Lavani mengenal Janggala sejak mereka kecil.
Para konglomerat biasanya memang hanya bergaul dengan konglomerat lainnya. Begitu juga dengan anak-anak mereka, sejak kecil satu sama lain sudah diperkenalkan bahkan beberapa sudah ditentukan jodohnya oleh para orangtua mereka.
Diantara mereka menikah karena cinta, namun kebanyakan pernikahan itu berjalan karena keperluan bisnis.
Misalnya anak dari perusahaan A dan B menikah, otomatis perusahaan mereka akan bergabung karena sebuah pernikahan, hal itu bisa memperkuat bisnis mereka dan mencakup lebih banyak area.
Ayahnya dulu juga dijodohkan dengan salah satu putri konglomerat, namun dia jatuh cinta pada orang asing yang bekerja di sebuah perusahaan sehingga menikahinya. Itulah mengapa Lavani lahir, namun kemudian pernikahan karena cinta itu hancur begitu saja.
“Kamu mau ikut mama atau ayah?” Adalah pertanyaan yang tidak akan pernah Lavani lupa sampai kapanpun, dia memilih tinggal bersama ibunya di New York namun ayahnya memintanya kembali untuk meneruskan perusahaan.
“setelah beres kuliah, kamu harus teruskan perusahaan.”
Dia tidak mau, bebannya terlalu berat dan dia tidak berminat. Namun ayahnya memaksa.
Selama di New York dia selalu merasa sendirian meskipun sudah memiliki banyak teman dan disanalah dia bertemu dengan Sivan.
Seperti Janggala, dia juga mengenal Sivan dengan baik. Dia tahu Sivan adalah anak rahasia keluarga Tantra, tapi dia tidak peduli. Semakin mengenal Sivan, semakin dia jatuh cinta pada pria itu dan tahu-tahu keduanya sudah menjalin hubungan.
Dia mencintai Sivan sepenuh hati, dia ingin melakukan apapun demi pria itu.
“Mama lagi cari pasangan untuk Janggala.” Kata Sivan suatu hari ketika mereka pada akhirnya bertemu lagi setelah Lavani lulus Sekolah Menengah Akhir. Keduanya sama-sama tengah berada di New York, Sivan bekerja di salah satu perusahaan disana.
“Bukannya Gala sudah punya pacar?”
“Mama gak ngizinin, pacar Gala dari keluarga miskin.” Ujar Sivan menjawab pertanyaan Lavani.
Lavani mendengus, bibirnya maju beberapa senti mendengar hal itu. Dia sudah muak mendengar sistem hirarki seperti itu, jaman sekarang sudah tidak pengaruh urutan itu.
“Tante Nancy masih saja kolot.” Celetuknya, dia memasukkan tangannya ke dalam mantel karena udara musim dingin begitu menusuk meskipun dia sudah berada di New York bertahun-tahun.
“Kekolotannya bisa kita manfaatkan.” Sivan berkata, kemudian menoleh ke arah Lavani yang masih sibuk dengan penghangat di tangannya. Rambut panjang hitam yang tergerai itu menutupi sebagian wajahnya.
Sivan menyentuh rambutnya dan menyibaknya dengan lembut, Lavani kini menaruh perhatian padanya karena sentuhan itu.
“Kamu tahu ‘kan aku gak bisa masuk perusahaan Tantra sama sekali?”
Lavani mengangguk pelan, “Karena tante Nancy gak suka sama kamu?”
“Lebih dari itu…” Kata Sivan dengan suara pelan, dia menunduk, memainkan gelas berisi kopi panas di tangannya. Mereka tengah berada di taman kota, baru saja kembali dari berbelanja dan memilih untuk diam sebentar di taman meskipun cuaca masih begitu dingin.
“Mama takut aku ambil alih perusahaan karena aku bukan anaknya..” Lanjut Sivan.
Lavani mengangguk pelan, dia sudah sering mendengar hal ini dari ayah dan ibunya. Ketika Sivan datang ke keluarga Tantra semua konglomerat membicarakan hal itu, terlebih anak simpanan keluarga Tantra adalah anak laki-laki yang memiliki kemungkinan hampir delapan puluh persen mengambil alih perusahaan.
“Kamu mau jadi pasangan Gala?” Pertanyaan Sivan membuat Lavani menoleh dan mengerenyitkan dahinya.
“Apa sih? Kamu becanda tapi mukamu serius gitu! Aku kaget tahu!” Lavani menanggapi hal itu sambil tertawa dan memukul bahu Sivan pelan.
Namun, pria itu memandangnya dengan wajah yang serius.
“Jangan aneh-aneh ah Siv, aku mau sama kamu aja.. Aku cintanya sama kamu, lagian mama dan ayah juga tahu hubungan kita.”
“Aku sudah bicara sama om Dalal..”
Senyum di wajah Lavani menghilang, matanya menyusuri mata hitam tajam milik Sivan. Mencari kebenaran dari semua yang dia ucapkan barusan.
“Kamu jangan nakutin aku Siv..”
“Dengar Van, kamu hanya perlu menikah dengan Janggala.” Ucap Sivan, menyentuh tangan Lavani.
Wanita itu mengerenyitkan dahi dan menarik tangannya dengan cepat, wajahnya berubah serius. Enggan disentuh oleh Sivan.
“Kamu ngomong gitu seolah-olah hal itu mudah banget ya Siv? Kamu mikirin perasaan aku gak sih? Aku harus nikah loh, sama orang lain!”
“Van! Dengerin dulu!” Sivan mengejar Lavani yang kini berjalan menjauh dari tempat mereka duduk.
Lavani kesal mendengar ucapan Sivan, darahnya mendidih. Dia memang masih kecil saat itu, tapi dia mengerti apa itu menikah. Dia juga memiliki pernikahan yang dia idam-idamkan, dan itu bukan sebuah permainan.
“Van! Dengerin aku dulu!” Sivan berhasil mengejar Lavani, menarik tangan perempuan itu. Mencegahnya untuk pergi lebih jauh.
“Kamu gila! Kamu ngomong sama ayahku? Tentang aku yang harus menikah dengan Gala? Untuk apa?!”
Sivan menoleh ke kanan dan ke kiri, beberapa orang sudah mulai menaruh perhatian pada mereka. Lavani berbicara menggunakan bahasa Indonesia, dan dia takut orang-orang mengira dia melakukan sebuah kejahatan jika Lavani masih begitu histeris.
“Dengerin aku dulu, gak usah sebegitu emosinya..”
“Aku tentu emosi Siv! Kamu ngomong seenaknya nyuruh aku menikah dengan adik kamu!”
Sivan menggenggam kedua tangan Lavani, berusaha menenangkan perempuan itu.
“Dengar, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Pernikahan kamu nantinya hanyalah untuk formalitas, bukan berarti kamu harus benar-benar menjadi istri dari Janggala. Aku dan om Dalal sudah membicarakan hal ini karena bagaimanapun om Dalal juga perlu masuk ke dalam PT. TANTRA WIBAWA.”
“Maksud kamu?”
Sivan menatap Lavani, tangannya masih menggenggam dengan lembut jari jemari perempuannya.
“Om Dalal dalam beberapa tahun terakhir sulit untuk mengajak kerjasama Tantra karena dulu papa pernah kena tipu dan rugi sekian triliun karena perusahaan Om Dalal, JANJI HANGGARA. Kalau kamu bisa mendekati Gala dan menjadi istrinya, om Dalal bisa kembali bekerja sama dengan Tantra.” Sivan berusaha menjelaskan dengan bahasa yang mudah di mengerti anak berusia tujuh belas tahun.
Saat itu Lavani menolak, dan Sivan terus membujuknya. Hari demi hari, bulan demi bulan. Sampai ketika usianya memasuki dua puluh tahun, Lavani mengiyakan. Ayahnya dan Sivan berhasil membuatnya percaya.
“Aku sayang kamu Siv..”
“Aku juga Van, aku sayang kamu juga..”
Sivan mematikan ponselnya, dia masih di dalam mobil, memijat kepalanya yang terasa sakit.
“Kamu gak boleh bercerai dulu dari Janggala, aku masih harus menyelesaikan kantor cabang untuk mengambil alih sebagian saham TANTRA WIBAWA, Van..Dan kalau itu sudah berhasil, aku gak perlu kamu dan keluarga Hanggara lagi.” Bisiknya.
“Wanita itu meninggalkannya..” Ucap seorang pria pada pria lain yang tengah berdiri di depan Sivan kecil, saat itu usianya masih tiga tahun.Pria yang berada di depannya bertubuh tinggi dan juga tegap, matanya serta rahangnya begitu tajam. Hidungnya lurus dan tinggi, bibirnya tebal. Matanya seperti menilai Sivan dari atas sampai bawah.“Nama kamu Sivan?” Tanya pria itu, suaranya begitu berat. Kumis yang berada di atas bibirnya bergerak naik turun. Sivan mengangguk pelan.“Wanita itu menamainya Sivan Hanggara.”Pria itu mengangguk, meminta Sivan masuk ke dalam mobil. Sivan kecil yang tidak mengerti ikut masuk ke dalam mobil, dia lapar dan juga lelah. Sudah tiga hari dia di dalam rumah yang terkunci, dia buang air besar dan kecil di tempatnya duduk, menangis dan meraung memanggil ibunya yang tak kunjung datang.Dalam diam pria itu membasuh tubuhnya ketika dia baru datang, meminta orang-orang di belakangnya untuk me
Janggala membaca semua berkas yang Siska berikan padanya, dia membolak-balik semua perhalaman, membacanya dengan teliti. Berkas itu berisi info mengenai desa Permadani yang akan menjadi lokasi kantor cabang.“Jadi lahan itu sedang di tempati?” Tanya Janggala kemudian, menyimpan berkas-berkas itu di mejanya dan mengalihkan pandangannya pada Siska yang berdiri di depan meja.“Betul pak, rumah itu tidak terdaftar dalam properti kepemilikan keluarga Tantra. Jadi kemungkinan rumah itu didirikan oleh warga yang tengah menempati lahannya.”Janggala mengangguk-angguk, masih membuka halaman demi halaman berkas yang sudah selesai dia baca.“Yang menempati sebuah keluarga?”“Ya, seorang ibu dengan anak dan cucunya.” Jawab Siska.“Gak ada yang bisa bikin mereka pergi dari lahan itu? Siapa saja yang sudah datang?” Janggala masuk ke dalam inti permasalahannya, dia menyandarkan punggungnya ke kurs
Janggala sampai di desa Permadani pukul tiga sore, meleset satu jam dari perkiraannya. Perjalanan menuju desa Permadani tidak penuh dengan kendaraan, desa ini termasuk desa yang didanai dengan layak oleh pemerintah karena fasilitas jalan yang baik.Desa ini juga memiliki satu akses tol yang cukup menjangkau banyak kabupaten lainnya.“Bapak mau saya tunggu disini, atau saya ikut masuk?” Tanya pak Eri, supir pribadi Janggala.“Gak perlu pak, tunggu disini aja. Saya sama pak Didik gak akan lama. Benar ‘kan pak?” Janggala menoleh pada pengacara PT. TANTRA WIBAWA berjas biru gelap yang berada di sebelahnya.Pria tua berusia hampir enam puluh tahun dengan kepala setengah botak dan kacamata kedodoran itu mengangguk lembut.Pak Didik sudah menjadi pengacara keluarga Tantra sejak Janggala masih kecil. Dia adalah kepala pengacara di TANTRA WIBAWA, namun semenjak berniat untuk pensiun Pak Didik hanya menerima beberapa pekerjaan s
Dirra menatap Janggala yang berada di depannya, dia tanpa sengaja bereaksi demikian sehingga membuat pak RT dan juga orang yang datang bersama Janggala terkejut melihatnya menangis.“Loh neng Dirra? Kok nangis?”Pikiran Dirra tiba-tiba kosong, airmatanya tidak berhenti mengalir ketika melihat sosok yang selama ini ditunggunya untuk datang mencari akhirnya berada di depannya. Berdiri dengan tatapan kebingungan.“Maaf, ada apa?” Pertanyaan itu membuat Dirra termenung.Dan kini Janggala sudah berada di dalam rumah, bersama dengan pak RT juga pria tua yang diperkenalkan sebagai pengacara perusahaan TANTRA WIBAWA.Kaili datang dan terkejut juga mendapati Janggala berada di rumahnya, duduk dengan tegap menghadap Dirra namun tidak ada sorot mata sendu maupun kerinduan di dalamnya.“Ini adalah penerus perusahaan PT. TANTRA WIBAWA, bapak Janggala Tantra.” Kata Pak Arafiq memperkenalkan Janggala pada Dirra dan Kaili
Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam ketika mobil Janggala masuk ke garasi rumah mewahnya. Rumah itu seperti biasa terlihat begitu sepi dan hanya ada satpam di pos mereka.Dia turun dari mobil, membawa beberapa berkas serta tas kerjanya.Janggala masuk ke dalam rumah dan kedua asisten rumah tangga menyambutnya, membawa seluruh pekerjaannya ke dalam ruang kerjanya. Janggala menyisir rumah dengan matanya, tidak mendapati sosok yang dia inginkan.“Lavani di rumah?” Tanyanya pada mbok Ringki, salah satu asisten rumah tangganya.“Ada pak, di dalam kamar. Hari ini pak Sivan juga pulang ke rumah.” Katanya sambil memberikan segelas air minum pada Janggala.“Kakak di rumah? Mama?”“Nyonya ada di dalam kamarnya.”Janggala meneguk segelas air itu kemudian beranjak naik ke atas, dia hendak menuju kamarnya sendiri namun dia menghentikan langkahnya. Dengan segera dia menghampiri ruang baca milik
Elang menggandeng tangan kecil milik Dalenna, bocah itu mengenakkan sweater merah muda dipadu dengan celana jeans dan sepatu kets. Dia terlihat sangat trendi dengan topi kream di kepala.Dalenna melangkah dengan riang, kakinya berjingkrak-jingkrak kesana kemari, dia bersenandung lagu anak-anak.Elang terkekeh mendengarnya.Beberapa hari lalu anak itu menangis dengan kencang di rumah ketika Elang sedang mengirimkan beberapa buah-buahan seperti biasa. Keluarganya selalu memberikan kelebihan hasil tani mereka pada Dirra.Ketika Elang bertanya mengapa dia menangis, Dirra mengatakan kalau Dalenna ingin pergi ke kemah yang diselenggarakan sekolah taman kanak-kanaknya namun Dirra tidak bisa ikut karena dia ada pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan.“Kalau begitu aku saja yang pergi, aku gak ada kerjaan sampai minggu.” Kata Elang kemudian anak itu terdiam dan berjingkrak kegirangan memeluknya.Elang tidak bisa menutupi ras
Nancy dengan gusar memanggil Eveline pagi-pagi sekali. Setelah kedatangan Janggala dua hari lalu ke ruang bacanya, dia tidak bisa memikirkan hal lain. Dia merasa tidak nyaman, fakta bahwa Janggala bertemu dengan Kaili mengusiknya.“Tuan muda bertemu juga dengan Nona Dirra..” Ucap Eveline setelah menjelaskan apa yang terjadi di desa pada Nancy yang kini duduk diatas sofa sambil memijat keningnya.“Bagaimana reaksi Gala bertemu dengan Dirra?”“Pak Didik bilang tidak ada reaksi, sebaliknya Nona Dirra yang lebih emosional. Pak Didik yang tidak tahu apa-apa juga menjelaskan pada Nona Dirra kalau Tuan Muda mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatan.” Eveline menyelesaikan penjelasannya.Nancy masih memijat keningnya, dia tidak menyangka kalau apa yang sudah dia rencanakan sebaik mungkin beberapa tahun lalu malah menjadi boomerang baginya. Dia tidak menyangka Janggala akan datang ke desa itu untuk mengambil alih tanahnya.“Apa wanita itu sudah menikah?”
Lavani duduk di dalam mobil dengan wajah tertekuk, dia lebih dulu masuk ke dalam mobil meninggalkan Janggala yang menariknya pergi dari hadapan ibu mertuanya. Dia kesal, rasanya begitu menyakitkan mendengar ibu mertuanya kerap kali memaksanya untuk memiliki seorang anak.Dia tidak ingin memiliki seorang anak dari Janggala, dia bahkan tidak ingin disentuh oleh pria itu.Janggala masuk ke dalam mobil ketika Lavani masih menatap keluar jendela, suasananya jadi begitu canggung karena Janggala tahu Lavani marah dan kecewa dengan apa yang baru saja ibunya lakukan.“Aku harus gimana lagi sih Ga supaya mama tuh ngerti kalau aku mau menunda?” Lavani membuka pembicaraan ketika mobil baru saja keluar dari gerbang rumah mewah itu, dia tidak menatap Janggala.Pandangannya dia lempar keluar, enggan untuk melihat Janggala. Pikirannya kacau, hatinya penuh rasa amarah karena apa yang dilakukan oleh mertuanya.“Kamu bilang ke aku, kamu bakalan urus