Kaki mungil dengan sepatu berenda itu berlari dengan kecepatan tinggi, meskipun larinya kecil-kecil namun dengan kecepatan seperti seekor kancil orang dewasa sekalipun akan kesulitan untuk mengejarnya.
Anak perempuan itu memakai baju overall panjang berwarna kuning dengan dalaman berwarna putih, rambut hitam panjangnya dikuncir dua dengan pita berwarna oranye. Warna-warna tersebut begitu kontras dengan kulitnya sehingga dia terlihat begitu bercahaya ketika berlarian.
“Astaga DALENNA GAVAH!” Dirra memekik sambil mengejar putrinya yang tengah melarikan diri dari jadwal makan siangnya, anak itu terkekeh geli sambil menjauh menuju teras rumah. Napasnya sudah satu-satu mengejar Dalenna, anak itu sedang aktif-aktifnya.
“Hayo! Ketangkep! Lari dari makan siang ya?” Ujar Elang yang dengan cekatan menghentikan acara kejar-kejaran ibu anak itu, dia menggendong Dalenna yang kemudian memekik geli karena Elang menciumi pipinya.
“Aduh! Untung ada kamu Lang!” Dirra berhenti sambil berjongkok, berusaha mengambil napas karena kelelahan.
“Lenna gak mau makan!” Dalenna merajuk dalam pelukan Elang, dia menatap mata pria itu sambil memajukan bibirnya.
“Loh, harus makan. Nanti kalau gak makan, om Elang gak akan ajak Lenna ke padang bunga..”
Ucapan itu sukses membuat mata Dalenna membulat, dia segera menoleh pada Dirra untuk mendapatkan izin ikut ke padang bunga setelah makan.
Dirra terdiam sesaat sebelum akhirnya terkekeh geli, dia berjalan mendekat ke arah Elang dan menjulurkan tangannya, mengambil Dalenna ke pelukannya.
“Boleh, asal jangan pisah dari om Elang ya. Bunganya lagi tumbuh semua dan tinggi-tinggi, nanti Lenna tersesat.”
Dalenna memekik girang di dalam pelukan Dirra.
Dirra tengah menyiapkan makan siang bocah itu ketika Elang masuk dan menyimpan beberapa sayuran di dapur.
“Ya ampun Lang, stok sayuran masih banyak loh itu di kulkas.” Dirra berkata sambil menyendokkan nasi yang di timbang terlebih dahulu dan beberapa lauk ke dalam piring berbentuk mickey mouse.
“Panennya banyak Dir, ini sudah dibagiin ke tetangga lain juga.”
Dirra menggeleng, “Kamu tuh ya, dulu harusnya berangkat kuliah aja. Malahan nerusin kebun punya orangtua.”
Elang duduk di kursi sebelah Dalenna yang tengah duduk manis menunggu Dirra menyiapkan makan siangnya. Kakinya berayun-ayun dengan manis.
“Aku ‘kan ambil kuliah online Dir, jaman sekarang tuh banyak opsi gak melulu harus pergi ke kampus. Kamu juga sama aja. Ya Lenna?” Elang meminta persetujuan bocah itu yang kemudian memberikan dia dua jempol.
Dirra hanya tersenyum melihatnya, dia kemudian mengambil Pouch Bag hitam yang tersimpan di dalam lemari obat-obatan dekat dapur. Dirra menyimpan piring makan Dalenna di meja, kemudian membuka Pouch Bag itu mengambil alat pengecek gula darah.
“Ayo tutup matanya!” Elang berkata dengan ceria sambil menutup mata Dalenna sedangkan Dirra mengecek gula darah dari ujung jari bocah itu.
Tubuh Dalenna sedikit terhentak ketika jarum kecil itu menusuk ujung jarinya. Dirra mengecek dan gula darah Dalenna dalam keadaan baik.
“Nah ayo makan.” Kata Dirra sambil mengecup pipi Dalenna dan merapikan peralatan milik bocah itu.
Lima tahun telah berlalu setelah kelahiran Dalenna.
Satu bulan setelah kelahiran bayi itu, Dalenna terlihat sangat berbeda dengan bayi-bayi seusianya. Berat badannya tidak naik dan dia sangat rewel, belum lagi ada beberapa ruam di sekitar tubuhnya padahal Dirra sudah sangat menjaga penggantian popoknya.
Ketika pergi ke Rumah Sakit dan dilakukan pengecekan ternyata Dalenna mengidap diabetes tipe 1.
Saat itu hati Dirra begitu hancur, dia tidak pernah berpikir putri kecilnya yang baru saja lahir ke dunia harus membawa penyakit yang bahkan tidak bisa disembuhkan.
“Besok jadi gak ke makam kakek?” Tanya Dirra di sela makan siangnya.
“Jadi kok, besok Lenna pulang sekolah jam sebelas ‘kan? Nanti ibu jemput ya?”
Dalenna mengangguk riang.
Setelah kelahiran Dalenna dan Dirra mendapatkan fakta kalau putrinya memiliki penyakit, musibah kembali menimpa keluarganya. Ayahnya terjatuh ketika berkebun, kepalanya terbentur batu besar.
Ayahnya dibawa ke Rumah Sakit namun tidak bisa diselamatkan.
Saat-saat itu adalah saat terberat bagi Dirra juga ibunya. Penyakit Dalenna dan kematian ayahnya membuat Dirra berpikir untuk mengakhiri hidupnya, rasa stress itu berubah menjadi depresi.
Dia berteriak dan menolak menyusui bahkan mengurus Dalenna, baby blues.
Saat itu Elang akan berangkat berkuliah ke kota lain, dia sudah keterima di sebuah Universitas ternama namun semuanya dibatalkan. Ibu dan ayahnya marah besar, tapi Elang tidak peduli.
Dia kemudian membantu keluarga Dirra, dia membantu Kaili untuk mengurus Dirra serta Dalenna. Keluarga Elang pada akhirnya ikut membantu karena tidak tega melihat Kaili yang sudah hampir gila juga melihat anaknya seperti mayat hidup.
Dirra sendiri tidak tahu menahu kenapa Elang tidak jadi berkuliah ke kota lain dan memilih masuk ke sebuah Universitas Cyber.
“Mau dianter gak Dir?” Tanya Elang.
“Gak usah, besok kamu harus ke kota nganter pesenan ‘kan?”
Elang mengangguk pelan namun hatinya sedikit kecewa. Dirra selalu menolak tawarannya, semakin lama semakin menjaga jarak padahal dia sudah berusaha untuk mendapatkan hati wanita itu.
Dirra seperti membangun tembok yang begitu kokoh dan tinggi sehingga sulit ditembus oleh Elang, padahal orangtuanya sudah memberikan restu jika dia ingin mempersunting Dirra.
Dalenna menghabiskan makan siangnya, Dirra menyiapkan tas kecil berisi obat-obatan, insulin dan juga minuman gula untuk dibawa ke padang bunga.
“Tolong ya Lang, jam dua Lenna harus suntik insulin.”
“Tenang aja, ‘kan sudah biasa juga aku bantuin.” Jawab Elang, “Nah! Ayo berangkat!” Pekiknya sambil menggendong Dalenna di tangan kanan dan tas punggung kecil bergambar Elsa dari animasi Frozen di bahu kirinya.
“Dadah ibu! Lenna pergi!” Tangan kecil itu melambai-lambai dengan heboh, Dirra tertawa melihat tingkah putrinya dan membalas lambaian tangan bocah itu dengan penuh semangat.
Melihat Dalenna digendongan Elang membuat hatinya tidak nyaman.
“Seandainya itu kamu Ga…” Bisiknya pelan.
“Kakek! Kakek!” Dalenna memekik riang, tangannya penuh dengan bunga warna-warni. Hari ini dia memakai baju terusan selutut berwarna ungu cerah, rambutnya dibiarkan tergerai dengan bondu sebagai aksesorisnya.“Pelan-pelan Lenna!” Kaili sedikit berteriak sambil menggeleng melihat kelakuan cucunya yang memang begitu berisik dan aktif.“Haduh, maksa pakai baju itu katanya biar kakek lihat padahal mau ke makam..” Dirra mengeluh di sebelah Kaili, mereka tengah berjalan masuk ke dalam pemakaman umum.Satu bulan sudah berlalu sejak hari peringatan ayahnya, Dirra dan Kaili hampir lupa karena sibuk mengurus acara ulang tahun Dalenna. Mereka baru bisa meluangkan waktu berziarah hari ini.“Itu baju yang dibelikan Elang ya?” Tanya Kaili.“Iya, sudah Dirra bilang untuk gak belikan baju Lenna tapi setiap kali ke kota pasti bawa baju baru.”Kaili tertawa, dia tahu benar Elang tengah berusaha begitu keras mengambil hati Dirra meskipun sejauh ini Kaili lihat Dirra tidak berpikir untuk membangun hubunga
Janggala melirik ke arah jam dinding untuk ke sekian kalinya, kakinya tidak mau diam berjalan kesana kemari. Dia sudah begitu gelisah, jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Dia menengok lagi ke belakang, mengecek kalau-kalau ibunya turun dari tangga meskipun kemungkinannya sedikit tapi tidak ada yang tidak mungkin.Dia mengecek ponselnya lagi, mencari sebuah nama dan memencet tombol panggil. Hanya ada suara dengung panjang tanda telepon itu tersambung namun tidak ada jawaban.“Van, jawab dong..” Gumamnya gelisah, dia sudah berusaha menelepon supir Lavani namun juga tidak ada jawaban.Dia sekali lagi membuka gorden, mengecek apakah mobil Lavani sudah masuk halaman atau belum.“Ga?” Suara ibunya menyentak Janggala, jantungnya hampir copot karena mendengar suara itu. Dia menoleh dan mendapati ibunya turun dari tangga, masih mengenakkan piyama tidur dari sutranya. “Kamu lagi ngapain?”“Ah enggak ma, mama kok b
Janggala sudah berada di kantor tepat waktu, hari ini dia ada rapat dengan pemegang saham dan direksi membahas kantor cabang baru yang akan didirikan dalam waktu dekat ini.Pembahasan kali ini mengenai lokasi dan beberapa hal lain yang mungkin akan menyita waktu yang lumayan.Dia mengecek ponselnya, sudah pukul dua siang. Tidak ada kabar dari Lavani, tadi pagi dia pergi lebih dulu sebelum wanita itu bangun. Dia mengirimkan pesan berpamitan namun tidak ada balasan.“Ka, bisa cek sekretaris Lavani gak? Dia sudah datang ke kantor belum?” Tanya Janggala ketika Siska baru saja masuk ke dalam ruangannya dengan membawa banyak berkas, wanita bermata sipit dengan rambut hitam tergulung rapi itu menatapnya.“Loh, bu Vani sama Sivan sudah datang dari sejam lalu pak. Tadi ke ruangan rapat duluan karena ada beberapa hal yang harus dipersiapkan.”Janggala mengerenyitkan dahinya, Lavani tidak membalas pesannya tapi sudah datang ke kantor s
Lavani tengah berada di dalam mobil, memijit kepalanya. Rasa pusing dan sakit begitu menyiksanya, tadi dia terbangun dengan tergesa karena panggilan telepon dari Sivan. Dia baru teringat kalau hari ini akan ada rapat penting.Dengan terburu-buru dia bangun dan pergi ke salon untuk mempersiapkan dirinya.Beruntung hari ini rapat selesai dengan cepat, dengan terburu-buru dia langsung meninggalkan kantor.“Nyonya, tuan Janggala menelepon katanya hari ini makan malam bersama akan ditunda sampai minggu depan.” Ujar si supir ketika mereka tengah berada di jalan.Lavani melirik ke arah spion dan mengangguk.Tidak peduli.Masa bodoh dengan makan malam bersama atau apapun itu, tidak penting. Dia juga tidak iingin berada di rumah kalau saja kepala sialannya tidak merasakan nyeri. Dia lebih baik pergi ke klub malam dan bersenang-senang disana ketimbang harus terkukung di dalam rumah.Mobil memasuki garasi dan Lavani turun dari dalam mobil. Dia berjalan memutar karena pintu yang menuju ruang bela
Lavani mengenal Janggala sejak mereka kecil.Para konglomerat biasanya memang hanya bergaul dengan konglomerat lainnya. Begitu juga dengan anak-anak mereka, sejak kecil satu sama lain sudah diperkenalkan bahkan beberapa sudah ditentukan jodohnya oleh para orangtua mereka.Diantara mereka menikah karena cinta, namun kebanyakan pernikahan itu berjalan karena keperluan bisnis.Misalnya anak dari perusahaan A dan B menikah, otomatis perusahaan mereka akan bergabung karena sebuah pernikahan, hal itu bisa memperkuat bisnis mereka dan mencakup lebih banyak area.Ayahnya dulu juga dijodohkan dengan salah satu putri konglomerat, namun dia jatuh cinta pada orang asing yang bekerja di sebuah perusahaan sehingga menikahinya. Itulah mengapa Lavani lahir, namun kemudian pernikahan karena cinta itu hancur begitu saja.“Kamu mau ikut mama atau ayah?” Adalah pertanyaan yang tidak akan pernah Lavani lupa sampai kapanpun, dia memilih tinggal bers
“Wanita itu meninggalkannya..” Ucap seorang pria pada pria lain yang tengah berdiri di depan Sivan kecil, saat itu usianya masih tiga tahun.Pria yang berada di depannya bertubuh tinggi dan juga tegap, matanya serta rahangnya begitu tajam. Hidungnya lurus dan tinggi, bibirnya tebal. Matanya seperti menilai Sivan dari atas sampai bawah.“Nama kamu Sivan?” Tanya pria itu, suaranya begitu berat. Kumis yang berada di atas bibirnya bergerak naik turun. Sivan mengangguk pelan.“Wanita itu menamainya Sivan Hanggara.”Pria itu mengangguk, meminta Sivan masuk ke dalam mobil. Sivan kecil yang tidak mengerti ikut masuk ke dalam mobil, dia lapar dan juga lelah. Sudah tiga hari dia di dalam rumah yang terkunci, dia buang air besar dan kecil di tempatnya duduk, menangis dan meraung memanggil ibunya yang tak kunjung datang.Dalam diam pria itu membasuh tubuhnya ketika dia baru datang, meminta orang-orang di belakangnya untuk me
Janggala membaca semua berkas yang Siska berikan padanya, dia membolak-balik semua perhalaman, membacanya dengan teliti. Berkas itu berisi info mengenai desa Permadani yang akan menjadi lokasi kantor cabang.“Jadi lahan itu sedang di tempati?” Tanya Janggala kemudian, menyimpan berkas-berkas itu di mejanya dan mengalihkan pandangannya pada Siska yang berdiri di depan meja.“Betul pak, rumah itu tidak terdaftar dalam properti kepemilikan keluarga Tantra. Jadi kemungkinan rumah itu didirikan oleh warga yang tengah menempati lahannya.”Janggala mengangguk-angguk, masih membuka halaman demi halaman berkas yang sudah selesai dia baca.“Yang menempati sebuah keluarga?”“Ya, seorang ibu dengan anak dan cucunya.” Jawab Siska.“Gak ada yang bisa bikin mereka pergi dari lahan itu? Siapa saja yang sudah datang?” Janggala masuk ke dalam inti permasalahannya, dia menyandarkan punggungnya ke kurs
Janggala sampai di desa Permadani pukul tiga sore, meleset satu jam dari perkiraannya. Perjalanan menuju desa Permadani tidak penuh dengan kendaraan, desa ini termasuk desa yang didanai dengan layak oleh pemerintah karena fasilitas jalan yang baik.Desa ini juga memiliki satu akses tol yang cukup menjangkau banyak kabupaten lainnya.“Bapak mau saya tunggu disini, atau saya ikut masuk?” Tanya pak Eri, supir pribadi Janggala.“Gak perlu pak, tunggu disini aja. Saya sama pak Didik gak akan lama. Benar ‘kan pak?” Janggala menoleh pada pengacara PT. TANTRA WIBAWA berjas biru gelap yang berada di sebelahnya.Pria tua berusia hampir enam puluh tahun dengan kepala setengah botak dan kacamata kedodoran itu mengangguk lembut.Pak Didik sudah menjadi pengacara keluarga Tantra sejak Janggala masih kecil. Dia adalah kepala pengacara di TANTRA WIBAWA, namun semenjak berniat untuk pensiun Pak Didik hanya menerima beberapa pekerjaan s