Cahaya menatap Ibu lalu bertanya, “Uang sebanyak ini dari siapa, Bu?” “Pakai saja dulu. Itu uang simpanan Ibu.” Hanya jawaban itu yang didapatkan Cahaya. Rasanya masih ada yang mengganjal. Jika Ibu memiliki uang simpanan sebanyak itu, kenapa juga kemarin bahkan untuk ongkos ojek pun dia gak punya. “Sudah, gak usah terlalu banyak pikiran. Pakai saja dulu buat keperluan Kiran.” Cahaya sebetulnya masih penasaran dari mana uang yang setelah dihitung itu ternyata berjumlah satu juta. Namun, kali ini bukan waktunya untuk debat. Yang jelas uang itu datang di waktu yang tepat. Setidaknya, besok ketika pas pulang, tak payah pusing lagi memikirkan pinjaman. Ibu pun tak lama. Dia berpamitan. Dia berjalan kaki dari tempat dokter praktek itu, katanya mau naik ojek di depan. “Dari mana pun Ibu dapat uang ini … semoga bukan dari sesuatu yang diharamkan.” Hanya itu yang Cahaya ucapkan sambil bernapas lega. Kondisi Kiran membuat Cahaya berbesar hati. Suhu tubuhnya seharian ini stabil. Dokter bi
“Sedikit, lagi ….” Mas Baska menginjak gas maksimal. Tak sabar, benar-benar tak sabar. Bahkan sejak dalam perjalanan, jiwanya sudah lebih dulu tiba di kampung kesayangan. Hingga perlahan mobil berwarna putih itu menepi, memasuki jalanan pemukiman yang sunyi. Rumah yang dibelinya dari hasil sisa tabungan yang Cahaya simpan, rumah yang ditempatinya semenjak rumah besar dan megahnya disita Bank. Rumah yang dia tinggalkan selama ratusan hari, kini sudah berada di depan mata. Lampunya menyala, tetapi sepertinya sangat sunyi. Dibukanya pintu mobil ketika kendaraan roda empat itu sudah terparkir sempurna. Mas Baska keluar setengah berlari memburu pintu rumah. Hatinya berdesie hebat, bahkan air matanya sudah mengembun ketika jemarinya mengetuk daun pintu. “Assalamu’alaikum, Dek!”Suara bergetarnya terdengar. Menyeruak di tengah ramainya alunan takbir yang bersahut-sahutan. “Dek! Ini Mas, suami kamu! Buka pintunya, Dek!” Mas Baska berbicara lebih kencang. Namun, tak ada yang membuka juga da
“M--Mama Kirannya mana? Bukannya Kiran sedang tidur sama Mama?” Sebuah pertanyaan lolos. Mas Baska menatap keganjilan yang ada di depan mata. Entah kenapa, hatinya begitu mencelos ketika ternyata yang benar adalah yang Mbak Fiska katakan padanya. Tak ada Kiran di kamar Mama. Perempuan yang dicintainya itu sudah membohonginya. “Apakah baru kali ini saja Mama berbohong padaku atau setiap informasi yang dia berikan selama ini adalah kebohongan belaka?” batin Mas Baska sambil mengurai pelukan dan menatap wajah perempuan paruh baya di depannya yang tampak terkejut luar biasa. “Ahm, Kiran?” Bu Rini menautkan alis, lalu celingukan ke kanan dan kiri. “Iya, Ma. Kiran. Tadi waktu aku telepon, Mama bilang lagi tidur sama Kiran ‘kan? Kirannya mana?” Mas Baska menatap lekat wajah Bu Rini yang tampak sekali gugup. “Oh itu … kamu salah paham, Baska. Mama bilang Kiran sudah tidur. Ya di rumah kalian lah. Memang waktu sore itu datang ke sini sama Aya. Kiran ngambek pengen pulang, pengen tidur. Mak
“Ibu bisa kasih alamat klinik dokter prakteknya? Aku mau ke sana, Bu?” Mas Baska bangkit setelah meneguk teh hangat buatan mertuanya hingga tandas. Banyak hal yang sepertinya memerlukan penjelasan dari Aya. “Apakah sesuatu telah terjadi antara Mama dan Aya? Namun, rasanya gak mungkin … Mama bahkan sangat menyayangi Aya dan Kiran. Semoga semua kecurigaanku ini salah.” Mas Baska lekas menginjak gas dan menuju ke alamat klinik yang disebutkan oleh Ibu Nur---Ibu Mertuanya. Mobil yang ditumpangi Mas Baska perlahan menyisir satu per satu bangunan yang berderet. Dia mencari plang bertuliskan parktek Dr. Neli. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah rumah dua lantai bercat abu. Mobil berhenti, hari memang masih gelap ketika pada akhirnya dia mendorong gerbang yang memang tak dikunci itu, gerbang itu hanya menutup sedikit saja. Lantas Mas Baska memarkirkan mobil yang dia bawa. Kaki Mas Baska perlahan melangkah mendekati pintu ruang praktik yang tertutup. Memang tak seperti klinik, tetapi hany
Allohu Akbar! Allohu Akbar! Allohu Akbar!La ilaha Ilallahu Allohu AkbarAllohu Akbar, Walilahilhamdu ….Gema takbir kemenangan hampir berakhir ketika mobil Mas Baska yang membawa serta Cahaya dan Kirana kembali ke rumah mungil mereka. Sepanjang jalan, Cahaya tak banyak bicara. Hanya duduk diam sambil berulang menyeka air mata. Kepulangan Mas Baska adalah anugerah. Hadiah terindah yang tak pernah dia duga. Cahaya membuka daun pintu. Mas Baska yang sudah berada tak jauh darinya sambil membpopong Kirana---putri kecilnya. Udara di dalam rumah masih terasa asing bagi Mas Baska. Dulu sebelum kebangkrutan yang menimpa, mereka tinggal di sebuah rumah yang cukup besar. Namun, semenjak usahanya tumbang, rumah kecil itu menjadi pilihan. Tak banyak perabotan di sana. Hanya ada dua kamar juga. Cahaya meminta Mas Baska menidurkan Kiran di kamarnya.“M--Mas, ikut shalat ied gak?” tanya Cahaya sambil menatap jam pada dinding. Sudah pukul lima lewat. “Ikut lah, Dek. Setahun sekal doang, masa iya
Di rumah besar milik almarhum Pak Wiguna, Bu Rini tengah merasa gelisah. Kedatangan Mas Baska yang mendadak membuatnya menjadi bingung mengambil sikap. Satu sisi, jika Mas Baska banyak uang memang royal, untuk keluarga pun gak perhitungan. Namun, pada sisi lain, Bu Rini takut jika Mas Baska masih miskin dan akhirnya malah menyusahkan. Masih ingat empat tahun lalu ketika bisnis Mas Baska collaps, Mbak Fiska sering marah-marah karena Mas Baska kerap meminjam beras dan uang. Dia juga takut kalau Mas Baska curiga jika uang yang dikirim tak diberikan semua pada Cahaya. Jika melalui telepon, Bu Rini bisa lancar berbohong. Namun kalau berhadapan, apalagi Mas Baska sudah dapat klarifikasi dari menantunya, tentunya Mas Baska akan lebih sulit percaya padanya. Jujur, Bu Rini belum siap untuk menjawab pertanyaan itu. “Mama mendingan jaga jarak sama Baska, Ma. Dia pasti nanti nanyain itu uang kiriman dia. Aku sih yakin banget, si Aya pasti ngadu-ngadu yang bukan-bukan tentang kita ke Baska.” “La
Mobil yang ditumpangi Mas Baska akhirnya tiba di depan kediaman Bu Rini. Pintu pagar masih terbuka lebar, sepertinya Mbak Fiska malas menutupnya karena masih wara-wiri berlebaran. Suasana rumah sepi. Mas Baska memarkirkan mobil di halaman depan. Kekasih dia mengajak Cahaya dan Kiran untuk turun. Cahaya mengikuti langkah kaki Mas Baska. Lalu mereka bertiga mematung seraya menunggu, sedangkan Mas Baska memijit bell yang ada di dekat pintu.Bu Rini yang ada di dalam segera menghampiri daun pintu dan mengintip dulu dari balik tirai. Rasanya para tetangga semua sudah datang kemarin. Dari celah tirai yang disingkapnya, Bu Rini menghela napas melihat anak bungsunya yang ternyata datang. Diperhatikannya dari atas ke bawah apa yang dikenakan Mas Baska dan Cahaya. “Ya ampuuun, Baska memang sepertinya masih susah. Baju baru saja gak kebeli. Aku masih inget itu baju koko Baska yang lama, baju yang dia pakai saat lebaran sebelum merantau. Warnanya juga sudah pudar. Benar kata Fiska … aku gak us
Bu Rini menatap kepergian putra bungsunya yang menggandeng anak serta cucunya pergi. Entah kenapa ada yang terasa mencelos ketika Mas Baska berbicara seperti itu. Namun, sekali lagi … Bu Rini tak mau kalau harus hidup susah apalagi disusahkan oleh Mas Baska. Dilihat dari semua clue yang ada, jelas sekali jika putra bungsunya itu masih susah. Mobil pinjam, ticket lebaran tak terbeli, jangankan ticket, baju saja pakai baju yang lama. Sudah jelas, tak ada yang bisa diharapkan dan tak bisa dijadikan sandaran.“Maafkan Mama, Baska … kalau Mama terlalu baik sama kamu, nanti Mbak Fiska merasa Mama pilih kasih. Mama gak mau hidup susah.” Begitulah pepatah yang mengatakan jika kemarau satu tahun, hilang terbilas hujan satu hari. Seluruh kebaikan Mas Baska dan Cahaya ketika usahanya maju, menguap begitu saja bersama dengan kemarau ekonomi yang melanda. Di mata Bu Rini, yang dia sayang adalah anak yang paling sering memberi. Dalam hal ini, Mbak Fiska memang sangat memanjakannya. Begitu pun Mbak