Share

BAB 3

Dirra masih menangis di kamarnya, meratapi nasibnya yang malang. Dia kini benar-benar tidak bisa menghubungi Janggala, kedua orangtuanya mengambil ponselnya dengan paksa.

“Ibu benar-benar kecewa Dir, kenapa kamu tega ngelakuin ini ke keluarga kita?” Tanya ibunya di malam mereka baru kembali dari rumah Janggala, ketiganya berkumpul di ruang depan.

Dirra menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menangis, tidak mampu menatap kedua orangtuanya.

“Ayah sudah bilang padamu berkali-kali Dir, setidaknya kita harus punya sesuatu yang bisa dipegang sebagai seseorang yang tidak memiliki apa-apa. Ayah sudah sangat yakin kita akan diinjak-injak dan dihina seperti tadi oleh keluarga Tantra.” Ujar ayahnya dengan suara yang lembut sambil memijat dahi, terlihat raut wajah kecewa oleh Dirra.

“Dirra benar-benar minta maaf yah, bu. Ini semua kesalahan Dirra..”

Ibunya kemudian memeluknya dengan erat sambil menangis.

“Kita pindah saja ya nak, Dirra sama ayah pergi ke kampung saja.. Biar ibu disini bekerja. Nanti ibu kirimkan uang setiap bulan.”

Dirra terkejut mendengarnya, dia menatap ibunya sambil menggeleng, tidak mau pergi dari kediamannya.

“Gak bu, Gala pasti susul Dirra. Gala gak begitu bu, Gala pasti bertanggung jawab.”

“Dir, sudahlah. Lupakan Gala, ayah sama ibu gak masalah kalau kamu melahirkan anak itu. Tapi kita pergi dari sini, ayah dan ibu akan sangat malu jika kamu bertahan disini.” Ayahnya menimpali, membuang wajahnya seolah tidak ingin mendengarkan apa yang ingin Dirra utarakan.

Dirra hanya terdiam sambil terisak, dia tidak mampu memberikan opininya atau keinginannya pada kedua orangtuanya. Dirra tahu kalau sekarang dia sudah benar-benar menyakiti hati kedua orangtuanya, harapan mereka pada Dirra hilang begitu saja.

Dia tidak ingin mengecewakan orangtuanya lebih dari ini.

Memegang perutnya, dia berharap apa yang terjadi adalah mimpi.

Namun itu semua sudah terjadi, dia bahkan tidak sanggup berpikir untuk menggugurkan kandungannya. Ini anak Janggala, buah cinta mereka.

Dia tertidur sambil menangis.

Matahari pagi masuk ke dalam sela-sela gorden kamar Dirra, cahayanya menyilaukan. Dirra bangun sambil menyipitkan matanya, dia bisa melihat seberkas sinar matahari yang jatuh tepat diatas pelupuk matanya.

Dia menatap langit-langit kamar kemudian merasakan gejolak dari dalam perutnya, gejolak itu terasa begitu mendesak hingga sampai kerongkongan. Dia terbangun, berlari membuka pintu kamar dan menuju kamar mandi.

Dia membuka pintu kamar mandi dengan terburu-buru dan memuntahkan isi perutnya dengan segera, suara muntahannya terdengar sampai teras rumah dimana ibunya sedang membeli sayur bersama dengan para ibu-ibu di sekitaran kontrakan mereka.

Dirra dan kedua orangtuanya tinggal di kontrakan bulanan. Kontrakan satu rumah dengan dua kamar itu begitu kecil, tidak kumuh namun nampak sederhana. Dari satu rumah ke rumah lainnya begitu berdekatan, begitu juga dengan rumah penduduk asli disana.

“Aduh neng Dirra itu?” Tanya salah satu ibu, dia menatap pintu rumah Dirra yang terbuka.

Ibu Dirra tersenyum salah tingkah sambil memilih sayuran, isi kepalanya sudah berkecamuk karena suara muntahan Dirra yang belum berhenti.

“Masuk angin ya? Kecapean kali kerjanya.” Kata ibu itu melanjutkan, tangannya masih sibuk memilah ikan yang akan dia timbang.

“Iya, sebelum habis kontrak ‘kan lembur terus.” Ujar ibu Dirra menutupi.

“Iya bener, angin malam tuh jahat banget loh!” Ibu Wijaya menimpali sambil menepuk pundak ibu Dirra, “Diurut aja bu, atau dikerok!” Katanya.

Ibu Dirra mengangguk-angguk, berusaha untuk tidak canggung atau terlihat mencurigakan. Bisa gawat kalau ibu-ibu mengira ada sesuatu yang terjadi pada Dirra.

“Pagi-pagi begini, sudah kayak lagi ngidam aja ya!” Ibu Resno berkata sambil tertawa disambut tawa ibu-ibu lain.

“Gak percaya saya kalau neng Dirra! Anaknya baik, santun banget!”

Ibu Dirra hanya tersenyum kecut. Toh kenyataannya anaknya yang nampak baik dan santun itu terjebak seks bebas dengan kekasihnya juga. Ibu Dirra berbasa-basi sebentar kemudian menyelesaikan sesi belanjanya.

Dia masuk ke dalam rumah dan mendapati Dirra tengah terduduk lemas di depan pintu kamar mandi.

“Ya Tuhan Dir!” Ibunya memekik, berusaha mengecilkan volume suaranya sendiri karena tidak mau membuat heboh satu kampung.

Dia kemudian membopong Dirra masuk ke dalam kamar, anaknya terlihat begitu pucat. Ibu Dirra segera pergi ke dapur dan mengambil segelas air, membiarkan Dirra meneguk air itu masuk ke dalam tenggorokannya.

“Pusing bu, mual..”

Ibu Dirra menatap anaknya dengan perasaan campur aduk. Dia kesal dan marah dilain sisi dia juga merasa kasihan melihat betapa kepayahannya Dirra.

“Semester awal kehamilan memang begini Dir, paksakan makan ya.. Tunggu aja disini, ibu buatkan sarapan.” Katanya sambil melangkahkan kaki keluar dari kamar.

Kemudian ibu Dirra pergi ke dapur, mengeluarkan sayur mayur dan lauk pauk yang ia beli untuk diolah. Tangannya sibuk mengaduk, mengulek dan mengiris, namun airmatanya tidak berhenti mengalir.

Dia terisak namun menahan agar suaranya tidak terdengar.

Dirra berdiri di belakang pintu dapur, mendengar ibunya menangis. Hatinya begitu teriris perih, dia sudah benar-benar mengecewakan ibunya.

Suara dering telepon terdengar dari arah dapur, ibunya mengangkat telepon.

“Iya yah, ayah sudah belikan tiketnya juga? Iya, tadi ibu-ibu disini dengar Dirra muntah-muntah untungnya mereka mengira Dirra hanya masuk angin. Ibu gak sanggup yah kalau Dirra tetap disini..”

Ucapan ibunya membuat Dirra terdiam.

“Iya, ayah sama Dirra disana saja. Ibu gak bisa ikut karena belum ada pengumuman mutasi, kalau ada kemungkinan ibu akan menyusul. Demi kebaikan Dirra dan bayinya.”

Dirra meremas bajunya dalam diam, airmatanya mengalir.

Dia harus bertemu dengan Janggala sebelum pergi, dia harus meyakinkan dirinya kalau Janggala akan bertanggung jawab.

Dia pergi ke kamar ibunya, mencari ponselnya di dalam laci.

Ketemu!

Dia segera membuka ponselnya dan menghubungi Janggala.

“La! Gala!”

“Ra! Astaga! Aku gak bisa hubungi kamu sama sekali!” Ujar Janggala diujung telepon, suaranya begitu panik.

“Aku mau dibawa pergi La, ibu sama ayah mau memindahkan aku ke kampung.”

“Kemana? Ra? Suara kamu putus-putus.”

“Gala!”

Dan sambungan telepon itu terputus. Dengan tangan gemetar Dirra mengirimkan pesan pada Janggala.

Aku mau dibawa pergi ke kampung oleh ayah dan ibu, aku harap kamu bisa menyusul. Lakukan sesuatu agar aku dan kedua orangtuaku percaya kamu akan bertanggung jawab La..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status