Gadis berambut sebahu dengan poni tak rata itu beradu pandang dengan Cahaya. Kedua bibirnya ditarik ke samping. “Assalamu’alaikum! Mbak pasti istrinya Mas Baska, ya? Kenalin saya Karina!” tukasnya sok kenal dan sok dekat. Wajahnya terlihat cantik, tapi menjadi jenaka dengan gaya selengehannya. “Pantes ngotot pengen cepet pulang, istrinya sudah kayak Citra Kirana kayak gini?” tukas Karina. Dia menilik penampilan bersahaja Cahaya dari atas ke bawah. Memang tampilan model bintang yang terbungkus oleh kover tradisional. “Wa’alaikumsalam! Iya, betul! Mbak ini siapa, ya? Kenapa cari suami saya?” Cahaya menatap heran. Senyum pada bibir Karina tersungging. Tiba-tiba saja ide usilnya muncul. Dia langsung mendudukkan tubuhnya pada kursi dan menangkup wajah dengan kedua jemarinya.“S--Saya ini orang terdekatnya Mas Baska waktu kemarin dia kerja di Surabaya. Bahkan dia pulang ke Bekasi pun bawa mobil saya. Tolong suruh Mas Baska pulang, dia harus tanggung jawab, hu … hu ….” Karina bicara samb
Menginap semalam di rumah Mas Baska membuat Karina paham seperti apa kehidupan Cahaya selama Mas Baska tinggalkan ke Surabaya. Rumah yang kecil, perabotan seadanya serta menu-menu sederhana yang Cahaya sajikan membuat Karina menaruh satu kesimpulan, Cahaya memang perempuan sederhana dan tak neko-neko. “Kakak, hari ini ke apartemen kakak, ya?” Kiran menatap wajah Karina yang masih muka bantal. Dia masih terkantuk-kantuk ketika Kiran membangunkannya untuk sarapan. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Rambutnya diikat asal, dia masih menguap berulang kali dan menggeliat kanan kiri. “Iya, tanya Om-Om itu saja, tuh! Mau gak nganterin Kakak hari ini!” Karina menoleh pada Mas Baska yang tampak masih mengeringkan keringat. Dia baru saja pulang jogging. Kaos tipisnya tampak basah oleh peluh. Mas Baska tengah melemaskan otot-otot kakinya dan duduk berselonjor. “Ayah?” Kiran langsung menoleh pada Mas Baska. “Iya, nanti sekalian kita main ke mall, ya! Kak Karin mau trakt
Mbak Fiska memutar bola mata ke atas. Lalu menarik satu sudut bibirnya meremehkan. “Mama, Mama … baru dengar cerita Mbak Fatma doang udah sampe segitunya! Kalau ternyata Baska itu padahal cuma lagi belanja disuruh bosnya, gigit jari, deh!” kekeh Mbak Fiska.Bu Rini terdiam sebentar. Ada benarnya juga apa yang Mbak Fiska bilang. Dia menggigit bibirnya sambil berpikir, “Duh, gimana, ya? Tapi tadi foto yang dikirim Fatma kayak gak lagi pakai seragam, deh! Kalau belanja buat kantor gitu disuruh orang, harusnya pake seragam!” Mbak Fiska mencebik melihat perubahan raut wajah Bu Rini. Lalu dia mencomot oseng cumi cabe hijau kesukaan Mas Baska yang sudah tersaji di atas meja. “Gak usah terlalu seneng dulu, Ma! Nanti kecewa,” kekeh Mbak Fiska seraya ngeloyor pergi meninggalkan Bu Rini yang masih sibuk dengan pikirannya. “Tapi tadi Baska gak pakai seragam kok, Fiska. Berarti dia belanja untuk dirinya sendiri, bukan buat kantor!” Bu Rini akhirnya mengeluarkan uneg-unegnya. Dia hanya membutuh
Jiwa muda Karina memberontak. Rasanya kesal sekali dengan sikap tak baik Mbak Fiska. Akhirnya dia berdiri di ambang pintu sambil bersandar pada tembok. Tangannya sibuk mengusap-usap layar gawai yang sebenarnya tak ada apa-apanya, pura-pura saja biar gak kelihatan mau melakukan sabotase. Tepat ketika dua kakak beradik itu berjalan mendekat, Karina menjulurkan kakinya. Brugh!“Awww!” Mbak Fiska terjatuh ketika kakinya tersangkut pada kaki Karina. Karina segera menarik kakinya dan berpura-pura ikutan kaget. “Astagaaa!” Karina memekik, lalu berkata“Yes,” lanjutnya dalam hati sambil melenggang pergi. “Mbak, kamu kenapa, sih?” Mbak Fatma menatap kakaknya yang meringis, lututnya menghantam lantai dan cukup nyeri. Untung tubuh Mbak Fiska tak seberat bobot tubuh Mbak Fatma, hingga lantai yang tertimpanya masih baik-baik saja. “Sepertinya tersandung, tapi gak tahu ini nyangkut sama apa? Sama kaki setan kali, ya?” Mbak Fiska melirik ke arah Karina yang sudah berjalan tak acuh menghampiri Ma
“Rupanya tak selamanya peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya adalah benar, atau Mas Baska saja yang jatuh dari pohon buah tetangga,” kekeh Karina seraya melengos pergi. “Hey, apa maksud kamu?” pekik Bu Rini tak terima. Karina berhenti, wajahnya merengut dan matanya menatap tajam pada Bu Rini. “Hmmm … gak ada maksud apa-apa, kok.” Dia berucap santai setelah melirik Mas Baska yang mengisyaratkannya untuk diam. Lalu wajahnya yang tadi merengut, berubah datar kembali. Suasana makan siang terasa semakin tak nyamna.“Ma, Kiran pengen pipis.” Cahaya bangun, lalu menoleh pada Bu Rini dan berkata, “Ikut ke toilet sebentar, ya, Ma.”Rasanya masih asing, perubahan sikapnya yang drastis selama empat tahun membuat kebaikan semu hari ini terasa amat janggal bagi Cahaya. Bu Rini hanya mengangguk. Mas Baska baru hendak bangkit ketika Bu Rini bicara, “Baska, apa kamu gak pergi merantau lagi saja? Mungkin cari kerjaan di sini akan susah, mengingat kasus kamu yang dulu itu.” “Akan kupikirka
Setibanya di apartemen, Karina langsung menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk yang masih rapi dengan seprai warna putih. Bantal, selimut tebal terlipat diatas bantal. “Ya ampuun, ternyata punya kakak itu belum tentu enak, ya … buktinya orang tua sama kakaknya Mas Baska toxic semua. Harus disemprot biar racunnya hilang. Jadi target pertamaku itu mentraining Mbak Aya. Mari, Mbak Aya … kita buat para toxic itu mati kutu.” Gadis berponi itu menatap langit-langit bercat putih lalu menghela napas kasar. Lalu dia memejamkan mata, sore sudah menjelang. Cahaya, Baska dan Kirana sudah pulang. Meskipun, Kiran tadi sepertinya ingin menginap, tapi Cahaya melaranganya. Matanya terpejam, tapi tak bisa tidur. Otak dan hatinya berkelana entah ke mana. Tiba-tiba saja teringat wajah Mas Fajri yang sangat mirip dengan lelaki pujaannya. “Ah iya, aku mau kepon akun IG nya dia.” Karina segera mengambil benda pipih berlambang apel kroak miliknya. Lalu segera berselancar mengintip akun Bang Fajar yang
“Ayamnya setengah kilo, Mang, taugenya satu, tauconya dua, kelapa parut, lengkuas, cumi asin, cabe hijau, tomat, sama ini sayur asem.” Cahaya memasukkan barang-barang belanjaan yang diambilnya dari dorongan gerobak tukang sayur sambil menyebutkannya. Penjual sayur itu menyebutkan sejumlah nominal, lalu Cahaya membayarnya. “Mari Mbak,” tukasnya seraya mendorong gerobak sayurnya. Cahaya mengangguk. Baru saja Cahaya hendak masuk ke dalam, sebuah mobil berhenti di depan rumah yang berseberangan. Rumah yang lebih mewah. Seorang gadis cantik turun diikuti seorang perempuan paruh baya. “Baru pulang, Bu Wati! Mbak Ning!” Cahaya menganggukkan kepala, menyapa Bu Wati---istrinya Pak Yono yang bekerja sebagai pegawai pemda. Rumah besar itu dihuni oleh Bu Wati, Pak Yono dan Mbak Ning, gadis yang sebetulnya sudah cukup umur tapi belum nikah juga sampak sekarang. Bu Wati hanya melirik sekilas dengan wajah judes, sudah biasa. Hanya saja Mbak Ning mengangguk. “Iya Mbak Aya.” Lalu mereka masuk ke
[Selamat siang! Salam kenal, saya seorang Ibu rumah tangga. Suami saya mengalami kebangkrutan usaha. Saya butuh tambahan dana. Jika Bapak/Ibu ada rejeki berlebih, silakan kontak nomor ini untuk pemesanan makanan box. Terima kasih.] Mas Baska menatap sederet pesan yang masuk ketika sedang meeting tadi dari nomor baru. Awalnya sempat hendak mengabaikan. Namun melihat alasan yang berjualan, tiba-tiba dia teringat Cahaya. Dia pun akan bahagia jika ketika dia susah ada yang membantu istrinya. Akhirnya Mas Baska menyimpan nomor itu, sesekali kalau sedang tak sempat pulang bisa pesan delivery. Meeting ditunda pas jam makan siang. Mbak Nency merapikan pakaiannya dan bangun. Lalu matanya yang memakai bulu mata lebat, mengerjap. “Ahm, kita makan siang di mana sekarang?” Ditatapnya wajah tampan Mas Baska yang masih fokus pada gawai.“Kita ke saung lesehan saja, ada yang baru buka di dekat kantor marketing gallery. Rame terus tiap hari.” Bang Fajar yang menimpali. Karina tak menyia-nyiakan kes
Salah satu orang yang beruntung adalah orang yang istiqomah dalam kebaikan dan khusnul khotimah. Namun begitu, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Terkadang ada juga yang masih tersesat dalam keburukan hingga ujung usia. Terik kota Surabaya mengiringi kepergian Karina dan Bang Fajar yang hendak kembali pergi ke rantau. Namun, bukan untuk selamanya. Melainkan hanya untuk menyelesaikan pendingan tanggung jawab di perusahaan milik Mas Baska. Setelah itu, Abi memintanya pulang dan mengurus usahanya yang ada di Surabaya. Di Bandara kini mereka berada. Berdiri berhadap-hadapan dengan Umi dan Abi yang mengantarnya. “Fajar, setelah urusan dengan Baska selesai. Segeralah kembali. Banyak hal yang harus Abi serah terimakan pada kalian!” “Iya, Abi.” “Kami juga belum mengadakan resepsi, karena itu segera kembali.” Umi pun tak kalah antusias pada pernikahan putri sulungnya. Karina mencebik dan menggoyang-goyangkan kepala. Dia tak mau mengadakan resepsi. “Adeeek!” Bang Fajar mendeli
Dunia seakan berhenti berputar ketika aku melihat siapa yang berdiri di sana. “B--Bang, Fajar?” Lelaki yang disebut namanya oleh Karina itu menoleh. Seulas senyum tersungging pada bibirnya. “Yes, Karin!” Sepasang bola bening milik Karina berkaca-kaca. Karina sudah berlari hendak memeluk Bang Fajar, tapi lengan Abi sigap menghadangnya. “Eh, anak gadis Abi mau ke mana? Bukan mahram, gak boleh peluk-peluk!” celoteh Abi sambil menahan tubuh Karin yang sudah siap menerkam Bang Fajar. “Isshhh, Abi!” Wajah Karina bersemu. Rasanya sungguh malu. Apalagi orang tua Bang Fajar serentak tertawa. Umi pun mengajak calon besannya masuk. Semua duduk pada sofa berbentuk U yang tertata apik di ruangan yang cukup luas. Bang Fajar tampak kalem. Sementara itu, Karina sejak tadi menangkup wajah. Dia masih terisak pelan. Umi memeluknya seraya mengusap-usap punggung Karina. “Duh, kok malah nangis, sih? Apa kedatangan Abang mengganggu?” Suara Bang Fajar menggoda Karina. “Berisik!” omel Karina seraya m
“Mau minum apa?” Lelaki yang duduk di sisi kiri Karina tersebut bertanya ketika pramugari sedang menawari makanan dan minuman. Karina menoleh malas lalu mengedik. Akhirnya dia memesan sendiri kopinya. “Kamu kerja di sini? Atau di Surabaya?” “Di sini.” “Kalau aku, kerjanya di Surabaya. Mungkin akan segera dapat jodoh orang sana juga.” Karina mengangguk malas. Dia pun tak menimpali. Mendengar kata-kata jodoh, membuatnya semakin malas. Akhirnya dia lebih memilih memejamkan mata. Satu jam lebih saja harusnya tiba di sana. Hanya saja … entah kenapa. Waktu terasa beranjak sangat lama. “Bang Fajar … selamat tinggal.” Batin Karina sibuk mengucapkan kata perpisahan. Dia pun terus berpura-pura saja tertidur agar tak diajak ngobrol oleh lelaki yang ada di sampingnya. Tampan, sih. Namun, Karina bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tiba di Bandar Udara Internasional Juanda. Karina keluar dengan berjalan lunglai. Ponselnya sudah diaktifkan. Namun, tak ada satu pun pesan dari Bang Faja
Enam bulan berlalu dari saat tragedi penyekapan Mbak Fiska. Semua sudah hidup normal kembali sesuai porsinya. Perusahaan dagang milik Mas Baska yang join venture dengan Pak Martadinata sudah stabil. Hal itu juga yang menjadikan alasan Karina memutuskan untuk mengganti agency. Lagi pula kontrak dengan perusahaan konslutan dan pajak milik Mbak Nency sudah selesai. Karina tak mau lagi diperpanjang. Alasannya, perusahaan mereka sudah stabil dan ada sendiri orang pajak internal. “Kita masih butuh konsultan pajak, Rin.” Mas Baska menatap draft kontrak kerja sama yang Mbak Nency ajukan kembali kemarin. “Konsultan masih banyak, Mas. Hanya butuh advise sekarang ini, bukan pekerjaan harian.” Karina menjawab judes. Bahkan dia tak segan merobek kertas-kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. “Tim Nency kerjanya bagus. Apa ada alasan yang lebih masuk akal selain perusahaan sudah settel?” Mas Baska menatap Karina. Gadis itu benar-benar keras kepala. “Yup, betul dia nagus, tapi kita membayar
Mbak Fiska sudah berada di rumah sakit setempat sekarang. Yang pertama dilihatnya ketika matanya terbuka adalah Cahaya. Perempuan yang sepenuh hati dibenci, justru menjadi penyelamatnya dikala sedang seperti ini. Air matanya tiba-tiba menetes, lalu beralih isak.“Alhamdulilah, Mbak sudah sadar?” Cahaya mendekat dan menatap wajah tirus dan kusam yang terbaring lemah itu. Hanya anggukkan dari kepala Mbak Fiska yang menjawab. Dia menatap dengan sorot mata lemah.“Baska mana?” Suara serak Mbak Fiska terdengar. “Mas Baska lagi nganterin Kiran dulu. Kasihan ikut tidur di sini. Mas Baska titip di tempat Karina, Mbak.” Cahaya menjawab sambil tersenyum. Memang pernah sakit hati, pernah kesal, pernah benci. Namun, tak menghalanginya untuk berbuat baik. Seburuk apapun Mbak Fiska, dia adalah kakak dari suami yang dicintainya, Mas Baska. “Maafin, Mbak … Mbak sudah salah menilai kamu. Maafin, Mbak ….” Dia terisak lagi. Cahaya duduk dan menggenggam jemarinya lalu menatap lekat pada pupil hitam Mb
Mas Fajri tersenyum lebar ketika akhirnya CCTV yang ada di villa berhasil diretasnya. Kini dia kembali fokus pada tujuan utama yaitu meretas sistem perusahaan Mas Baska. Hanya saja pikirannya kini jadi bercabang dengan menghilangnya Mbak Fiska. “Kamu itu kenapa jadi biang masalah sih, Fiska?” Mas Fajri mengacak kesal rambutnya. Dia pun bangun lalu mengambil air mineral dingin dari dalam lemari es yang ada di apartemen barunya. Ponselnya berkedip-kedip, ada panggilan dari Rena. Namun mood Mas Fajri telanjur rusak dan berantakan sehingga panggilan itu pun dia abaikan. Dia pun kesal juga karena Rena hanya omong kosong doang untuk bisa mendekati Mas Baska. “Apa aku lapor polisi saja, ya? Bilang kalau istriku hilang. Hmmm … tapi nanti buat berita acaranya gimana, ya? Hmmm … tapi ini terlalu berisiko. Sepertinya aku lihat sikon saja, tinggal korbankan Enjam jika pada akhirnya ada yang membuat laporan ke polisi. Semoga saja Fiska bisa segera ditemukan oleh Enjam dan diamankan.” Mas Fajri
Tiba-tiba Bang Fajar menoleh. Dia menyipitkan mata dan menelisik wajah Karina.“Hmmm … aku jadi curiga, orang yang paling usil di sini ‘kan kamu? Jangan-jangan akun bodong itu kamu, ya?” “Sembarangan ya kalau nuduh! Emangnya aku orang gak ada kerjaan?” Karina mencebik. Padahal tuduhan Bang Fajar memang benar. Namun Bang Fajar tak menjawab, hanya terkekeh saja. “Bang kok jalannya lurus terus, sih? Kapan beloknya?” Karina kembali membuka suara setelah hening beberapa saat. “Belok ke mana, sih, Rin? Jalannya kan emang cuma ini, kok. Kalau ke rumah sakit itu kan memang jalan yang ini yang lurus."“Ya kali, Abang mau belok dulu ke hati aku.” Karina terkekeh seraya terus memutar CCTV dan memperhatikan dengan seksama menit demi menit yang terlewati. Pada pukul 00.30 tampak sudah ada pergerakkan. Dari kamera depan, terlihat Enjam masih memantau sekitar. Waktu itu, baru saja acara barbeque mereka bubar. “Bang, ini download dari jam berapa?” tanya Karina. “Dari mulai terlihat ada pergerak
Mas Baska menatap wajah yang penuh senyuman sumringah di depannya. Cahaya terlihat makin hari makin cantik saja. “Ini, mau lagi?” Mas Baska menyodorkan pisang goreng yang dibuat spesial olehnya untuk sarapan mereka pagi itu di villa. Semalam tidur sangat nyenyak setelah berpetualang mengukir kebahagiaan di antara keduanya. “Sudah, Mas. Sudah cukup.” Cahaya menolak piring yang diangsurkan Mas Baska. “Kok dikit, sih, makannya, Dek? Jangan khawatir lagi, uang Mas sekarang sudah banyak,” kekeh Mas Baska seraya bercanda. “Makin uang kamu banyak, aku malah makin takut, Mas. Aku takut jadi gendut nanti kalau makan terus. Nanti kamu nyari lagi yang langsing,” tukas Cahaya sambil terkekeh. Padahal memang dirinya sudah kenyang. Kebiasaan makan seadanya selama empat tahun ditinggalkan, membuatnya terbiasa, sampai sekarang. “Astaghfirulloh, Dek. Emangnya Mas ada muka-muka player, gitu?” Mas Baska kaget mendengar penuturan Cahaya. Istrinya itu terkekeh sambil melirik manja. “Enggak, kok, Mas
“Kalau gitu, aku mau nembak beneran, deh! Abang mau gak jadi suami aku?!” Ucapan Karina yang spontan sontak membuat Jodi, Irfan dan Bang Fajar yang hendak masuk ke dalam berhenti dan menoleh serampak. Karina memasang wajah imut dengan mata berkedip-kedip sambil menunggu respon dari lelaki yang batu saja di tembaknya. Namun, hanya bertahan beberapa detik, ketiga lelaki itu pun malah tergelak. “Astagaaa, Rin! Rin! Harga diri lo setipis rempeyek. Masa cewek nembak duluan!” Jodi yang terkekeh hanya menggeleng kepala. Lalu ketiganya pun masuk dan mengabaikan kalimat tembakkan Karina untuk Bang Fajar yang meluncur begitu saja. “Karina mendengus, memang dikira lucu kali, ya? Padahal aku sudah gadein tuh rasa malu ke pegadaian demi Bang Fajar. Dasar cowok!”omelnya sambil berjalan dengan bibir mengerucut lalu masuk ke dalam ruangan. Deg!Ada rasa panas tiba-tiba menyergap ketika tampak Mbak Nency tengah menyodorkan segelas teh leci pada Bang Fajar. Lelaki itu pun menerima dengan sumringah,