Janggala membaca semua berkas yang Siska berikan padanya, dia membolak-balik semua perhalaman, membacanya dengan teliti. Berkas itu berisi info mengenai desa Permadani yang akan menjadi lokasi kantor cabang.
“Jadi lahan itu sedang di tempati?” Tanya Janggala kemudian, menyimpan berkas-berkas itu di mejanya dan mengalihkan pandangannya pada Siska yang berdiri di depan meja.
“Betul pak, rumah itu tidak terdaftar dalam properti kepemilikan keluarga Tantra. Jadi kemungkinan rumah itu didirikan oleh warga yang tengah menempati lahannya.”
Janggala mengangguk-angguk, masih membuka halaman demi halaman berkas yang sudah selesai dia baca.
“Yang menempati sebuah keluarga?”
“Ya, seorang ibu dengan anak dan cucunya.” Jawab Siska.
“Gak ada yang bisa bikin mereka pergi dari lahan itu? Siapa saja yang sudah datang?” Janggala masuk ke dalam inti permasalahannya, dia menyandarkan punggungnya ke kurs
Janggala sampai di desa Permadani pukul tiga sore, meleset satu jam dari perkiraannya. Perjalanan menuju desa Permadani tidak penuh dengan kendaraan, desa ini termasuk desa yang didanai dengan layak oleh pemerintah karena fasilitas jalan yang baik.Desa ini juga memiliki satu akses tol yang cukup menjangkau banyak kabupaten lainnya.“Bapak mau saya tunggu disini, atau saya ikut masuk?” Tanya pak Eri, supir pribadi Janggala.“Gak perlu pak, tunggu disini aja. Saya sama pak Didik gak akan lama. Benar ‘kan pak?” Janggala menoleh pada pengacara PT. TANTRA WIBAWA berjas biru gelap yang berada di sebelahnya.Pria tua berusia hampir enam puluh tahun dengan kepala setengah botak dan kacamata kedodoran itu mengangguk lembut.Pak Didik sudah menjadi pengacara keluarga Tantra sejak Janggala masih kecil. Dia adalah kepala pengacara di TANTRA WIBAWA, namun semenjak berniat untuk pensiun Pak Didik hanya menerima beberapa pekerjaan s
Dirra menatap Janggala yang berada di depannya, dia tanpa sengaja bereaksi demikian sehingga membuat pak RT dan juga orang yang datang bersama Janggala terkejut melihatnya menangis.“Loh neng Dirra? Kok nangis?”Pikiran Dirra tiba-tiba kosong, airmatanya tidak berhenti mengalir ketika melihat sosok yang selama ini ditunggunya untuk datang mencari akhirnya berada di depannya. Berdiri dengan tatapan kebingungan.“Maaf, ada apa?” Pertanyaan itu membuat Dirra termenung.Dan kini Janggala sudah berada di dalam rumah, bersama dengan pak RT juga pria tua yang diperkenalkan sebagai pengacara perusahaan TANTRA WIBAWA.Kaili datang dan terkejut juga mendapati Janggala berada di rumahnya, duduk dengan tegap menghadap Dirra namun tidak ada sorot mata sendu maupun kerinduan di dalamnya.“Ini adalah penerus perusahaan PT. TANTRA WIBAWA, bapak Janggala Tantra.” Kata Pak Arafiq memperkenalkan Janggala pada Dirra dan Kaili
Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam ketika mobil Janggala masuk ke garasi rumah mewahnya. Rumah itu seperti biasa terlihat begitu sepi dan hanya ada satpam di pos mereka.Dia turun dari mobil, membawa beberapa berkas serta tas kerjanya.Janggala masuk ke dalam rumah dan kedua asisten rumah tangga menyambutnya, membawa seluruh pekerjaannya ke dalam ruang kerjanya. Janggala menyisir rumah dengan matanya, tidak mendapati sosok yang dia inginkan.“Lavani di rumah?” Tanyanya pada mbok Ringki, salah satu asisten rumah tangganya.“Ada pak, di dalam kamar. Hari ini pak Sivan juga pulang ke rumah.” Katanya sambil memberikan segelas air minum pada Janggala.“Kakak di rumah? Mama?”“Nyonya ada di dalam kamarnya.”Janggala meneguk segelas air itu kemudian beranjak naik ke atas, dia hendak menuju kamarnya sendiri namun dia menghentikan langkahnya. Dengan segera dia menghampiri ruang baca milik
Elang menggandeng tangan kecil milik Dalenna, bocah itu mengenakkan sweater merah muda dipadu dengan celana jeans dan sepatu kets. Dia terlihat sangat trendi dengan topi kream di kepala.Dalenna melangkah dengan riang, kakinya berjingkrak-jingkrak kesana kemari, dia bersenandung lagu anak-anak.Elang terkekeh mendengarnya.Beberapa hari lalu anak itu menangis dengan kencang di rumah ketika Elang sedang mengirimkan beberapa buah-buahan seperti biasa. Keluarganya selalu memberikan kelebihan hasil tani mereka pada Dirra.Ketika Elang bertanya mengapa dia menangis, Dirra mengatakan kalau Dalenna ingin pergi ke kemah yang diselenggarakan sekolah taman kanak-kanaknya namun Dirra tidak bisa ikut karena dia ada pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan.“Kalau begitu aku saja yang pergi, aku gak ada kerjaan sampai minggu.” Kata Elang kemudian anak itu terdiam dan berjingkrak kegirangan memeluknya.Elang tidak bisa menutupi ras
Nancy dengan gusar memanggil Eveline pagi-pagi sekali. Setelah kedatangan Janggala dua hari lalu ke ruang bacanya, dia tidak bisa memikirkan hal lain. Dia merasa tidak nyaman, fakta bahwa Janggala bertemu dengan Kaili mengusiknya.“Tuan muda bertemu juga dengan Nona Dirra..” Ucap Eveline setelah menjelaskan apa yang terjadi di desa pada Nancy yang kini duduk diatas sofa sambil memijat keningnya.“Bagaimana reaksi Gala bertemu dengan Dirra?”“Pak Didik bilang tidak ada reaksi, sebaliknya Nona Dirra yang lebih emosional. Pak Didik yang tidak tahu apa-apa juga menjelaskan pada Nona Dirra kalau Tuan Muda mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatan.” Eveline menyelesaikan penjelasannya.Nancy masih memijat keningnya, dia tidak menyangka kalau apa yang sudah dia rencanakan sebaik mungkin beberapa tahun lalu malah menjadi boomerang baginya. Dia tidak menyangka Janggala akan datang ke desa itu untuk mengambil alih tanahnya.“Apa wanita itu sudah menikah?”
Lavani duduk di dalam mobil dengan wajah tertekuk, dia lebih dulu masuk ke dalam mobil meninggalkan Janggala yang menariknya pergi dari hadapan ibu mertuanya. Dia kesal, rasanya begitu menyakitkan mendengar ibu mertuanya kerap kali memaksanya untuk memiliki seorang anak.Dia tidak ingin memiliki seorang anak dari Janggala, dia bahkan tidak ingin disentuh oleh pria itu.Janggala masuk ke dalam mobil ketika Lavani masih menatap keluar jendela, suasananya jadi begitu canggung karena Janggala tahu Lavani marah dan kecewa dengan apa yang baru saja ibunya lakukan.“Aku harus gimana lagi sih Ga supaya mama tuh ngerti kalau aku mau menunda?” Lavani membuka pembicaraan ketika mobil baru saja keluar dari gerbang rumah mewah itu, dia tidak menatap Janggala.Pandangannya dia lempar keluar, enggan untuk melihat Janggala. Pikirannya kacau, hatinya penuh rasa amarah karena apa yang dilakukan oleh mertuanya.“Kamu bilang ke aku, kamu bakalan urus
Nancy melempar tatapannya ke jalanan dari jendela mobilnya. Dia tengah berada di jalan menuju perkampungan dimana Dirra tinggal, dia tidak berpikir akan pergi bertemu dengan orang yang dulu dia usir.Setelah pertengkarannya dengan sang anak pagi ini, Nancy enggan berada di rumah.Membawa masuk Lavani ke dalam rumah nyatanya sebuah keputusan buruk, sekarang karena pertengkaran itu dia jadi tidak betah di rumah. Melihatnya saja sudah membuat Nancy muak.Dia sudah menahannya selama beberapa tahun dengan alasan wanita itu yang begitu banyak, dan sekarang dia sudah tidak bisa lagi mentolerir hal itu.“Kamu sudah bawa uang cashnya, Eve?” Dia bertanya pada Eveline, berusaha menghilangkan pikirannya yang berkecamuk mengenai apa yang terjadi pagi ini.Eveline menoleh, “Sudah nyonya, saya bawa sesuai dengan nominal yang pernah ibu Kaili berikan pada orang di perusahaan.”Nancy menghela napasnya.“Kamu sudah menemukan orang itu? Sudah bertanya alasan apa dia menjual rumah itu dan menipu Kaili Ga
Nancy lagi-lagi melirik ke arah Dalenna yang baru saja selesai dimandikan oleh Dirra.Bocah itu mengenakkan piyama bunga-bunga berwarna putih dengan renda di bagian leher dan bagian tangan yang mengerucut. Rambut hitam panjang itu sudah disisir dengan rapi, harum minyak telon menguar ke seluruh ruangan.Dalenna, nama bocah itu.Dalenna Gavah menjelma menjadi sosok yang begitu Nancy kenali, wajahnya duplikat Janggala ketika pria itu masih sangat kecil. Hidung dan matanya benar-benar mirip putranya, rambut hitam panjang yang tebal, dan kulitnya yang putih.“Silahkan diminum dulu, ini hanya teh murah biasa. Yang penting badan hangat..” Kaili meletakkan dua cangkir berisi teh panas di depan kedua tamunya.Dia begitu terkejut ketika mendapati Dirra yang tengah menggendong Dalenna hanya diam tidak bergerak saat dia memanggil, begitu dia mendekat dan menjauh dari payung yang menutupi pandangan, sosok itu muncul.Nancy Iriana.“Kami kesini untuk membicarakan permasalahan yang timbul akibat sa
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.“Memang gak takut?”Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar
Janggala menjatuhkan tubuhnya ke kursi penumpang di dalam mobil, dia menghela napas panjang dan berat. Menutup kedua matanya, dia memijat keningnya.Pak Eri, supir pribadinya mengangkat kepala, mengecek Janggala dari kaca spion yang menggantung di dalam mobil.“Sudah selesai, tuan?” Tanyanya dengan suara yang berat namun lembut, pak Eri menutup buku yang tengah dia baca kemudian membetulkan letak kacamatanya.Mengamati sang majikan.“Pak, ibu sama anak itu dianter siapa ke taman kanak-kanak?”Pak Eri kini menoleh pada Janggala, menatapnya dengan penuh telisik. Pertanyaan itu baginya begitu menarik, keluar dari mulut Janggala.“Pak Irsyad yang mengantar, ada hal lucu selama pak Irsyad mengantar. Katanya, nona kecil sempat bertanya kenapa pak Irsyad tidak ikut masuk kedalam dan juga ketika kembali nona kecil membawa sebotol air minum untuknya, katanya takut haus.”Pak Eri baru saja mendengar cerita it
Janggala masih berada di kantor mengurus banyak sekali berkas perjanjian mengenai proyek kantor cabang. Kepalanya sudah hampir mau meledak karena hal itu, namun dia belum bisa berhenti.Perjanjian dengan JANJI HANGGARA terus dia revisi, tidak ingin meninggalkan sedikit celah yang bisa merugikan TANTRA WIBAWA.“Aku terlalu banyak mengkonsumsi omongan mama..” Desahnya pelan sambil memijat kening.Tidak bisa dipungkiri, semakin Janggala menolak semakin pula rasa penasaran menggerogotinya. Dia ingin segera tahu namun juga masih mencoba meyakini bahwa apa yang ibunya pikirkan mengenai Lavani adalah sebuah kesalahan.Lavani hanyalah seorang wanita yang masih ingin mengejar karir, melihat bagaimana perusahaan keluarganya yang begitu besar kini mengalami kemolorotan Janggala yakin wanita itu memiliki kekhawatirannya sendiri.Sedangkan ibunya masih saja meributkan perihal cucu, padahal Janggala masih terhitung cukup muda.Ketika pikiranny
Lavani masuk ke dalam mobil, memakai seat beltnya ketika Sivan mulai menyalakan mobilnya.“Sialan, kenapa pas banget dia sampai sih?” Gerutu Lavani sambil membuang muka ke arah lain seolah dia tidak melihat kedatangan Janggala dengan supir pribadinya.“Untung aku lebih dulu lihat dia, bisa gawat kalau tiba-tiba tadi kamu cium aku.” Sivan menjalankan mobilnya, memainkan stir untuk segera pergi dari basement parkiran.“Aku sudah bilang ketemunya di kantor cabang aja, terlalu riskan kalau di kantor utama begini. Bisa dibilang ini tuh daerah kekuasaannya dia!” Lavani masih mengoceh sambil melipat kedua tangannya, bibirnya maju ke depan sehingga membuat Sivan gemas.Pria itu terkekeh, “Kamu tuh marah-marah aja, kayaknya beberapa minggu terakhir mood kamu jelek banget.”Lavani menghela napas, kalau ditodong dengan fakta begitu dia jadi tidak bisa menjawab apa-apa. Dia sendiri tidak mengerti, semenjak kedata