Dirra tahu dirinya sedang tertidur.
Kondisi rumahnya seminggu terakhir penuh dengan ketegangan, terutama ibu dan ayahnya. Kedua orangtuanya sedang direpotkan mengurus kepindahan Dirra, mereka sebisa mungkin mengatur seolah-olah Dirra pergi untuk bekerja diluar kota.
Mereka mempersiapkan banyak hal, dan mencicil sedikit demi sedikit barang Dirra yang bisa mereka bawa dan pindahkan menggunakan jasa ekspedisi.
Mereka ingin melakukannya secara perlahan tanpa mengeluarkan rasa curiga.
Ibunya juga sudah menggaungkan pada tetangga kalau Dirra sedang interview pekerjaan dan banyak lainnya, sehingga jika nantinya Dirra siap pergi untuk berpindah semua orang tidak menaruh curiga.
Kedua orangtuanya melakukannya dengan sangat baik, mengenyampingkan apa yang diingikan oleh Dirra. Terlebih Dirra sendiri begitu repot merasakan mual dan muntah, dia juga harus tersiksa karena muntah yang harus dia atur supaya tidak terdengar kemanapun.
Dia kelelahan.
Kehamilan ini, ditambah tidak dapat menghubungi Janggala membuatnya frustasi.
Isi kepalanya begitu penuh bahkan ketika dia sedang tertidur.
Dia kemudian membuka mata, Dirra sadar kalau dirinya tengah bermimpi. Dia menoleh dan mendapati Janggala berada di depannya mengenakkan seragam SMA.
“Lo Dirra ‘kan?” Tanyanya sambil menatap Dirra. “Dirra Gauri?” Laki-laki itu mengulang lagi pertanyaannya.
Dalam dirinya, Dirra terkekeh geli mengingat masa-masa dimana mereka bertemu pertama kali. Tapi Dirra dalam mimpi berkebalikannya, perempuan itu malah berusaha kabur ketika tangan Janggala menahannya.
“Gue bilang, ingat muka dan nama gue. Gue Janggala, gue suka sama lo. Ayo kita pacaran.”
Itu adalah kali pertama dalam kehidupan Dirra dia diminta oleh seseorang untuk menjadi kekasihnya. Padahal semua buku novel romantis yang dia baca menggambarkan momen itu sebagai momen yang indah, berkebalikan dengan apa yang Janggala lakukan padanya.
Laki-laki itu begitu mengintimidasi, menatapnya penuh dan langsung ke dalam, membuat Dirra jadi kikuk dibuatnya.
Setelah kejadian itu, hari-hari dilalui Dirra dengan penuh keterkejutan. Karena tiba-tiba Janggala sering datang ke kelasnya, karena itulah juga Dirra baru tahu kalau benar Janggala adalah anak pemilik yayasan yang mensponsori sekolah tersebut.
“Lo bisa sekolah karena sponsor dari keluarga gue, lo anak beasiswa ‘kan?” Ujar Janggala, dia berbicara di samping Dirra yang berjalan menuju perpustakaan. Bel pulang baru saja berdentang lima belas menit lalu dan bocah laki-laki itu sudah mengekorinya kemanapun.
“Lo denger gue ngomong gak sih?” Tangan besarnya menggenggam lengan Dirra dengan kasar, menghentikan jalan perempuan itu.
Dirra menoleh padanya, “Aku gak mau, aku gak berminat pacaran.” Ucap Dirra, wajahnya tampak kesal karena Janggala sudah begitu mengganggunya akhir-akhir ini.
“Gue gak minta pendapat lo. Lo harus jadi cewek gue!” Katanya ngotot, Dirra mengerenyitkan dahinya.
Mengapa dia harus jadi pacarnya?
Dirra melepaskan pegangan Janggala dengan kasar, menepis tangan besar itu dari lengannya.
“Kalau aku gak pacaran sama kamu terus kenapa?”
“Gue bakalan cabut beasiswa lo.”
Dirra begitu membenci Janggala kala itu, laki-laki itu datang dan memaksa untuk menjadikan dia miliknya padahal Dirra bahkan tidak mengenal siapa dirinya.
Semenjak Janggala mengejarnya semua perempuan di sekolah juga jadi mengejarnya, mereka memaki, menjahilinya bahkan mulai menjahatinya. Lokernya dirusak, tasnya disembunyikan dan semua tindakan bully yang dia tidak pernah bayangkan sebelumnya.
“Gak usah sok cantik karena Janggala ngejar-ngejar lo!” Kata mereka sambil mendorong Dirra sampai terjatuh.
Dirra sendiri tidak merasa demikian, bahkan sampai sekarang saja dia bingung kenapa laki-laki itu ngotot ingin jadi pacarnya.
Dengan kemarahan yang membuncah akhirnya dia pergi menemui Janggala, biasanya bocah laki-laki itu berkumpul dengan teman-temannya dekat UKS. Dirra berjalan dengan penuh emosi menuju ruangan UKS sebelum akhirnya dihentikan dengan suara tawa Janggala.
“Gue pasti bisa bikin dia suka sama gue dalam sebulan! Jangan lupa taruhan kita, sepatu yang gue mau masih available di toko!” Ujarnya pada teman-temannya yang tertawa juga.
“Alah! Lo udah ditolak! Yakin tuh cewek bakalan jatuh cinta sama lo?”
“Palingan juga dicuekin lagi kayak biasanya!”
Teman-temannya mulai meledek dia satu persatu, Dirra terdiam memikirkan cara balas dendam pada laki-laki itu setelah tahu ternyata apa yang Janggala lakukan padanya hanyalah demi taruhan belaka.
Dia tersenyum ketika sebuah ide melintas di kepalanya.
Dia mendekat ke arah Janggala dan teman-temannya yang langsung berhenti tertawa dan membicarakan Dirra, semua mata itu tertuju pada Dirra yang berdiri di depan Janggala. Perempuan itu tersenyum lebar, rambut panjang sepinggangnya dimainkan angin.
“Aku mau jadi pacar kamu.” Katanya.
Teman-teman Janggala menahan napas mendengar hal itu, mereka saling melirik satu sama lain. Janggala terdiam menatap Dirra, sejurus kemudian dia tersenyum lebar merasa menang.
“Tapi, hadiah sepatunya bagi dua ya.” Ucapnya sambil tersenyum meninggalkan Janggala dan teman-temannya yang ternganga karena kaget.
Dirra membuka matanya, dia masih menatap plafon kamarnya yang berwarna putih.
Mimpi indah ketika dia dan Janggala masih remaja, dimana belum ada rintangan yang menghadang. Ibu Janggala belum tahu keberadaannya, dan saat itu juga Janggala belum jatuh cinta padanya.
Semuanya masih abu-abu.
Dia menyentuh perutnya, berusaha merasakan kehadiran janin yang belum sama sekali dia periksakan ke dokter. Buah cintanya dengan Janggala.
“Kalau saja waktu itu aku gak sok berani dengan mengatakan mau jadi pacarnya dan pura-pura gak menanggapi Janggala, mungkin semua ini gak akan pernah terjadi..” Bisik Dirra, kemudian airmatanya jatuh lagi.
Apa yang sudah terjadi tidak bisa terulang lagi, dia tidak bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Cintanya pada Janggala sudah begitu dalam, dia sudah sangat mencintai pria itu.
Di rumahnya, Janggala masih menghadap ibunya, memohon agar bisa menemui Dirra.
“Izinkan Gala menemui Dirra bu..”
“Gak. Fokus pada perusahaan, ibu akan pesankan tiket kepergian kamu keluar negeri untuk kuliah. Tidak ada bantahan!” Mata ibunya melotot tajam ke arah Janggala, pintu ruang kerjanya di tutup dengan kasar meninggalkan Janggala yang berdiri kaku tidak berdaya.
Nancy membaca semua berkas yang diberikan oleh orang bayarannya. Setelah kedatangan Dirra dan keluarganya, dia meminta orang untuk mencari tahu mengenai siapa ayah dari anak yang dikandung oleh Dirra.Nancy tahu benar kalau anaknya, Janggala. Sudah berpacaran selama dua tahun dengan Dirra, awalnya dia tahu benar kalau Janggala hanyalah menjadikan perempuan itu sebagai bahan taruhan. Namun entah sejak kapan hubungan itu nampak lebih serius dari seharusnya.“Jadi, Dirra gak ada keluar sama laki-laki lain selain sama Gala?”“Betul nyonya, dua bulan lalu keduanya pergi ke hotel karena tuan Janggala membuat kejutan acara dua tahun hubungan mereka.” Jawab pria bertubuh besar dan kekar itu dengan suara yang penuh hormat.Nancy mengecek foto-foto yang diambil diam-diam oleh orang yang menguntit keduanya.Berarti, ucapan Dirra mengenai kehamilan itu adalah benar. Perempuan itu tidak berhubungan dengan pria manapun selain anaknya, sia
Dirra masih dalam siklusnya, dia mual dan muntah secara rutin di pagi hari. Nafsu makannya melorot drastis, wajahnya pucat dan pipinya kini begitu tirus. Beberapa helai rambutnya mulai rontok karena stress.Ibunya menangis setiap malam melihat kondisi putrinya yang memprihatinkan, kehamilan ini membuat Dirra begitu tersiksa.“Kita harus cepat-cepat beresin semuanya yah, Dirra harus pindah secepatnya.” Kata Kaili, ibu Dirra. Dia dan suaminya tengah berada di ruang tamu, berdiskusi pelan-pelan karena takut tetangga mendengar.Dirra sedang di dalam kamar, tertidur.Persiapan pindah Dirra sudah sembilan puluh persen selesai, kini yang harus diselesaikan hanyalah pembayaran rumah yang akan mereka kontrak.“Ambil uang pensiun ayah aja, kita bayar dulu dua tahun. Gak apa-apa, ibu yakin nanti kita bisa berpikir untuk selanjutnya bagaimana.” Ucap Kaili, airmata sudah jatuh satu persatu dari matanya.Hatinya terluka melihat bua
Suara barang yang dibanting terdengar dari dalam ruang kantor yang berada tepat di samping kamar tidur milik Nancy, sepulang dari rumah Dirra dadahnya begitu mendidih karena jawaban yang dilontarkan oleh kedua orangtua perempuan itu.“Congkak sekali mereka! Hutang sampai batas leher tapi seolah-olah mereka bisa melakukan yang terbaik! Sialan!” Dia memekik sambil melempar cangkir yang berada di atas meja sampai pecah berkeping-keping.Eveline terdiam mematung mendengar majikannya mengoceh dengan penuh amarah, napas wanita paruh baya itu memburu. Bisa dipastikan apa yang dikatakan oleh orangtua Dirra padanya membuat harga dirinya tercoreng.“Sudah dihubungi?” Tanya Nancy dengan napas ngos-ngosan pada Eveline.“Sudah, saya sudah hubungi mereka dan menawarkan sejumlah uang. Mutasi ibu Kaili Gauri sedang di proses oleh perusahaan.“Saya gak mau tahu, secepatnya mereka harus pergi dari kota ini. Saya gak mau melihat ibunya ataupun wanita itu berkeliaran
Janggala masuk ke dalam kantor, seperti hari-hari biasa tatapan sinis orang-orang disana tidak pernah berubah. Semenjak dia diangkat jadi penerus sementara semua orang menyepelekannya.Tentu saja, siapa yang mau tunduk pada anak berusia dua puluh tahun yang bahkan masuk kuliah saja belum.Berbeda dengan Dirra yang lebih dulu bekerja setelah lulus sekolah, Janggala menghabiskan waktunya untuk berleha-leha dibawah ketiak orangtuanya. Setelah ayahnya meninggal dan dia diberikan tugas yang berat, dia baru merasa sangat kewalahan. Itulah mengapa dia absen memberi kabar pada Dirra setelah apa yang mereka lakukan di hotel.Dia masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh sekretarisnya.“Hari ini ada jadwal rapat sampai jam dua sore aja pak.” Ujar Siska, mengecek jadwal Janggala di tablet milik kantor yang selalu dia bawa kemanapun.Janggala melepaskan jas dan menggantungnya, ia duduk di kursinya menatap area kerjanya.“Sis, kamu bisa pesankan saya taksi
Nancy buru-buru masuk ke dalam lobi Rumah Sakit, napasnya terengah-engah, dia sudah tidak peduli beberapa pasang mata yang menatapnya aneh karena berlari seperti orang yang sudah kehilangan kewarasan.Dia baru saja menerima telepon dari kepolisian mengenai Janggala.“Apa betul ini dengan keluarga dari tuan Janggala Tantra? Putra ibu berada di Rumah Sakit SANJAYA karena mengalami kecelakaan.”Polisi mengabarkan langsung padanya sehingga Nancy begitu histeris ketika mendengarnya. Eveline dan supir segera mengantarnya namun pikirannya begitu kalut ketika sampai di Rumah Sakit.Tangannya gemetar tidak berhenti.Dia takut kehilangan Janggala.“Keluarga tuan Janggala Tantra?” Salah satu perawat memanggil nama itu ketika Nancy baru saja masuk ke dalam IGD dibantu oleh Eveline.“Kami keluarganya.” Eveline segera menjawab dan mendekat kepada perawat sedangkan Nancy dibantu oleh supir pribadinya untu
Nancy datang dengan tergesa ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar kalau operasi yang dijalankan oleh Janggala sudah selesai. Dia sempat ke kantor polisi untuk menyelesaikan beberapa hal, seperti laporan dan lain-lain.Lavani dan kedua orangtuanya berpamitan pulang dan berjanji akan pulang setelah operasi Janggala selesai.Nancy sedikit berlari menuju ruang rawat inap Janggala, namun ketika dia sampai Janggala tidak ada disana.“Bu Nancy..” Direktur Rumah Sakit memanggilnya, pria paruh baya itu mendekat pada Nancy di dampingi oleh empat dokter.“Bagaimana dengan Gala?” Tanya Nancy tergesa, suaranya bergetar.“Biar dokter Salim yang menjelaskan.” Ucap sang Direktur mempersilahkan dokter yang bertugas mengoperasi Janggala.Dokter itu menunduk, memberi hormat pada Nancy sebelum mulai bicara.“Saya yang bertugas mengoperasi tuan muda Janggala, nama saya dokter Salim.” Dia memperkenalkan diri
Dirra membuka matanya ketika suara ibunya terdengar membangunkannya. Selama perjalanan kepalanya terasa sakit dan mual yang tidak tertahankan sehingga Dirra memutuskan untuk tidur saja.Perjalanan ini memakan waktu sampai lima jam.“Ayo keluar nak..” Ibunya membuka pintu dan mengajak Dirra keluar dari mobil.Dirra turun dari mobil dan mendapati angin yang begitu dingin menusuk menyambutnya, ibunya yang tahu akan hal itu segera memakaikan Dirra jaket tebal.“Disini dingin, jadi jangan cuma pake kaos aja..”Dirra memakai jaketnya, membuat dirinya tetap hangat di dalam.“Ini…di pegunungan bu?” Dirra bertanya ketika dia melihat sekeliling, meskipun gelap dengan samar-samar dia bisa melihat banyak pohon yang melebihi atap rumah.“Iya, ini di kaki gunung. Kalau kamu ke bawah sedikit sudah banyak rumah warga, ibu dan ayah ngecek rumah-rumah disini tapi hanya ini saja yang kosong.” Ujar i
Dirra sudah mulai beradaptasi tinggal di lingkungan baru. Orang-orang di dekat rumahnya begitu baik dan perhatian, semua warga sudah tahu kalau Dirra tengah hamil. Ibunya berkata kalau Dirra baru menikah secara agama waktu ditinggalkan suaminya begitu saja.Beberapa orang ada saja yang nyinyir mendengar hal itu, tapi sebagian menerima Dirra dengan baik.Ibunya dipindahtugaskan ke kantor desa yang kecil, sedangkan sebagian uang ibunya dijadikan ayahnya sebagai modal bertani. Di desa ini sebagian besar warganya menanam banyak sekali sayur, mereka menjual hasil tani kepada tengkulak dari desa sebelah.Luas tanah rumah yang di tempati Dirra ternyata sangat lebar sampai ke belakang sehingga ayahnya bisa memulai menanam beberapa sayur.Memasuki usia kehamilan lima bulan, mual muntah Dirra sudah menghilang, nafsu makannya sudah kembali dan wajahnya terlihat jauh lebih segar. Di desa ini juga ada bidan yang bertugas sehingga Dirra bisa rutin memeriksakan dirinya.