Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.
Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.
“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.
“Memang gak takut?”
Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”
Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Lo Dirra ‘kan?” Seorang bocah laki-laki berbadan tegap dengan tatapan mata yang tajam itu menatapnya. “Dirra Gauri?” Laki-laki itu mengulang lagi pertanyaannya.Dirra mengamatinya, bocah laki-laki itu memakai seragam sama dengannya. Seragam SMA DARA SEDAYU, melihat warna yang terpasang di lengan kanannya dia pastilah satu angkatan dengan Dirra.Sama-sama kelas tiga.Semilir angin memainkan rambut keduanya, bocah laki-laki dengan rambut hitam, style yang rapi. Hidungnya tinggi, bibirnya lebar dan terlihat rapi berwarna merah muda. Dirra tengah berada di bawah pohon dekat perpustakaan ketika bocah itu mendekatinya secara tiba-tiba.“Kamu siapa?” Kini Dirra balik bertanya, keningnya berkerut. Tidak merasa mengenal laki-laki itu selama bersekolah disini, atau mungkin karena dia tidak begitu tertarik dengan sekitar.Bocah laki-laki itu tidak langsung menjawab, dia terdiam sebentar sebelum akhirnya tertawa kencang. Dirra terkejut mendengarnya, tawa itu seperti tawa yang dipaksakan.“Lo gak
“Tidak, mama tidak akan pernah mengizinkan kamu untuk bersama Dirra!” Suara perempuan paruh baya itu terdengar lantang di udara, suaranya menggema di dalam ruang tamu luas dan megah.Dia duduk di sebuah sofa, matanya tajam, kerutannya mulai terlihat namun wajahnya tetap terlihat penuh wibawa, kecantikan itu tidak pudar dimakan waktu. Rahang yang tegas, sorot mata yang penuh dengan intimidasi.“Aku sudah ngelakuin apa yang mama mau selama dua bulan terakhir, setelah papa meninggal aku mau melanjutkan usaha dan bekerja menggantikan papa. Mama berjanji akan membiarkan aku melakukan apa yang aku mau!” Kini pria muda di depannya berteriak balik, wajahnya diliputi dengan kemarahan, ada getar dalam suaranya yang mendadakan dia tengah menahan semuanya.“Tapi bukan untuk bersama Dirra!”Napas pria itu keluar satu-satu, dia berusaha untuk mengaturnya karena jujur saja dia benar-benar diluar kendali sekarang. Dia bisa melakukan banyak hal termasuk menyakiti ibu kandungnya sendiri.Janggala sudah
Dirra masih menangis di kamarnya, meratapi nasibnya yang malang. Dia kini benar-benar tidak bisa menghubungi Janggala, kedua orangtuanya mengambil ponselnya dengan paksa.“Ibu benar-benar kecewa Dir, kenapa kamu tega ngelakuin ini ke keluarga kita?” Tanya ibunya di malam mereka baru kembali dari rumah Janggala, ketiganya berkumpul di ruang depan.Dirra menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menangis, tidak mampu menatap kedua orangtuanya.“Ayah sudah bilang padamu berkali-kali Dir, setidaknya kita harus punya sesuatu yang bisa dipegang sebagai seseorang yang tidak memiliki apa-apa. Ayah sudah sangat yakin kita akan diinjak-injak dan dihina seperti tadi oleh keluarga Tantra.” Ujar ayahnya dengan suara yang lembut sambil memijat dahi, terlihat raut wajah kecewa oleh Dirra.“Dirra benar-benar minta maaf yah, bu. Ini semua kesalahan Dirra..”Ibunya kemudian memeluknya dengan erat sambil menangis.“Kita pindah saja ya nak, Dirra sama ayah pergi ke kampung saja.. Biar ibu disini bekerja.