Kehamilan Dirra berjalan dengan baik, setiap bulannya dia rutin pergi ke Bidan dan mendapatkan beberapa vitamin serta pengecekan rutin. Untuk USG dia harus pergi ke kota yang jaraknya hampir dua jam dari perkampungan yang dia tinggali.
Cukup menguras waktu dan tenaga, tapi untungnya ada Elang yang selalu siap mengantarnya.
“Itu yang diluar suaminya bu?” Tanya dokter ketika hendak memeriksa Dirra yang masuk ke dalam ruangan, sebelum ruangan ditutup Dirra sempat menitip botol minum pada Elang dan dokter melihatnya.
“Oh bukan dok.. Teman.” Jawaban Dirra membuat dokter dan asistennya mengangguk, meskipun tidak mengatakan apapun namun hawa di ruangan menjadi agak sedikit canggung.
Dirra tahu beberapa orang di kampung juga bertanya-tanya mengenai keakuratan cerita ibunya meskipun mereka tetap menghargai Dirra dan keluarga dengan tidak bertanya secara langsung.
Dirra juga beberapa kali menolak tawaran Elang untuk mengantarnya pergi ke dokter, namun orangtua Elang justru paling semangat meminta Elang untuk melakukan hal itu.
“Gak apa-apa, Elang juga lagi gak ada kesibukan! Masih tiga bulan sebelum Elang masuk kuliah!” Begitu kata ibunya setelah Dirra mengatakan rasa sungkannya karena selalu diantar jemput Elang.
Keluarganya dan keluarga Elang begitu dekat sampai beberapa wargan berpikir kemungkinan keduanya dijodohkan sudah pasti.
Namun Dirra tidak terlalu menanggapi hal itu.
Dirra berfokus pada kehamilannya yang semakin lama semakin besar, bayi di dalam perutnya begitu aktif sampai-sampai kadang ketika dia sedang membantu ayahnya bertani Dirra dikejutkan oleh tendangan yang mengejutkan.
Nafsu makannya normal, tidak begitu rakus, dia juga tidak mengalami ngidam.
“Tuh ‘kan kakinya bengkak..” Ibunya masuk ke dalam kamar membawa baskom berisi air hangat ketika Dirra sedang merebahkan tubuhnya di malam hari.
“Ih ibu, gak usah..” Dirra berkata sambil berusaha bangun dari tidurnya.
Ibunya tersenyum sambil menyimpan baskom berisi air hangat itu di bawah, dia duduk di ujung kaki Dirra, “Gak usah bangun Dir, biar ibu pijit ya pakai air hangat. Semoga gak begitu bengkak lagi besok.” Ujar ibunya, mulai mengambil handuk yang kemudian di peras dan di tempel pada kaki Dirra.
“Maaf ya bu..” Dirra berkata lagi, ibunya tersenyum lebar sambil memijat kaki putrinya.
“Kenapa minta maaf? Emang salah kalau ibu pijitin kaki kamu?”
“Harusnya ‘kan Dirra yang pijit kaki ibu..” Ujarnya pelan.
Ibunya terkekeh, memijat agak sedikit lebih lembut karena khawatir putrinya akan merasa kesakitan. Dirra diminta banyak berjalan oleh bu Bidan, namun ketika dia banyak berjalan kakinya malah bengkak, ketika dia mengurangi jalanpun kakinya masih bengkak.
Ibu dan bu Bidan khawatir hal itu karena masalah kesehatan Dirra, jadi sebelum anaknya ke Rumah Sakit minggu depan, ibunya ingin membuat kaki Dirra sedikit lebih baik.
“Ya nanti saja kalau Dirra sudah lahiran, pijitin ibu ya!”
Ibu dan anak itu tertawa bersamaan, “Ibu bingung harus digimanain lagi ngakalin bengkak kamu..”
“Kata bu Bidan minggu depan harus check up biar tahu masalahnya dimana..” Kata Dirra, pandangannya beralih pada ibunya. “Ibu masih ada uang?”
Pertanyaan itu membuat ibunya sedikit terkejut, dia mengangkat wajahnya dan mendapati putri semata wayangnya tengah menatapnya. Ekspresi wajah itu menunjukkan rasa khawatir, namun Kaili tersenyum, melanjutkan pijatannya.
“Masih kok, tenang aja. Kamu gak usah mikirin apa-apa dulu, fokus saja sama kehamilan kamu Dir..”
Kaili tidak pernah bilang pada Dirra kalau setelah sebulan mereka berada disini, sekretaris kepercayaan keluarga Tantra datang ke tempat kerjanya. Eveline si sekretaris mengultimatum Kaili kalau dia sudah memakan ‘uang’ yang diberikan oleh Nancy maka dari itu dia harus menandatangani persetujuan untuk tidak meminta tanggung jawab pada Elang.
Dia sudah bosan di desak mengenai hal ini, maka dari itu akhirnya Kaili menandatangani pernyataan tersebut. Dia tidak peduli lagi yang terpenting adalah keluarga kecilnya dijauhkan dari keluarga Tantra.
Namun, berkas tersebut mencakup poin-poin lain yang dimana tertulis kalau Kaili bersedia menggunakan uang Nancy untuk pelunasan hutang Bank.
“Ya, anggap saja itu uang untuk menyuap Dirra agar bisa pergi dari hadapan Gala.” Ujar Nancy angkuh dari sambung telepon ketika Kaili menyadari ada yang salah dengan berkas pernyataan tersebut.
“Tidak perlu berlagak menolak uang, toh juga Dirra berpacaran dengan Janggala mengharapkan semua harta itu. Ambil saja meskipun hanya saya kasih bagian kecilnya saja.”
Harga diri Kaili seperti diinjak-injak saat itu, makanya dia tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya pada Dirra. Dia hanya bercerita pada suaminya sambil menangis.
Bulan demi bulan berlalu dengan cepat, Dirra sudah sangat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Sesekali dia memang memikirkan Janggala dan terkadang masih menatap foto mereka yang tertinggal di ponselnya.
Dan tanpa Dirra sadari kehamilannya sudah memasuki bulan terakhir, hari-hari yang dia lewati selama kehamilan akan segera berakhir. Dia bersemangat sekaligus khawatir, ada banyak hal yang terlintas di benaknya namun dia percaya semuanya akan baik-baik saja.
Kemudian di suatu malam Dirra merintih kesakitan, ibu dan ayahnya segera mencari bantuan. Keluarga Elang dengan siap membantu, mereka menggunakan mobil menuju Rumah Sakit. Selama di perjalanan Dirra memekik dan meraung karena kesakitan.
Setelah sampai, bayinya tidak langsung lahir. Mereka menunggu bukaan lengkap sampai menjelang pagi, ketika matahari naik disaat itulah bayi perempuan itu lahir. Menangis dengan kencang menggetarkan hati semua orang yang mendengarnya.
Bayi dengan kulit seputih susu, bibir merah merekah, hidung yang tinggi dan rambut hitam gelap itu diberi nama DALENNA GAVAH.
Kaki mungil dengan sepatu berenda itu berlari dengan kecepatan tinggi, meskipun larinya kecil-kecil namun dengan kecepatan seperti seekor kancil orang dewasa sekalipun akan kesulitan untuk mengejarnya.Anak perempuan itu memakai baju overall panjang berwarna kuning dengan dalaman berwarna putih, rambut hitam panjangnya dikuncir dua dengan pita berwarna oranye. Warna-warna tersebut begitu kontras dengan kulitnya sehingga dia terlihat begitu bercahaya ketika berlarian.“Astaga DALENNA GAVAH!” Dirra memekik sambil mengejar putrinya yang tengah melarikan diri dari jadwal makan siangnya, anak itu terkekeh geli sambil menjauh menuju teras rumah. Napasnya sudah satu-satu mengejar Dalenna, anak itu sedang aktif-aktifnya.“Hayo! Ketangkep! Lari dari makan siang ya?” Ujar Elang yang dengan cekatan menghentikan acara kejar-kejaran ibu anak itu, dia menggendong Dalenna yang kemudian memekik geli karena Elang menciumi pipinya.“Aduh! Untung ada kamu Lang!” Dirra berhenti sambil berjongkok, berusa
“Kakek! Kakek!” Dalenna memekik riang, tangannya penuh dengan bunga warna-warni. Hari ini dia memakai baju terusan selutut berwarna ungu cerah, rambutnya dibiarkan tergerai dengan bondu sebagai aksesorisnya.“Pelan-pelan Lenna!” Kaili sedikit berteriak sambil menggeleng melihat kelakuan cucunya yang memang begitu berisik dan aktif.“Haduh, maksa pakai baju itu katanya biar kakek lihat padahal mau ke makam..” Dirra mengeluh di sebelah Kaili, mereka tengah berjalan masuk ke dalam pemakaman umum.Satu bulan sudah berlalu sejak hari peringatan ayahnya, Dirra dan Kaili hampir lupa karena sibuk mengurus acara ulang tahun Dalenna. Mereka baru bisa meluangkan waktu berziarah hari ini.“Itu baju yang dibelikan Elang ya?” Tanya Kaili.“Iya, sudah Dirra bilang untuk gak belikan baju Lenna tapi setiap kali ke kota pasti bawa baju baru.”Kaili tertawa, dia tahu benar Elang tengah berusaha begitu keras mengambil hati Dirra meskipun sejauh ini Kaili lihat Dirra tidak berpikir untuk membangun hubunga
Janggala melirik ke arah jam dinding untuk ke sekian kalinya, kakinya tidak mau diam berjalan kesana kemari. Dia sudah begitu gelisah, jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Dia menengok lagi ke belakang, mengecek kalau-kalau ibunya turun dari tangga meskipun kemungkinannya sedikit tapi tidak ada yang tidak mungkin.Dia mengecek ponselnya lagi, mencari sebuah nama dan memencet tombol panggil. Hanya ada suara dengung panjang tanda telepon itu tersambung namun tidak ada jawaban.“Van, jawab dong..” Gumamnya gelisah, dia sudah berusaha menelepon supir Lavani namun juga tidak ada jawaban.Dia sekali lagi membuka gorden, mengecek apakah mobil Lavani sudah masuk halaman atau belum.“Ga?” Suara ibunya menyentak Janggala, jantungnya hampir copot karena mendengar suara itu. Dia menoleh dan mendapati ibunya turun dari tangga, masih mengenakkan piyama tidur dari sutranya. “Kamu lagi ngapain?”“Ah enggak ma, mama kok b
Janggala sudah berada di kantor tepat waktu, hari ini dia ada rapat dengan pemegang saham dan direksi membahas kantor cabang baru yang akan didirikan dalam waktu dekat ini.Pembahasan kali ini mengenai lokasi dan beberapa hal lain yang mungkin akan menyita waktu yang lumayan.Dia mengecek ponselnya, sudah pukul dua siang. Tidak ada kabar dari Lavani, tadi pagi dia pergi lebih dulu sebelum wanita itu bangun. Dia mengirimkan pesan berpamitan namun tidak ada balasan.“Ka, bisa cek sekretaris Lavani gak? Dia sudah datang ke kantor belum?” Tanya Janggala ketika Siska baru saja masuk ke dalam ruangannya dengan membawa banyak berkas, wanita bermata sipit dengan rambut hitam tergulung rapi itu menatapnya.“Loh, bu Vani sama Sivan sudah datang dari sejam lalu pak. Tadi ke ruangan rapat duluan karena ada beberapa hal yang harus dipersiapkan.”Janggala mengerenyitkan dahinya, Lavani tidak membalas pesannya tapi sudah datang ke kantor s
Lavani tengah berada di dalam mobil, memijit kepalanya. Rasa pusing dan sakit begitu menyiksanya, tadi dia terbangun dengan tergesa karena panggilan telepon dari Sivan. Dia baru teringat kalau hari ini akan ada rapat penting.Dengan terburu-buru dia bangun dan pergi ke salon untuk mempersiapkan dirinya.Beruntung hari ini rapat selesai dengan cepat, dengan terburu-buru dia langsung meninggalkan kantor.“Nyonya, tuan Janggala menelepon katanya hari ini makan malam bersama akan ditunda sampai minggu depan.” Ujar si supir ketika mereka tengah berada di jalan.Lavani melirik ke arah spion dan mengangguk.Tidak peduli.Masa bodoh dengan makan malam bersama atau apapun itu, tidak penting. Dia juga tidak iingin berada di rumah kalau saja kepala sialannya tidak merasakan nyeri. Dia lebih baik pergi ke klub malam dan bersenang-senang disana ketimbang harus terkukung di dalam rumah.Mobil memasuki garasi dan Lavani turun dari dalam mobil. Dia berjalan memutar karena pintu yang menuju ruang bela
Lavani mengenal Janggala sejak mereka kecil.Para konglomerat biasanya memang hanya bergaul dengan konglomerat lainnya. Begitu juga dengan anak-anak mereka, sejak kecil satu sama lain sudah diperkenalkan bahkan beberapa sudah ditentukan jodohnya oleh para orangtua mereka.Diantara mereka menikah karena cinta, namun kebanyakan pernikahan itu berjalan karena keperluan bisnis.Misalnya anak dari perusahaan A dan B menikah, otomatis perusahaan mereka akan bergabung karena sebuah pernikahan, hal itu bisa memperkuat bisnis mereka dan mencakup lebih banyak area.Ayahnya dulu juga dijodohkan dengan salah satu putri konglomerat, namun dia jatuh cinta pada orang asing yang bekerja di sebuah perusahaan sehingga menikahinya. Itulah mengapa Lavani lahir, namun kemudian pernikahan karena cinta itu hancur begitu saja.“Kamu mau ikut mama atau ayah?” Adalah pertanyaan yang tidak akan pernah Lavani lupa sampai kapanpun, dia memilih tinggal bers
“Wanita itu meninggalkannya..” Ucap seorang pria pada pria lain yang tengah berdiri di depan Sivan kecil, saat itu usianya masih tiga tahun.Pria yang berada di depannya bertubuh tinggi dan juga tegap, matanya serta rahangnya begitu tajam. Hidungnya lurus dan tinggi, bibirnya tebal. Matanya seperti menilai Sivan dari atas sampai bawah.“Nama kamu Sivan?” Tanya pria itu, suaranya begitu berat. Kumis yang berada di atas bibirnya bergerak naik turun. Sivan mengangguk pelan.“Wanita itu menamainya Sivan Hanggara.”Pria itu mengangguk, meminta Sivan masuk ke dalam mobil. Sivan kecil yang tidak mengerti ikut masuk ke dalam mobil, dia lapar dan juga lelah. Sudah tiga hari dia di dalam rumah yang terkunci, dia buang air besar dan kecil di tempatnya duduk, menangis dan meraung memanggil ibunya yang tak kunjung datang.Dalam diam pria itu membasuh tubuhnya ketika dia baru datang, meminta orang-orang di belakangnya untuk me
Janggala membaca semua berkas yang Siska berikan padanya, dia membolak-balik semua perhalaman, membacanya dengan teliti. Berkas itu berisi info mengenai desa Permadani yang akan menjadi lokasi kantor cabang.“Jadi lahan itu sedang di tempati?” Tanya Janggala kemudian, menyimpan berkas-berkas itu di mejanya dan mengalihkan pandangannya pada Siska yang berdiri di depan meja.“Betul pak, rumah itu tidak terdaftar dalam properti kepemilikan keluarga Tantra. Jadi kemungkinan rumah itu didirikan oleh warga yang tengah menempati lahannya.”Janggala mengangguk-angguk, masih membuka halaman demi halaman berkas yang sudah selesai dia baca.“Yang menempati sebuah keluarga?”“Ya, seorang ibu dengan anak dan cucunya.” Jawab Siska.“Gak ada yang bisa bikin mereka pergi dari lahan itu? Siapa saja yang sudah datang?” Janggala masuk ke dalam inti permasalahannya, dia menyandarkan punggungnya ke kurs