[Dek, maafin Mas … lebaran kali ini sepertinya gak pulang lagi.] Sebuah pesan masuk dari nomor Mas Baska membuat Cahaya hanya mampu menghela napas panjang. Genap empat tahun sudah, Mas Baska tak pulang saat lebaran. Cahaya kembali melanjutkan melipat pakaian. Pandangannya beralih dari jendela yang tampak berkabut karena hujan tak kunjung henti pada tumpukkan pakaian yang ada di depannya. Tangannya bergerak pelan seiring dengan pikirannya yang berlarian. Semuanya saling bertali ke sana ke mari. Masih teringat jelas dua hari lalu wajah Kirana---sang putri saat memilah-milah gamis dalam lemari plastik miliknya. “Bu, puasa Kiran ‘kan udah mau tamat … katanya nanti Ibu mau belikan baju baru buat lebaran kan, ya?” Pertanyaannya gadis kecilnya membuat Cahaya bergeming, tetapi dia berusaha tersenyum demi menutupi kegundahan hatinya. Sepasang bola beningnya terasa berkabut ketika melihat jemari mungil itu lincah memilah pakaian-pakaian yang sebetulnya semuanya sama, lusuh dan kusam.“Hmmm …
“Mbak, bungkus saja gamisnya untuk dia. Biar nanti saya yang bayar.”Cahaya menoleh, tampak seorang lelaki setinggi kurang lebih seratus delapan puluh senti tengah berdiri. Kaos warna biru berkerah dikenakannya. Tatapan matanya tajam. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Rambutnya dipotong plontos dengan kumis tipis menghiasi wajahnya. Satu kata untuk menyimpulkan sosok yang tengah berdiri itu yaitu gagah. “B—Bang Fajar?” Bibir Cahaya bergetar. Dia seoalah terhipnotis dan mematung kaku melihat sosok yang sudah lama menghilang itu. “Apa kabar kamu, Aya? Lama gak jumpa.” Bibirnya yang berwarna natural membuat lengkung indah. Sebuah senyuman yang sudah lama tak pernah dia lihat, tepatnya semenjak kelulusan sekolah menengah belasan tahun silam.“B--Baik, Bang.” “Maaf, Mas. Ini jadi dibungkus, gamisnya?” Penjaga toko menyela kecanggungan yang terjadi di antara keduanya. “Bungkus saja, Mbak.” “Gak usah, Mbak.” Cahaya dan lelaki itu mengucap bersamaan, lalu keduanya saling
Cahaya kini berkutat di dapur. Dua gelas beras sudah ditanaknya di dalam alat penanak nasi. Ayam goreng untuk Kiran sudah selesai dia masak. Kini jemari lentiknya tengah sibuk mengiris tempe untuk dijadikan bacem. Sayurnya dia menumis kangkung. Aroma masakan menguar memanjakkan indra penciuman. Perut yang letih menahan lapar seolah disuguhi oleh godaan. Apalagi tubuh Cahaya terasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah kakak iparnya. “Ma, di rumah Anneke, sudah banyak kue loh, Ma. Di rumah kita kok gak ada kue?” Suara Kirana yang muncul dari ruang tengah terdengar. Cahaya terdiam. Ingat masih ada sisa uang. “Iya, besok juga Mama mau bikin. Kiran mau kue apa?” Cahaya tak sampai hati memberi tahu yang sebenarnya jika mereka tak punya uang. “Wah, beneran, Ma? Mau bikin kue banyak juga?” Kiran begitu antusias dan bertanya dengan mata yang berbinar. “Enggak banyak, Sayang. Lebarannya ‘kan sehari doang. Satu toples saja cukup, ya.” Cahaya menoleh pada putrinya. “Kalau di rum
Menjelang maghrib, seperti biasa. Cahaya akan ke rumah Ibu dan Bapak yang sudah sepuh. Waktu yang ditempuh tak menghabiskan lima belas menit, mereka sudah sampai. Bapak, hanya seorang tukang ojek pangkalan semasa sehatnya, sedangkan Ibu sama seperti dirinya, buruh cuci serabutan. Hanya saja menjelang masa tuanya, dia tak bisa memegang banyak rumah, pendapatan hanya cukup untuk menghidupi masa tua sehari-hari. “Horeee ada kolak!” Kiran tampak girang. Ada satu mangkuk kolak yang tersaji di meja makan. “Iya, sengaja itu memang buat Kiran.” Bu Saodah tersenyum menatap cucu semata wayangnya. Cahaya datang dengan membawa dua gelas teh manis hangat. Ada satu piring gorengan tempe tepung sudah tersaji di atas meja. Tempe goreng buatan tangan Bu Saodah pastinya. Bikin sendiri lebih hemat pastinya. Adzan maghrib berkumandang, mereka lekas menikmati hidangan alakadarnya. Kiran tampak sekali bersemangat menghabiskan semangkuk kolak. Sementara itu, Bapak, dia tak keluar kamar. Batuknya yang te
“Mas anter pulang, ya ….” Sorot mata itu masih sama. Tatapan yang membuat Cahaya memilih pergi dari kehidupan dua lelaki masa lalu yang sama-sama keras kepalanya.“Maaf, Mas … jangan begini … nanti jadi fitnah!” Cahaya menepis tangan Mas Fajri yang mencekal pergelangan tangannya. “Maaf.” Mas Fajri menyugar rambut ke belakang. Cahaya sudah hendak melangkah keluar ketika suara Mas Fajri kembali menghentikan langkahnya. “Aya … apakah benar tak ada kesempatan lagi untuk kita? Aku bisa menceraikan Fiska dan kita bisa hidup bersama, Aya. Kamu tak akan hidup kekurangan jika bersamaku … lihatlah keadaan Baska saat ini, bahkan sudah empat tahun dia gak pulang-pulang bukan? Apa kamu yakin, seorang lelaki bisa tahan berpisah dengan istrinya dalam waktu begitu lama … Aku yakin, Baska tak sebaik yang kamu pikirkan … dia pasti sudah memiliki perempuan lain di Surabaya sana!” Aku mengepal erat, sekuat hatiku menolak apa yang Mas Fajri tuduhkan. Mas Baska takkan seperti itu, dia sayang padaku. Ak
Isi amplop yang tak banyak itu sudah langsung Cahaya belikan beberapa tablet obat untuk Bapak dan juga seperempat ayam untuk Kirana. Setiap ada rejeki lebih, barulah Cahaya akan membeli ayam walau tak banyak. Jika dulu makan daging-dagingan itu hal yang membosankan, tetapi setelah jatuh bangkrut dan serba kekurangan, sepotong daging ayam adalah makanan termewah untuknya. Benar jika roda berputar, benar jika rejeki hanya titipan. Dulu kedatangan Baska yang meminangnya membuat kehidupannya yang dari bawah garis kemiskinan seketika berubah. Namun, semua tak bertahan lama. Empat tahun menikah dan dikaruniai seorang bayi cantik, tiba-tiba takdir menghempaskan pada jurang yang curam, harta titipan itu kembali diambil-Nya. Namun demikian, Cahaya memilih untuk bertahan dan menunggu Mas Baska pulang. Dia yakin, selalu yakin, akan ada pelangi setelah hujan. Dia menanamkan seribu keyakinan jika Mas Baska setia di rantau sana. Berharap semua penantian itu berbuah indah. Menepis semua kehadiran
Di Bandara Internasional Juanda Surabaya, seorang lelaki mengacak rambut frustasi. Gara-gara tadi drama mobil mogok, akhirnya dia ketinggalan penerbangan yang menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta. Bibirnya berdecak dan dia menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang berderet rapi di Bandara. Gegas dia mengangkat benda pipih dan menghubungi seseorang yang dimintanya untuk datang ke sana. “Hallo, Rin, masih di mana?” “Bentar, sih, Mas! Kemarin ditawarin nginep di apartemenku gak mau! Rasain, telat deh, tuh!” “Takut jadi fitnah, Rin!” “Terus sekarang? Telat kan? Emang enak!” “Ck, sudah gak usah bahas!” “Dasar Mas Baska tukang ngeyel!” Panggilan pun ditutup. Harga ticket yang melonjak tinggi membuat lelaki yang tak lain adalah Mas Baska tak berani membeli ulang. Pada akhirnya dia menyerah dan memilih pulang ke Bekasi menggunakan kendaraan roda empat dan menyetir sendiri. Selang tiga puluh menit, Karina si gadis tomboy itu muncul. Dia tergelak melihat wajah frustasi lelaki yang
Cahaya sudah duduk di depan ruangan administrasi. Namun prosedur, tetaplah prosedur. Akhirnya mau tak mau, Kirana harus dibawa pulang. Cahaya hanya mampu pasrah pada takdir yang terasa cukup getir. Ibu mana yang tega melihat putri semata wayangnya terkulai lemah seperti sekarang. Satu kantung obat dia tebus. Beruntung masih ada sisa uang, jadi saat ini untuk obat masih bisa ditebusnya. Cahaya memeluk tubuh Kirana yang menggigil tetapi terasa panas. Hatinya menjerit memanjatkan doa, berharap terketuk pintu langit. Ibu hanya mampu menyeka air mata melihat Cahaya memapah cucunya ke luar. “Ibu sama Kiran tunggu sebentar, ya! Mau cari ojek dulu.” Cahaya menguatkan diri agar tak menangis. Dia terburu-buru keluar setelah Kirana terlihat sedikit lebih nyaman tertidur pada pangkuan Ibu pada kursi tunggu di teras klinik. Waktu sudah menanjak malam. Suara takbir dari masjid yang berseberangan dengan klinik terdengar. Semua sedang menyelesaikan terawih ketika Cahaya berjalan tertatih. Berulan