Dirra masih menangis di kamarnya, meratapi nasibnya yang malang. Dia kini benar-benar tidak bisa menghubungi Janggala, kedua orangtuanya mengambil ponselnya dengan paksa.
“Ibu benar-benar kecewa Dir, kenapa kamu tega ngelakuin ini ke keluarga kita?” Tanya ibunya di malam mereka baru kembali dari rumah Janggala, ketiganya berkumpul di ruang depan.
Dirra menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menangis, tidak mampu menatap kedua orangtuanya.
“Ayah sudah bilang padamu berkali-kali Dir, setidaknya kita harus punya sesuatu yang bisa dipegang sebagai seseorang yang tidak memiliki apa-apa. Ayah sudah sangat yakin kita akan diinjak-injak dan dihina seperti tadi oleh keluarga Tantra.” Ujar ayahnya dengan suara yang lembut sambil memijat dahi, terlihat raut wajah kecewa oleh Dirra.
“Dirra benar-benar minta maaf yah, bu. Ini semua kesalahan Dirra..”
Ibunya kemudian memeluknya dengan erat sambil menangis.
“Kita pindah saja ya nak, Dirra sama ayah pergi ke kampung saja.. Biar ibu disini bekerja. Nanti ibu kirimkan uang setiap bulan.”
Dirra terkejut mendengarnya, dia menatap ibunya sambil menggeleng, tidak mau pergi dari kediamannya.
“Gak bu, Gala pasti susul Dirra. Gala gak begitu bu, Gala pasti bertanggung jawab.”
“Dir, sudahlah. Lupakan Gala, ayah sama ibu gak masalah kalau kamu melahirkan anak itu. Tapi kita pergi dari sini, ayah dan ibu akan sangat malu jika kamu bertahan disini.” Ayahnya menimpali, membuang wajahnya seolah tidak ingin mendengarkan apa yang ingin Dirra utarakan.
Dirra hanya terdiam sambil terisak, dia tidak mampu memberikan opininya atau keinginannya pada kedua orangtuanya. Dirra tahu kalau sekarang dia sudah benar-benar menyakiti hati kedua orangtuanya, harapan mereka pada Dirra hilang begitu saja.
Dia tidak ingin mengecewakan orangtuanya lebih dari ini.
Memegang perutnya, dia berharap apa yang terjadi adalah mimpi.
Namun itu semua sudah terjadi, dia bahkan tidak sanggup berpikir untuk menggugurkan kandungannya. Ini anak Janggala, buah cinta mereka.
Dia tertidur sambil menangis.
Matahari pagi masuk ke dalam sela-sela gorden kamar Dirra, cahayanya menyilaukan. Dirra bangun sambil menyipitkan matanya, dia bisa melihat seberkas sinar matahari yang jatuh tepat diatas pelupuk matanya.
Dia menatap langit-langit kamar kemudian merasakan gejolak dari dalam perutnya, gejolak itu terasa begitu mendesak hingga sampai kerongkongan. Dia terbangun, berlari membuka pintu kamar dan menuju kamar mandi.
Dia membuka pintu kamar mandi dengan terburu-buru dan memuntahkan isi perutnya dengan segera, suara muntahannya terdengar sampai teras rumah dimana ibunya sedang membeli sayur bersama dengan para ibu-ibu di sekitaran kontrakan mereka.
Dirra dan kedua orangtuanya tinggal di kontrakan bulanan. Kontrakan satu rumah dengan dua kamar itu begitu kecil, tidak kumuh namun nampak sederhana. Dari satu rumah ke rumah lainnya begitu berdekatan, begitu juga dengan rumah penduduk asli disana.
“Aduh neng Dirra itu?” Tanya salah satu ibu, dia menatap pintu rumah Dirra yang terbuka.
Ibu Dirra tersenyum salah tingkah sambil memilih sayuran, isi kepalanya sudah berkecamuk karena suara muntahan Dirra yang belum berhenti.
“Masuk angin ya? Kecapean kali kerjanya.” Kata ibu itu melanjutkan, tangannya masih sibuk memilah ikan yang akan dia timbang.
“Iya, sebelum habis kontrak ‘kan lembur terus.” Ujar ibu Dirra menutupi.
“Iya bener, angin malam tuh jahat banget loh!” Ibu Wijaya menimpali sambil menepuk pundak ibu Dirra, “Diurut aja bu, atau dikerok!” Katanya.
Ibu Dirra mengangguk-angguk, berusaha untuk tidak canggung atau terlihat mencurigakan. Bisa gawat kalau ibu-ibu mengira ada sesuatu yang terjadi pada Dirra.
“Pagi-pagi begini, sudah kayak lagi ngidam aja ya!” Ibu Resno berkata sambil tertawa disambut tawa ibu-ibu lain.
“Gak percaya saya kalau neng Dirra! Anaknya baik, santun banget!”
Ibu Dirra hanya tersenyum kecut. Toh kenyataannya anaknya yang nampak baik dan santun itu terjebak seks bebas dengan kekasihnya juga. Ibu Dirra berbasa-basi sebentar kemudian menyelesaikan sesi belanjanya.
Dia masuk ke dalam rumah dan mendapati Dirra tengah terduduk lemas di depan pintu kamar mandi.
“Ya Tuhan Dir!” Ibunya memekik, berusaha mengecilkan volume suaranya sendiri karena tidak mau membuat heboh satu kampung.
Dia kemudian membopong Dirra masuk ke dalam kamar, anaknya terlihat begitu pucat. Ibu Dirra segera pergi ke dapur dan mengambil segelas air, membiarkan Dirra meneguk air itu masuk ke dalam tenggorokannya.
“Pusing bu, mual..”
Ibu Dirra menatap anaknya dengan perasaan campur aduk. Dia kesal dan marah dilain sisi dia juga merasa kasihan melihat betapa kepayahannya Dirra.
“Semester awal kehamilan memang begini Dir, paksakan makan ya.. Tunggu aja disini, ibu buatkan sarapan.” Katanya sambil melangkahkan kaki keluar dari kamar.
Kemudian ibu Dirra pergi ke dapur, mengeluarkan sayur mayur dan lauk pauk yang ia beli untuk diolah. Tangannya sibuk mengaduk, mengulek dan mengiris, namun airmatanya tidak berhenti mengalir.
Dia terisak namun menahan agar suaranya tidak terdengar.
Dirra berdiri di belakang pintu dapur, mendengar ibunya menangis. Hatinya begitu teriris perih, dia sudah benar-benar mengecewakan ibunya.
Suara dering telepon terdengar dari arah dapur, ibunya mengangkat telepon.
“Iya yah, ayah sudah belikan tiketnya juga? Iya, tadi ibu-ibu disini dengar Dirra muntah-muntah untungnya mereka mengira Dirra hanya masuk angin. Ibu gak sanggup yah kalau Dirra tetap disini..”
Ucapan ibunya membuat Dirra terdiam.
“Iya, ayah sama Dirra disana saja. Ibu gak bisa ikut karena belum ada pengumuman mutasi, kalau ada kemungkinan ibu akan menyusul. Demi kebaikan Dirra dan bayinya.”
Dirra meremas bajunya dalam diam, airmatanya mengalir.
Dia harus bertemu dengan Janggala sebelum pergi, dia harus meyakinkan dirinya kalau Janggala akan bertanggung jawab.
Dia pergi ke kamar ibunya, mencari ponselnya di dalam laci.
Ketemu!
Dia segera membuka ponselnya dan menghubungi Janggala.
“La! Gala!”
“Ra! Astaga! Aku gak bisa hubungi kamu sama sekali!” Ujar Janggala diujung telepon, suaranya begitu panik.
“Aku mau dibawa pergi La, ibu sama ayah mau memindahkan aku ke kampung.”
“Kemana? Ra? Suara kamu putus-putus.”
“Gala!”
Dan sambungan telepon itu terputus. Dengan tangan gemetar Dirra mengirimkan pesan pada Janggala.
Aku mau dibawa pergi ke kampung oleh ayah dan ibu, aku harap kamu bisa menyusul. Lakukan sesuatu agar aku dan kedua orangtuaku percaya kamu akan bertanggung jawab La..
Dirra tahu dirinya sedang tertidur.Kondisi rumahnya seminggu terakhir penuh dengan ketegangan, terutama ibu dan ayahnya. Kedua orangtuanya sedang direpotkan mengurus kepindahan Dirra, mereka sebisa mungkin mengatur seolah-olah Dirra pergi untuk bekerja diluar kota.Mereka mempersiapkan banyak hal, dan mencicil sedikit demi sedikit barang Dirra yang bisa mereka bawa dan pindahkan menggunakan jasa ekspedisi.Mereka ingin melakukannya secara perlahan tanpa mengeluarkan rasa curiga.Ibunya juga sudah menggaungkan pada tetangga kalau Dirra sedang interview pekerjaan dan banyak lainnya, sehingga jika nantinya Dirra siap pergi untuk berpindah semua orang tidak menaruh curiga.Kedua orangtuanya melakukannya dengan sangat baik, mengenyampingkan apa yang diingikan oleh Dirra. Terlebih Dirra sendiri begitu repot merasakan mual dan muntah, dia juga harus tersiksa karena muntah yang harus dia atur supaya tidak terdengar kemanapun.Dia kelelahan.
Nancy membaca semua berkas yang diberikan oleh orang bayarannya. Setelah kedatangan Dirra dan keluarganya, dia meminta orang untuk mencari tahu mengenai siapa ayah dari anak yang dikandung oleh Dirra.Nancy tahu benar kalau anaknya, Janggala. Sudah berpacaran selama dua tahun dengan Dirra, awalnya dia tahu benar kalau Janggala hanyalah menjadikan perempuan itu sebagai bahan taruhan. Namun entah sejak kapan hubungan itu nampak lebih serius dari seharusnya.“Jadi, Dirra gak ada keluar sama laki-laki lain selain sama Gala?”“Betul nyonya, dua bulan lalu keduanya pergi ke hotel karena tuan Janggala membuat kejutan acara dua tahun hubungan mereka.” Jawab pria bertubuh besar dan kekar itu dengan suara yang penuh hormat.Nancy mengecek foto-foto yang diambil diam-diam oleh orang yang menguntit keduanya.Berarti, ucapan Dirra mengenai kehamilan itu adalah benar. Perempuan itu tidak berhubungan dengan pria manapun selain anaknya, sia
Dirra masih dalam siklusnya, dia mual dan muntah secara rutin di pagi hari. Nafsu makannya melorot drastis, wajahnya pucat dan pipinya kini begitu tirus. Beberapa helai rambutnya mulai rontok karena stress.Ibunya menangis setiap malam melihat kondisi putrinya yang memprihatinkan, kehamilan ini membuat Dirra begitu tersiksa.“Kita harus cepat-cepat beresin semuanya yah, Dirra harus pindah secepatnya.” Kata Kaili, ibu Dirra. Dia dan suaminya tengah berada di ruang tamu, berdiskusi pelan-pelan karena takut tetangga mendengar.Dirra sedang di dalam kamar, tertidur.Persiapan pindah Dirra sudah sembilan puluh persen selesai, kini yang harus diselesaikan hanyalah pembayaran rumah yang akan mereka kontrak.“Ambil uang pensiun ayah aja, kita bayar dulu dua tahun. Gak apa-apa, ibu yakin nanti kita bisa berpikir untuk selanjutnya bagaimana.” Ucap Kaili, airmata sudah jatuh satu persatu dari matanya.Hatinya terluka melihat bua
Suara barang yang dibanting terdengar dari dalam ruang kantor yang berada tepat di samping kamar tidur milik Nancy, sepulang dari rumah Dirra dadahnya begitu mendidih karena jawaban yang dilontarkan oleh kedua orangtua perempuan itu.“Congkak sekali mereka! Hutang sampai batas leher tapi seolah-olah mereka bisa melakukan yang terbaik! Sialan!” Dia memekik sambil melempar cangkir yang berada di atas meja sampai pecah berkeping-keping.Eveline terdiam mematung mendengar majikannya mengoceh dengan penuh amarah, napas wanita paruh baya itu memburu. Bisa dipastikan apa yang dikatakan oleh orangtua Dirra padanya membuat harga dirinya tercoreng.“Sudah dihubungi?” Tanya Nancy dengan napas ngos-ngosan pada Eveline.“Sudah, saya sudah hubungi mereka dan menawarkan sejumlah uang. Mutasi ibu Kaili Gauri sedang di proses oleh perusahaan.“Saya gak mau tahu, secepatnya mereka harus pergi dari kota ini. Saya gak mau melihat ibunya ataupun wanita itu berkeliaran
Janggala masuk ke dalam kantor, seperti hari-hari biasa tatapan sinis orang-orang disana tidak pernah berubah. Semenjak dia diangkat jadi penerus sementara semua orang menyepelekannya.Tentu saja, siapa yang mau tunduk pada anak berusia dua puluh tahun yang bahkan masuk kuliah saja belum.Berbeda dengan Dirra yang lebih dulu bekerja setelah lulus sekolah, Janggala menghabiskan waktunya untuk berleha-leha dibawah ketiak orangtuanya. Setelah ayahnya meninggal dan dia diberikan tugas yang berat, dia baru merasa sangat kewalahan. Itulah mengapa dia absen memberi kabar pada Dirra setelah apa yang mereka lakukan di hotel.Dia masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh sekretarisnya.“Hari ini ada jadwal rapat sampai jam dua sore aja pak.” Ujar Siska, mengecek jadwal Janggala di tablet milik kantor yang selalu dia bawa kemanapun.Janggala melepaskan jas dan menggantungnya, ia duduk di kursinya menatap area kerjanya.“Sis, kamu bisa pesankan saya taksi
Nancy buru-buru masuk ke dalam lobi Rumah Sakit, napasnya terengah-engah, dia sudah tidak peduli beberapa pasang mata yang menatapnya aneh karena berlari seperti orang yang sudah kehilangan kewarasan.Dia baru saja menerima telepon dari kepolisian mengenai Janggala.“Apa betul ini dengan keluarga dari tuan Janggala Tantra? Putra ibu berada di Rumah Sakit SANJAYA karena mengalami kecelakaan.”Polisi mengabarkan langsung padanya sehingga Nancy begitu histeris ketika mendengarnya. Eveline dan supir segera mengantarnya namun pikirannya begitu kalut ketika sampai di Rumah Sakit.Tangannya gemetar tidak berhenti.Dia takut kehilangan Janggala.“Keluarga tuan Janggala Tantra?” Salah satu perawat memanggil nama itu ketika Nancy baru saja masuk ke dalam IGD dibantu oleh Eveline.“Kami keluarganya.” Eveline segera menjawab dan mendekat kepada perawat sedangkan Nancy dibantu oleh supir pribadinya untu
Nancy datang dengan tergesa ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar kalau operasi yang dijalankan oleh Janggala sudah selesai. Dia sempat ke kantor polisi untuk menyelesaikan beberapa hal, seperti laporan dan lain-lain.Lavani dan kedua orangtuanya berpamitan pulang dan berjanji akan pulang setelah operasi Janggala selesai.Nancy sedikit berlari menuju ruang rawat inap Janggala, namun ketika dia sampai Janggala tidak ada disana.“Bu Nancy..” Direktur Rumah Sakit memanggilnya, pria paruh baya itu mendekat pada Nancy di dampingi oleh empat dokter.“Bagaimana dengan Gala?” Tanya Nancy tergesa, suaranya bergetar.“Biar dokter Salim yang menjelaskan.” Ucap sang Direktur mempersilahkan dokter yang bertugas mengoperasi Janggala.Dokter itu menunduk, memberi hormat pada Nancy sebelum mulai bicara.“Saya yang bertugas mengoperasi tuan muda Janggala, nama saya dokter Salim.” Dia memperkenalkan diri
Dirra membuka matanya ketika suara ibunya terdengar membangunkannya. Selama perjalanan kepalanya terasa sakit dan mual yang tidak tertahankan sehingga Dirra memutuskan untuk tidur saja.Perjalanan ini memakan waktu sampai lima jam.“Ayo keluar nak..” Ibunya membuka pintu dan mengajak Dirra keluar dari mobil.Dirra turun dari mobil dan mendapati angin yang begitu dingin menusuk menyambutnya, ibunya yang tahu akan hal itu segera memakaikan Dirra jaket tebal.“Disini dingin, jadi jangan cuma pake kaos aja..”Dirra memakai jaketnya, membuat dirinya tetap hangat di dalam.“Ini…di pegunungan bu?” Dirra bertanya ketika dia melihat sekeliling, meskipun gelap dengan samar-samar dia bisa melihat banyak pohon yang melebihi atap rumah.“Iya, ini di kaki gunung. Kalau kamu ke bawah sedikit sudah banyak rumah warga, ibu dan ayah ngecek rumah-rumah disini tapi hanya ini saja yang kosong.” Ujar i