Seorang lelaki tampak tengah duduk memunggunginya. Suara Mbak Nency yang memanggil nama lelaki tersebut membuatnya berdiri dan menoleh. Seketika Mas Baska terkesiap. Sosok itu tak asing dan sangat tak asing. Kenapa takdir mempertemukan mereka dalam kondisi seperti itu. Lelaki itu rupanya yang menjadi orang pilihan Abi. Dia adalah ….“Fajar?” Mas Baska menyebut nama itu dan tercekat. Bagaimana bisa jika orang pilihan Abi adalah mantan dari istri yang dicintainya. “WoW, Baska?” Bang Fajar tampak sama terkejutnya. Namun tak urung dia bangkit dan mendekat pada lelaki yang tingginya hampir berimbang itu.“Jadi, calon bos yang Pak Martadinata bilang itu, Anda?” Bang Fajar mengulurkan tangan seolah tak ada beban. Meskipun sebetulnya dalam hati sama kagetnya. Rupanya kontrak kerja yang sudah ditandatangani dengan perusahaan pusat Martadinata Grup itu dipimpin oleh rivalnya, Baskara Surya Wiguna. Lelaki yang sudah mengambil Cahaya Kamila, gadis yang senyumannya masih subur melekat di hatinya.
Cahaya belum menjawab ketika dari ujung jalan tampak mobil mendekat. Glek!Seketika kerongkongan Cahaya merasa tercekat. Jelas sekali yang mendekat itu mobilnya Mas Baska. Tak ada waktu lagi untuk berkelit. Mobil yang ditumpangi Mas Baska kini sudah tiba dan berhenti tak jauh dari lelaki yang berdiri dengan jarak beberapa langkah di depan Cahaya. “Duh, aku harus jelasin apa ke Mas Baska?” Cahaya menggumam sendiri dalam dada. Rasanya tak nyaman sekali ketika berada dalam posisi saat ini. Berdiri di antara suami sah dan mantan. Mas Baska turun dari mobil dan menghampiri Cahaya yang mematung kaku menghadapi Bang Fajar. Mas Baska, kenal betul siapa lelaki yang berdiri di depan istrinya itu. Hatinya sempat terbakar rasa cemburu ketika melihat mereka tadi. Namun, dia percaya … urusan masa lalu Cahaya sudah selesai. Hanya saja, dia tak yakin jika Bang Fajar yang sampai saat ini masih sendiri padahal sudah mapan, sudah move on dari cerita cinta lamanya, itu saja.“Apa dia kembali mencoba
Gadis berambut sebahu dengan poni tak rata itu beradu pandang dengan Cahaya. Kedua bibirnya ditarik ke samping. “Assalamu’alaikum! Mbak pasti istrinya Mas Baska, ya? Kenalin saya Karina!” tukasnya sok kenal dan sok dekat. Wajahnya terlihat cantik, tapi menjadi jenaka dengan gaya selengehannya. “Pantes ngotot pengen cepet pulang, istrinya sudah kayak Citra Kirana kayak gini?” tukas Karina. Dia menilik penampilan bersahaja Cahaya dari atas ke bawah. Memang tampilan model bintang yang terbungkus oleh kover tradisional. “Wa’alaikumsalam! Iya, betul! Mbak ini siapa, ya? Kenapa cari suami saya?” Cahaya menatap heran. Senyum pada bibir Karina tersungging. Tiba-tiba saja ide usilnya muncul. Dia langsung mendudukkan tubuhnya pada kursi dan menangkup wajah dengan kedua jemarinya.“S--Saya ini orang terdekatnya Mas Baska waktu kemarin dia kerja di Surabaya. Bahkan dia pulang ke Bekasi pun bawa mobil saya. Tolong suruh Mas Baska pulang, dia harus tanggung jawab, hu … hu ….” Karina bicara samb
Menginap semalam di rumah Mas Baska membuat Karina paham seperti apa kehidupan Cahaya selama Mas Baska tinggalkan ke Surabaya. Rumah yang kecil, perabotan seadanya serta menu-menu sederhana yang Cahaya sajikan membuat Karina menaruh satu kesimpulan, Cahaya memang perempuan sederhana dan tak neko-neko. “Kakak, hari ini ke apartemen kakak, ya?” Kiran menatap wajah Karina yang masih muka bantal. Dia masih terkantuk-kantuk ketika Kiran membangunkannya untuk sarapan. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Rambutnya diikat asal, dia masih menguap berulang kali dan menggeliat kanan kiri. “Iya, tanya Om-Om itu saja, tuh! Mau gak nganterin Kakak hari ini!” Karina menoleh pada Mas Baska yang tampak masih mengeringkan keringat. Dia baru saja pulang jogging. Kaos tipisnya tampak basah oleh peluh. Mas Baska tengah melemaskan otot-otot kakinya dan duduk berselonjor. “Ayah?” Kiran langsung menoleh pada Mas Baska. “Iya, nanti sekalian kita main ke mall, ya! Kak Karin mau trakt
Mbak Fiska memutar bola mata ke atas. Lalu menarik satu sudut bibirnya meremehkan. “Mama, Mama … baru dengar cerita Mbak Fatma doang udah sampe segitunya! Kalau ternyata Baska itu padahal cuma lagi belanja disuruh bosnya, gigit jari, deh!” kekeh Mbak Fiska.Bu Rini terdiam sebentar. Ada benarnya juga apa yang Mbak Fiska bilang. Dia menggigit bibirnya sambil berpikir, “Duh, gimana, ya? Tapi tadi foto yang dikirim Fatma kayak gak lagi pakai seragam, deh! Kalau belanja buat kantor gitu disuruh orang, harusnya pake seragam!” Mbak Fiska mencebik melihat perubahan raut wajah Bu Rini. Lalu dia mencomot oseng cumi cabe hijau kesukaan Mas Baska yang sudah tersaji di atas meja. “Gak usah terlalu seneng dulu, Ma! Nanti kecewa,” kekeh Mbak Fiska seraya ngeloyor pergi meninggalkan Bu Rini yang masih sibuk dengan pikirannya. “Tapi tadi Baska gak pakai seragam kok, Fiska. Berarti dia belanja untuk dirinya sendiri, bukan buat kantor!” Bu Rini akhirnya mengeluarkan uneg-unegnya. Dia hanya membutuh
Jiwa muda Karina memberontak. Rasanya kesal sekali dengan sikap tak baik Mbak Fiska. Akhirnya dia berdiri di ambang pintu sambil bersandar pada tembok. Tangannya sibuk mengusap-usap layar gawai yang sebenarnya tak ada apa-apanya, pura-pura saja biar gak kelihatan mau melakukan sabotase. Tepat ketika dua kakak beradik itu berjalan mendekat, Karina menjulurkan kakinya. Brugh!“Awww!” Mbak Fiska terjatuh ketika kakinya tersangkut pada kaki Karina. Karina segera menarik kakinya dan berpura-pura ikutan kaget. “Astagaaa!” Karina memekik, lalu berkata“Yes,” lanjutnya dalam hati sambil melenggang pergi. “Mbak, kamu kenapa, sih?” Mbak Fatma menatap kakaknya yang meringis, lututnya menghantam lantai dan cukup nyeri. Untung tubuh Mbak Fiska tak seberat bobot tubuh Mbak Fatma, hingga lantai yang tertimpanya masih baik-baik saja. “Sepertinya tersandung, tapi gak tahu ini nyangkut sama apa? Sama kaki setan kali, ya?” Mbak Fiska melirik ke arah Karina yang sudah berjalan tak acuh menghampiri Ma
“Rupanya tak selamanya peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya adalah benar, atau Mas Baska saja yang jatuh dari pohon buah tetangga,” kekeh Karina seraya melengos pergi. “Hey, apa maksud kamu?” pekik Bu Rini tak terima. Karina berhenti, wajahnya merengut dan matanya menatap tajam pada Bu Rini. “Hmmm … gak ada maksud apa-apa, kok.” Dia berucap santai setelah melirik Mas Baska yang mengisyaratkannya untuk diam. Lalu wajahnya yang tadi merengut, berubah datar kembali. Suasana makan siang terasa semakin tak nyamna.“Ma, Kiran pengen pipis.” Cahaya bangun, lalu menoleh pada Bu Rini dan berkata, “Ikut ke toilet sebentar, ya, Ma.”Rasanya masih asing, perubahan sikapnya yang drastis selama empat tahun membuat kebaikan semu hari ini terasa amat janggal bagi Cahaya. Bu Rini hanya mengangguk. Mas Baska baru hendak bangkit ketika Bu Rini bicara, “Baska, apa kamu gak pergi merantau lagi saja? Mungkin cari kerjaan di sini akan susah, mengingat kasus kamu yang dulu itu.” “Akan kupikirka
Setibanya di apartemen, Karina langsung menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk yang masih rapi dengan seprai warna putih. Bantal, selimut tebal terlipat diatas bantal. “Ya ampuun, ternyata punya kakak itu belum tentu enak, ya … buktinya orang tua sama kakaknya Mas Baska toxic semua. Harus disemprot biar racunnya hilang. Jadi target pertamaku itu mentraining Mbak Aya. Mari, Mbak Aya … kita buat para toxic itu mati kutu.” Gadis berponi itu menatap langit-langit bercat putih lalu menghela napas kasar. Lalu dia memejamkan mata, sore sudah menjelang. Cahaya, Baska dan Kirana sudah pulang. Meskipun, Kiran tadi sepertinya ingin menginap, tapi Cahaya melaranganya. Matanya terpejam, tapi tak bisa tidur. Otak dan hatinya berkelana entah ke mana. Tiba-tiba saja teringat wajah Mas Fajri yang sangat mirip dengan lelaki pujaannya. “Ah iya, aku mau kepon akun IG nya dia.” Karina segera mengambil benda pipih berlambang apel kroak miliknya. Lalu segera berselancar mengintip akun Bang Fajar yang