Mobil yang ditumpangi Mas Baska akhirnya tiba di depan kediaman Bu Rini. Pintu pagar masih terbuka lebar, sepertinya Mbak Fiska malas menutupnya karena masih wara-wiri berlebaran. Suasana rumah sepi. Mas Baska memarkirkan mobil di halaman depan. Kekasih dia mengajak Cahaya dan Kiran untuk turun. Cahaya mengikuti langkah kaki Mas Baska. Lalu mereka bertiga mematung seraya menunggu, sedangkan Mas Baska memijit bell yang ada di dekat pintu.Bu Rini yang ada di dalam segera menghampiri daun pintu dan mengintip dulu dari balik tirai. Rasanya para tetangga semua sudah datang kemarin. Dari celah tirai yang disingkapnya, Bu Rini menghela napas melihat anak bungsunya yang ternyata datang. Diperhatikannya dari atas ke bawah apa yang dikenakan Mas Baska dan Cahaya. “Ya ampuuun, Baska memang sepertinya masih susah. Baju baru saja gak kebeli. Aku masih inget itu baju koko Baska yang lama, baju yang dia pakai saat lebaran sebelum merantau. Warnanya juga sudah pudar. Benar kata Fiska … aku gak us
Bu Rini menatap kepergian putra bungsunya yang menggandeng anak serta cucunya pergi. Entah kenapa ada yang terasa mencelos ketika Mas Baska berbicara seperti itu. Namun, sekali lagi … Bu Rini tak mau kalau harus hidup susah apalagi disusahkan oleh Mas Baska. Dilihat dari semua clue yang ada, jelas sekali jika putra bungsunya itu masih susah. Mobil pinjam, ticket lebaran tak terbeli, jangankan ticket, baju saja pakai baju yang lama. Sudah jelas, tak ada yang bisa diharapkan dan tak bisa dijadikan sandaran.“Maafkan Mama, Baska … kalau Mama terlalu baik sama kamu, nanti Mbak Fiska merasa Mama pilih kasih. Mama gak mau hidup susah.” Begitulah pepatah yang mengatakan jika kemarau satu tahun, hilang terbilas hujan satu hari. Seluruh kebaikan Mas Baska dan Cahaya ketika usahanya maju, menguap begitu saja bersama dengan kemarau ekonomi yang melanda. Di mata Bu Rini, yang dia sayang adalah anak yang paling sering memberi. Dalam hal ini, Mbak Fiska memang sangat memanjakannya. Begitu pun Mbak
Mas memarkirkan mobilnya di halaman gedung yang masih sepi. Gedung perkantoran itu dibelinya dari Mas Laksa dengan pembayaran cash bertahap. Beruntung, Mas Baska mendapatkan akses informasi jika Mas Laksa rupanya mengambil konsep syariah dan akad langsung dengannya selaku pemilik properti, bukan dengan pihak ketiga seperti pada jual beli properti pada umumnya. Di mana dia bisa menghindari hal yang dia yakini adalah sebuah dosa yang bahkan besarannya sama seperti 36 kali berzina dengan Ibu kandung. Sesuatu yang meninggikannya sekejap pada masa lalu kemudian menghempaskannya hingga jurang terdalam. Masih teringat betapa dia berjaya dalam dua tahun merintis usaha sehingga begitu banyak tawaran modal. Akhirnya dengan menjaminkan aset-aset perusahaan, Mas Baska meraup suntikan dana yang cukup besar. Didirikannya lagi bangunan, dibelinya lagi mesin-mesin karena order melonjak sangat tinggi. Modal kurang lagi, lalu dia ajukan lagi pendanaan dan bahkan termasuk menggunakan sertifikat rumah m
Seorang lelaki tampak tengah duduk memunggunginya. Suara Mbak Nency yang memanggil nama lelaki tersebut membuatnya berdiri dan menoleh. Seketika Mas Baska terkesiap. Sosok itu tak asing dan sangat tak asing. Kenapa takdir mempertemukan mereka dalam kondisi seperti itu. Lelaki itu rupanya yang menjadi orang pilihan Abi. Dia adalah ….“Fajar?” Mas Baska menyebut nama itu dan tercekat. Bagaimana bisa jika orang pilihan Abi adalah mantan dari istri yang dicintainya. “WoW, Baska?” Bang Fajar tampak sama terkejutnya. Namun tak urung dia bangkit dan mendekat pada lelaki yang tingginya hampir berimbang itu.“Jadi, calon bos yang Pak Martadinata bilang itu, Anda?” Bang Fajar mengulurkan tangan seolah tak ada beban. Meskipun sebetulnya dalam hati sama kagetnya. Rupanya kontrak kerja yang sudah ditandatangani dengan perusahaan pusat Martadinata Grup itu dipimpin oleh rivalnya, Baskara Surya Wiguna. Lelaki yang sudah mengambil Cahaya Kamila, gadis yang senyumannya masih subur melekat di hatinya.
Cahaya belum menjawab ketika dari ujung jalan tampak mobil mendekat. Glek!Seketika kerongkongan Cahaya merasa tercekat. Jelas sekali yang mendekat itu mobilnya Mas Baska. Tak ada waktu lagi untuk berkelit. Mobil yang ditumpangi Mas Baska kini sudah tiba dan berhenti tak jauh dari lelaki yang berdiri dengan jarak beberapa langkah di depan Cahaya. “Duh, aku harus jelasin apa ke Mas Baska?” Cahaya menggumam sendiri dalam dada. Rasanya tak nyaman sekali ketika berada dalam posisi saat ini. Berdiri di antara suami sah dan mantan. Mas Baska turun dari mobil dan menghampiri Cahaya yang mematung kaku menghadapi Bang Fajar. Mas Baska, kenal betul siapa lelaki yang berdiri di depan istrinya itu. Hatinya sempat terbakar rasa cemburu ketika melihat mereka tadi. Namun, dia percaya … urusan masa lalu Cahaya sudah selesai. Hanya saja, dia tak yakin jika Bang Fajar yang sampai saat ini masih sendiri padahal sudah mapan, sudah move on dari cerita cinta lamanya, itu saja.“Apa dia kembali mencoba
Gadis berambut sebahu dengan poni tak rata itu beradu pandang dengan Cahaya. Kedua bibirnya ditarik ke samping. “Assalamu’alaikum! Mbak pasti istrinya Mas Baska, ya? Kenalin saya Karina!” tukasnya sok kenal dan sok dekat. Wajahnya terlihat cantik, tapi menjadi jenaka dengan gaya selengehannya. “Pantes ngotot pengen cepet pulang, istrinya sudah kayak Citra Kirana kayak gini?” tukas Karina. Dia menilik penampilan bersahaja Cahaya dari atas ke bawah. Memang tampilan model bintang yang terbungkus oleh kover tradisional. “Wa’alaikumsalam! Iya, betul! Mbak ini siapa, ya? Kenapa cari suami saya?” Cahaya menatap heran. Senyum pada bibir Karina tersungging. Tiba-tiba saja ide usilnya muncul. Dia langsung mendudukkan tubuhnya pada kursi dan menangkup wajah dengan kedua jemarinya.“S--Saya ini orang terdekatnya Mas Baska waktu kemarin dia kerja di Surabaya. Bahkan dia pulang ke Bekasi pun bawa mobil saya. Tolong suruh Mas Baska pulang, dia harus tanggung jawab, hu … hu ….” Karina bicara samb
Menginap semalam di rumah Mas Baska membuat Karina paham seperti apa kehidupan Cahaya selama Mas Baska tinggalkan ke Surabaya. Rumah yang kecil, perabotan seadanya serta menu-menu sederhana yang Cahaya sajikan membuat Karina menaruh satu kesimpulan, Cahaya memang perempuan sederhana dan tak neko-neko. “Kakak, hari ini ke apartemen kakak, ya?” Kiran menatap wajah Karina yang masih muka bantal. Dia masih terkantuk-kantuk ketika Kiran membangunkannya untuk sarapan. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Rambutnya diikat asal, dia masih menguap berulang kali dan menggeliat kanan kiri. “Iya, tanya Om-Om itu saja, tuh! Mau gak nganterin Kakak hari ini!” Karina menoleh pada Mas Baska yang tampak masih mengeringkan keringat. Dia baru saja pulang jogging. Kaos tipisnya tampak basah oleh peluh. Mas Baska tengah melemaskan otot-otot kakinya dan duduk berselonjor. “Ayah?” Kiran langsung menoleh pada Mas Baska. “Iya, nanti sekalian kita main ke mall, ya! Kak Karin mau trakt
Mbak Fiska memutar bola mata ke atas. Lalu menarik satu sudut bibirnya meremehkan. “Mama, Mama … baru dengar cerita Mbak Fatma doang udah sampe segitunya! Kalau ternyata Baska itu padahal cuma lagi belanja disuruh bosnya, gigit jari, deh!” kekeh Mbak Fiska.Bu Rini terdiam sebentar. Ada benarnya juga apa yang Mbak Fiska bilang. Dia menggigit bibirnya sambil berpikir, “Duh, gimana, ya? Tapi tadi foto yang dikirim Fatma kayak gak lagi pakai seragam, deh! Kalau belanja buat kantor gitu disuruh orang, harusnya pake seragam!” Mbak Fiska mencebik melihat perubahan raut wajah Bu Rini. Lalu dia mencomot oseng cumi cabe hijau kesukaan Mas Baska yang sudah tersaji di atas meja. “Gak usah terlalu seneng dulu, Ma! Nanti kecewa,” kekeh Mbak Fiska seraya ngeloyor pergi meninggalkan Bu Rini yang masih sibuk dengan pikirannya. “Tapi tadi Baska gak pakai seragam kok, Fiska. Berarti dia belanja untuk dirinya sendiri, bukan buat kantor!” Bu Rini akhirnya mengeluarkan uneg-unegnya. Dia hanya membutuh
Salah satu orang yang beruntung adalah orang yang istiqomah dalam kebaikan dan khusnul khotimah. Namun begitu, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Terkadang ada juga yang masih tersesat dalam keburukan hingga ujung usia. Terik kota Surabaya mengiringi kepergian Karina dan Bang Fajar yang hendak kembali pergi ke rantau. Namun, bukan untuk selamanya. Melainkan hanya untuk menyelesaikan pendingan tanggung jawab di perusahaan milik Mas Baska. Setelah itu, Abi memintanya pulang dan mengurus usahanya yang ada di Surabaya. Di Bandara kini mereka berada. Berdiri berhadap-hadapan dengan Umi dan Abi yang mengantarnya. “Fajar, setelah urusan dengan Baska selesai. Segeralah kembali. Banyak hal yang harus Abi serah terimakan pada kalian!” “Iya, Abi.” “Kami juga belum mengadakan resepsi, karena itu segera kembali.” Umi pun tak kalah antusias pada pernikahan putri sulungnya. Karina mencebik dan menggoyang-goyangkan kepala. Dia tak mau mengadakan resepsi. “Adeeek!” Bang Fajar mendeli
Dunia seakan berhenti berputar ketika aku melihat siapa yang berdiri di sana. “B--Bang, Fajar?” Lelaki yang disebut namanya oleh Karina itu menoleh. Seulas senyum tersungging pada bibirnya. “Yes, Karin!” Sepasang bola bening milik Karina berkaca-kaca. Karina sudah berlari hendak memeluk Bang Fajar, tapi lengan Abi sigap menghadangnya. “Eh, anak gadis Abi mau ke mana? Bukan mahram, gak boleh peluk-peluk!” celoteh Abi sambil menahan tubuh Karin yang sudah siap menerkam Bang Fajar. “Isshhh, Abi!” Wajah Karina bersemu. Rasanya sungguh malu. Apalagi orang tua Bang Fajar serentak tertawa. Umi pun mengajak calon besannya masuk. Semua duduk pada sofa berbentuk U yang tertata apik di ruangan yang cukup luas. Bang Fajar tampak kalem. Sementara itu, Karina sejak tadi menangkup wajah. Dia masih terisak pelan. Umi memeluknya seraya mengusap-usap punggung Karina. “Duh, kok malah nangis, sih? Apa kedatangan Abang mengganggu?” Suara Bang Fajar menggoda Karina. “Berisik!” omel Karina seraya m
“Mau minum apa?” Lelaki yang duduk di sisi kiri Karina tersebut bertanya ketika pramugari sedang menawari makanan dan minuman. Karina menoleh malas lalu mengedik. Akhirnya dia memesan sendiri kopinya. “Kamu kerja di sini? Atau di Surabaya?” “Di sini.” “Kalau aku, kerjanya di Surabaya. Mungkin akan segera dapat jodoh orang sana juga.” Karina mengangguk malas. Dia pun tak menimpali. Mendengar kata-kata jodoh, membuatnya semakin malas. Akhirnya dia lebih memilih memejamkan mata. Satu jam lebih saja harusnya tiba di sana. Hanya saja … entah kenapa. Waktu terasa beranjak sangat lama. “Bang Fajar … selamat tinggal.” Batin Karina sibuk mengucapkan kata perpisahan. Dia pun terus berpura-pura saja tertidur agar tak diajak ngobrol oleh lelaki yang ada di sampingnya. Tampan, sih. Namun, Karina bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tiba di Bandar Udara Internasional Juanda. Karina keluar dengan berjalan lunglai. Ponselnya sudah diaktifkan. Namun, tak ada satu pun pesan dari Bang Faja
Enam bulan berlalu dari saat tragedi penyekapan Mbak Fiska. Semua sudah hidup normal kembali sesuai porsinya. Perusahaan dagang milik Mas Baska yang join venture dengan Pak Martadinata sudah stabil. Hal itu juga yang menjadikan alasan Karina memutuskan untuk mengganti agency. Lagi pula kontrak dengan perusahaan konslutan dan pajak milik Mbak Nency sudah selesai. Karina tak mau lagi diperpanjang. Alasannya, perusahaan mereka sudah stabil dan ada sendiri orang pajak internal. “Kita masih butuh konsultan pajak, Rin.” Mas Baska menatap draft kontrak kerja sama yang Mbak Nency ajukan kembali kemarin. “Konsultan masih banyak, Mas. Hanya butuh advise sekarang ini, bukan pekerjaan harian.” Karina menjawab judes. Bahkan dia tak segan merobek kertas-kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. “Tim Nency kerjanya bagus. Apa ada alasan yang lebih masuk akal selain perusahaan sudah settel?” Mas Baska menatap Karina. Gadis itu benar-benar keras kepala. “Yup, betul dia nagus, tapi kita membayar
Mbak Fiska sudah berada di rumah sakit setempat sekarang. Yang pertama dilihatnya ketika matanya terbuka adalah Cahaya. Perempuan yang sepenuh hati dibenci, justru menjadi penyelamatnya dikala sedang seperti ini. Air matanya tiba-tiba menetes, lalu beralih isak.“Alhamdulilah, Mbak sudah sadar?” Cahaya mendekat dan menatap wajah tirus dan kusam yang terbaring lemah itu. Hanya anggukkan dari kepala Mbak Fiska yang menjawab. Dia menatap dengan sorot mata lemah.“Baska mana?” Suara serak Mbak Fiska terdengar. “Mas Baska lagi nganterin Kiran dulu. Kasihan ikut tidur di sini. Mas Baska titip di tempat Karina, Mbak.” Cahaya menjawab sambil tersenyum. Memang pernah sakit hati, pernah kesal, pernah benci. Namun, tak menghalanginya untuk berbuat baik. Seburuk apapun Mbak Fiska, dia adalah kakak dari suami yang dicintainya, Mas Baska. “Maafin, Mbak … Mbak sudah salah menilai kamu. Maafin, Mbak ….” Dia terisak lagi. Cahaya duduk dan menggenggam jemarinya lalu menatap lekat pada pupil hitam Mb
Mas Fajri tersenyum lebar ketika akhirnya CCTV yang ada di villa berhasil diretasnya. Kini dia kembali fokus pada tujuan utama yaitu meretas sistem perusahaan Mas Baska. Hanya saja pikirannya kini jadi bercabang dengan menghilangnya Mbak Fiska. “Kamu itu kenapa jadi biang masalah sih, Fiska?” Mas Fajri mengacak kesal rambutnya. Dia pun bangun lalu mengambil air mineral dingin dari dalam lemari es yang ada di apartemen barunya. Ponselnya berkedip-kedip, ada panggilan dari Rena. Namun mood Mas Fajri telanjur rusak dan berantakan sehingga panggilan itu pun dia abaikan. Dia pun kesal juga karena Rena hanya omong kosong doang untuk bisa mendekati Mas Baska. “Apa aku lapor polisi saja, ya? Bilang kalau istriku hilang. Hmmm … tapi nanti buat berita acaranya gimana, ya? Hmmm … tapi ini terlalu berisiko. Sepertinya aku lihat sikon saja, tinggal korbankan Enjam jika pada akhirnya ada yang membuat laporan ke polisi. Semoga saja Fiska bisa segera ditemukan oleh Enjam dan diamankan.” Mas Fajri
Tiba-tiba Bang Fajar menoleh. Dia menyipitkan mata dan menelisik wajah Karina.“Hmmm … aku jadi curiga, orang yang paling usil di sini ‘kan kamu? Jangan-jangan akun bodong itu kamu, ya?” “Sembarangan ya kalau nuduh! Emangnya aku orang gak ada kerjaan?” Karina mencebik. Padahal tuduhan Bang Fajar memang benar. Namun Bang Fajar tak menjawab, hanya terkekeh saja. “Bang kok jalannya lurus terus, sih? Kapan beloknya?” Karina kembali membuka suara setelah hening beberapa saat. “Belok ke mana, sih, Rin? Jalannya kan emang cuma ini, kok. Kalau ke rumah sakit itu kan memang jalan yang ini yang lurus."“Ya kali, Abang mau belok dulu ke hati aku.” Karina terkekeh seraya terus memutar CCTV dan memperhatikan dengan seksama menit demi menit yang terlewati. Pada pukul 00.30 tampak sudah ada pergerakkan. Dari kamera depan, terlihat Enjam masih memantau sekitar. Waktu itu, baru saja acara barbeque mereka bubar. “Bang, ini download dari jam berapa?” tanya Karina. “Dari mulai terlihat ada pergerak
Mas Baska menatap wajah yang penuh senyuman sumringah di depannya. Cahaya terlihat makin hari makin cantik saja. “Ini, mau lagi?” Mas Baska menyodorkan pisang goreng yang dibuat spesial olehnya untuk sarapan mereka pagi itu di villa. Semalam tidur sangat nyenyak setelah berpetualang mengukir kebahagiaan di antara keduanya. “Sudah, Mas. Sudah cukup.” Cahaya menolak piring yang diangsurkan Mas Baska. “Kok dikit, sih, makannya, Dek? Jangan khawatir lagi, uang Mas sekarang sudah banyak,” kekeh Mas Baska seraya bercanda. “Makin uang kamu banyak, aku malah makin takut, Mas. Aku takut jadi gendut nanti kalau makan terus. Nanti kamu nyari lagi yang langsing,” tukas Cahaya sambil terkekeh. Padahal memang dirinya sudah kenyang. Kebiasaan makan seadanya selama empat tahun ditinggalkan, membuatnya terbiasa, sampai sekarang. “Astaghfirulloh, Dek. Emangnya Mas ada muka-muka player, gitu?” Mas Baska kaget mendengar penuturan Cahaya. Istrinya itu terkekeh sambil melirik manja. “Enggak, kok, Mas
“Kalau gitu, aku mau nembak beneran, deh! Abang mau gak jadi suami aku?!” Ucapan Karina yang spontan sontak membuat Jodi, Irfan dan Bang Fajar yang hendak masuk ke dalam berhenti dan menoleh serampak. Karina memasang wajah imut dengan mata berkedip-kedip sambil menunggu respon dari lelaki yang batu saja di tembaknya. Namun, hanya bertahan beberapa detik, ketiga lelaki itu pun malah tergelak. “Astagaaa, Rin! Rin! Harga diri lo setipis rempeyek. Masa cewek nembak duluan!” Jodi yang terkekeh hanya menggeleng kepala. Lalu ketiganya pun masuk dan mengabaikan kalimat tembakkan Karina untuk Bang Fajar yang meluncur begitu saja. “Karina mendengus, memang dikira lucu kali, ya? Padahal aku sudah gadein tuh rasa malu ke pegadaian demi Bang Fajar. Dasar cowok!”omelnya sambil berjalan dengan bibir mengerucut lalu masuk ke dalam ruangan. Deg!Ada rasa panas tiba-tiba menyergap ketika tampak Mbak Nency tengah menyodorkan segelas teh leci pada Bang Fajar. Lelaki itu pun menerima dengan sumringah,