Janggala melirik ke arah jam dinding untuk ke sekian kalinya, kakinya tidak mau diam berjalan kesana kemari. Dia sudah begitu gelisah, jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Dia menengok lagi ke belakang, mengecek kalau-kalau ibunya turun dari tangga meskipun kemungkinannya sedikit tapi tidak ada yang tidak mungkin.
Dia mengecek ponselnya lagi, mencari sebuah nama dan memencet tombol panggil. Hanya ada suara dengung panjang tanda telepon itu tersambung namun tidak ada jawaban.
“Van, jawab dong..” Gumamnya gelisah, dia sudah berusaha menelepon supir Lavani namun juga tidak ada jawaban.
Dia sekali lagi membuka gorden, mengecek apakah mobil Lavani sudah masuk halaman atau belum.
“Ga?” Suara ibunya menyentak Janggala, jantungnya hampir copot karena mendengar suara itu. Dia menoleh dan mendapati ibunya turun dari tangga, masih mengenakkan piyama tidur dari sutranya. “Kamu lagi ngapain?”
“Ah enggak ma, mama kok bangun?” Janggala berusaha mengalihkan perhatian ibunya dengan melempar pertanyaan balik.
“Gak tahu, tiba-tiba kebangun aja..” Ibunya mendekat ke arah Janggala, melihat anak laki-lakinya berdiri dekat jendela memakai piyama dengan membawa ponsel dia tidak perlu menebak apa yang sedang dia lakukan.
“Lavani belum pulang lagi? Ini sudah jam dua loh.” Ibunya kemudian berkomentar, melipat kedua tangannya di dada, menatap Janggala yang terdiam memunggunginya.
“Dia ada rapat hari ini ma, makanya pulang malam.”
Nancy berjalan menuju sofa, duduk dengan salah satu kaki menyilang. Menatap Janggala.
“Intensitas dia rapat dan ke klub malam akhir-akhir ini semakin meningkat ya?”
Janggala menoleh pada ibunya, kini ibu dan anak itu saling pandang. Janggala sendiri sudah tahu akan kemana pembahasan ini berlanjut sedangkan Nancy tidak ingin mengalah dengan apa yang ingin dia sampaikan.
“Sudah empat tahun loh kalian menikah, mau sampai kalian menunda punya anak?”
Tepat. Batin Janggala.
Ibunya membahas lagi masalah anak.
“Sudahlah ma, gak perlu bahas itu terus. Vani sama Gala sudah sepakat untuk menunda punya anak.”
“Yakin itu keputusan kalian berdua? Karena setahu mama hanya Vani yang gak mau punya anak.”
“Ma..” Janggala menghela napas, pembahasan ini sudah terjadi berulang kali semenjak usia pernikahannya dengan Lavani menginjak dua tahun. “Mama ‘kan tahu Gala juga lagi disibukkan sama proyek baru. Belum ada kesempatan buat Vani dan Gala untuk membahas lagi masalah anak.”
“Mama sudah sering kali membahas ini, dan jawaban Vani tetap sama. Tidak mau punya anak.”
Janggala menutup kedua matanya, berusaha mengatur napas agar tidak terpancing dengan omongan ibunya. Ketika dia baru saja mau melempar argumen pada ibunya, pintu rumah terbuka dan Lavani masuk sambil dibantu berjalan oleh supirnya.
“Mabuk lagi..” Nancy bersuara, menatap sinis ke arah Lavani yang hampir ambruk.
Janggala buru-buru menggantikan supir untuk membawa Lavani, bau alkohol menguar menusuk hidung. Entah berapa botol yang dia tenggak sampai hampir tidak sadarkan diri.
“Maaf pak, saya gak angkat telepon karena bu Vani terus-terusan muntah.” Kata si supir sambil pamit pergi.
Janggala bisa melihat banyaknya bekas muntahan di sekitar mulut dan baju wanita itu.
“Mama memilih wanita itu untuk menjadi istri kamu bukan untuk hal-hal seperti ini, bukan dia yang mengurusi kamu malahan kamu yang selalu mengurusi dia. Apalagi masalah mabuknya ini.” Ujar Nancy, menatap Lavani yang tidak sadarkan diri dari atas sampai bawah sebelum akhirnya dia beranjak pergi dari ruang tamu.
Janggala hanya menghela napas, dia kemudian membawa Lavani ke kamar mereka. Merebahkan wanita itu dan mengganti pakaiannya, dia mengelap tubuh Lavani dengan tisu basah.
“Huh? Ga…La!” Ucap Lavani sambil tersenyum lebar dan mata yang tidak fokus, dia memeluk leher pria itu, menggelayut.
“Diam dulu Van, aku masih lap tangan kamu..”
“Gala!” Lavani memekik dengan suara ceria sambil terkekeh.
Janggala terdiam kemudian membalas pelukan Lavani, dia mengelus punggung wanita itu perlahan.
Janggala tidak mengingat banyak hal selain Lavani dan keluarganya. Dia terbangun di suatu hari dan orang-orang di depannya tidak dia kenali. Mereka bilang dia sudah koma selama tiga bulan setelah mengalami kecelakaan lalu lintas, Janggala tidak mengingatnya.
Dia mengingat beberapa hal tapi tidak keseluruhan.
“Kamu usia berapa?”
“Enam belas tahun.” Katanya kala itu membuat ibunya menangis tersedu-sedu.
Janggala harus kembali mempelajari banyak hal, dia tidak mengingat apapun. Yang dia ingat dirinya hanyalah seorang anak berusia enam belas tahun kala itu, setelah terapi beberapa bulan dia sudah memahami kalau dirinya saat itu berusia dua puluh tahun.
Ibunya dan Lavani membantu dalam banyak hal termasuk terapinya, dia kemudian jatuh cinta pada Lavani. Ketika ibunya meminta keduanya menikah, dia senang.
Dia menyelesaikan kuliahnya di luar negeri bersama Lavani dan kembali ke Indonesia untuk meneruskan perusahaan.
Lavani mengambil bagian di perusahaan dan mengelola anak cabang, sedangkan Janggala mengelola pusat. Semuanya terlihat baik-baik saja kecuali,
“Aku gak mau punya anak.”
“Maksud kamu untuk sekarang ini?” Tanya Janggala pada hari jadi pernikahan mereka yang pertama saat itu, keduanya tengah makan malam di sebuah restauran.
“Enggak, aku gak mau punya anak. Aku gak suka anak-anak Ga, mereka itu berisik!”
Janggala menatapnya dengan ragu, “Tapi mama pengen kita segera punya anak.”
“Bukan mama loh yang nantinya hamil dan melahirkan apalagi urus anak, itu semua aku yang lakuin. Jadi, terserah aku ‘kan mau milih punya anak atau gak?”
“Tapi, kamu harus nanya pendapatku juga Van..” Kata Janggala dengan suara lembut, dia mengulurkan tangannya, menggenggam lembut tangan Lavani.
“Kamu pasti ngerti Ga, kamu ‘kan tahu aku sibuk banget sama kantor cabang. Kakakmu, Sivan sebagai Chief Operation Officer aja juga ngabisin waktu yang lumayan, apalagi aku dan kamu yang sama-sama CEO. Kita gak akan punya waktu mikirin punya anak.”
Janggala kembali pada sadarnya ketika mendengar Lavani akan muntah lagi, dia buru-buru melepaskan pelukan wanita itu dan pergi ke kamar mandi mengambil apa saja untuk menjadi wadah muntahnya.
“Kamu gak mau punya anak karena karir atau karena kamu masih mau sebebas ini Van?” Gumannya pelan.
Janggala sudah berada di kantor tepat waktu, hari ini dia ada rapat dengan pemegang saham dan direksi membahas kantor cabang baru yang akan didirikan dalam waktu dekat ini.Pembahasan kali ini mengenai lokasi dan beberapa hal lain yang mungkin akan menyita waktu yang lumayan.Dia mengecek ponselnya, sudah pukul dua siang. Tidak ada kabar dari Lavani, tadi pagi dia pergi lebih dulu sebelum wanita itu bangun. Dia mengirimkan pesan berpamitan namun tidak ada balasan.“Ka, bisa cek sekretaris Lavani gak? Dia sudah datang ke kantor belum?” Tanya Janggala ketika Siska baru saja masuk ke dalam ruangannya dengan membawa banyak berkas, wanita bermata sipit dengan rambut hitam tergulung rapi itu menatapnya.“Loh, bu Vani sama Sivan sudah datang dari sejam lalu pak. Tadi ke ruangan rapat duluan karena ada beberapa hal yang harus dipersiapkan.”Janggala mengerenyitkan dahinya, Lavani tidak membalas pesannya tapi sudah datang ke kantor s
Lavani tengah berada di dalam mobil, memijit kepalanya. Rasa pusing dan sakit begitu menyiksanya, tadi dia terbangun dengan tergesa karena panggilan telepon dari Sivan. Dia baru teringat kalau hari ini akan ada rapat penting.Dengan terburu-buru dia bangun dan pergi ke salon untuk mempersiapkan dirinya.Beruntung hari ini rapat selesai dengan cepat, dengan terburu-buru dia langsung meninggalkan kantor.“Nyonya, tuan Janggala menelepon katanya hari ini makan malam bersama akan ditunda sampai minggu depan.” Ujar si supir ketika mereka tengah berada di jalan.Lavani melirik ke arah spion dan mengangguk.Tidak peduli.Masa bodoh dengan makan malam bersama atau apapun itu, tidak penting. Dia juga tidak iingin berada di rumah kalau saja kepala sialannya tidak merasakan nyeri. Dia lebih baik pergi ke klub malam dan bersenang-senang disana ketimbang harus terkukung di dalam rumah.Mobil memasuki garasi dan Lavani turun dari dalam mobil. Dia berjalan memutar karena pintu yang menuju ruang bela
Lavani mengenal Janggala sejak mereka kecil.Para konglomerat biasanya memang hanya bergaul dengan konglomerat lainnya. Begitu juga dengan anak-anak mereka, sejak kecil satu sama lain sudah diperkenalkan bahkan beberapa sudah ditentukan jodohnya oleh para orangtua mereka.Diantara mereka menikah karena cinta, namun kebanyakan pernikahan itu berjalan karena keperluan bisnis.Misalnya anak dari perusahaan A dan B menikah, otomatis perusahaan mereka akan bergabung karena sebuah pernikahan, hal itu bisa memperkuat bisnis mereka dan mencakup lebih banyak area.Ayahnya dulu juga dijodohkan dengan salah satu putri konglomerat, namun dia jatuh cinta pada orang asing yang bekerja di sebuah perusahaan sehingga menikahinya. Itulah mengapa Lavani lahir, namun kemudian pernikahan karena cinta itu hancur begitu saja.“Kamu mau ikut mama atau ayah?” Adalah pertanyaan yang tidak akan pernah Lavani lupa sampai kapanpun, dia memilih tinggal bers
“Wanita itu meninggalkannya..” Ucap seorang pria pada pria lain yang tengah berdiri di depan Sivan kecil, saat itu usianya masih tiga tahun.Pria yang berada di depannya bertubuh tinggi dan juga tegap, matanya serta rahangnya begitu tajam. Hidungnya lurus dan tinggi, bibirnya tebal. Matanya seperti menilai Sivan dari atas sampai bawah.“Nama kamu Sivan?” Tanya pria itu, suaranya begitu berat. Kumis yang berada di atas bibirnya bergerak naik turun. Sivan mengangguk pelan.“Wanita itu menamainya Sivan Hanggara.”Pria itu mengangguk, meminta Sivan masuk ke dalam mobil. Sivan kecil yang tidak mengerti ikut masuk ke dalam mobil, dia lapar dan juga lelah. Sudah tiga hari dia di dalam rumah yang terkunci, dia buang air besar dan kecil di tempatnya duduk, menangis dan meraung memanggil ibunya yang tak kunjung datang.Dalam diam pria itu membasuh tubuhnya ketika dia baru datang, meminta orang-orang di belakangnya untuk me
Janggala membaca semua berkas yang Siska berikan padanya, dia membolak-balik semua perhalaman, membacanya dengan teliti. Berkas itu berisi info mengenai desa Permadani yang akan menjadi lokasi kantor cabang.“Jadi lahan itu sedang di tempati?” Tanya Janggala kemudian, menyimpan berkas-berkas itu di mejanya dan mengalihkan pandangannya pada Siska yang berdiri di depan meja.“Betul pak, rumah itu tidak terdaftar dalam properti kepemilikan keluarga Tantra. Jadi kemungkinan rumah itu didirikan oleh warga yang tengah menempati lahannya.”Janggala mengangguk-angguk, masih membuka halaman demi halaman berkas yang sudah selesai dia baca.“Yang menempati sebuah keluarga?”“Ya, seorang ibu dengan anak dan cucunya.” Jawab Siska.“Gak ada yang bisa bikin mereka pergi dari lahan itu? Siapa saja yang sudah datang?” Janggala masuk ke dalam inti permasalahannya, dia menyandarkan punggungnya ke kurs
Janggala sampai di desa Permadani pukul tiga sore, meleset satu jam dari perkiraannya. Perjalanan menuju desa Permadani tidak penuh dengan kendaraan, desa ini termasuk desa yang didanai dengan layak oleh pemerintah karena fasilitas jalan yang baik.Desa ini juga memiliki satu akses tol yang cukup menjangkau banyak kabupaten lainnya.“Bapak mau saya tunggu disini, atau saya ikut masuk?” Tanya pak Eri, supir pribadi Janggala.“Gak perlu pak, tunggu disini aja. Saya sama pak Didik gak akan lama. Benar ‘kan pak?” Janggala menoleh pada pengacara PT. TANTRA WIBAWA berjas biru gelap yang berada di sebelahnya.Pria tua berusia hampir enam puluh tahun dengan kepala setengah botak dan kacamata kedodoran itu mengangguk lembut.Pak Didik sudah menjadi pengacara keluarga Tantra sejak Janggala masih kecil. Dia adalah kepala pengacara di TANTRA WIBAWA, namun semenjak berniat untuk pensiun Pak Didik hanya menerima beberapa pekerjaan s
Dirra menatap Janggala yang berada di depannya, dia tanpa sengaja bereaksi demikian sehingga membuat pak RT dan juga orang yang datang bersama Janggala terkejut melihatnya menangis.“Loh neng Dirra? Kok nangis?”Pikiran Dirra tiba-tiba kosong, airmatanya tidak berhenti mengalir ketika melihat sosok yang selama ini ditunggunya untuk datang mencari akhirnya berada di depannya. Berdiri dengan tatapan kebingungan.“Maaf, ada apa?” Pertanyaan itu membuat Dirra termenung.Dan kini Janggala sudah berada di dalam rumah, bersama dengan pak RT juga pria tua yang diperkenalkan sebagai pengacara perusahaan TANTRA WIBAWA.Kaili datang dan terkejut juga mendapati Janggala berada di rumahnya, duduk dengan tegap menghadap Dirra namun tidak ada sorot mata sendu maupun kerinduan di dalamnya.“Ini adalah penerus perusahaan PT. TANTRA WIBAWA, bapak Janggala Tantra.” Kata Pak Arafiq memperkenalkan Janggala pada Dirra dan Kaili
Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam ketika mobil Janggala masuk ke garasi rumah mewahnya. Rumah itu seperti biasa terlihat begitu sepi dan hanya ada satpam di pos mereka.Dia turun dari mobil, membawa beberapa berkas serta tas kerjanya.Janggala masuk ke dalam rumah dan kedua asisten rumah tangga menyambutnya, membawa seluruh pekerjaannya ke dalam ruang kerjanya. Janggala menyisir rumah dengan matanya, tidak mendapati sosok yang dia inginkan.“Lavani di rumah?” Tanyanya pada mbok Ringki, salah satu asisten rumah tangganya.“Ada pak, di dalam kamar. Hari ini pak Sivan juga pulang ke rumah.” Katanya sambil memberikan segelas air minum pada Janggala.“Kakak di rumah? Mama?”“Nyonya ada di dalam kamarnya.”Janggala meneguk segelas air itu kemudian beranjak naik ke atas, dia hendak menuju kamarnya sendiri namun dia menghentikan langkahnya. Dengan segera dia menghampiri ruang baca milik