Lavani tengah berada di dalam mobil, memijit kepalanya. Rasa pusing dan sakit begitu menyiksanya, tadi dia terbangun dengan tergesa karena panggilan telepon dari Sivan. Dia baru teringat kalau hari ini akan ada rapat penting.
Dengan terburu-buru dia bangun dan pergi ke salon untuk mempersiapkan dirinya.
Beruntung hari ini rapat selesai dengan cepat, dengan terburu-buru dia langsung meninggalkan kantor.
“Nyonya, tuan Janggala menelepon katanya hari ini makan malam bersama akan ditunda sampai minggu depan.” Ujar si supir ketika mereka tengah berada di jalan.
Lavani melirik ke arah spion dan mengangguk.
Tidak peduli.
Masa bodoh dengan makan malam bersama atau apapun itu, tidak penting. Dia juga tidak iingin berada di rumah kalau saja kepala sialannya tidak merasakan nyeri. Dia lebih baik pergi ke klub malam dan bersenang-senang disana ketimbang harus terkukung di dalam rumah.
Mobil memasuki garasi dan Lavani turun dari dalam mobil. Dia berjalan memutar karena pintu yang menuju ruang belakang dari garasi sedang di perbaiki.
“Kayaknya saya sering banget lihat kamu pulang sendiri ketimbang bareng sama Gala.” Suara Nancy menginterupsi langkahnya, Lavani menghela napas dan menoleh pada Nancy yang tengah duduk di sebuah kursi taman dengan cangkir teh di tangan.
“Gala masih sibuk ma, kita tadi juga ketemu karena rapat bareng.” Ujar Lavani dengan suara yang rendah, dia tidak ingin berdebat dengan wanita tua itu sekarang. Kepalanya sedang benar-benar sakit.
“Kamu ‘kan bisa nunggu dan bareng pulangnya.”
“Gala masih ada kerjaan ma, ini aja Gala batalin rencana kita buat makan malam bareng.” Lavani mulai tidak sabar dengan mertuanya.
Nancy berdehem, menyeruput perlahan teh hangat di dalam cangkirnya. Dia kemudian menaruhnya dan melirik ke arah Lavani.
“Kapan kamu berniat punya anak? Pernikahan kalian sudah masuk usia empat tahun, sudah terlalu lama berduaan.”
Lavani menghela napas, dia membuang muka dan memutar bola matanya. Pembahasan yang tidak akan pernah ada habisnya.
“Vani sama Gala sudah bicara mengenai ini ma, kami sepakat untuk menunda.”
“Mama gak yakin Gala setuju.” Ucap Nancy, dia memperbaiki gaunnya sebelum melanjutkan ucapannya. “Gala suka anak kecil, dan dia tahu benar prioritas pernikahannya adalah untuk menghasilkan keturunan. Mama juga mau menimang cucu. Mau sampai kapan kamu menunda? Kamu terlalu asik pergi ke klub malam dan bersenang-senang.”
Lavani menelan ludahnya, kepalanya berdenyut kencang. Percakapan ini selalu berulang setiap hari jadi pernikahannya dengan Janggala, ibu mertuanya selalu mendesak dia dan Janggala untuk memiliki seorang anak.
“Kamu gak usah takut badan kamu bakalan berubah, kalau perut kamu bergelambir kamu bisa ke Korea Selatan untuk melakukan operasi plastik untuk memperbaikinya. Atau kamu ketakutan gak bisa lagi menikmati dunia malam yang kamu senangi itu?”
“Ma, mama sudah tahu gimana kehidupanku sebelum aku menikah sama Gala. Aku juga sudah bilang ke mama kemungkinan akan menunda karena aku ingin mengejar karirku terlebih dahulu. Aku baru saja mendapatkan kesempatan memimpin perusahaan cabang tiga tahun belakangan ma, aku masih berusaha menyesuaikan diri.” Lavani berkata dengan suara parau, dia berusaha menahan marah dan sakit kepalanya secara bersamaan.
“Omong kosong..” Nancy berkata, ujung bibirnya naik ke atas, dia menatap Lavani dengan tatapan sinis. Nancy berjalan mendekat ke arah wanita itu. “Kamu mungkin bisa mengelabui Gala dengan omonganmu yang hebat itu, tapi kamu gak bisa membohongi saya. Kamu pasti berusaha dengan keras ya agar tidak kebobolan?” Tangan wanita tua itu kemudian merogoh saku baju terusan yang dia pakai dan melempar banyak sekali kotak pil kontrasepsi ke wajah Lavani.
Lavani tertegun karena serangan yang secara mendadak itu, semua kotak pil kontrasepsi yang dia sembunyikan di kamar salah satu asisten rumah tangga menampar wajahnya.
Dia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari asisten rumah tangga yang dia titipi pil-pil itu.
“Kamu gak usah mencari mbak Ria, saya sudah pecat dia. Kamu dengan seenaknya bekerja sama dengan asisten rumah tangga saya untuk menyembunyikan pil-pil ini, persetan dengan omonganmu! Kamu dengan sengaja mengkonsumsi pil-pil jahanam itu agar tidak hamil.” Ucap Nancy dengan suara yang begitu rendah namun tajam, dia berjalan meninggalkan Lavani yang masih terdiam.
Beberapa asisten rumah tangga langsung menyerbu Lavani, membantu wanita itu masuk ke dalam rumah dan membereskan pil-pil kontrasepsi itu. Tubuh Lavani bergetar, dia masih tidak bisa bereaksi.
Para asisten membawanya ke dalam kamar dan meninggalkannya seorang diri.
Wanita itu buru-buru mencari ponselnya dan menelepon seseorang.
“Aku gak bisa! Aku gak bisa terus-terusan sandiwara kayak gini!” Ucapnya dengan napas memburu, dia bahkan tidak bisa memekik karena khawatir semua orang yang berada di rumah ini bisa mendengarnya.
“Kenapa? Ada apa?” Suara pria diujung telepon terdengar khawatir.
“Gak bisa Siv, aku gak bisa begini terus! Aku gak sanggup bersandiwara dan tahan berumah tangga dengan Janggala! Aku bisa gila karena mama!”
“Apa yang terjadi?”
“Mama nemuin kotak pil kontrasepsiku di kamar mbak Ria!” Ujarnya sambil menggigiti jarinya dengan panik, dia menekan dahinya dengan jari karena rasanya sudah begitu sakit.
“Van, jangan panik. Dengar, mama pikir kamu pakai pil itu untuk mencegah kehamilan kamu dengan Gala ‘kan?” Tanya Sivan diujung telepon.
Lavani mengangguk meskipun dia tahu Sivan tidak bisa melihatnya.
“Van, dengar. Sandiwara kamu belum terbongkar, kita berdua belum ketahuan punya hubungan apapun. Tenang Van!”
“Harus sampai kapan Siv? Aku harus sampai kapan bertahan dengan ini semua? Ayo kita pergi aja, aku mau sama kamu.” Rengek Lavani, dia mondar mandir kesana kemari di dalam kamar.
“Sabar ya, sabar. Kita akan segera pergi setelah kantor cabang di Permadani selesai. Kita harus atur rencana supaya semua supplier bisa ditangan kita. Kita hancurkan PT. TANTRA WIBAWA..” Sivan berkata, berusaha menenangkan Lavani.
Lavani duduk diujung kasur, dia mengacak rambutnya. Airmata jatuh ke pipinya.
“Aku sayang kamu Siv..”
“Aku juga Van, aku sayang kamu juga..”
Lavani mengenal Janggala sejak mereka kecil.Para konglomerat biasanya memang hanya bergaul dengan konglomerat lainnya. Begitu juga dengan anak-anak mereka, sejak kecil satu sama lain sudah diperkenalkan bahkan beberapa sudah ditentukan jodohnya oleh para orangtua mereka.Diantara mereka menikah karena cinta, namun kebanyakan pernikahan itu berjalan karena keperluan bisnis.Misalnya anak dari perusahaan A dan B menikah, otomatis perusahaan mereka akan bergabung karena sebuah pernikahan, hal itu bisa memperkuat bisnis mereka dan mencakup lebih banyak area.Ayahnya dulu juga dijodohkan dengan salah satu putri konglomerat, namun dia jatuh cinta pada orang asing yang bekerja di sebuah perusahaan sehingga menikahinya. Itulah mengapa Lavani lahir, namun kemudian pernikahan karena cinta itu hancur begitu saja.“Kamu mau ikut mama atau ayah?” Adalah pertanyaan yang tidak akan pernah Lavani lupa sampai kapanpun, dia memilih tinggal bers
“Wanita itu meninggalkannya..” Ucap seorang pria pada pria lain yang tengah berdiri di depan Sivan kecil, saat itu usianya masih tiga tahun.Pria yang berada di depannya bertubuh tinggi dan juga tegap, matanya serta rahangnya begitu tajam. Hidungnya lurus dan tinggi, bibirnya tebal. Matanya seperti menilai Sivan dari atas sampai bawah.“Nama kamu Sivan?” Tanya pria itu, suaranya begitu berat. Kumis yang berada di atas bibirnya bergerak naik turun. Sivan mengangguk pelan.“Wanita itu menamainya Sivan Hanggara.”Pria itu mengangguk, meminta Sivan masuk ke dalam mobil. Sivan kecil yang tidak mengerti ikut masuk ke dalam mobil, dia lapar dan juga lelah. Sudah tiga hari dia di dalam rumah yang terkunci, dia buang air besar dan kecil di tempatnya duduk, menangis dan meraung memanggil ibunya yang tak kunjung datang.Dalam diam pria itu membasuh tubuhnya ketika dia baru datang, meminta orang-orang di belakangnya untuk me
Janggala membaca semua berkas yang Siska berikan padanya, dia membolak-balik semua perhalaman, membacanya dengan teliti. Berkas itu berisi info mengenai desa Permadani yang akan menjadi lokasi kantor cabang.“Jadi lahan itu sedang di tempati?” Tanya Janggala kemudian, menyimpan berkas-berkas itu di mejanya dan mengalihkan pandangannya pada Siska yang berdiri di depan meja.“Betul pak, rumah itu tidak terdaftar dalam properti kepemilikan keluarga Tantra. Jadi kemungkinan rumah itu didirikan oleh warga yang tengah menempati lahannya.”Janggala mengangguk-angguk, masih membuka halaman demi halaman berkas yang sudah selesai dia baca.“Yang menempati sebuah keluarga?”“Ya, seorang ibu dengan anak dan cucunya.” Jawab Siska.“Gak ada yang bisa bikin mereka pergi dari lahan itu? Siapa saja yang sudah datang?” Janggala masuk ke dalam inti permasalahannya, dia menyandarkan punggungnya ke kurs
Janggala sampai di desa Permadani pukul tiga sore, meleset satu jam dari perkiraannya. Perjalanan menuju desa Permadani tidak penuh dengan kendaraan, desa ini termasuk desa yang didanai dengan layak oleh pemerintah karena fasilitas jalan yang baik.Desa ini juga memiliki satu akses tol yang cukup menjangkau banyak kabupaten lainnya.“Bapak mau saya tunggu disini, atau saya ikut masuk?” Tanya pak Eri, supir pribadi Janggala.“Gak perlu pak, tunggu disini aja. Saya sama pak Didik gak akan lama. Benar ‘kan pak?” Janggala menoleh pada pengacara PT. TANTRA WIBAWA berjas biru gelap yang berada di sebelahnya.Pria tua berusia hampir enam puluh tahun dengan kepala setengah botak dan kacamata kedodoran itu mengangguk lembut.Pak Didik sudah menjadi pengacara keluarga Tantra sejak Janggala masih kecil. Dia adalah kepala pengacara di TANTRA WIBAWA, namun semenjak berniat untuk pensiun Pak Didik hanya menerima beberapa pekerjaan s
Dirra menatap Janggala yang berada di depannya, dia tanpa sengaja bereaksi demikian sehingga membuat pak RT dan juga orang yang datang bersama Janggala terkejut melihatnya menangis.“Loh neng Dirra? Kok nangis?”Pikiran Dirra tiba-tiba kosong, airmatanya tidak berhenti mengalir ketika melihat sosok yang selama ini ditunggunya untuk datang mencari akhirnya berada di depannya. Berdiri dengan tatapan kebingungan.“Maaf, ada apa?” Pertanyaan itu membuat Dirra termenung.Dan kini Janggala sudah berada di dalam rumah, bersama dengan pak RT juga pria tua yang diperkenalkan sebagai pengacara perusahaan TANTRA WIBAWA.Kaili datang dan terkejut juga mendapati Janggala berada di rumahnya, duduk dengan tegap menghadap Dirra namun tidak ada sorot mata sendu maupun kerinduan di dalamnya.“Ini adalah penerus perusahaan PT. TANTRA WIBAWA, bapak Janggala Tantra.” Kata Pak Arafiq memperkenalkan Janggala pada Dirra dan Kaili
Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam ketika mobil Janggala masuk ke garasi rumah mewahnya. Rumah itu seperti biasa terlihat begitu sepi dan hanya ada satpam di pos mereka.Dia turun dari mobil, membawa beberapa berkas serta tas kerjanya.Janggala masuk ke dalam rumah dan kedua asisten rumah tangga menyambutnya, membawa seluruh pekerjaannya ke dalam ruang kerjanya. Janggala menyisir rumah dengan matanya, tidak mendapati sosok yang dia inginkan.“Lavani di rumah?” Tanyanya pada mbok Ringki, salah satu asisten rumah tangganya.“Ada pak, di dalam kamar. Hari ini pak Sivan juga pulang ke rumah.” Katanya sambil memberikan segelas air minum pada Janggala.“Kakak di rumah? Mama?”“Nyonya ada di dalam kamarnya.”Janggala meneguk segelas air itu kemudian beranjak naik ke atas, dia hendak menuju kamarnya sendiri namun dia menghentikan langkahnya. Dengan segera dia menghampiri ruang baca milik
Elang menggandeng tangan kecil milik Dalenna, bocah itu mengenakkan sweater merah muda dipadu dengan celana jeans dan sepatu kets. Dia terlihat sangat trendi dengan topi kream di kepala.Dalenna melangkah dengan riang, kakinya berjingkrak-jingkrak kesana kemari, dia bersenandung lagu anak-anak.Elang terkekeh mendengarnya.Beberapa hari lalu anak itu menangis dengan kencang di rumah ketika Elang sedang mengirimkan beberapa buah-buahan seperti biasa. Keluarganya selalu memberikan kelebihan hasil tani mereka pada Dirra.Ketika Elang bertanya mengapa dia menangis, Dirra mengatakan kalau Dalenna ingin pergi ke kemah yang diselenggarakan sekolah taman kanak-kanaknya namun Dirra tidak bisa ikut karena dia ada pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan.“Kalau begitu aku saja yang pergi, aku gak ada kerjaan sampai minggu.” Kata Elang kemudian anak itu terdiam dan berjingkrak kegirangan memeluknya.Elang tidak bisa menutupi ras
Nancy dengan gusar memanggil Eveline pagi-pagi sekali. Setelah kedatangan Janggala dua hari lalu ke ruang bacanya, dia tidak bisa memikirkan hal lain. Dia merasa tidak nyaman, fakta bahwa Janggala bertemu dengan Kaili mengusiknya.“Tuan muda bertemu juga dengan Nona Dirra..” Ucap Eveline setelah menjelaskan apa yang terjadi di desa pada Nancy yang kini duduk diatas sofa sambil memijat keningnya.“Bagaimana reaksi Gala bertemu dengan Dirra?”“Pak Didik bilang tidak ada reaksi, sebaliknya Nona Dirra yang lebih emosional. Pak Didik yang tidak tahu apa-apa juga menjelaskan pada Nona Dirra kalau Tuan Muda mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatan.” Eveline menyelesaikan penjelasannya.Nancy masih memijat keningnya, dia tidak menyangka kalau apa yang sudah dia rencanakan sebaik mungkin beberapa tahun lalu malah menjadi boomerang baginya. Dia tidak menyangka Janggala akan datang ke desa itu untuk mengambil alih tanahnya.“Apa wanita itu sudah menikah?”
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.“Memang gak takut?”Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar
Janggala menjatuhkan tubuhnya ke kursi penumpang di dalam mobil, dia menghela napas panjang dan berat. Menutup kedua matanya, dia memijat keningnya.Pak Eri, supir pribadinya mengangkat kepala, mengecek Janggala dari kaca spion yang menggantung di dalam mobil.“Sudah selesai, tuan?” Tanyanya dengan suara yang berat namun lembut, pak Eri menutup buku yang tengah dia baca kemudian membetulkan letak kacamatanya.Mengamati sang majikan.“Pak, ibu sama anak itu dianter siapa ke taman kanak-kanak?”Pak Eri kini menoleh pada Janggala, menatapnya dengan penuh telisik. Pertanyaan itu baginya begitu menarik, keluar dari mulut Janggala.“Pak Irsyad yang mengantar, ada hal lucu selama pak Irsyad mengantar. Katanya, nona kecil sempat bertanya kenapa pak Irsyad tidak ikut masuk kedalam dan juga ketika kembali nona kecil membawa sebotol air minum untuknya, katanya takut haus.”Pak Eri baru saja mendengar cerita it
Janggala masih berada di kantor mengurus banyak sekali berkas perjanjian mengenai proyek kantor cabang. Kepalanya sudah hampir mau meledak karena hal itu, namun dia belum bisa berhenti.Perjanjian dengan JANJI HANGGARA terus dia revisi, tidak ingin meninggalkan sedikit celah yang bisa merugikan TANTRA WIBAWA.“Aku terlalu banyak mengkonsumsi omongan mama..” Desahnya pelan sambil memijat kening.Tidak bisa dipungkiri, semakin Janggala menolak semakin pula rasa penasaran menggerogotinya. Dia ingin segera tahu namun juga masih mencoba meyakini bahwa apa yang ibunya pikirkan mengenai Lavani adalah sebuah kesalahan.Lavani hanyalah seorang wanita yang masih ingin mengejar karir, melihat bagaimana perusahaan keluarganya yang begitu besar kini mengalami kemolorotan Janggala yakin wanita itu memiliki kekhawatirannya sendiri.Sedangkan ibunya masih saja meributkan perihal cucu, padahal Janggala masih terhitung cukup muda.Ketika pikiranny
Lavani masuk ke dalam mobil, memakai seat beltnya ketika Sivan mulai menyalakan mobilnya.“Sialan, kenapa pas banget dia sampai sih?” Gerutu Lavani sambil membuang muka ke arah lain seolah dia tidak melihat kedatangan Janggala dengan supir pribadinya.“Untung aku lebih dulu lihat dia, bisa gawat kalau tiba-tiba tadi kamu cium aku.” Sivan menjalankan mobilnya, memainkan stir untuk segera pergi dari basement parkiran.“Aku sudah bilang ketemunya di kantor cabang aja, terlalu riskan kalau di kantor utama begini. Bisa dibilang ini tuh daerah kekuasaannya dia!” Lavani masih mengoceh sambil melipat kedua tangannya, bibirnya maju ke depan sehingga membuat Sivan gemas.Pria itu terkekeh, “Kamu tuh marah-marah aja, kayaknya beberapa minggu terakhir mood kamu jelek banget.”Lavani menghela napas, kalau ditodong dengan fakta begitu dia jadi tidak bisa menjawab apa-apa. Dia sendiri tidak mengerti, semenjak kedata