Dirra tengah menangis di dapur ketika ibunya baru saja keluar dari dalam kamar Dalenna.Setelah kepulangan Nancy dan juga sekretarisnya, Dalenna menangis dan menuntut ingin bertemu sang ayah. Selama ini, Dalenna tidak pernah menanyakan ayahnya secara langsung.Biasanya dia hanya bertanya mengenai ayah karena teman-temannya mengolok-ngoloknya, atau ketika ada sebuah acara dan semuanya berkaitan dengan ayah.Semua itu membuat Dirra serta Kaili kewalahan karena mendadak Dalenna menuntut keingintahuannya mengenai siapa sang ayah.“Dir, sudah jangan nangis terus.” Ucap Kaili, menyentuh bahu putrinya yang masih terisak. Buru-buru Dirra menghapus airmata di pipinya, berusaha untuk tidak terlihat berantakan di depan ibunya.“Kamu gak perlu dengerin apa kata ibunya Janggala.”Dirra mengangguk pelan, “Dirra cuma kesal aja bu, bisa-bisanya lagi-lagi orang itu berusaha untuk ambil celah kelemahan kita dan menuntut banyak hal. Padahal dulu dia sendiri yang kepengen Dirra gak berhubungan lagi sama
Sudah seminggu sejak terakhir Nancy bertemu dengan si kecil Dalenna.Wajah bocah kecil itu selalu teringat di dalam benaknya, setiap kali dia meminum teh seorang diri di taman atau bahkan ketika dia sedang asyik membaca di ruangannya sendiri.Suara Dalenna terngiang di telinganya dan tiba-tiba saja ada rasa rindu menyelesak masuk di dalam hatinya. Pertemuannya dengan bocah itu hanyalah hitungan jam, namun semua yang menyangkut bocah itu tidak luput dari ingatannya barang sedikitpun.Lamunannya terinterupsi suara pintu yang di dorong, dia menoleh dan mendapati Janggala masuk dengan wajah yang lesu. Melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan waktu tengah malam, Nancy yakin anak semata wayangnya lembur lagi untuk kesekian kalinya.“Lembur?” Tanya Nancy lembut, menutup buku setelah memberikan pembatas halaman. Dia menatap Janggala yang semenjak pertengkaran terakhir menghindarinya.“Mama belum tidur?” Alih-alih menjawab,
Sivan tengah berada di kantor ketika waktu sudah menunjukkan lebih dari jam sembilan malam. Dia masih sibuk mempersiapkan beberapa berkas untuk pengajuan kantor cabang baru yang menangani pangan di desa Permadani.“Pak, masih mau di kantor?” Astari sekretarisnya muncul dari balik pintu, gadis berusia awal dua puluhan tahun yang masih cantik dan segar itu bertanya dengan senyum tipis. Wajahnya sudah kembali memakai riasan, lipstiknya sudah begitu menempel di bibirnya yang indah.“Ya, masih ada keperluan. Kamu mau pulang sekarang?”“Iya pak, boleh ya? Pacar saya sudah di depan.” Ucapnya sambil cengengesan.Sivan mengangguk dan memberikan gestur agar gadis itu segera pergi. Astari hanya terkekeh geli sambil menutup pintu kantor atasannya.Gadis itu bergitu terampil dalam pekerjaannya, dia berkuliah sambil bekerja namun tidak membuat semua pekerjaan yang dia kerjakan menjadi berantakan. Sivan menyukai c
“Bangun!” Suara itu memecah keheningan di dalam kamar, tangan tua itu meraih piyama yang tengah dikenakan oleh Lavani, dengan mudahnya tubuh Lavani terseret begitu saja jatuh ke lantai kamar.Dia memekik karena terkejut.Samar-samar dia bisa merasakan nyeri di bahunya yang menghantam lantai, ketika membuka mata wajah Nancy sudah ada tepat di depannya.“Bangun kamu!” Ucapnya ketus pada Lavani yang merintih memegang bahunya.“Mama kenapa kasar banget ke saya?”Pertanyaan itu jelas memicu kemarahan lain pada Nancy, dia melotot menatap Lavani yang terlihat tidak merasa bersalah tentang apa yang terjadi semalam.Wanita itu pulang dalam keadaan mabuk, setengah mabuk tepatnya. Dia datang dan terjatuh begitu saja di lantai, ketika Janggala menggendongnya dia muntah begitu saja di baju Janggala.Hal itu bukan pertama kalinya terjadi, itulah mengapa Nancy sudah berada di batas sabarnya.“Apa yang
“Pak, rapatnya jam sebelas ya di gedung enam.” Astari masuk ke dalam ruangan Sivan dengan membawa tablet, hari ini gadis muda itu mengenakkan blazer berwarna pastel dengan rok pendek diatas lutut. Rambutnya dia biarkan tergerai panjang.Sivan menatap gadis itu dari balik kacamatanya, dia tengah membaca beberapa email ketika Astari masuk.“Hari ini rapat dengan siapa saja?”“Ada dua dengan petinggi KALFOOD, SSKFOOD. Malamnya bapak ada jadwal makan malam dengan Pak Janggala dan Pak Resno.” Jawab Astari yang kemudian menutup tabletnya dan berdiri di depan meja kerja Sivan.“Pak Resno?”“Ya, pak Resno kontraktor ARIONO UTOMO.”Jawaban Astari sontak membuat Sivan terkejut, dia sudah membuat proposal untuk diberikan pada Janggala agar proses pembangunan kantor cabang di desa Permadani ditangani oleh JANJI HANGGARA.“Kenapa dengan ARIONO UTOMO?”Astari terdiam dengan wajah kebingungan, dia membuka lagi tablet yang dipegangnya, “Kalau disini tertulis dari kantor utama meminta ARIONO UTOMO unt
Sivan mengakhiri rapat terakhirnya sore ini.Dia tengah meregangkan badan ketika Astari masuk ke ruangan rapat yang sudah kosong, gadis itu membawa beberapa berkas di tangan serta tas yang bertengger di bahunya.“Pak, mau kembali ke kantor dulu atau langsung ke restoran?” Seperti biasa, gadis itu dengan gayanya sendiri. Tidak berbasa-basi dan selalu menembak pertanyaan yang mengharuskan Sivan memilih dengan cepat.“Jam berapa emang makan malamnya?”“Biasa pak, jam tujuh. Tapi ini Rush Hour sih, pasti macet dan sampai tepat jam tujuh.” Jawab Astari mengecek jam di tangan kirinya, kemudian beralih menatap Sivan.“Jalan langsung aja deh.”Sivan berjalan mendahului Astari yang langsung menghubungi supir untuk menunggu di lobi. Pria itu kembali mengecek ponselnya, tidak ada pesan dari Lavani. Biasanya ketika dia selesai rapat Lavani langsung menghubunginya, mengabari dia akan kemana dengan siapa.Dia menghela napas.Mungkin tadi dia keterlaluan, amarahnya pada Lavani tidak semestinya dia t
“Sukses ya?” Pertanyaan Astari membuat Sivan menoleh pada gadis yang tengah duduk di sampingnya. Mata gadis itu sibuk menatap ponsel dan jari jemarinya mengetik dengan cepat.“Kamu ngomong sama saya?” Tanya Sivan kemudian, keduanya tengah berada di dalam mobil. Sivan sedang diantarkan menuju kediaman utama keluarga Tantra dan nantinya Astari diantar oleh supir ke kediamannya.“Iya, saya lihat sejak keluar dari restoran mood bapak bagus banget.”Sivan hanya berdehem, tidak ingin menanggapi pertanyaan Astari.Namun ada benarnya juga, dia tidak menyangka akan semudah itu membujuk Janggala untuk mempertimbangkan JANJI HANGGARA sebagai salah satu kontraktor yang menangani proyek besar ini.Dia sudah mempersiapkan banyak hal, namun Janggala masih berada di memori masa kecil dimana dia mengagumi Sivan. Entah itu baik atau tidak, setidaknya Sivan berpikir hal itu bisa dia manfaatkan dengan baik.Mobil sudah memasuki kediaman Tantra, meskipun berkali-kali dia diusir dari rumah ini namun sejak
Nancy begitu bersemangat sejak bangun di pagi hari, hatinya riang gembira.Dia segera menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya, memilih baju yang cantik untuk dia kenakan hari ini. Dia akan mengunjungi toko furniture, serta meminta orang untuk merapikan kamar untuk cucunya.Ya, Dirra sudah menandatangani perjanjian yang dia berikan.Tidak sabar, dia segera meminta Eveline untuk mengontak orang yang bisa dengan cepat mengatur ulang isi kamar. Hari ini, dia akan membeli furniture baru.“Gala, bagaimana persiapan untuk pembangunan kantor cabang di desa Permadani?” Nancy turun dari tangga, berbicara pada Janggala yang tengah duduk di sofa ruang keluarga.Pria itu menoleh kepada ibunya, mengerenyitkan kening karena merasa ada yang aneh dengan sang ibu. Wajah berseri-seri itu wajib di curigai.Ibunya duduk, wajahnya tersenyum lebar, kerutan yang baru beberapa hari lalu dihilangkan dengan botox membuat kening dan senyumnya tidak luwes karena masih kaku. Wanita tua itu menyilangkan kakinya
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.“Memang gak takut?”Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar
Janggala menjatuhkan tubuhnya ke kursi penumpang di dalam mobil, dia menghela napas panjang dan berat. Menutup kedua matanya, dia memijat keningnya.Pak Eri, supir pribadinya mengangkat kepala, mengecek Janggala dari kaca spion yang menggantung di dalam mobil.“Sudah selesai, tuan?” Tanyanya dengan suara yang berat namun lembut, pak Eri menutup buku yang tengah dia baca kemudian membetulkan letak kacamatanya.Mengamati sang majikan.“Pak, ibu sama anak itu dianter siapa ke taman kanak-kanak?”Pak Eri kini menoleh pada Janggala, menatapnya dengan penuh telisik. Pertanyaan itu baginya begitu menarik, keluar dari mulut Janggala.“Pak Irsyad yang mengantar, ada hal lucu selama pak Irsyad mengantar. Katanya, nona kecil sempat bertanya kenapa pak Irsyad tidak ikut masuk kedalam dan juga ketika kembali nona kecil membawa sebotol air minum untuknya, katanya takut haus.”Pak Eri baru saja mendengar cerita it
Janggala masih berada di kantor mengurus banyak sekali berkas perjanjian mengenai proyek kantor cabang. Kepalanya sudah hampir mau meledak karena hal itu, namun dia belum bisa berhenti.Perjanjian dengan JANJI HANGGARA terus dia revisi, tidak ingin meninggalkan sedikit celah yang bisa merugikan TANTRA WIBAWA.“Aku terlalu banyak mengkonsumsi omongan mama..” Desahnya pelan sambil memijat kening.Tidak bisa dipungkiri, semakin Janggala menolak semakin pula rasa penasaran menggerogotinya. Dia ingin segera tahu namun juga masih mencoba meyakini bahwa apa yang ibunya pikirkan mengenai Lavani adalah sebuah kesalahan.Lavani hanyalah seorang wanita yang masih ingin mengejar karir, melihat bagaimana perusahaan keluarganya yang begitu besar kini mengalami kemolorotan Janggala yakin wanita itu memiliki kekhawatirannya sendiri.Sedangkan ibunya masih saja meributkan perihal cucu, padahal Janggala masih terhitung cukup muda.Ketika pikiranny
Lavani masuk ke dalam mobil, memakai seat beltnya ketika Sivan mulai menyalakan mobilnya.“Sialan, kenapa pas banget dia sampai sih?” Gerutu Lavani sambil membuang muka ke arah lain seolah dia tidak melihat kedatangan Janggala dengan supir pribadinya.“Untung aku lebih dulu lihat dia, bisa gawat kalau tiba-tiba tadi kamu cium aku.” Sivan menjalankan mobilnya, memainkan stir untuk segera pergi dari basement parkiran.“Aku sudah bilang ketemunya di kantor cabang aja, terlalu riskan kalau di kantor utama begini. Bisa dibilang ini tuh daerah kekuasaannya dia!” Lavani masih mengoceh sambil melipat kedua tangannya, bibirnya maju ke depan sehingga membuat Sivan gemas.Pria itu terkekeh, “Kamu tuh marah-marah aja, kayaknya beberapa minggu terakhir mood kamu jelek banget.”Lavani menghela napas, kalau ditodong dengan fakta begitu dia jadi tidak bisa menjawab apa-apa. Dia sendiri tidak mengerti, semenjak kedata