Nancy buru-buru masuk ke dalam lobi Rumah Sakit, napasnya terengah-engah, dia sudah tidak peduli beberapa pasang mata yang menatapnya aneh karena berlari seperti orang yang sudah kehilangan kewarasan.
Dia baru saja menerima telepon dari kepolisian mengenai Janggala.
“Apa betul ini dengan keluarga dari tuan Janggala Tantra? Putra ibu berada di Rumah Sakit SANJAYA karena mengalami kecelakaan.”
Polisi mengabarkan langsung padanya sehingga Nancy begitu histeris ketika mendengarnya. Eveline dan supir segera mengantarnya namun pikirannya begitu kalut ketika sampai di Rumah Sakit.
Tangannya gemetar tidak berhenti.
Dia takut kehilangan Janggala.
“Keluarga tuan Janggala Tantra?” Salah satu perawat memanggil nama itu ketika Nancy baru saja masuk ke dalam IGD dibantu oleh Eveline.
“Kami keluarganya.” Eveline segera menjawab dan mendekat kepada perawat sedangkan Nancy dibantu oleh supir pribadinya untuk tetap berdiri.
“Kami meminta persetujuan untuk operasi, biar dokter yang menjelaskan.” Kata perawat itu sambil mempersilahkan dokter yang kemudian muncul dari balik tirai.
Nancy hampir saja pingsan melihat banyaknya darah di jubah dokter itu.
Darah Janggala.
“Saya dokter umum yang menangani, sebentar lagi dokter bedah dan syaraf akan segera datang kesini. Tuan Janggala Tantra mengalami cedera kepala yang cukup serius dan pendarahan hebat. Jika tidak ditindak, kami akan kehilangan tuan Janggala.”
Kata-kata itu membuat kedua lutut Nancy terasa lemas, dunianya seperti runtuh begitu saja. Belum ada setahun kepergian suaminya dan dia kini dihadapkan oleh hal hidup dan mati putranya.
Dia segera menandatangani berkas-berkas tersebut, ketika dokter spesialis datang mereka mengenali siapa wanita paruh baya yang terdiam lesu di pojok ruangan. Kemudian setelahnya direktur Rumah Sakit langsung turun tangan dan menemui Nancy.
Dengan segera Nancy diajak untuk menempati ruangan SUPER VVIP dimana hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menempatinya di Rumah Sakit ini.
“Kami akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan tuan muda.” Kata Direktur Rumah Sakit dan Nancy hanya terdiam lemah tidak menjawab.
Wanita tua itu hanya duduk menatap kosong lorong Rumah Sakit ketika Janggala masuk ke dalam ruang operasi dan Direktur itu pergi untuk memantau operasi.
“Bagaimana? Sudah ada penjelasan kenapa Gala ada disana?” Tanya Nancy pada Eveline yang baru saja datang menghampirinya, wanita muda itu menyerahkan sebotol air mineral yang sudah dibuka tutupnya pada Nancy.
Tangan lemahnya mengambil botol itu dan meminum isinya perlahan.
“Tuan muda berada disana untuk bertemu dengan Dirra. Saat itu bertepatan dengan kepergian Dirra, tuan muda mengejar mobilnya.”
Nancy terdiam mendengar penjelasan Eveline, kemudian airmatanya tumpah. Dia terisak. Dia tidak berpikir kalau Janggala akan nekat mendatangi Dirra kurang dari jam dua.
Nancy sudah tahu kalau Dirra dan keluarganya pindah hari ini, dia sudah diberitahu oleh Siska kalau Janggala akan pergi menemui Dirra pukul dua siang. Dia tidak menyangka semuanya meleset dan kini anaknya terbaring lemah di ranjang.
“Ma! Mama! Bagaimana dengan Gala?!” Suara seorang pria berusia muda bertubuh tinggi dan tegap yang berlari mendekat pada Nancy mengalihkan perhatiannya, dia menoleh dan mendapati pria muda itu berdiri di depannya dengan tatapan panik.
“Untuk apa kamu kesini?” Tanya Nancy dengan nada sinis, dia membuang mukanya ke arah lain. Enggan menatap sosok itu.
“Ma, gimanapun Gala adik aku.”
“Diam kamu..” Nancy memotong ucapan pemuda itu, dia melirik dengan tajam, menatap pria itu lekat-lekat seperti hendak memakannya. “Kamu tidak ada hubungan apapun dengan Janggala, Sivan. Kamu hanyalah anak dari wanita simpanan!”
Sivan terdiam mendengar ucapan Nancy, dia menelan ludah berusaha untuk tetap tenang dan tidak terpancing oleh sikap wanita tua itu yang selalu merendahkannya sejak dulu.
“Kamu senang Gala kecelakaan?” Nancy menuduh tanpa ampun sambil bangun dari duduknya, dia berjalan mendekati Sivan yang kini memasang wajah terkejut setelah mendengar tuduhannya. “Kamu berpikir akan punya kesempatan kalau sampai sesuatu terjadi pada Gala?”
“Ma!”
“JANGAN PANGGIL AKU MAMA! SIALAN!” Nancy berteriak bertepatan dengan tangannya yang melayang menampar Sivan.
Sivan tertunduk ketika pipinya mulai terasa panas akibat tamparan keras Nancy.
“Aku bukan ibumu, Janggala juga bukan adikmu! Jangan berpikir kau bagian dari keluarga ini! PERGI!” Nancy berteriak dengan kencang mengacungkan tangannya, memberi isyarat pada Sivan untuk pergi dari tempat itu.
“Tante! Tante!” Panggilan Lavani mengalihkan fokus Nancy, dia mencari asal suara dan mendapati Lavani berlari menuju ke arahnya. Di belakang wanita itu ada ibu dan ayahnya yang juga terlihat begitu panik.
“Lavani!” Nancy memekik, memeluk perempuan muda itu sambil menangis.
“Mbak, bagaimana? Operasinya sudah dimulai?” Tanya ibu Lavani dengan wajah cemas. Orangtua Lavani menoleh sekilas pada Sivan yang masih terdiam tidak merespon apapun.
“Dia sedang di operasi, katanya ada pendarahan serius di kepala.” Nancy menjelaskan dengan terbata sambil terisak-isak, wanita paruh baya itu dibawa oleh orangtua Lavani menjauh dari tempat Sivan berdiam.
Nancy ditenangkan oleh kedua orangtua Lavani sedangkan Lavani masih berdiri di samping Sivan.
“Cuci mukamu, nanti kembali lagi kalau keadaan sudah lebih stabil.” Lavani mengatakan hal itu dengan suara yang begitu pelan, yang mungkin hanya bisa di dengar oleh Sivan yang kemudian beranjak pergi dari tempat itu.
Sivan mengusap pipinya yang panas dan terasa nyeri akibat tamparan itu. Dia sudah berada di rumah itu bahkan sebelum Janggala lahir, namun Nancy tidak pernah menganggapnya, tidak pernah berusaha berbaik hati padanya.
“KAU HANYA ANAK HARAM!” Kata-kata itu mendadak terngiang di telinga Sivan.
Dia berjalan pergi menuju lorong ruang operasi, dia menatap tanda sedang operasi yang berwarna merah. Sivan duduk di kursi besi panjang yang ada di depan ruang operasi, dengan menyatukan kedua tangannya dan menutup kedua mata dia berdoa.
“Tuhan, selamatkan adikku. Selamatkan Janggala.” Bisiknya.
Nancy datang dengan tergesa ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar kalau operasi yang dijalankan oleh Janggala sudah selesai. Dia sempat ke kantor polisi untuk menyelesaikan beberapa hal, seperti laporan dan lain-lain.Lavani dan kedua orangtuanya berpamitan pulang dan berjanji akan pulang setelah operasi Janggala selesai.Nancy sedikit berlari menuju ruang rawat inap Janggala, namun ketika dia sampai Janggala tidak ada disana.“Bu Nancy..” Direktur Rumah Sakit memanggilnya, pria paruh baya itu mendekat pada Nancy di dampingi oleh empat dokter.“Bagaimana dengan Gala?” Tanya Nancy tergesa, suaranya bergetar.“Biar dokter Salim yang menjelaskan.” Ucap sang Direktur mempersilahkan dokter yang bertugas mengoperasi Janggala.Dokter itu menunduk, memberi hormat pada Nancy sebelum mulai bicara.“Saya yang bertugas mengoperasi tuan muda Janggala, nama saya dokter Salim.” Dia memperkenalkan diri
Dirra membuka matanya ketika suara ibunya terdengar membangunkannya. Selama perjalanan kepalanya terasa sakit dan mual yang tidak tertahankan sehingga Dirra memutuskan untuk tidur saja.Perjalanan ini memakan waktu sampai lima jam.“Ayo keluar nak..” Ibunya membuka pintu dan mengajak Dirra keluar dari mobil.Dirra turun dari mobil dan mendapati angin yang begitu dingin menusuk menyambutnya, ibunya yang tahu akan hal itu segera memakaikan Dirra jaket tebal.“Disini dingin, jadi jangan cuma pake kaos aja..”Dirra memakai jaketnya, membuat dirinya tetap hangat di dalam.“Ini…di pegunungan bu?” Dirra bertanya ketika dia melihat sekeliling, meskipun gelap dengan samar-samar dia bisa melihat banyak pohon yang melebihi atap rumah.“Iya, ini di kaki gunung. Kalau kamu ke bawah sedikit sudah banyak rumah warga, ibu dan ayah ngecek rumah-rumah disini tapi hanya ini saja yang kosong.” Ujar i
Dirra sudah mulai beradaptasi tinggal di lingkungan baru. Orang-orang di dekat rumahnya begitu baik dan perhatian, semua warga sudah tahu kalau Dirra tengah hamil. Ibunya berkata kalau Dirra baru menikah secara agama waktu ditinggalkan suaminya begitu saja.Beberapa orang ada saja yang nyinyir mendengar hal itu, tapi sebagian menerima Dirra dengan baik.Ibunya dipindahtugaskan ke kantor desa yang kecil, sedangkan sebagian uang ibunya dijadikan ayahnya sebagai modal bertani. Di desa ini sebagian besar warganya menanam banyak sekali sayur, mereka menjual hasil tani kepada tengkulak dari desa sebelah.Luas tanah rumah yang di tempati Dirra ternyata sangat lebar sampai ke belakang sehingga ayahnya bisa memulai menanam beberapa sayur.Memasuki usia kehamilan lima bulan, mual muntah Dirra sudah menghilang, nafsu makannya sudah kembali dan wajahnya terlihat jauh lebih segar. Di desa ini juga ada bidan yang bertugas sehingga Dirra bisa rutin memeriksakan dirinya.
Kehamilan Dirra berjalan dengan baik, setiap bulannya dia rutin pergi ke Bidan dan mendapatkan beberapa vitamin serta pengecekan rutin. Untuk USG dia harus pergi ke kota yang jaraknya hampir dua jam dari perkampungan yang dia tinggali.Cukup menguras waktu dan tenaga, tapi untungnya ada Elang yang selalu siap mengantarnya.“Itu yang diluar suaminya bu?” Tanya dokter ketika hendak memeriksa Dirra yang masuk ke dalam ruangan, sebelum ruangan ditutup Dirra sempat menitip botol minum pada Elang dan dokter melihatnya.“Oh bukan dok.. Teman.” Jawaban Dirra membuat dokter dan asistennya mengangguk, meskipun tidak mengatakan apapun namun hawa di ruangan menjadi agak sedikit canggung.Dirra tahu beberapa orang di kampung juga bertanya-tanya mengenai keakuratan cerita ibunya meskipun mereka tetap menghargai Dirra dan keluarga dengan tidak bertanya secara langsung.Dirra juga beberapa kali menolak tawaran Elang untuk mengantarnya pergi ke dokter, namun orangtua Elang justru paling semangat memin
Kaki mungil dengan sepatu berenda itu berlari dengan kecepatan tinggi, meskipun larinya kecil-kecil namun dengan kecepatan seperti seekor kancil orang dewasa sekalipun akan kesulitan untuk mengejarnya.Anak perempuan itu memakai baju overall panjang berwarna kuning dengan dalaman berwarna putih, rambut hitam panjangnya dikuncir dua dengan pita berwarna oranye. Warna-warna tersebut begitu kontras dengan kulitnya sehingga dia terlihat begitu bercahaya ketika berlarian.“Astaga DALENNA GAVAH!” Dirra memekik sambil mengejar putrinya yang tengah melarikan diri dari jadwal makan siangnya, anak itu terkekeh geli sambil menjauh menuju teras rumah. Napasnya sudah satu-satu mengejar Dalenna, anak itu sedang aktif-aktifnya.“Hayo! Ketangkep! Lari dari makan siang ya?” Ujar Elang yang dengan cekatan menghentikan acara kejar-kejaran ibu anak itu, dia menggendong Dalenna yang kemudian memekik geli karena Elang menciumi pipinya.“Aduh! Untung ada kamu Lang!” Dirra berhenti sambil berjongkok, berusa
“Kakek! Kakek!” Dalenna memekik riang, tangannya penuh dengan bunga warna-warni. Hari ini dia memakai baju terusan selutut berwarna ungu cerah, rambutnya dibiarkan tergerai dengan bondu sebagai aksesorisnya.“Pelan-pelan Lenna!” Kaili sedikit berteriak sambil menggeleng melihat kelakuan cucunya yang memang begitu berisik dan aktif.“Haduh, maksa pakai baju itu katanya biar kakek lihat padahal mau ke makam..” Dirra mengeluh di sebelah Kaili, mereka tengah berjalan masuk ke dalam pemakaman umum.Satu bulan sudah berlalu sejak hari peringatan ayahnya, Dirra dan Kaili hampir lupa karena sibuk mengurus acara ulang tahun Dalenna. Mereka baru bisa meluangkan waktu berziarah hari ini.“Itu baju yang dibelikan Elang ya?” Tanya Kaili.“Iya, sudah Dirra bilang untuk gak belikan baju Lenna tapi setiap kali ke kota pasti bawa baju baru.”Kaili tertawa, dia tahu benar Elang tengah berusaha begitu keras mengambil hati Dirra meskipun sejauh ini Kaili lihat Dirra tidak berpikir untuk membangun hubunga
Janggala melirik ke arah jam dinding untuk ke sekian kalinya, kakinya tidak mau diam berjalan kesana kemari. Dia sudah begitu gelisah, jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Dia menengok lagi ke belakang, mengecek kalau-kalau ibunya turun dari tangga meskipun kemungkinannya sedikit tapi tidak ada yang tidak mungkin.Dia mengecek ponselnya lagi, mencari sebuah nama dan memencet tombol panggil. Hanya ada suara dengung panjang tanda telepon itu tersambung namun tidak ada jawaban.“Van, jawab dong..” Gumamnya gelisah, dia sudah berusaha menelepon supir Lavani namun juga tidak ada jawaban.Dia sekali lagi membuka gorden, mengecek apakah mobil Lavani sudah masuk halaman atau belum.“Ga?” Suara ibunya menyentak Janggala, jantungnya hampir copot karena mendengar suara itu. Dia menoleh dan mendapati ibunya turun dari tangga, masih mengenakkan piyama tidur dari sutranya. “Kamu lagi ngapain?”“Ah enggak ma, mama kok b
Janggala sudah berada di kantor tepat waktu, hari ini dia ada rapat dengan pemegang saham dan direksi membahas kantor cabang baru yang akan didirikan dalam waktu dekat ini.Pembahasan kali ini mengenai lokasi dan beberapa hal lain yang mungkin akan menyita waktu yang lumayan.Dia mengecek ponselnya, sudah pukul dua siang. Tidak ada kabar dari Lavani, tadi pagi dia pergi lebih dulu sebelum wanita itu bangun. Dia mengirimkan pesan berpamitan namun tidak ada balasan.“Ka, bisa cek sekretaris Lavani gak? Dia sudah datang ke kantor belum?” Tanya Janggala ketika Siska baru saja masuk ke dalam ruangannya dengan membawa banyak berkas, wanita bermata sipit dengan rambut hitam tergulung rapi itu menatapnya.“Loh, bu Vani sama Sivan sudah datang dari sejam lalu pak. Tadi ke ruangan rapat duluan karena ada beberapa hal yang harus dipersiapkan.”Janggala mengerenyitkan dahinya, Lavani tidak membalas pesannya tapi sudah datang ke kantor s