Suara barang yang dibanting terdengar dari dalam ruang kantor yang berada tepat di samping kamar tidur milik Nancy, sepulang dari rumah Dirra dadahnya begitu mendidih karena jawaban yang dilontarkan oleh kedua orangtua perempuan itu.
“Congkak sekali mereka! Hutang sampai batas leher tapi seolah-olah mereka bisa melakukan yang terbaik! Sialan!” Dia memekik sambil melempar cangkir yang berada di atas meja sampai pecah berkeping-keping.
Eveline terdiam mematung mendengar majikannya mengoceh dengan penuh amarah, napas wanita paruh baya itu memburu. Bisa dipastikan apa yang dikatakan oleh orangtua Dirra padanya membuat harga dirinya tercoreng.
“Sudah dihubungi?” Tanya Nancy dengan napas ngos-ngosan pada Eveline.
“Sudah, saya sudah hubungi mereka dan menawarkan sejumlah uang. Mutasi ibu Kaili Gauri sedang di proses oleh perusahaan.
“Saya gak mau tahu, secepatnya mereka harus pergi dari kota ini. Saya gak mau melihat ibunya ataupun wanita itu berkeliaran disini, tambahkan sejumlah uang untuk mutasi wanita itu agar dia mau menutup mulutnya perkara anak Janggala!” Titah Nancy dengan tatapan tajam yang dia berikan pada Eveline.
Wanita muda itu mengangguk tanpa menatap balik majikannya.
“Bereskan juga perpindahan dan pendaftaran Janggala untuk melanjutkan kuliah diluar negeri.”
“Baik nyonya.” Eveline menjawab dengan suara yang tegas, kemudian meminta izin keluar dari ruangan tersebut. Dia langsung buru-buru meminta salah satu asisten rumah tangga untuk masuk ke dalam kamar membereskan pecahan cangkir.
Dia menghela napas, semua yang dititahkan majikannya sudah dia kerjakan. Hanya saja, untuk menambahkan uang tutup mulut pada keluarga Gauri akan memerlukan sedikit ide agar mereka tidak berpikir ini ulang keluarga Tantra.
“Kenapa mama?” Suara Janggala membuat Eveline sedikit terlonjak kaget, dia menatap bocah laki-laki itu.
Sedikit di dalam hatinya dia tidak habis pikir apa yang ada di dalam kepala bocah itu, ketimbang menuruti keinginan ibunya dan menjalani kehidupan penuh fasilitas dia malah membangkang dan berpacaran dengan orang miskin.
“Tidak ada apa-apa, tuan muda.” Jawab Eveline setelah sebelumnya sedikit mengutuk di dalam hati.
“Gimana sama Dirra? Mama gak ngomong aneh-aneh ‘kan? Gimana kandungannya?” Pertanyaan itu berjejalan masuk ke dalam telinga Eveline tanpa jeda.
“Saya tidak menjawabnya.”
Janggala berdecak, dia mengacak rambutnya.
“Lo harus bantuin gue untuk ketemu sama Dirra, please Eve. Gue gak bisa minta tolong ke siapa-siapa.” Kini bocah itu merengek, wajahnya memelas saat mengatakan hal itu pada Eveline.
“Kalau sudah bertemu, tuan muda mau apa? Gak ada yang bisa dilakukan, kalaupun tuan muda masih terus mau bersama dengan Dirra, nyonya gak akan mengizinkan dan urusannya akan jauh lebih rumit.”
“Gak Eve, please, gue mau bertanggung jawab. Dirra lagi hamil anak gue.” Ujar Janggala dengan nada yang kian mendesak pada Eveline.
“Dirra sudah menggugurkan kandungannya.” Pernyataan itu membuat Eveline dan juga Janggala menoleh, mendapati Nancy berdiri dengan tangan terlipat di dadanya menatap angkuh Janggala.
“Apa? Apa yang mama bilang?! Bohong ‘kan Eve?” Janggala berpaling ke arah Eveline yang tidak menjawab apa-apa, wanita muda itu hanya diam tidak bergerak di tempatnya.
Nancy mendekat, “Mama memberikan mereka kompensasi, sejumlah uang dengan syarat harus menggugurkan kandungan. Dan mereka menyetujuinya.”
Janggala membelalak tidak percaya dengan apa yang dia dengar, dia menggeleng berkali-kali sambil mengacak rambutnya kasar.
“Mama bohong!” Dia kini berteriak kencang sampai memekakan telinga.
“Gala! Mereka itu orang miskin! Sejumlah uang besar untuk melunasi hutang Bank jauh lebih berharga dari nyawa seorang anak!”
Janggala menutup kedua telinganya, dia tidak percaya dengan apa yang ibunya katakan. Dia yakin itu semua kebohongan, dia tahu bagaimana Dirra. Kekasihnya tidak akan melakukan hal itu demi uang.
“Keluarga Dirra dililit hutang besar dari Bank! Mereka mengajukan nominal uang dan mama memberikannya, mereka berjanji akan melakukan aborsi. Semuanya sudah selesai.”
Janggala beranjak dari ruangan dimana ibunya berada, dia tidak ingin mendengar banyak omong kosong yang keluar dari mulut wanita paruh baya itu. Dia harus mencari tahu sendiri apa yang terjadi.
Keesokan harinya, Kaili di panggil secara mendadak oleh HRD di tempatnya bekerja. Tanpa alasan jelas dia diberikan surat mutasi ke sebuah desa dimana itu adalah desa yang akan Dirra tuju.
Dia membaca semua isi surat mutasi tersebut dan merasakan kejanggalan tersebut.
“Apa ini ada hubungannya dengan keluarga Tantra?” Tanyanya kemudian.
“Saya gak ngerti apa maksud kamu, kenapa ini harus ada hubungannya dengan keluarga Tantra?” Tanya balik HRDnya dengan wajah seolah tidak mengerti maksud pertanyaan Kaili.
Kaili menghela napas panjang dan menandatangi surat mutasi tersebut, dia tidak mungkin protes karena sekuat apapun dia melawan keluarga Tantra akan menyingkirkan dia dan keluarganya pergi dari kota ini.
“Nanti ada uang mutasi yang di transfer ke nomor rekeningmu ya.” Ujar HRD tersebut ketika Kaili baru saja bangun dari duduknya.
Kaili menghentikan langkahnya dan menoleh.
“Tolong beritahu pada keluarga Tantra untuk tidak mengirimkan saya uang. Saya tidak butuh uang yang mereka berikan, saya dan keluarga saya akan diam-diam pergi dari sini.” Ucapnya sambil melangkah pergi dari dalam kantor, isi kepalanya berantakan sekarang.
Namun setidaknya dia tidak diputus kontrak begitu saja, dia masih bisa berusaha untuk membiayai keluarga kecilnya. Dia melangkah keluar kantor tanpa membereskan apapun di meja kerjanya, langkah demi langkah itu membuat airmatanya jatuh.
Di pojok ruangan dia berjongkok, menangis dengan tersedu-sedu.
Dia tidak pernah berpikir apa yang terjadi padanya sekarang adalah nyata, seperti di sebuah sinetron TV yang dia tonton anaknya diperlakukan seperti sebuah barang usang yang sudah tidak dipakai lagi.
Dia mengelap airmatanya, dengan langkah pasti dia keluar dari ruangan tersebut.
Janggala masuk ke dalam kantor, seperti hari-hari biasa tatapan sinis orang-orang disana tidak pernah berubah. Semenjak dia diangkat jadi penerus sementara semua orang menyepelekannya.Tentu saja, siapa yang mau tunduk pada anak berusia dua puluh tahun yang bahkan masuk kuliah saja belum.Berbeda dengan Dirra yang lebih dulu bekerja setelah lulus sekolah, Janggala menghabiskan waktunya untuk berleha-leha dibawah ketiak orangtuanya. Setelah ayahnya meninggal dan dia diberikan tugas yang berat, dia baru merasa sangat kewalahan. Itulah mengapa dia absen memberi kabar pada Dirra setelah apa yang mereka lakukan di hotel.Dia masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh sekretarisnya.“Hari ini ada jadwal rapat sampai jam dua sore aja pak.” Ujar Siska, mengecek jadwal Janggala di tablet milik kantor yang selalu dia bawa kemanapun.Janggala melepaskan jas dan menggantungnya, ia duduk di kursinya menatap area kerjanya.“Sis, kamu bisa pesankan saya taksi
Nancy buru-buru masuk ke dalam lobi Rumah Sakit, napasnya terengah-engah, dia sudah tidak peduli beberapa pasang mata yang menatapnya aneh karena berlari seperti orang yang sudah kehilangan kewarasan.Dia baru saja menerima telepon dari kepolisian mengenai Janggala.“Apa betul ini dengan keluarga dari tuan Janggala Tantra? Putra ibu berada di Rumah Sakit SANJAYA karena mengalami kecelakaan.”Polisi mengabarkan langsung padanya sehingga Nancy begitu histeris ketika mendengarnya. Eveline dan supir segera mengantarnya namun pikirannya begitu kalut ketika sampai di Rumah Sakit.Tangannya gemetar tidak berhenti.Dia takut kehilangan Janggala.“Keluarga tuan Janggala Tantra?” Salah satu perawat memanggil nama itu ketika Nancy baru saja masuk ke dalam IGD dibantu oleh Eveline.“Kami keluarganya.” Eveline segera menjawab dan mendekat kepada perawat sedangkan Nancy dibantu oleh supir pribadinya untu
Nancy datang dengan tergesa ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar kalau operasi yang dijalankan oleh Janggala sudah selesai. Dia sempat ke kantor polisi untuk menyelesaikan beberapa hal, seperti laporan dan lain-lain.Lavani dan kedua orangtuanya berpamitan pulang dan berjanji akan pulang setelah operasi Janggala selesai.Nancy sedikit berlari menuju ruang rawat inap Janggala, namun ketika dia sampai Janggala tidak ada disana.“Bu Nancy..” Direktur Rumah Sakit memanggilnya, pria paruh baya itu mendekat pada Nancy di dampingi oleh empat dokter.“Bagaimana dengan Gala?” Tanya Nancy tergesa, suaranya bergetar.“Biar dokter Salim yang menjelaskan.” Ucap sang Direktur mempersilahkan dokter yang bertugas mengoperasi Janggala.Dokter itu menunduk, memberi hormat pada Nancy sebelum mulai bicara.“Saya yang bertugas mengoperasi tuan muda Janggala, nama saya dokter Salim.” Dia memperkenalkan diri
Dirra membuka matanya ketika suara ibunya terdengar membangunkannya. Selama perjalanan kepalanya terasa sakit dan mual yang tidak tertahankan sehingga Dirra memutuskan untuk tidur saja.Perjalanan ini memakan waktu sampai lima jam.“Ayo keluar nak..” Ibunya membuka pintu dan mengajak Dirra keluar dari mobil.Dirra turun dari mobil dan mendapati angin yang begitu dingin menusuk menyambutnya, ibunya yang tahu akan hal itu segera memakaikan Dirra jaket tebal.“Disini dingin, jadi jangan cuma pake kaos aja..”Dirra memakai jaketnya, membuat dirinya tetap hangat di dalam.“Ini…di pegunungan bu?” Dirra bertanya ketika dia melihat sekeliling, meskipun gelap dengan samar-samar dia bisa melihat banyak pohon yang melebihi atap rumah.“Iya, ini di kaki gunung. Kalau kamu ke bawah sedikit sudah banyak rumah warga, ibu dan ayah ngecek rumah-rumah disini tapi hanya ini saja yang kosong.” Ujar i
Dirra sudah mulai beradaptasi tinggal di lingkungan baru. Orang-orang di dekat rumahnya begitu baik dan perhatian, semua warga sudah tahu kalau Dirra tengah hamil. Ibunya berkata kalau Dirra baru menikah secara agama waktu ditinggalkan suaminya begitu saja.Beberapa orang ada saja yang nyinyir mendengar hal itu, tapi sebagian menerima Dirra dengan baik.Ibunya dipindahtugaskan ke kantor desa yang kecil, sedangkan sebagian uang ibunya dijadikan ayahnya sebagai modal bertani. Di desa ini sebagian besar warganya menanam banyak sekali sayur, mereka menjual hasil tani kepada tengkulak dari desa sebelah.Luas tanah rumah yang di tempati Dirra ternyata sangat lebar sampai ke belakang sehingga ayahnya bisa memulai menanam beberapa sayur.Memasuki usia kehamilan lima bulan, mual muntah Dirra sudah menghilang, nafsu makannya sudah kembali dan wajahnya terlihat jauh lebih segar. Di desa ini juga ada bidan yang bertugas sehingga Dirra bisa rutin memeriksakan dirinya.
Kehamilan Dirra berjalan dengan baik, setiap bulannya dia rutin pergi ke Bidan dan mendapatkan beberapa vitamin serta pengecekan rutin. Untuk USG dia harus pergi ke kota yang jaraknya hampir dua jam dari perkampungan yang dia tinggali.Cukup menguras waktu dan tenaga, tapi untungnya ada Elang yang selalu siap mengantarnya.“Itu yang diluar suaminya bu?” Tanya dokter ketika hendak memeriksa Dirra yang masuk ke dalam ruangan, sebelum ruangan ditutup Dirra sempat menitip botol minum pada Elang dan dokter melihatnya.“Oh bukan dok.. Teman.” Jawaban Dirra membuat dokter dan asistennya mengangguk, meskipun tidak mengatakan apapun namun hawa di ruangan menjadi agak sedikit canggung.Dirra tahu beberapa orang di kampung juga bertanya-tanya mengenai keakuratan cerita ibunya meskipun mereka tetap menghargai Dirra dan keluarga dengan tidak bertanya secara langsung.Dirra juga beberapa kali menolak tawaran Elang untuk mengantarnya pergi ke dokter, namun orangtua Elang justru paling semangat memin
Kaki mungil dengan sepatu berenda itu berlari dengan kecepatan tinggi, meskipun larinya kecil-kecil namun dengan kecepatan seperti seekor kancil orang dewasa sekalipun akan kesulitan untuk mengejarnya.Anak perempuan itu memakai baju overall panjang berwarna kuning dengan dalaman berwarna putih, rambut hitam panjangnya dikuncir dua dengan pita berwarna oranye. Warna-warna tersebut begitu kontras dengan kulitnya sehingga dia terlihat begitu bercahaya ketika berlarian.“Astaga DALENNA GAVAH!” Dirra memekik sambil mengejar putrinya yang tengah melarikan diri dari jadwal makan siangnya, anak itu terkekeh geli sambil menjauh menuju teras rumah. Napasnya sudah satu-satu mengejar Dalenna, anak itu sedang aktif-aktifnya.“Hayo! Ketangkep! Lari dari makan siang ya?” Ujar Elang yang dengan cekatan menghentikan acara kejar-kejaran ibu anak itu, dia menggendong Dalenna yang kemudian memekik geli karena Elang menciumi pipinya.“Aduh! Untung ada kamu Lang!” Dirra berhenti sambil berjongkok, berusa
“Kakek! Kakek!” Dalenna memekik riang, tangannya penuh dengan bunga warna-warni. Hari ini dia memakai baju terusan selutut berwarna ungu cerah, rambutnya dibiarkan tergerai dengan bondu sebagai aksesorisnya.“Pelan-pelan Lenna!” Kaili sedikit berteriak sambil menggeleng melihat kelakuan cucunya yang memang begitu berisik dan aktif.“Haduh, maksa pakai baju itu katanya biar kakek lihat padahal mau ke makam..” Dirra mengeluh di sebelah Kaili, mereka tengah berjalan masuk ke dalam pemakaman umum.Satu bulan sudah berlalu sejak hari peringatan ayahnya, Dirra dan Kaili hampir lupa karena sibuk mengurus acara ulang tahun Dalenna. Mereka baru bisa meluangkan waktu berziarah hari ini.“Itu baju yang dibelikan Elang ya?” Tanya Kaili.“Iya, sudah Dirra bilang untuk gak belikan baju Lenna tapi setiap kali ke kota pasti bawa baju baru.”Kaili tertawa, dia tahu benar Elang tengah berusaha begitu keras mengambil hati Dirra meskipun sejauh ini Kaili lihat Dirra tidak berpikir untuk membangun hubunga