Nancy membaca semua berkas yang diberikan oleh orang bayarannya. Setelah kedatangan Dirra dan keluarganya, dia meminta orang untuk mencari tahu mengenai siapa ayah dari anak yang dikandung oleh Dirra.
Nancy tahu benar kalau anaknya, Janggala. Sudah berpacaran selama dua tahun dengan Dirra, awalnya dia tahu benar kalau Janggala hanyalah menjadikan perempuan itu sebagai bahan taruhan. Namun entah sejak kapan hubungan itu nampak lebih serius dari seharusnya.
“Jadi, Dirra gak ada keluar sama laki-laki lain selain sama Gala?”
“Betul nyonya, dua bulan lalu keduanya pergi ke hotel karena tuan Janggala membuat kejutan acara dua tahun hubungan mereka.” Jawab pria bertubuh besar dan kekar itu dengan suara yang penuh hormat.
Nancy mengecek foto-foto yang diambil diam-diam oleh orang yang menguntit keduanya.
Berarti, ucapan Dirra mengenai kehamilan itu adalah benar. Perempuan itu tidak berhubungan dengan pria manapun selain anaknya, sialan.
“Tetap saja saya gak mau ngakui kalau anak itu cucu saya. Cari tahu mengenai Dirra dan juga rumah yang mereka tempati, kalau ada celah untuk mengusirnya beritahu saya!” Titahnya pada pria itu yang kemudian mengangguk cepat sembari pergi dari hadapan Nancy.
Nancy memberi isyarat pada sekretarisnya untuk membereskan berkas-berkas tersebut sebelum Janggala melihatnya.
Dia tahu, Janggala sedang begitu frustasi mengenai kehamilan Dirra. Tapi dia tidak ingin keduanya bersama bahkan sampai menikah, dia tidak sudi menjadi besan dari seorang miskin seperti mereka.
“Lavani sudah kembali dari New York?” Tanyanya pada Eveline, sekretarisnya.
Eveline menghentikan kegiatannya sebentar kemudian menjawab, “Sudah sejak dua bulan lalu, nyonya.”
“Bagaimana dengan keluarganya? Kamu sudah mengutarakan keinginan saya mengenai perjodohan itu?”
“Sudah dilakukan nyonya, keluarga Hanggara tentunya begitu senang mendengar hal itu dan ingin segera mengesahkan apa yang direncanakan.” Ucap Eveline, menyimpan berkas-berkas tersebut masuk ke dalam laci agar tidak ditemukan oleh orang lain.
Nancy mengangguk-angguk.
Keluarga Hanggara bergerak di bidang kontraktor, PT JANJI HANGGARA masuk dalam sepuluh besar perusahaan kontraktor raksasa di Indonesia. Sedangkan keluarga Tantra bergerak di bidang perusahaan properti yang menangani real estate. Menyakup kawasan komersial, industri, perumahan, fasilitas umum hingga lapangan golf.
Keduanya adalah perusahaan yang termasuk dalam sepuluh besar perusahaan raksasa dan berpengaruh di Indonesia.
Keluarga Hanggara memiliki satu anak bernama Lavani Hanggara, usianya satu tahun dibawah Janggala. Sejak kecil mereka sudah saling mengenal dan akrab.
“Atur jadwal bertemu dengan keluarga Hanggara, bagaimanapun perjodohan ini harus berjalan.” Kata Nancy dengan tegas.
Bagaimanapun dia tidak mengizinkan Janggala dan Dirra untuk bersatu.
Di kantor, Janggala masih berada di ruangannya. Dia menatap seisi ruangan yang akhir-akhir ini sudah begitu familiar dengannya. Semenjak ayahnya meninggal beberapa bulan lalu, semua tanggung jawab sebagai seorang CEO dilimpahkan padanya.
Keputusan menjadi CEO sementara sesuai dengan keputusan para dewan direksi, yang tidak lain petingginya adalah Nancy Iriana. Ibunya. Sedangkan beberapa orang tidak menyetujui hal itu karena tugas seorang CEO begitu besar, mereka tidak melihat potensi itu ada di dalam diri Janggala karena usianya yang masih belia.
“Pak, semua rapat sudah selesai. Bapak mau pulang sekarang atau makan dulu?” Tanya Siska, sekretaris pribadi Janggala yang berada di pintu menunggu jawabannya.
Janggala melirik jam diatas meja, sudah pukul enam sore.
“Pulang aja duluan, saya masih mau disini. Tolong bilang pak Riko tunggu di parkiran saja.” Jawab Janggala pada Siska yang kemudian mengangguk dan menutup pintu kantor.
Janggala menatap lagi ponselnya, dia tengah berpikir bagaimana dia bisa menghubungi atau mendatangi Dirra tanpa ketahuan ibunya. Aksesnya pada Dirra benar-benar dibatasi, bahkan supir pribadinya pak Riko enggan untuk membantunya mendatangi Dirra.
“Gala!” Tiba-tiba sebuah panggilan mengejutkannya, Janggala mengangkat kepalanya yang tengah menunduk dan mendapati seorang perempuan dengan wajah campuran berdiri di depan pintu, senyumnya mengembang lebar.
“Lavani!” Janggala kemudian bangun dari duduknya dan mendekati wanita itu sambil memeluknya dengan erat.
“Astaga! Kamu tinggi banget sekarang!” Ucap Lavani sambil berjinjit berusaha menepuk puncak kepala Janggala seperti mereka ketika kecil.
“Tentu! Kamu kembali dari New York?”
“Ya, aku akan tinggal di Indonesia.”
Janggala mengerenyitkan dahinya, seingat Janggala setelah orangtua Lavani bercerai beberapa tahun lalu dia memutuskan ikut dengan ibunya tinggal di New York. Ayahnya belum menikah lagi, tapi semua orang tahu perceraian itu terjadi karena ayah Lavani memiliki banyak wanita simpanan.
“Kau akan berkuliah disini?”
Lavani mengangkat kedua bahunya, “Gak ada yang bisa nerusin perusahaan selain aku, sama seperti kamu ‘kan?”
Janggala hanya tersenyum tipis. Sejak kecil dia dan Lavani sudah menjadi bahan perbincangan oleh para orang dewasa, keduanya adalah anak tunggal keluarga dengan perusahaan raksasa. Semua asset dan perusahaan tentu saja akan jatuh ke tangan mereka.
Janggala kemudian mempersilahkan Lavani untuk duduk dan keduanya mengobrol sebentar, Lavani seperti dahulu masih seorang wanita dengan pribadi yang ceria. Meskipun perbedaan usia mereka satu tahun tapi pemikiran dan sikapnya jauh lebih dewasa.
“Loh, ada Lavani?” Nancy masuk ke dalam kantor Janggala sambil tersenyum lebar, dia berjalan menghampiri Lavani yang menyambutnya dengan senang. Keduanya saling peluk.
“Tante apa kabar?” Tanya Lavani sambil memeluk dan mencium pipi Nancy.
“Tentu baik! Tante baru saja sampai karena mau ajak Janggala makan malam bersama, ternyata kamu disini juga. Ayo kita makan malam bareng-bareng!” Ujarnya sambil mengelus pinggang Lavani yang kemudian menyetujui ajakan makan malam itu.
“Aku gak bisa, ada urusan.” Janggala berkata, membuat Nancy dan Lavani menoleh.
Nancy menatapnya tidak suka.
“Kok gitu sih Ga? Aku baru datang loh, ayo makan bareng-bareng!” Ajak Lavani, dia kemudian mendekat pada Janggala sambil menggamit tangan pria itu manja.
“Ya, kita makan malam bareng-bareng sambil obrolin perjodohan kalian. Ibu gak sabar jadikan Lavani menantu ibu!”
Janggala menoleh dengan cepat, matanya terbelalak mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak mengerti apa maksud ucapan ibunya.
“Aduh tante jangan ngomongin itu! Aku sama Gala baru ketemu setelah sekian lama.”
Nancy tersenyum lebar sambil melirik Janggala, “Gak apa-apa, toh Gala juga sedang sendirian. Tante akan sangat senang kalau kalian bisa bareng-bareng dalam pernikahan.”
Janggala terdiam, tenggorokannya seperti tercekat. Dia tidak mampu mengatakan apapun, dia tidak memiliki kuasa apapun. Bagaimanapun usianya masih begitu muda untuk membantah. Tangannya mengepal dengan kencang.
Dia hanya ingin bertemu dengan Dirra.
Dirra masih dalam siklusnya, dia mual dan muntah secara rutin di pagi hari. Nafsu makannya melorot drastis, wajahnya pucat dan pipinya kini begitu tirus. Beberapa helai rambutnya mulai rontok karena stress.Ibunya menangis setiap malam melihat kondisi putrinya yang memprihatinkan, kehamilan ini membuat Dirra begitu tersiksa.“Kita harus cepat-cepat beresin semuanya yah, Dirra harus pindah secepatnya.” Kata Kaili, ibu Dirra. Dia dan suaminya tengah berada di ruang tamu, berdiskusi pelan-pelan karena takut tetangga mendengar.Dirra sedang di dalam kamar, tertidur.Persiapan pindah Dirra sudah sembilan puluh persen selesai, kini yang harus diselesaikan hanyalah pembayaran rumah yang akan mereka kontrak.“Ambil uang pensiun ayah aja, kita bayar dulu dua tahun. Gak apa-apa, ibu yakin nanti kita bisa berpikir untuk selanjutnya bagaimana.” Ucap Kaili, airmata sudah jatuh satu persatu dari matanya.Hatinya terluka melihat bua
Suara barang yang dibanting terdengar dari dalam ruang kantor yang berada tepat di samping kamar tidur milik Nancy, sepulang dari rumah Dirra dadahnya begitu mendidih karena jawaban yang dilontarkan oleh kedua orangtua perempuan itu.“Congkak sekali mereka! Hutang sampai batas leher tapi seolah-olah mereka bisa melakukan yang terbaik! Sialan!” Dia memekik sambil melempar cangkir yang berada di atas meja sampai pecah berkeping-keping.Eveline terdiam mematung mendengar majikannya mengoceh dengan penuh amarah, napas wanita paruh baya itu memburu. Bisa dipastikan apa yang dikatakan oleh orangtua Dirra padanya membuat harga dirinya tercoreng.“Sudah dihubungi?” Tanya Nancy dengan napas ngos-ngosan pada Eveline.“Sudah, saya sudah hubungi mereka dan menawarkan sejumlah uang. Mutasi ibu Kaili Gauri sedang di proses oleh perusahaan.“Saya gak mau tahu, secepatnya mereka harus pergi dari kota ini. Saya gak mau melihat ibunya ataupun wanita itu berkeliaran
Janggala masuk ke dalam kantor, seperti hari-hari biasa tatapan sinis orang-orang disana tidak pernah berubah. Semenjak dia diangkat jadi penerus sementara semua orang menyepelekannya.Tentu saja, siapa yang mau tunduk pada anak berusia dua puluh tahun yang bahkan masuk kuliah saja belum.Berbeda dengan Dirra yang lebih dulu bekerja setelah lulus sekolah, Janggala menghabiskan waktunya untuk berleha-leha dibawah ketiak orangtuanya. Setelah ayahnya meninggal dan dia diberikan tugas yang berat, dia baru merasa sangat kewalahan. Itulah mengapa dia absen memberi kabar pada Dirra setelah apa yang mereka lakukan di hotel.Dia masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh sekretarisnya.“Hari ini ada jadwal rapat sampai jam dua sore aja pak.” Ujar Siska, mengecek jadwal Janggala di tablet milik kantor yang selalu dia bawa kemanapun.Janggala melepaskan jas dan menggantungnya, ia duduk di kursinya menatap area kerjanya.“Sis, kamu bisa pesankan saya taksi
Nancy buru-buru masuk ke dalam lobi Rumah Sakit, napasnya terengah-engah, dia sudah tidak peduli beberapa pasang mata yang menatapnya aneh karena berlari seperti orang yang sudah kehilangan kewarasan.Dia baru saja menerima telepon dari kepolisian mengenai Janggala.“Apa betul ini dengan keluarga dari tuan Janggala Tantra? Putra ibu berada di Rumah Sakit SANJAYA karena mengalami kecelakaan.”Polisi mengabarkan langsung padanya sehingga Nancy begitu histeris ketika mendengarnya. Eveline dan supir segera mengantarnya namun pikirannya begitu kalut ketika sampai di Rumah Sakit.Tangannya gemetar tidak berhenti.Dia takut kehilangan Janggala.“Keluarga tuan Janggala Tantra?” Salah satu perawat memanggil nama itu ketika Nancy baru saja masuk ke dalam IGD dibantu oleh Eveline.“Kami keluarganya.” Eveline segera menjawab dan mendekat kepada perawat sedangkan Nancy dibantu oleh supir pribadinya untu
Nancy datang dengan tergesa ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar kalau operasi yang dijalankan oleh Janggala sudah selesai. Dia sempat ke kantor polisi untuk menyelesaikan beberapa hal, seperti laporan dan lain-lain.Lavani dan kedua orangtuanya berpamitan pulang dan berjanji akan pulang setelah operasi Janggala selesai.Nancy sedikit berlari menuju ruang rawat inap Janggala, namun ketika dia sampai Janggala tidak ada disana.“Bu Nancy..” Direktur Rumah Sakit memanggilnya, pria paruh baya itu mendekat pada Nancy di dampingi oleh empat dokter.“Bagaimana dengan Gala?” Tanya Nancy tergesa, suaranya bergetar.“Biar dokter Salim yang menjelaskan.” Ucap sang Direktur mempersilahkan dokter yang bertugas mengoperasi Janggala.Dokter itu menunduk, memberi hormat pada Nancy sebelum mulai bicara.“Saya yang bertugas mengoperasi tuan muda Janggala, nama saya dokter Salim.” Dia memperkenalkan diri
Dirra membuka matanya ketika suara ibunya terdengar membangunkannya. Selama perjalanan kepalanya terasa sakit dan mual yang tidak tertahankan sehingga Dirra memutuskan untuk tidur saja.Perjalanan ini memakan waktu sampai lima jam.“Ayo keluar nak..” Ibunya membuka pintu dan mengajak Dirra keluar dari mobil.Dirra turun dari mobil dan mendapati angin yang begitu dingin menusuk menyambutnya, ibunya yang tahu akan hal itu segera memakaikan Dirra jaket tebal.“Disini dingin, jadi jangan cuma pake kaos aja..”Dirra memakai jaketnya, membuat dirinya tetap hangat di dalam.“Ini…di pegunungan bu?” Dirra bertanya ketika dia melihat sekeliling, meskipun gelap dengan samar-samar dia bisa melihat banyak pohon yang melebihi atap rumah.“Iya, ini di kaki gunung. Kalau kamu ke bawah sedikit sudah banyak rumah warga, ibu dan ayah ngecek rumah-rumah disini tapi hanya ini saja yang kosong.” Ujar i
Dirra sudah mulai beradaptasi tinggal di lingkungan baru. Orang-orang di dekat rumahnya begitu baik dan perhatian, semua warga sudah tahu kalau Dirra tengah hamil. Ibunya berkata kalau Dirra baru menikah secara agama waktu ditinggalkan suaminya begitu saja.Beberapa orang ada saja yang nyinyir mendengar hal itu, tapi sebagian menerima Dirra dengan baik.Ibunya dipindahtugaskan ke kantor desa yang kecil, sedangkan sebagian uang ibunya dijadikan ayahnya sebagai modal bertani. Di desa ini sebagian besar warganya menanam banyak sekali sayur, mereka menjual hasil tani kepada tengkulak dari desa sebelah.Luas tanah rumah yang di tempati Dirra ternyata sangat lebar sampai ke belakang sehingga ayahnya bisa memulai menanam beberapa sayur.Memasuki usia kehamilan lima bulan, mual muntah Dirra sudah menghilang, nafsu makannya sudah kembali dan wajahnya terlihat jauh lebih segar. Di desa ini juga ada bidan yang bertugas sehingga Dirra bisa rutin memeriksakan dirinya.
Kehamilan Dirra berjalan dengan baik, setiap bulannya dia rutin pergi ke Bidan dan mendapatkan beberapa vitamin serta pengecekan rutin. Untuk USG dia harus pergi ke kota yang jaraknya hampir dua jam dari perkampungan yang dia tinggali.Cukup menguras waktu dan tenaga, tapi untungnya ada Elang yang selalu siap mengantarnya.“Itu yang diluar suaminya bu?” Tanya dokter ketika hendak memeriksa Dirra yang masuk ke dalam ruangan, sebelum ruangan ditutup Dirra sempat menitip botol minum pada Elang dan dokter melihatnya.“Oh bukan dok.. Teman.” Jawaban Dirra membuat dokter dan asistennya mengangguk, meskipun tidak mengatakan apapun namun hawa di ruangan menjadi agak sedikit canggung.Dirra tahu beberapa orang di kampung juga bertanya-tanya mengenai keakuratan cerita ibunya meskipun mereka tetap menghargai Dirra dan keluarga dengan tidak bertanya secara langsung.Dirra juga beberapa kali menolak tawaran Elang untuk mengantarnya pergi ke dokter, namun orangtua Elang justru paling semangat memin