini sudah cukup kuat, dia mengecek beberapa nomor yang sudah tidak ada lagi di ponselnya.
Ibunya menghapus semua nomor teman-teman kerja dan teman sekolahnya.
Dirra menghela napas, dia sudah benar-benar harus membuat hidup yang baru tanpa Janggala. Setidaknya, dia membawa Janggala kecil bersamanya.
Dirra sudah mulai beradaptasi tinggal di lingkungan baru. Orang-orang di dekat rumahnya begitu baik dan perhatian, semua warga sudah tahu kalau Dirra tengah hamil. Ibunya berkata kalau Dirra baru menikah secara agama waktu ditinggalkan suaminya begitu saja.Beberapa orang ada saja yang nyinyir mendengar hal itu, tapi sebagian menerima Dirra dengan baik.Ibunya dipindahtugaskan ke kantor desa yang kecil, sedangkan sebagian uang ibunya dijadikan ayahnya sebagai modal bertani. Di desa ini sebagian besar warganya menanam banyak sekali sayur, mereka menjual hasil tani kepada tengkulak dari desa sebelah.Luas tanah rumah yang di tempati Dirra ternyata sangat lebar sampai ke belakang sehingga ayahnya bisa memulai menanam beberapa sayur.Memasuki usia kehamilan lima bulan, mual muntah Dirra sudah menghilang, nafsu makannya sudah kembali dan wajahnya terlihat jauh lebih segar. Di desa ini juga ada bidan yang bertugas sehingga Dirra bisa rutin memeriksakan dirinya.
Kehamilan Dirra berjalan dengan baik, setiap bulannya dia rutin pergi ke Bidan dan mendapatkan beberapa vitamin serta pengecekan rutin. Untuk USG dia harus pergi ke kota yang jaraknya hampir dua jam dari perkampungan yang dia tinggali.Cukup menguras waktu dan tenaga, tapi untungnya ada Elang yang selalu siap mengantarnya.“Itu yang diluar suaminya bu?” Tanya dokter ketika hendak memeriksa Dirra yang masuk ke dalam ruangan, sebelum ruangan ditutup Dirra sempat menitip botol minum pada Elang dan dokter melihatnya.“Oh bukan dok.. Teman.” Jawaban Dirra membuat dokter dan asistennya mengangguk, meskipun tidak mengatakan apapun namun hawa di ruangan menjadi agak sedikit canggung.Dirra tahu beberapa orang di kampung juga bertanya-tanya mengenai keakuratan cerita ibunya meskipun mereka tetap menghargai Dirra dan keluarga dengan tidak bertanya secara langsung.Dirra juga beberapa kali menolak tawaran Elang untuk mengantarnya pergi ke dokter, namun orangtua Elang justru paling semangat memin
Kaki mungil dengan sepatu berenda itu berlari dengan kecepatan tinggi, meskipun larinya kecil-kecil namun dengan kecepatan seperti seekor kancil orang dewasa sekalipun akan kesulitan untuk mengejarnya.Anak perempuan itu memakai baju overall panjang berwarna kuning dengan dalaman berwarna putih, rambut hitam panjangnya dikuncir dua dengan pita berwarna oranye. Warna-warna tersebut begitu kontras dengan kulitnya sehingga dia terlihat begitu bercahaya ketika berlarian.“Astaga DALENNA GAVAH!” Dirra memekik sambil mengejar putrinya yang tengah melarikan diri dari jadwal makan siangnya, anak itu terkekeh geli sambil menjauh menuju teras rumah. Napasnya sudah satu-satu mengejar Dalenna, anak itu sedang aktif-aktifnya.“Hayo! Ketangkep! Lari dari makan siang ya?” Ujar Elang yang dengan cekatan menghentikan acara kejar-kejaran ibu anak itu, dia menggendong Dalenna yang kemudian memekik geli karena Elang menciumi pipinya.“Aduh! Untung ada kamu Lang!” Dirra berhenti sambil berjongkok, berusa
“Kakek! Kakek!” Dalenna memekik riang, tangannya penuh dengan bunga warna-warni. Hari ini dia memakai baju terusan selutut berwarna ungu cerah, rambutnya dibiarkan tergerai dengan bondu sebagai aksesorisnya.“Pelan-pelan Lenna!” Kaili sedikit berteriak sambil menggeleng melihat kelakuan cucunya yang memang begitu berisik dan aktif.“Haduh, maksa pakai baju itu katanya biar kakek lihat padahal mau ke makam..” Dirra mengeluh di sebelah Kaili, mereka tengah berjalan masuk ke dalam pemakaman umum.Satu bulan sudah berlalu sejak hari peringatan ayahnya, Dirra dan Kaili hampir lupa karena sibuk mengurus acara ulang tahun Dalenna. Mereka baru bisa meluangkan waktu berziarah hari ini.“Itu baju yang dibelikan Elang ya?” Tanya Kaili.“Iya, sudah Dirra bilang untuk gak belikan baju Lenna tapi setiap kali ke kota pasti bawa baju baru.”Kaili tertawa, dia tahu benar Elang tengah berusaha begitu keras mengambil hati Dirra meskipun sejauh ini Kaili lihat Dirra tidak berpikir untuk membangun hubunga
Janggala melirik ke arah jam dinding untuk ke sekian kalinya, kakinya tidak mau diam berjalan kesana kemari. Dia sudah begitu gelisah, jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Dia menengok lagi ke belakang, mengecek kalau-kalau ibunya turun dari tangga meskipun kemungkinannya sedikit tapi tidak ada yang tidak mungkin.Dia mengecek ponselnya lagi, mencari sebuah nama dan memencet tombol panggil. Hanya ada suara dengung panjang tanda telepon itu tersambung namun tidak ada jawaban.“Van, jawab dong..” Gumamnya gelisah, dia sudah berusaha menelepon supir Lavani namun juga tidak ada jawaban.Dia sekali lagi membuka gorden, mengecek apakah mobil Lavani sudah masuk halaman atau belum.“Ga?” Suara ibunya menyentak Janggala, jantungnya hampir copot karena mendengar suara itu. Dia menoleh dan mendapati ibunya turun dari tangga, masih mengenakkan piyama tidur dari sutranya. “Kamu lagi ngapain?”“Ah enggak ma, mama kok b
Janggala sudah berada di kantor tepat waktu, hari ini dia ada rapat dengan pemegang saham dan direksi membahas kantor cabang baru yang akan didirikan dalam waktu dekat ini.Pembahasan kali ini mengenai lokasi dan beberapa hal lain yang mungkin akan menyita waktu yang lumayan.Dia mengecek ponselnya, sudah pukul dua siang. Tidak ada kabar dari Lavani, tadi pagi dia pergi lebih dulu sebelum wanita itu bangun. Dia mengirimkan pesan berpamitan namun tidak ada balasan.“Ka, bisa cek sekretaris Lavani gak? Dia sudah datang ke kantor belum?” Tanya Janggala ketika Siska baru saja masuk ke dalam ruangannya dengan membawa banyak berkas, wanita bermata sipit dengan rambut hitam tergulung rapi itu menatapnya.“Loh, bu Vani sama Sivan sudah datang dari sejam lalu pak. Tadi ke ruangan rapat duluan karena ada beberapa hal yang harus dipersiapkan.”Janggala mengerenyitkan dahinya, Lavani tidak membalas pesannya tapi sudah datang ke kantor s
Lavani tengah berada di dalam mobil, memijit kepalanya. Rasa pusing dan sakit begitu menyiksanya, tadi dia terbangun dengan tergesa karena panggilan telepon dari Sivan. Dia baru teringat kalau hari ini akan ada rapat penting.Dengan terburu-buru dia bangun dan pergi ke salon untuk mempersiapkan dirinya.Beruntung hari ini rapat selesai dengan cepat, dengan terburu-buru dia langsung meninggalkan kantor.“Nyonya, tuan Janggala menelepon katanya hari ini makan malam bersama akan ditunda sampai minggu depan.” Ujar si supir ketika mereka tengah berada di jalan.Lavani melirik ke arah spion dan mengangguk.Tidak peduli.Masa bodoh dengan makan malam bersama atau apapun itu, tidak penting. Dia juga tidak iingin berada di rumah kalau saja kepala sialannya tidak merasakan nyeri. Dia lebih baik pergi ke klub malam dan bersenang-senang disana ketimbang harus terkukung di dalam rumah.Mobil memasuki garasi dan Lavani turun dari dalam mobil. Dia berjalan memutar karena pintu yang menuju ruang bela
Lavani mengenal Janggala sejak mereka kecil.Para konglomerat biasanya memang hanya bergaul dengan konglomerat lainnya. Begitu juga dengan anak-anak mereka, sejak kecil satu sama lain sudah diperkenalkan bahkan beberapa sudah ditentukan jodohnya oleh para orangtua mereka.Diantara mereka menikah karena cinta, namun kebanyakan pernikahan itu berjalan karena keperluan bisnis.Misalnya anak dari perusahaan A dan B menikah, otomatis perusahaan mereka akan bergabung karena sebuah pernikahan, hal itu bisa memperkuat bisnis mereka dan mencakup lebih banyak area.Ayahnya dulu juga dijodohkan dengan salah satu putri konglomerat, namun dia jatuh cinta pada orang asing yang bekerja di sebuah perusahaan sehingga menikahinya. Itulah mengapa Lavani lahir, namun kemudian pernikahan karena cinta itu hancur begitu saja.“Kamu mau ikut mama atau ayah?” Adalah pertanyaan yang tidak akan pernah Lavani lupa sampai kapanpun, dia memilih tinggal bers