“Lo Dirra ‘kan?” Seorang bocah laki-laki berbadan tegap dengan tatapan mata yang tajam itu menatapnya. “Dirra Gauri?” Laki-laki itu mengulang lagi pertanyaannya.
Dirra mengamatinya, bocah laki-laki itu memakai seragam sama dengannya. Seragam SMA DARA SEDAYU, melihat warna yang terpasang di lengan kanannya dia pastilah satu angkatan dengan Dirra.
Sama-sama kelas tiga.
Semilir angin memainkan rambut keduanya, bocah laki-laki dengan rambut hitam, style yang rapi. Hidungnya tinggi, bibirnya lebar dan terlihat rapi berwarna merah muda. Dirra tengah berada di bawah pohon dekat perpustakaan ketika bocah itu mendekatinya secara tiba-tiba.
“Kamu siapa?” Kini Dirra balik bertanya, keningnya berkerut. Tidak merasa mengenal laki-laki itu selama bersekolah disini, atau mungkin karena dia tidak begitu tertarik dengan sekitar.
Bocah laki-laki itu tidak langsung menjawab, dia terdiam sebentar sebelum akhirnya tertawa kencang. Dirra terkejut mendengarnya, tawa itu seperti tawa yang dipaksakan.
“Lo gak kenal gue?”
Dirra menatapnya lagi, “Apa saya harus kenal kamu?”
Wajah bocah laki-laki di depannya itu menegang namun dia tidak beranjak dari hadapan Dirra, dia kemudian berjongkok, mensejajarkan mata miliknya dengan milik Dirra. Keduanya saling bertatapan dengan jarak yang begitu dekat sekarang.
Dirra terkejut dengan aksi tersebut, dia sedikit terlonjak ke belakang.
“Lo harus ingat muka gue, ingat nama gue. Gue, Janggala Tantra anak pemilik yayasan yang mensponsori sekolahan ini. Gue suka sama lo, gue pengen lo jadi cewek gue.”
Dia mengatakannya dengan wajah yang begitu serius, menatap dalam-dalam mata milik Dirra. Wajahnya yang tampan itu tidak mungkin bisa dilupakan dengan segera, namun Dirra menepis hal itu.
Tidak, ini bukan saatnya melakukan hal bodoh semacam pacaran.
“Maaf saya gak kenal kamu.” Dirra buru-buru membereskan buku yang tengah ia baca, ucapan laki-laki bernama Janggala itu tidak dapat dia mengerti. Ia tengah sibuk memasukkan semua barang-barang yang berserakan diatas karpet yang dia gelar untuk acara membacanya ketika tangan Janggala menggenggamnya.
“Gue bilang, ingat muka dan nama gue. Gue Janggala, gue suka sama lo. Ayo kita pacaran.”
Dua tahun berlalu sejak kejadian itu, ketika Janggala datang padanya dan memaksanya untuk berpacaran. Kini Dirra menatap dirinya sendiri di depan kaca, dia sudah lulus dari SMA dan impiannya untuk berkuliah hancur berantakan karena terhalang biaya, terlebih lagi sekarang dia tidak mungkin melanjutkan untuk bekerja.
Mata hitam pekatnya menatap benda putih panjang di tangan, dibuka telapaknya dan terlihat garis dua yang begitu terang.
Positif.
Dia hamil.
Tubuhnya bergetar, segera dia mengambil ponsel berusaha menghubungi Janggala yang entah kenapa semenjak mereka melakukan hubungan seks sudah sulit sekali dihubungi.
Dua bulan telah berlalu dan pria itu seperti menghilang, padahal mereka melakukannya dalam keadaan sadar. Suka sama suka.
Dia mengirimkan pesan pada Janggala, memohon untuk kembali menghubunginya.
Dirra memasukkan hasil testpack itu ke dalam nakas di kamarnya, berusaha menyembunyikan dari orangtuanya. Dia keluar dan mendapati ayahnya tengah membaca koran di ruang tamu.
Ini minggu pagi dan orangtuanya sedang libur bekerja.
“Dir, kamu sudah masukin lamaran yang ayah kasih kemarin?”
Dirra terdiam kemudian mengangguk pelan. Dia baru saja habis kontrak di kantor lamanya dan sekarang sedang berusaha untuk mencari pekerjaan baru.
“Gak apa-apa, kerja dulu aja. Nanti kuliahnya bisa menyusul.” Kata Bapak, membalik koran di tangannya dengan senyum yang mengembang.
Hati Dirra begitu teriris, bagaimana mungkin dia jujur pada orangtuanya kalau dia sekarang tengah mengandung anak Janggala sedangkan ekonomi keluarganya dalam kondisi yang tidak baik.
Ayahnya bulan depan sudah mulai pensiun karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan dia bekerja lebih lama, sedangkan ibunya bekerja sebagai pekerja kantoran biasa. Hutang Bank ayahnya bahkan belum lunas dan seharusnya Dirra yang meneruskan untuk melunaskan semuanya.
“Janggala sudah lama gak main kesini Dir?” Ibunya keluar dari dalam membawa sepiring goreng pisang yang masih mengepul asapnya, duduk di sebelah ayahnya setelah menyimpan piring itu di atas meja.
Ayahnya mengambil satu pisang goreng dan memakannya, kepulan asapnya terlihat keluar dari sela mulutnya.
“Lagi sibuk bu, ‘kan setelah ayahnya meninggal dia jadi dibebani semua tanggung jawab perusahaan.”
“Loh? Emang sudah ditentukan penerusnya? Janggala punya kakak ‘kan?” Tanya ayahnya, menyerobot obrolan ibu anak itu. Ibunya hanya menggeleng melihat kelakuan suaminya, dia kemudian membawa penyedot debu masuk ke dalam kamar anaknya sebelum mendengar kelanjutan obrolan suami dan anaknya.
“Kakak tiri yah, keluarga Janggala gak ada yang mengakui kehadirannya. Jadi semuanya dibebankan ke Janggala.”
Ayahnya mengangguk-angguk, pisang goreng di tangannya sudah tandas tanpa sisa.
“Repot ya kalau urusan orang kaya, tapi beruntung banget kamu nak masih bertahan hubungannya sama Janggala. Dia gak macem-macem sama kamu ‘kan?”
Dirra bergeming, dia merasa malu pada ayahnya. Dia tidak mampu menjaga satu-satunya kehormatan yang dia miliki, padahal ayahnya selalu bilang untuk selalu menjaga keperawanannya.
“Kita bukan orang berada Dir, setidaknya ada satu-satunya harta yang bisa kita banggakan di depan orang lain. Kalau untuk kamu, ya, kehormatanmu. Harus dijaga sampai menikah nanti.” Pesan ayahnya itu terngiang di telinganya, hatinya sakit, dadanya sesak.
Dirra hampir menangis ketika ibunya dengan suara yang gaduh berjalan cepat menuju ke arahnya, ibunya memegang pundak Dirra. Ketika Dirra berbalik tangan ibunya melayang ke arah pipinya, cepat dan kencang.
Dirra merasakan panas yang begitu menyengat, dia menatap ibunya.
Mata yang memerah dengan airmata tergenang, bulir-bulir airmata itu jatuh ketika wanita paruh baya itu mengangkat tangan memperlihatkan apa yang baru saja dia temukan di dalam kamar putri tunggalnya.
Tespack dengan hasil positif.
“Tidak, mama tidak akan pernah mengizinkan kamu untuk bersama Dirra!” Suara perempuan paruh baya itu terdengar lantang di udara, suaranya menggema di dalam ruang tamu luas dan megah.Dia duduk di sebuah sofa, matanya tajam, kerutannya mulai terlihat namun wajahnya tetap terlihat penuh wibawa, kecantikan itu tidak pudar dimakan waktu. Rahang yang tegas, sorot mata yang penuh dengan intimidasi.“Aku sudah ngelakuin apa yang mama mau selama dua bulan terakhir, setelah papa meninggal aku mau melanjutkan usaha dan bekerja menggantikan papa. Mama berjanji akan membiarkan aku melakukan apa yang aku mau!” Kini pria muda di depannya berteriak balik, wajahnya diliputi dengan kemarahan, ada getar dalam suaranya yang mendadakan dia tengah menahan semuanya.“Tapi bukan untuk bersama Dirra!”Napas pria itu keluar satu-satu, dia berusaha untuk mengaturnya karena jujur saja dia benar-benar diluar kendali sekarang. Dia bisa melakukan banyak hal termasuk menyakiti ibu kandungnya sendiri.Janggala sudah
Dirra masih menangis di kamarnya, meratapi nasibnya yang malang. Dia kini benar-benar tidak bisa menghubungi Janggala, kedua orangtuanya mengambil ponselnya dengan paksa.“Ibu benar-benar kecewa Dir, kenapa kamu tega ngelakuin ini ke keluarga kita?” Tanya ibunya di malam mereka baru kembali dari rumah Janggala, ketiganya berkumpul di ruang depan.Dirra menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menangis, tidak mampu menatap kedua orangtuanya.“Ayah sudah bilang padamu berkali-kali Dir, setidaknya kita harus punya sesuatu yang bisa dipegang sebagai seseorang yang tidak memiliki apa-apa. Ayah sudah sangat yakin kita akan diinjak-injak dan dihina seperti tadi oleh keluarga Tantra.” Ujar ayahnya dengan suara yang lembut sambil memijat dahi, terlihat raut wajah kecewa oleh Dirra.“Dirra benar-benar minta maaf yah, bu. Ini semua kesalahan Dirra..”Ibunya kemudian memeluknya dengan erat sambil menangis.“Kita pindah saja ya nak, Dirra sama ayah pergi ke kampung saja.. Biar ibu disini bekerja.
Dirra tahu dirinya sedang tertidur.Kondisi rumahnya seminggu terakhir penuh dengan ketegangan, terutama ibu dan ayahnya. Kedua orangtuanya sedang direpotkan mengurus kepindahan Dirra, mereka sebisa mungkin mengatur seolah-olah Dirra pergi untuk bekerja diluar kota.Mereka mempersiapkan banyak hal, dan mencicil sedikit demi sedikit barang Dirra yang bisa mereka bawa dan pindahkan menggunakan jasa ekspedisi.Mereka ingin melakukannya secara perlahan tanpa mengeluarkan rasa curiga.Ibunya juga sudah menggaungkan pada tetangga kalau Dirra sedang interview pekerjaan dan banyak lainnya, sehingga jika nantinya Dirra siap pergi untuk berpindah semua orang tidak menaruh curiga.Kedua orangtuanya melakukannya dengan sangat baik, mengenyampingkan apa yang diingikan oleh Dirra. Terlebih Dirra sendiri begitu repot merasakan mual dan muntah, dia juga harus tersiksa karena muntah yang harus dia atur supaya tidak terdengar kemanapun.Dia kelelahan.
Nancy membaca semua berkas yang diberikan oleh orang bayarannya. Setelah kedatangan Dirra dan keluarganya, dia meminta orang untuk mencari tahu mengenai siapa ayah dari anak yang dikandung oleh Dirra.Nancy tahu benar kalau anaknya, Janggala. Sudah berpacaran selama dua tahun dengan Dirra, awalnya dia tahu benar kalau Janggala hanyalah menjadikan perempuan itu sebagai bahan taruhan. Namun entah sejak kapan hubungan itu nampak lebih serius dari seharusnya.“Jadi, Dirra gak ada keluar sama laki-laki lain selain sama Gala?”“Betul nyonya, dua bulan lalu keduanya pergi ke hotel karena tuan Janggala membuat kejutan acara dua tahun hubungan mereka.” Jawab pria bertubuh besar dan kekar itu dengan suara yang penuh hormat.Nancy mengecek foto-foto yang diambil diam-diam oleh orang yang menguntit keduanya.Berarti, ucapan Dirra mengenai kehamilan itu adalah benar. Perempuan itu tidak berhubungan dengan pria manapun selain anaknya, sia
Dirra masih dalam siklusnya, dia mual dan muntah secara rutin di pagi hari. Nafsu makannya melorot drastis, wajahnya pucat dan pipinya kini begitu tirus. Beberapa helai rambutnya mulai rontok karena stress.Ibunya menangis setiap malam melihat kondisi putrinya yang memprihatinkan, kehamilan ini membuat Dirra begitu tersiksa.“Kita harus cepat-cepat beresin semuanya yah, Dirra harus pindah secepatnya.” Kata Kaili, ibu Dirra. Dia dan suaminya tengah berada di ruang tamu, berdiskusi pelan-pelan karena takut tetangga mendengar.Dirra sedang di dalam kamar, tertidur.Persiapan pindah Dirra sudah sembilan puluh persen selesai, kini yang harus diselesaikan hanyalah pembayaran rumah yang akan mereka kontrak.“Ambil uang pensiun ayah aja, kita bayar dulu dua tahun. Gak apa-apa, ibu yakin nanti kita bisa berpikir untuk selanjutnya bagaimana.” Ucap Kaili, airmata sudah jatuh satu persatu dari matanya.Hatinya terluka melihat bua
Suara barang yang dibanting terdengar dari dalam ruang kantor yang berada tepat di samping kamar tidur milik Nancy, sepulang dari rumah Dirra dadahnya begitu mendidih karena jawaban yang dilontarkan oleh kedua orangtua perempuan itu.“Congkak sekali mereka! Hutang sampai batas leher tapi seolah-olah mereka bisa melakukan yang terbaik! Sialan!” Dia memekik sambil melempar cangkir yang berada di atas meja sampai pecah berkeping-keping.Eveline terdiam mematung mendengar majikannya mengoceh dengan penuh amarah, napas wanita paruh baya itu memburu. Bisa dipastikan apa yang dikatakan oleh orangtua Dirra padanya membuat harga dirinya tercoreng.“Sudah dihubungi?” Tanya Nancy dengan napas ngos-ngosan pada Eveline.“Sudah, saya sudah hubungi mereka dan menawarkan sejumlah uang. Mutasi ibu Kaili Gauri sedang di proses oleh perusahaan.“Saya gak mau tahu, secepatnya mereka harus pergi dari kota ini. Saya gak mau melihat ibunya ataupun wanita itu berkeliaran
Janggala masuk ke dalam kantor, seperti hari-hari biasa tatapan sinis orang-orang disana tidak pernah berubah. Semenjak dia diangkat jadi penerus sementara semua orang menyepelekannya.Tentu saja, siapa yang mau tunduk pada anak berusia dua puluh tahun yang bahkan masuk kuliah saja belum.Berbeda dengan Dirra yang lebih dulu bekerja setelah lulus sekolah, Janggala menghabiskan waktunya untuk berleha-leha dibawah ketiak orangtuanya. Setelah ayahnya meninggal dan dia diberikan tugas yang berat, dia baru merasa sangat kewalahan. Itulah mengapa dia absen memberi kabar pada Dirra setelah apa yang mereka lakukan di hotel.Dia masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh sekretarisnya.“Hari ini ada jadwal rapat sampai jam dua sore aja pak.” Ujar Siska, mengecek jadwal Janggala di tablet milik kantor yang selalu dia bawa kemanapun.Janggala melepaskan jas dan menggantungnya, ia duduk di kursinya menatap area kerjanya.“Sis, kamu bisa pesankan saya taksi
Nancy buru-buru masuk ke dalam lobi Rumah Sakit, napasnya terengah-engah, dia sudah tidak peduli beberapa pasang mata yang menatapnya aneh karena berlari seperti orang yang sudah kehilangan kewarasan.Dia baru saja menerima telepon dari kepolisian mengenai Janggala.“Apa betul ini dengan keluarga dari tuan Janggala Tantra? Putra ibu berada di Rumah Sakit SANJAYA karena mengalami kecelakaan.”Polisi mengabarkan langsung padanya sehingga Nancy begitu histeris ketika mendengarnya. Eveline dan supir segera mengantarnya namun pikirannya begitu kalut ketika sampai di Rumah Sakit.Tangannya gemetar tidak berhenti.Dia takut kehilangan Janggala.“Keluarga tuan Janggala Tantra?” Salah satu perawat memanggil nama itu ketika Nancy baru saja masuk ke dalam IGD dibantu oleh Eveline.“Kami keluarganya.” Eveline segera menjawab dan mendekat kepada perawat sedangkan Nancy dibantu oleh supir pribadinya untu