Dirra sudah mulai beradaptasi tinggal di lingkungan baru. Orang-orang di dekat rumahnya begitu baik dan perhatian, semua warga sudah tahu kalau Dirra tengah hamil. Ibunya berkata kalau Dirra baru menikah secara agama waktu ditinggalkan suaminya begitu saja.
Beberapa orang ada saja yang nyinyir mendengar hal itu, tapi sebagian menerima Dirra dengan baik.
Ibunya dipindahtugaskan ke kantor desa yang kecil, sedangkan sebagian uang ibunya dijadikan ayahnya sebagai modal bertani. Di desa ini sebagian besar warganya menanam banyak sekali sayur, mereka menjual hasil tani kepada tengkulak dari desa sebelah.
Luas tanah rumah yang di tempati Dirra ternyata sangat lebar sampai ke belakang sehingga ayahnya bisa memulai menanam beberapa sayur.
Memasuki usia kehamilan lima bulan, mual muntah Dirra sudah menghilang, nafsu makannya sudah kembali dan wajahnya terlihat jauh lebih segar. Di desa ini juga ada bidan yang bertugas sehingga Dirra bisa rutin memeriksakan dirinya.
“Dir!” Suara berat dari belakang punggungnya mengejutkan Dirra yang tengah membantu ayahnya menjemur biji-biji tumbuhan yang akan disemai.
Pria dengan tinggi diatas rata-rata dengan senyum lebar itu mendekat ke arah Dirra, dia sedikit berlari, tangannya penuh dengan buah-buahan.
“Hati-hati Lang!” Dirra sedikit meninggikan suaranya ketika pria itu sudah berada di dekatnya dan hampir menjatuhkan sebagian dari buah-buahan itu.
“Elang! Gak usah lari! Kenapa malahan lari-lari?” Ayah Dirra buru-buru berlari mendekat dan membantu pria bernama Elang itu membawakan buah-buahan di tangannya.
“Ini dari ibu-ibu di puskesmas, katanya buat Dirra. Kemarin kata bu bidan, Dirra sembelit. Jadi ibu-ibu yang sudah panen buah langsung ke puskesmas untuk mengumpulkan!” Elang mengatakan hal itu dengan santai tanpa rasa malu sebaliknya Dirra yang mendengarnya kini memerah wajahnya.
“Aduh, kenapa mesti tersebar sih masalah kayak gitu?” Keluh Dirra sambil menepuk dahinya.
Ayahnya tertawa dan menggeleng. Karena desa ini kecil, informasi menyebar dengan cepat namun hal positifnya adalah orang-orang disini begitu perhatian.
“Lagi ngapain?” Elang jalan lebih dekat ke arah Dirra yang tengah duduk, dipangkuannya ada nampan dari rotan berisi biji-biji sayuran yang tersebar.
“Mau dijemur, kata ayah sebelum ditanam harus dijemur.”
Elang mengangguk sambil berjongkok, tangan besarnya berusaha membantu Dirra memilah biji-biji sayuran itu.
Ayah Dirra keluar dari dalam rumah dan melihat pemandangan itu sambil tersenyum.
“Lang, tinggi kamu naik berapa senti dari Sekolah Dasar?” Tanya Ayah Dirra ketika dia berjalan melewati keduanya untuk melanjutkan apa yang tengah dia kerjakan.
“Lupa yah, tapi sekarang tinggiku seratus delapan puluh lima senti.”
Ayah Dirra dan Dirra menengok bersamaan ke arah Elang yang memandang keduanya kebingungan. Elang adalah teman kecil Dirra, dulu keluarganya juga tinggal di komplek yang sama dengan keluarga Dirra.
Ibu dan ayah Elang saling mengenal sejak lama. Elang lebih tua satu tahun dari Dirra, dulu sekali dia sering bermain bersama Dirra. Elang bukan anak yang nakal dan suka menjahili Dirra, pria itu selalu baik dan lembut pada Dirra sejak kecil.
“Pantesan aku cuma sedada kamu!” Ujar Dirra disambung tawa yang lebar.
Elang memandangnya dan ikut tersenyum.
“Tapi ayah gak pernah tahu kalian pindah kesini, benar-benar keajaiban bisa bertemu dengan kalian lagi.” Kata ayah Dirra pada Elang.
“Setelah ayah memutuskan keluar dari kerjaan, ibu mengajak ayah kembali ke kampung halamannya.”
“Loh, jadi ini kampung halaman ibu kamu?”
Elang mengangguk, “Ayah dan ibu belajar bertani sejak dulu, mereka memang menginginkan hidup yang seperti ini.” Lanjut Elang lagi.
Pertemuan itu tidak di sengaja, beberapa minggu setelah kepindahan mereka, ibunya mengajak Dirra jalan kaki sambil berbelanja. Saat sedang berbelanja itulah ibu Elang mengenali ibu Dirra, keduanya berpelukan dan menangis karena tidak menyangka akhirnya bertemu di tempat ini.
“Mau makan buah gak? Aku potongin.” Elang membuka pembicaraan ketika suasana tengah hening, ayah Dirra sudah begitu jauh ke belakang untuk menggali tanah.
Dirra menoleh dan menatap Elang. Pertemuan yang sudah begitu lama tapi wajah itu tidak pernah berubah sedikitpun, hanya terlihat agak dewasa. Tinggi dan tubuhnya berubah namun Elang tetaplah lembut seperti dulu.
“Boleh, aku ikut ke dalam ya.”
Dirra berjalan terlebih dahulu diikuti oleh Elang di belakangnya.
“Perut kamu sudah kelihatan, berapa bulan sekarang Dir?” Tanya Elang, matanya sesekali melirik ke arah perut bulat Dirra yang sudah menonjol dari balik baju yang ia kenakan.
“Lima bulan Lang.” Dirra mengambilkan pisau dan memberikannya pada Elang yang sekarang sudah duduk di kursi meja makan, dia juga mengambilkan kresek untuk tempat sampah.
Dirra duduk di sebelah Elang yang sudah mulai mengupas kulit buah pepaya.
“Sudah besar ya, sebentar lagi lahiran.”
Dirra tersenyum mendengar ucapan Elang. Suasana hening sesaat, Elang hanya mengupas kulit pepaya dan memotong buahnya sedangkan Dirra hanya memandangnya.
“Kamu gak nanya kemana ayahnya?”
Elang menghentikan kegiatannya, kemudian mengalihkan pandangannya pada Dirra.
“Yang penting kamu sehat. Aku gak tahu apa yang terjadi sama kamu disana dan gak mau cari tahu kalau kamu gak nyaman.”
Dirra sedikit terkejut mendengar ucapan Elang sebelum akhirnya tertawa kencang, dia mendorong bahu Elang.
“Kamu nih ya astaga! Dari kecil gak berubah! Aku gak apa-apa kok Lang, kalau kamu mau tahu juga gak apa-apa.”
Elang menatap Dirra yang tertawa, “Tapi kamu kayak mau nangis gitu..”
Seketika Dirra menghentikan tawanya, kemudian dia terkekeh dengan canggung.
“Ketahuan ya?” Ucapnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Elang hanya diam tidak menanggapi, dia kembali fokus mengupas kulit pepaya dan memotong buahnya. Menyimpan buah-buah itu ke piring.
Ayah dan ibunya membicarakan hal ini di rumah, mereka merasa kasihan pada Dirra yang hamil dan ditinggal oleh kekasihnya. Ayah dan ibunya berusaha menyembunyikan fakta kalau Dirra hamil diluar nikah.
Elang melirik ke arah Dirra.
Sejak dulu, dia menyukai Dirra. Dan perasaan itu, tidak pernah berubah.
Kehamilan Dirra berjalan dengan baik, setiap bulannya dia rutin pergi ke Bidan dan mendapatkan beberapa vitamin serta pengecekan rutin. Untuk USG dia harus pergi ke kota yang jaraknya hampir dua jam dari perkampungan yang dia tinggali.Cukup menguras waktu dan tenaga, tapi untungnya ada Elang yang selalu siap mengantarnya.“Itu yang diluar suaminya bu?” Tanya dokter ketika hendak memeriksa Dirra yang masuk ke dalam ruangan, sebelum ruangan ditutup Dirra sempat menitip botol minum pada Elang dan dokter melihatnya.“Oh bukan dok.. Teman.” Jawaban Dirra membuat dokter dan asistennya mengangguk, meskipun tidak mengatakan apapun namun hawa di ruangan menjadi agak sedikit canggung.Dirra tahu beberapa orang di kampung juga bertanya-tanya mengenai keakuratan cerita ibunya meskipun mereka tetap menghargai Dirra dan keluarga dengan tidak bertanya secara langsung.Dirra juga beberapa kali menolak tawaran Elang untuk mengantarnya pergi ke dokter, namun orangtua Elang justru paling semangat memin
Kaki mungil dengan sepatu berenda itu berlari dengan kecepatan tinggi, meskipun larinya kecil-kecil namun dengan kecepatan seperti seekor kancil orang dewasa sekalipun akan kesulitan untuk mengejarnya.Anak perempuan itu memakai baju overall panjang berwarna kuning dengan dalaman berwarna putih, rambut hitam panjangnya dikuncir dua dengan pita berwarna oranye. Warna-warna tersebut begitu kontras dengan kulitnya sehingga dia terlihat begitu bercahaya ketika berlarian.“Astaga DALENNA GAVAH!” Dirra memekik sambil mengejar putrinya yang tengah melarikan diri dari jadwal makan siangnya, anak itu terkekeh geli sambil menjauh menuju teras rumah. Napasnya sudah satu-satu mengejar Dalenna, anak itu sedang aktif-aktifnya.“Hayo! Ketangkep! Lari dari makan siang ya?” Ujar Elang yang dengan cekatan menghentikan acara kejar-kejaran ibu anak itu, dia menggendong Dalenna yang kemudian memekik geli karena Elang menciumi pipinya.“Aduh! Untung ada kamu Lang!” Dirra berhenti sambil berjongkok, berusa
“Kakek! Kakek!” Dalenna memekik riang, tangannya penuh dengan bunga warna-warni. Hari ini dia memakai baju terusan selutut berwarna ungu cerah, rambutnya dibiarkan tergerai dengan bondu sebagai aksesorisnya.“Pelan-pelan Lenna!” Kaili sedikit berteriak sambil menggeleng melihat kelakuan cucunya yang memang begitu berisik dan aktif.“Haduh, maksa pakai baju itu katanya biar kakek lihat padahal mau ke makam..” Dirra mengeluh di sebelah Kaili, mereka tengah berjalan masuk ke dalam pemakaman umum.Satu bulan sudah berlalu sejak hari peringatan ayahnya, Dirra dan Kaili hampir lupa karena sibuk mengurus acara ulang tahun Dalenna. Mereka baru bisa meluangkan waktu berziarah hari ini.“Itu baju yang dibelikan Elang ya?” Tanya Kaili.“Iya, sudah Dirra bilang untuk gak belikan baju Lenna tapi setiap kali ke kota pasti bawa baju baru.”Kaili tertawa, dia tahu benar Elang tengah berusaha begitu keras mengambil hati Dirra meskipun sejauh ini Kaili lihat Dirra tidak berpikir untuk membangun hubunga
Janggala melirik ke arah jam dinding untuk ke sekian kalinya, kakinya tidak mau diam berjalan kesana kemari. Dia sudah begitu gelisah, jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Dia menengok lagi ke belakang, mengecek kalau-kalau ibunya turun dari tangga meskipun kemungkinannya sedikit tapi tidak ada yang tidak mungkin.Dia mengecek ponselnya lagi, mencari sebuah nama dan memencet tombol panggil. Hanya ada suara dengung panjang tanda telepon itu tersambung namun tidak ada jawaban.“Van, jawab dong..” Gumamnya gelisah, dia sudah berusaha menelepon supir Lavani namun juga tidak ada jawaban.Dia sekali lagi membuka gorden, mengecek apakah mobil Lavani sudah masuk halaman atau belum.“Ga?” Suara ibunya menyentak Janggala, jantungnya hampir copot karena mendengar suara itu. Dia menoleh dan mendapati ibunya turun dari tangga, masih mengenakkan piyama tidur dari sutranya. “Kamu lagi ngapain?”“Ah enggak ma, mama kok b
Janggala sudah berada di kantor tepat waktu, hari ini dia ada rapat dengan pemegang saham dan direksi membahas kantor cabang baru yang akan didirikan dalam waktu dekat ini.Pembahasan kali ini mengenai lokasi dan beberapa hal lain yang mungkin akan menyita waktu yang lumayan.Dia mengecek ponselnya, sudah pukul dua siang. Tidak ada kabar dari Lavani, tadi pagi dia pergi lebih dulu sebelum wanita itu bangun. Dia mengirimkan pesan berpamitan namun tidak ada balasan.“Ka, bisa cek sekretaris Lavani gak? Dia sudah datang ke kantor belum?” Tanya Janggala ketika Siska baru saja masuk ke dalam ruangannya dengan membawa banyak berkas, wanita bermata sipit dengan rambut hitam tergulung rapi itu menatapnya.“Loh, bu Vani sama Sivan sudah datang dari sejam lalu pak. Tadi ke ruangan rapat duluan karena ada beberapa hal yang harus dipersiapkan.”Janggala mengerenyitkan dahinya, Lavani tidak membalas pesannya tapi sudah datang ke kantor s
Lavani tengah berada di dalam mobil, memijit kepalanya. Rasa pusing dan sakit begitu menyiksanya, tadi dia terbangun dengan tergesa karena panggilan telepon dari Sivan. Dia baru teringat kalau hari ini akan ada rapat penting.Dengan terburu-buru dia bangun dan pergi ke salon untuk mempersiapkan dirinya.Beruntung hari ini rapat selesai dengan cepat, dengan terburu-buru dia langsung meninggalkan kantor.“Nyonya, tuan Janggala menelepon katanya hari ini makan malam bersama akan ditunda sampai minggu depan.” Ujar si supir ketika mereka tengah berada di jalan.Lavani melirik ke arah spion dan mengangguk.Tidak peduli.Masa bodoh dengan makan malam bersama atau apapun itu, tidak penting. Dia juga tidak iingin berada di rumah kalau saja kepala sialannya tidak merasakan nyeri. Dia lebih baik pergi ke klub malam dan bersenang-senang disana ketimbang harus terkukung di dalam rumah.Mobil memasuki garasi dan Lavani turun dari dalam mobil. Dia berjalan memutar karena pintu yang menuju ruang bela
Lavani mengenal Janggala sejak mereka kecil.Para konglomerat biasanya memang hanya bergaul dengan konglomerat lainnya. Begitu juga dengan anak-anak mereka, sejak kecil satu sama lain sudah diperkenalkan bahkan beberapa sudah ditentukan jodohnya oleh para orangtua mereka.Diantara mereka menikah karena cinta, namun kebanyakan pernikahan itu berjalan karena keperluan bisnis.Misalnya anak dari perusahaan A dan B menikah, otomatis perusahaan mereka akan bergabung karena sebuah pernikahan, hal itu bisa memperkuat bisnis mereka dan mencakup lebih banyak area.Ayahnya dulu juga dijodohkan dengan salah satu putri konglomerat, namun dia jatuh cinta pada orang asing yang bekerja di sebuah perusahaan sehingga menikahinya. Itulah mengapa Lavani lahir, namun kemudian pernikahan karena cinta itu hancur begitu saja.“Kamu mau ikut mama atau ayah?” Adalah pertanyaan yang tidak akan pernah Lavani lupa sampai kapanpun, dia memilih tinggal bers
“Wanita itu meninggalkannya..” Ucap seorang pria pada pria lain yang tengah berdiri di depan Sivan kecil, saat itu usianya masih tiga tahun.Pria yang berada di depannya bertubuh tinggi dan juga tegap, matanya serta rahangnya begitu tajam. Hidungnya lurus dan tinggi, bibirnya tebal. Matanya seperti menilai Sivan dari atas sampai bawah.“Nama kamu Sivan?” Tanya pria itu, suaranya begitu berat. Kumis yang berada di atas bibirnya bergerak naik turun. Sivan mengangguk pelan.“Wanita itu menamainya Sivan Hanggara.”Pria itu mengangguk, meminta Sivan masuk ke dalam mobil. Sivan kecil yang tidak mengerti ikut masuk ke dalam mobil, dia lapar dan juga lelah. Sudah tiga hari dia di dalam rumah yang terkunci, dia buang air besar dan kecil di tempatnya duduk, menangis dan meraung memanggil ibunya yang tak kunjung datang.Dalam diam pria itu membasuh tubuhnya ketika dia baru datang, meminta orang-orang di belakangnya untuk me