Share

BAB 4

Dirra tahu dirinya sedang tertidur.

Kondisi rumahnya seminggu terakhir penuh dengan ketegangan, terutama ibu dan ayahnya. Kedua orangtuanya sedang direpotkan mengurus kepindahan Dirra, mereka sebisa mungkin mengatur seolah-olah Dirra pergi untuk bekerja diluar kota.

Mereka mempersiapkan banyak hal, dan mencicil sedikit demi sedikit barang Dirra yang bisa mereka bawa dan pindahkan menggunakan jasa ekspedisi.

Mereka ingin melakukannya secara perlahan tanpa mengeluarkan rasa curiga.

Ibunya juga sudah menggaungkan pada tetangga kalau Dirra sedang interview pekerjaan dan banyak lainnya, sehingga jika nantinya Dirra siap pergi untuk berpindah semua orang tidak menaruh curiga.

Kedua orangtuanya melakukannya dengan sangat baik, mengenyampingkan apa yang diingikan oleh Dirra. Terlebih Dirra sendiri begitu repot merasakan mual dan muntah, dia juga harus tersiksa karena muntah yang harus dia atur supaya tidak terdengar kemanapun.

Dia kelelahan.

Kehamilan ini, ditambah tidak dapat menghubungi Janggala membuatnya frustasi.

Isi kepalanya begitu penuh bahkan ketika dia sedang tertidur.

Dia kemudian membuka mata, Dirra sadar kalau dirinya tengah bermimpi. Dia menoleh dan mendapati Janggala berada di depannya mengenakkan seragam SMA.

“Lo Dirra ‘kan?” Tanyanya sambil menatap Dirra. “Dirra Gauri?” Laki-laki itu mengulang lagi pertanyaannya.

Dalam dirinya, Dirra terkekeh geli mengingat masa-masa dimana mereka bertemu pertama kali. Tapi Dirra dalam mimpi berkebalikannya, perempuan itu malah berusaha kabur ketika tangan Janggala menahannya.

“Gue bilang, ingat muka dan nama gue. Gue Janggala, gue suka sama lo. Ayo kita pacaran.”

Itu adalah kali pertama dalam kehidupan Dirra dia diminta oleh seseorang untuk menjadi kekasihnya. Padahal semua buku novel romantis yang dia baca menggambarkan momen itu sebagai momen yang indah, berkebalikan dengan apa yang Janggala lakukan padanya.

Laki-laki itu begitu mengintimidasi, menatapnya penuh dan langsung ke dalam, membuat Dirra jadi kikuk dibuatnya.

Setelah kejadian itu, hari-hari dilalui Dirra dengan penuh keterkejutan. Karena tiba-tiba Janggala sering datang ke kelasnya, karena itulah juga Dirra baru tahu kalau benar Janggala adalah anak pemilik yayasan yang mensponsori sekolah tersebut.

“Lo bisa sekolah karena sponsor dari keluarga gue, lo anak beasiswa ‘kan?” Ujar Janggala, dia berbicara di samping Dirra yang berjalan menuju perpustakaan. Bel pulang baru saja berdentang lima belas menit lalu dan bocah laki-laki itu sudah mengekorinya kemanapun.

“Lo denger gue ngomong gak sih?” Tangan besarnya menggenggam lengan Dirra dengan kasar, menghentikan jalan perempuan itu.

Dirra menoleh padanya, “Aku gak mau, aku gak berminat pacaran.” Ucap Dirra, wajahnya tampak kesal karena Janggala sudah begitu mengganggunya akhir-akhir ini.

“Gue gak minta pendapat lo. Lo harus jadi cewek gue!” Katanya ngotot, Dirra mengerenyitkan dahinya.

Mengapa dia harus jadi pacarnya?

Dirra melepaskan pegangan Janggala dengan kasar, menepis tangan besar itu dari lengannya.

“Kalau aku gak pacaran sama kamu terus kenapa?”

“Gue bakalan cabut beasiswa lo.”

Dirra begitu membenci Janggala kala itu, laki-laki itu datang dan memaksa untuk menjadikan dia miliknya padahal Dirra bahkan tidak mengenal siapa dirinya.

Semenjak Janggala mengejarnya semua perempuan di sekolah juga jadi mengejarnya, mereka memaki, menjahilinya bahkan mulai menjahatinya. Lokernya dirusak, tasnya disembunyikan dan semua tindakan bully yang dia tidak pernah bayangkan sebelumnya.

“Gak usah sok cantik karena Janggala ngejar-ngejar lo!” Kata mereka sambil mendorong Dirra sampai terjatuh.

Dirra sendiri tidak merasa demikian, bahkan sampai sekarang saja dia bingung kenapa laki-laki itu ngotot ingin jadi pacarnya.

Dengan kemarahan yang membuncah akhirnya dia pergi menemui Janggala, biasanya bocah laki-laki itu berkumpul dengan teman-temannya dekat UKS. Dirra berjalan dengan penuh emosi menuju ruangan UKS sebelum akhirnya dihentikan dengan suara tawa Janggala.

“Gue pasti bisa bikin dia suka sama gue dalam sebulan! Jangan lupa taruhan kita, sepatu yang gue mau masih available di toko!” Ujarnya pada teman-temannya yang tertawa juga.

“Alah! Lo udah ditolak! Yakin tuh cewek bakalan jatuh cinta sama lo?”

“Palingan juga dicuekin lagi kayak biasanya!”

Teman-temannya mulai meledek dia satu persatu, Dirra terdiam memikirkan cara balas dendam pada laki-laki itu setelah tahu ternyata apa yang Janggala lakukan padanya hanyalah demi taruhan belaka.

Dia tersenyum ketika sebuah ide melintas di kepalanya.

Dia mendekat ke arah Janggala dan teman-temannya yang langsung berhenti tertawa dan membicarakan Dirra, semua mata itu tertuju pada Dirra yang berdiri di depan Janggala. Perempuan itu tersenyum lebar, rambut panjang sepinggangnya dimainkan angin.

“Aku mau jadi pacar kamu.” Katanya.

Teman-teman Janggala menahan napas mendengar hal itu, mereka saling melirik satu sama lain. Janggala terdiam menatap Dirra, sejurus kemudian dia tersenyum lebar merasa menang.

“Tapi, hadiah sepatunya bagi dua ya.” Ucapnya sambil tersenyum meninggalkan Janggala dan teman-temannya yang ternganga karena kaget.

Dirra membuka matanya, dia masih menatap plafon kamarnya yang berwarna putih.

Mimpi indah ketika dia dan Janggala masih remaja, dimana belum ada rintangan yang menghadang. Ibu Janggala belum tahu keberadaannya, dan saat itu juga Janggala belum jatuh cinta padanya.

Semuanya masih abu-abu.

Dia menyentuh perutnya, berusaha merasakan kehadiran janin yang belum sama sekali dia periksakan ke dokter. Buah cintanya dengan Janggala.

“Kalau saja waktu itu aku gak sok berani dengan mengatakan mau jadi pacarnya dan pura-pura gak menanggapi Janggala, mungkin semua ini gak akan pernah terjadi..” Bisik Dirra, kemudian airmatanya jatuh lagi.

Apa yang sudah terjadi tidak bisa terulang lagi, dia tidak bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Cintanya pada Janggala sudah begitu dalam, dia sudah sangat mencintai pria itu.

Di rumahnya, Janggala masih menghadap ibunya, memohon agar bisa menemui Dirra.

“Izinkan Gala menemui Dirra bu..”

“Gak. Fokus pada perusahaan, ibu akan pesankan tiket kepergian kamu keluar negeri untuk kuliah. Tidak ada bantahan!” Mata ibunya melotot tajam ke arah Janggala, pintu ruang kerjanya di tutup dengan kasar meninggalkan Janggala yang berdiri kaku tidak berdaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status