“Mas anter pulang, ya ….” Sorot mata itu masih sama. Tatapan yang membuat Cahaya memilih pergi dari kehidupan dua lelaki masa lalu yang sama-sama keras kepalanya.
“Maaf, Mas … jangan begini … nanti jadi fitnah!” Cahaya menepis tangan Mas Fajri yang mencekal pergelangan tangannya.“Maaf.” Mas Fajri menyugar rambut ke belakang.Cahaya sudah hendak melangkah keluar ketika suara Mas Fajri kembali menghentikan langkahnya.“Aya … apakah benar tak ada kesempatan lagi untuk kita? Aku bisa menceraikan Fiska dan kita bisa hidup bersama, Aya. Kamu tak akan hidup kekurangan jika bersamaku … lihatlah keadaan Baska saat ini, bahkan sudah empat tahun dia gak pulang-pulang bukan? Apa kamu yakin, seorang lelaki bisa tahan berpisah dengan istrinya dalam waktu begitu lama … Aku yakin, Baska tak sebaik yang kamu pikirkan … dia pasti sudah memiliki perempuan lain di Surabaya sana!”Aku mengepal erat, sekuat hatiku menolak apa yang Mas Fajri tuduhkan. Mas Baska takkan seperti itu, dia sayang padaku. Aku lalu menoleh dan menatap Mas Fajri yang berdiri tak jauh.“Mas … jangan menuduh sembarangan,tanpa bukti semua hanya omong kosong. Asal kamu tahu, Mas, semakin kamu bersikap seperti ini … aku semakin kehilangan rasa hormat sama kamu. Tolong, hargai pernikahan kamu dengan Mbak Fiska dan hargai aku sebagai adik iparmu.” Bibir Cahaya bergetar ketika mengucap kalimat itu. Rasanya Mas Fajri sudah keterlaluan.“Aku tak menginginkan rasa hormatmu, Aya. Aku menginginkan cintamu.” Mas Fajri berjalan mendekat.Cahaya menggeleng pelan dan lantas hendak menarik gagang pintu depan ketika tiba-tiba rasanya pintu itu terdorong dari luar.“Astaghfirulloh!” Cahaya mundur dan sedikit menabrak dada bidang Mas Fajri yang tadi jaraknya hanya beberapa senti.“Oh jadi gini kalau kami gak ada! Kamu sengaja datang ke rumah, pasti buat dekatin Mas Fajri, ya?” Mbak Fiska sudah berdiri di depan pintu beriringan dengan Ibu Mertua Cahaya.“Ahm, maaf, Mbak … tadi aku kira ada orang di rumah, aku mau ketemu Mama.” Cahaya sedikit gugup. Dia segera menggeser tubuhnya yang kini berdiri di depan Mas Fajri dan hampir tak berjarak.“Alesan! Tuh, Ma … lihat kelakuan istrinya si Baska … kakak ipar sendiri pun sempat-sempatnya digoda!” Mbak Fiska menatap tajam pada Cahaya. Sementara itu, Mas Fajri tampak lebih memilih menghindar dan langsung pergi ke kamarnya yang ada di lantai dua.Cahaya menghela napas panjang. Dia tetap santun pada Bu Rini---Ibu mertuanya. Dia menghampirinya dan mencium punggung tangan perempuan itu.“Mama katanya lagi arisan dan pulang sore? Untung aku belum balik. Tadinya mau pulang dulu, sore ke sini lagi!” Cahaya mengabaikan Mbak Fiska. Dia tak mau nilai pahala puasanya rusak gara-gara harus membahas hal yang sia-sia.“Iya, tadinya mau sampai sore. Ini Fiska katanya masuk angin, jadi Mama ikut pulang. Kiran gak diajak?” telisiknya seraya melihat kiri dan kanan. Cahaya belum sempat menyahut lagi ketika suara Mbak Fiska yang sudah meniti anak tangga terdengar.“Sudah kubilang, Ma … dia pasti ke sini buat godain Mas Fajri. Kalau bawa Kiran, pasti gak bebas. Dasar munafik. Pecuma wajah cantik kalau hatinya busuk!”Nyesss!Untuk ke sekian kalinya lontaran caci maki dari kakak iparnya itu menyentil perasaan Cahaya. Semua itu bukan tanpa alasan. Berawal dari kepergian Mas Baska dan perhatian Mas Fajri yang memang Cahaya nilai berlebihan. Mas Fajri, dia sosok yang selalu pertama ada ketika Cahaya butuh apapun semenjak kepergian Mas Baska. Bahkan ketika kehilangan semua uang tabungannya, Mas Fajri yang pertama peduli. Dia membantu ke sana ke sini dan mengantarnya membuat buku tabungan dan ATM baru. Meskipun pada akhirnya semua berakhir serupa, uang yang disimpan ke sana raib tak bersisa. Dan semua itu, membuat Ibu Mertua dan Mbak Fiska semakin curiga, mereka mengira Cahaya sengaja menggoda Mas Fajri karena kebangkrutan usaha Mas Baska dan menganggap kehilangan uang itu hanya mengada-ada.“Sudah, sudah! Berisik kalau kalian berdua bertemu, bikin Mama pusing!” gerutu Bu Rini seraya berlalu saja ke dalam.Cahaya menenangkan hati, lalu duduk pada sofa dan menunggu Ibu Mertuanya datang. Dia tahu, meskipun Bu Rini sudah tak sebaik dulu, tetapi uang titipan dari Mas Baska selalu sampai padanya tiap bulan.Keberuntungan tak berpihak pada Cahaya, ketika ternyata yang datang duluan adalah Mbak Fiska. Cahaya memilih tak menggubris dan pura-pura saja tak melihat kedatangan perempuan dengan rambut di cat warna pirang itu. Namun, seperti sengaja, Mbak Fiska malah duduk pada sofa berlainan di depan Cahaya.“Aya, Mbak peringatkan sama kamu! Lain kali, jangan pernah lagi berusaha godain Mas Fajri. Kalau mau ke sini, kamu telepon dulu sama, Mbak. Kalau Mas Fajri lagi gak di rumah, kamu baru boleh datang.” Mbak Fiska menekankan kata-kata itu dengan tegas. Sebagai seorang istri, dia bisa melihat jelas seperti apa tatapan Mas Fajri setiap melihat Cahaya. Apalagi selama empat tahun menikah, Mas Fajri selalu menolak untuk memiliki momongan dengannya. Hal itu semakin membuat Mbak Fiska menduga-duga.“Maaf, Mbak … saya kira tadi kalian ada di rumah.” Hanya itu pembelaan Cahaya.Perbincangan keduanya terhenti ketika Bu Rini datang dari dalam kamar. Dia membawa amplop berwarna putih dan langsung diserahkannya pada Cahaya.“Baska ngirim uangnya cuma sedikit. Ini kamu awet-awet saja biar sampai ke bulan depan, ya!” tukasnya.“Iya, Ma. Makasih.” Cahaya sumringah menerima amplop putih yang isinya sudah bisa ditebaknya. Meskipun hanya tiga lembar uang seratus ribuan, tetapi bagi Cahaya itu sangat berarti.Mas Fajri tampak menuruni anak tangga. Tak banyak bicara. Dia melewati mereka bertiga begitu saja. Mbak Fiska tampak berusaha mengejarnya. Cahaya pun bangkit, hendak pamit undur diri. Namun suara Mbak Fiska yang baru datang dari luar menghentikan gerakannya.“Aya kebetulan Si Bibi sudah minta balik kampung, itu baju-baju Mama, kemarin belum sempat Mbak Laundry. Kamu bisa bantu cucikan dulu gak? Kasihan kalau Mama yang nyuci, sudah tua, lagi puasa juga. Sekalian kamu masak, ya!”“Ya sudah, oke, Mbak.” Cahaya tak bisa menolak. Apalagi gak enak pada Ibu Mertuanya. Semenjak usaha Mas Baska gulung tikar, memang hampir semua kebutuhan Bu Rini ditangani Mbak Fiska.Cahaya segera menuju dapur, memilah pakaian dan memasukkannya pada mesin cuci. Beberapa dipisahkan dan dikuceknya pakai tangan. Tak banyak yang dicuci manual, hanya baju-baju yang Ibu Rini pisahkan karena takut rusak kalau dicuci di mesin. Sementara menunggu timer mesin cuci berhenti. Cahaya mengolah bahan-bahan yang diminta Fiska untuk dimasaknya. Satu kilogram ayam dia cuci lalu segera dimasak semur, cumi oseng cabe hijau dan juga kangkung seafood saus tiram dibuatnya dengan cekatan. Butuh waktu hampir dua jam hingga akhirnya Cahaya bisa menyelesaikan semuanya.Usai masak, Cahaya berpamitan pada Mbak Fiska dan Ibu Mertuanya yang tengah bersantai di ruang tengah.“Sudah selesai semua, ya, Bu! Saya pamit pulang! Pakaian sudah aku jemur semua di belakang! Mbak Fiska nanti tolong angkatin!” Cahaya undur diri.“Iya, makasih, ya. Aya.” Bu Rini berucap datar. Sementara itu, Mbak Fiska hanya menoleh dan menggumam.Baru saja hendak melangkah, pintu terbuka dari luar. Tampak Mbak Fatma dan anak-anaknya yang datang.“Oma!” teriak Siska dan Saskia sambil memburu Bu Rini.“Wah kebetulan cucu-cucu Oma datang! Nanti kita buka bareng, ya! Oma masak banyak hari ini. Kalian suka ayam semur ‘kan, ya?” Sambutan ramah dan senyuman hangat Bu Rini pada dua anak dari kakak iparnya, benar-benar membuat hati Cahaya teriris.Cahaya bergegas jalan sambil menunduk. Dia tergesa meninggalkan rumah Ibu mertuanya. Berbeda sekali sikap Bu Rini pada Kiran jika dibandingkan dengan sikapnya pada cucu-cucunya yang lain. Padahal Cahaya berharap bisa dapat satu potong ayam saja untuk Kiran, tetapi ternyata menawari saja tidak. Malah yang baru datang diajak buka bersama. Mungkin semua itu, karena kini dirinya miskin. Sudah tak lagi banyak memberi.“Jangan sedih ya, Kiran … Mama pasti masakin juga buat Kiran,” lirih Cahaya sambil menyeka bulir beningnya yang hampir menetes. Dia menggenggam erat amplop yang diberikan Bu Rini untuknya. Nafkah bulanan pemberian Baska.Isi amplop yang tak banyak itu sudah langsung Cahaya belikan beberapa tablet obat untuk Bapak dan juga seperempat ayam untuk Kirana. Setiap ada rejeki lebih, barulah Cahaya akan membeli ayam walau tak banyak. Jika dulu makan daging-dagingan itu hal yang membosankan, tetapi setelah jatuh bangkrut dan serba kekurangan, sepotong daging ayam adalah makanan termewah untuknya. Benar jika roda berputar, benar jika rejeki hanya titipan. Dulu kedatangan Baska yang meminangnya membuat kehidupannya yang dari bawah garis kemiskinan seketika berubah. Namun, semua tak bertahan lama. Empat tahun menikah dan dikaruniai seorang bayi cantik, tiba-tiba takdir menghempaskan pada jurang yang curam, harta titipan itu kembali diambil-Nya. Namun demikian, Cahaya memilih untuk bertahan dan menunggu Mas Baska pulang. Dia yakin, selalu yakin, akan ada pelangi setelah hujan. Dia menanamkan seribu keyakinan jika Mas Baska setia di rantau sana. Berharap semua penantian itu berbuah indah. Menepis semua kehadiran
Di Bandara Internasional Juanda Surabaya, seorang lelaki mengacak rambut frustasi. Gara-gara tadi drama mobil mogok, akhirnya dia ketinggalan penerbangan yang menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta. Bibirnya berdecak dan dia menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang berderet rapi di Bandara. Gegas dia mengangkat benda pipih dan menghubungi seseorang yang dimintanya untuk datang ke sana. “Hallo, Rin, masih di mana?” “Bentar, sih, Mas! Kemarin ditawarin nginep di apartemenku gak mau! Rasain, telat deh, tuh!” “Takut jadi fitnah, Rin!” “Terus sekarang? Telat kan? Emang enak!” “Ck, sudah gak usah bahas!” “Dasar Mas Baska tukang ngeyel!” Panggilan pun ditutup. Harga ticket yang melonjak tinggi membuat lelaki yang tak lain adalah Mas Baska tak berani membeli ulang. Pada akhirnya dia menyerah dan memilih pulang ke Bekasi menggunakan kendaraan roda empat dan menyetir sendiri. Selang tiga puluh menit, Karina si gadis tomboy itu muncul. Dia tergelak melihat wajah frustasi lelaki yang
Cahaya sudah duduk di depan ruangan administrasi. Namun prosedur, tetaplah prosedur. Akhirnya mau tak mau, Kirana harus dibawa pulang. Cahaya hanya mampu pasrah pada takdir yang terasa cukup getir. Ibu mana yang tega melihat putri semata wayangnya terkulai lemah seperti sekarang. Satu kantung obat dia tebus. Beruntung masih ada sisa uang, jadi saat ini untuk obat masih bisa ditebusnya. Cahaya memeluk tubuh Kirana yang menggigil tetapi terasa panas. Hatinya menjerit memanjatkan doa, berharap terketuk pintu langit. Ibu hanya mampu menyeka air mata melihat Cahaya memapah cucunya ke luar. “Ibu sama Kiran tunggu sebentar, ya! Mau cari ojek dulu.” Cahaya menguatkan diri agar tak menangis. Dia terburu-buru keluar setelah Kirana terlihat sedikit lebih nyaman tertidur pada pangkuan Ibu pada kursi tunggu di teras klinik. Waktu sudah menanjak malam. Suara takbir dari masjid yang berseberangan dengan klinik terdengar. Semua sedang menyelesaikan terawih ketika Cahaya berjalan tertatih. Berulan
Suhu tubuh Kirana mulai mereda setelah dokter memberikan obat lagi. Cahaya bisa sedikit bernapas lega. Dikecupnya kening Kirana yang kini mulai kembali terlelap. Puasa sehari lagi besok. Tak sepeser pun uang yang kini dipegang Cahaya. Cahaya mengambil wudhu, beruntung ada fasilitas untuk shalat. Cahaya mengambil perlengkapan shalat di pojok ruangan, lantas segera menunaikan ibadah shalat isya empat rakaat. Tak jauh-jauh, dia menggelar sajadah di samping ranjang rawat. Suasana asing dan sepi. Empat rakaat pun kelar, diliriknya Kirana, tampak sudah semakin tenang. Cahaya melanjutkan dengan tarawih sendirian. Dilanjut witir dan terakhir dia memanjatkan bacaan doa sebiasanya. Dilipatnya mukena itu kembali bersama sajadahnya lalu dikembalikan ke tempat semula. Cahaya duduk pada kursi yang ada di tepi ranjang rawat, dipegangnya dahi Kirana masih panas, meski tak sehebat tadi. “Sepertinya besok mendingan pulang saja, deh … sudah reda panasnya … kalau di sini sampai beberapa hari, berat n
Cahaya menatap Ibu lalu bertanya, “Uang sebanyak ini dari siapa, Bu?” “Pakai saja dulu. Itu uang simpanan Ibu.” Hanya jawaban itu yang didapatkan Cahaya. Rasanya masih ada yang mengganjal. Jika Ibu memiliki uang simpanan sebanyak itu, kenapa juga kemarin bahkan untuk ongkos ojek pun dia gak punya. “Sudah, gak usah terlalu banyak pikiran. Pakai saja dulu buat keperluan Kiran.” Cahaya sebetulnya masih penasaran dari mana uang yang setelah dihitung itu ternyata berjumlah satu juta. Namun, kali ini bukan waktunya untuk debat. Yang jelas uang itu datang di waktu yang tepat. Setidaknya, besok ketika pas pulang, tak payah pusing lagi memikirkan pinjaman. Ibu pun tak lama. Dia berpamitan. Dia berjalan kaki dari tempat dokter praktek itu, katanya mau naik ojek di depan. “Dari mana pun Ibu dapat uang ini … semoga bukan dari sesuatu yang diharamkan.” Hanya itu yang Cahaya ucapkan sambil bernapas lega. Kondisi Kiran membuat Cahaya berbesar hati. Suhu tubuhnya seharian ini stabil. Dokter bi
“Sedikit, lagi ….” Mas Baska menginjak gas maksimal. Tak sabar, benar-benar tak sabar. Bahkan sejak dalam perjalanan, jiwanya sudah lebih dulu tiba di kampung kesayangan. Hingga perlahan mobil berwarna putih itu menepi, memasuki jalanan pemukiman yang sunyi. Rumah yang dibelinya dari hasil sisa tabungan yang Cahaya simpan, rumah yang ditempatinya semenjak rumah besar dan megahnya disita Bank. Rumah yang dia tinggalkan selama ratusan hari, kini sudah berada di depan mata. Lampunya menyala, tetapi sepertinya sangat sunyi. Dibukanya pintu mobil ketika kendaraan roda empat itu sudah terparkir sempurna. Mas Baska keluar setengah berlari memburu pintu rumah. Hatinya berdesie hebat, bahkan air matanya sudah mengembun ketika jemarinya mengetuk daun pintu. “Assalamu’alaikum, Dek!”Suara bergetarnya terdengar. Menyeruak di tengah ramainya alunan takbir yang bersahut-sahutan. “Dek! Ini Mas, suami kamu! Buka pintunya, Dek!” Mas Baska berbicara lebih kencang. Namun, tak ada yang membuka juga da
“M--Mama Kirannya mana? Bukannya Kiran sedang tidur sama Mama?” Sebuah pertanyaan lolos. Mas Baska menatap keganjilan yang ada di depan mata. Entah kenapa, hatinya begitu mencelos ketika ternyata yang benar adalah yang Mbak Fiska katakan padanya. Tak ada Kiran di kamar Mama. Perempuan yang dicintainya itu sudah membohonginya. “Apakah baru kali ini saja Mama berbohong padaku atau setiap informasi yang dia berikan selama ini adalah kebohongan belaka?” batin Mas Baska sambil mengurai pelukan dan menatap wajah perempuan paruh baya di depannya yang tampak terkejut luar biasa. “Ahm, Kiran?” Bu Rini menautkan alis, lalu celingukan ke kanan dan kiri. “Iya, Ma. Kiran. Tadi waktu aku telepon, Mama bilang lagi tidur sama Kiran ‘kan? Kirannya mana?” Mas Baska menatap lekat wajah Bu Rini yang tampak sekali gugup. “Oh itu … kamu salah paham, Baska. Mama bilang Kiran sudah tidur. Ya di rumah kalian lah. Memang waktu sore itu datang ke sini sama Aya. Kiran ngambek pengen pulang, pengen tidur. Mak
“Ibu bisa kasih alamat klinik dokter prakteknya? Aku mau ke sana, Bu?” Mas Baska bangkit setelah meneguk teh hangat buatan mertuanya hingga tandas. Banyak hal yang sepertinya memerlukan penjelasan dari Aya. “Apakah sesuatu telah terjadi antara Mama dan Aya? Namun, rasanya gak mungkin … Mama bahkan sangat menyayangi Aya dan Kiran. Semoga semua kecurigaanku ini salah.” Mas Baska lekas menginjak gas dan menuju ke alamat klinik yang disebutkan oleh Ibu Nur---Ibu Mertuanya. Mobil yang ditumpangi Mas Baska perlahan menyisir satu per satu bangunan yang berderet. Dia mencari plang bertuliskan parktek Dr. Neli. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah rumah dua lantai bercat abu. Mobil berhenti, hari memang masih gelap ketika pada akhirnya dia mendorong gerbang yang memang tak dikunci itu, gerbang itu hanya menutup sedikit saja. Lantas Mas Baska memarkirkan mobil yang dia bawa. Kaki Mas Baska perlahan melangkah mendekati pintu ruang praktik yang tertutup. Memang tak seperti klinik, tetapi hany