Mas Baska keluar dari mobil. Senyumnya sudah terkulum. Tak sabar ingin mencicipi masakan spesial Cahaya yang katanya membuatkannya oseng cumi cabe hijau. Namun, baru saja hendak melangkah masuk, terdengar suara seseorang memanggilnya dari arah belakang. “Baska, sudah pulang? Saya cariin dari tadi.” Suara seorang perempuan membuat Mas Baska menoleh. “Eh Bu Wati. Iya, Bu.” Mas Baska menjawab seraya menutupkan pintu mobilnya. “Mampir ke rumah, Bas. Dicariin Pak Yono.” Bu Wati bicara sambil tersenyum.“Sudah pulang dinas luar kotanya, Bu?” Mas Baska masih berdiri menunggu Bu Wati pergi. “Duh, coba, tampan banget kayak gitu, makanya si Ning gak bisa move on,”batin Bu Wati menatap Mas Baska penuh kekaguman. Dalam pikirannya membayangkan senyuman lebar Ning yang tampak cerah ketika bersanding dengan Mas Baska di pelaminan.Mas Baska bingung, yang diajak bicaranya malah bengong dan senyum-senyum sendiri. Lalu dia menganggukkan kepala dan permisi pergi. “Saya ke dalam dulu, Bu Wati! Permi
Bunyi spatula dan wajan beradu setelah menyelesaikan menggoreng bawang untuk topping nanti. Wajah Karina sedikit pucat. Sejak tadi dia muntah-muntah karena mencium bau amis udang dan ikan yang dibelinya di pasar. Bang Fajar bilang, dia menyukai semua jenis olahan ikan dan seafood, paling suka kepiting, katanya. Hanya saja, untuk percobaan, Karina memutuskan untuk membeli ikan gurame dan udang dulu. Ikannya sudah minta disiangi ke penjualnya di pasar tadi, beruntung penjual itu mau. Pulang ke apartemen, Karina hanya tinggal mencucinya saja. Sementara itu, udang dengan ukuran jumbo tersebut belum disentuhnya. Cangkangnya yang keras, belum dia kelupasin karena keburu mabuk bau amis ikan yang sudah selesai di cucinya. Sesekali netranya bralih ke layar gawai yang dipasangnya menggunakan mini. Di sana dia sedang menonton tutorial membuat ikan gurame goreng yang menurutnya paling mudah. Karina pun membeli beberapa peralatan tradisional juga karena di apartemen hanya ada alat-alat modern
“Stop! Stop! Stop!” Karina meminta mobil yang tengah dikendarai mereka berhenti. Mas Baska menoleh pada gadis yang duduk di bangku belakang itu.“Apa lagi?” Alisnya terangkat, matanya memicing pada Karina. Tak banyak bicara, Karina langsung membuka pintu mobil. “Bye, Mas Baska!” Karina melambaikan tangan pada Mas Baska seraya membetulkan tas gendongnya yang kali ini berisi nasi dan sambal udang yang pagi tadi dibuatnya bareng Cahaya. “Hey, kenapa turun di sini?” Mas Baska menurunkan kaca mobil dan menatap heran pada gadis tomboy itu.“Pengen.’ Jawaban singkat Karina seraya berjalan menjauhi mobil Mas Baska lalu duduk di halte. Klakson yang terdengar membuat Mas Baska memilih menggerakkan mobilnya karena menyumbat laju jalanan. Sementara itu, Karina duduk santai dan mengeluarkan gawai. Seperti biasa, setiap pagi dan sore dia akan masuk ke akun sosial medianya.[Assalamu’alaikum!] [Wa’alaikumsalam!] Dua kata itu berderet-deret saling berganti. Ketika Karina tanya hal lain, pasti
“Astagaaa … ini masakan atau air laut?” Bang Fajar berhenti mengunyah. Aroma terkejut tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Sementara itu, Karina yang duduk di depannya memandangnya lekat sambil senyum-senyum. Dia masih menunggu pujian yang diharapkan terlontar dari mulut Bang Fajar. “Sepertinya dia suka banget masakan aku, sayangnya besok aku gak masuk kerja karena harus nganter Mbak Aya ke rumah Ibu Mertuanya … hmmm gimana, ya? Kok aku gak rela kalau Mbak Nency yang bawain makanan buat dia. Mana sepertinya dia beli pun, bukan masak. Hish, gak fair.” “Cobain yang ini juga, Mas.” Mbak Nency memindahkan satu potong fried chicken untuk Mas Fajar. “Hmmm … oke. Thanks, ya.” Bang Fajar segera menggigit potongan ayam itu untuk menetralisir rasa asin yang membuat lidah bahkan merasa tak nyaman. “Rasanya lumayan, tapi kayak enggak fresh, ini ada yang gosong-gosongnya, jadi pahit. Hanya saja lebih baik dari pada sambal udang rasa air lautnya Karina.” Bang Fajar mengunyah dengan sedikit leb
Mendengar penuturan Bu Wati yang panjang lebar, membanggakan Ningtias---putrinya yang sarjana serta terindikasi memandang rendah Cahaya, sepasang mata Karina menatap tajam pada Bu Wati yang masih hendak bicara. “Mulut orang ini belum pernah di sekolahkan sepertinya,” batin Karina dengan tangan bersedekap dan menatap awas pada Bu Wati yang kembali hendak membuka mulutnya. “Saya dari dulu percaya kata-kata bijak yang mana menyebutkan suksesnya seorang suami itu adalah berkat sosok seorang perempuan yang berdiri di belakangnya. Nah berarti bangkrutnya seorang suami, itu juga karena perempuan yang ada di belakangnya. Kalau wawasannya gak luas, pergaulan udik, hanya modal cantik doang, nol besar lah nilainya. Harusnya kalau sudah seperti itu, sadar diri … apa masih pantes menyandang gelar istri.” Lagi-lagi, sudut mata Bu Wati melirik ke arah Cahaya. Seolah semua ucapannya untuk menyindir Cahaya. “Ini sebetulnya acara arisan atau apa, ya, Bu Rini? Harusnya ibu ngundang orang ke acara ar
Mbak Ning sudah berada di kantor milik Mas Baska. Sedikit terkejut ketika Mas Baska melihat kemunculannya. “Ning?” Mas Baska menatap ragu pada seorang perempuan yang baru saja turun dari mobil online itu. “Pagi, loh Mas Baska? Kerja di sini juga? Saya dapat referensi dari Mbak Nency untuk interview di sini.” Mbak Ning terkejut melihat sosok yang dulu pernah hadir di hatinay itu kini ada di depan mata.“Oh Nency, ya? Iya saya kerja di sini juga. Oh mau interview, ya? Silakan nunggu di dalam.” Mas Baska mempersilakan Mbak Ning masuk.“Duh, kalau Ning tahu apa posisiku di sini, bisa gagal kejutanku buat Aya,” batin Mas Baska. Dilihtanya tanggalan dalam jam tangannya. Masih satu minggu lagi pada hari H. “Baru tanggal segini lagi,” batin Mas Baska seraya menatap tanggalan pada arloji yang dipakainya itu. Mas Baska lekas mencari Mbak Nency sang konsultant agency. Mbak nency membawahi juga rekrutment, pajak dan perijinan. Mas Baska lekas minta izin untuk tak join interview, sebagai gantin
Acara syukuran untuk perusahaan yang tengah mulai beroperasi yang Mas Baska rencanakan hampir tiba. Semua sudah terkoordinasi dengan baik. Acara akan dilaksanakan lusa sekitar jam sepuluh pagi mulainya. Hari ini, Mas Baska baru saja pulang dan disambut senyuman manis Cahaya. Diangsurkannya sebuah paper bag pada istri tercintanya yang menyambut dan segera mengambil tas kerja dari tangannya. “Dek, lusa dandan yang cantik, terus pakai baju ini, ya!” “Emang mau ke mana, Mas? Ini baju apa?” Cahaya memeriksa isi paper bag yang baru saja diberikan oleh Mas Baska. “Masya Allah, Mas … kok beli batik pedang, sih, Mas? Harganya bisa buat kita makan sebulan ini mah. Kenapa buang-buang uang sih, Mas? Padahal gak harus beli yang sebagus ini.” Cahaya menatap takjub pada baju batik yang sudah terkenal harganya dan tampak terlihat mewah itu. “Dibeliin kantor, Dek! Lusa pagi bersiap, ya! kita akan pergi sama-sama ada acara di tempat kerja Mas.” Mas Baska memilih duduk berselonjor setelah meraih sa
“Biar saya samperin, deh, Jeng! Malu-maluin banget sih mantu sampean! Orang disuruh pake dress code putih, malah batik! Aneh! Sudah gitu, kepedean juga malah duduk di paling depan! Apa kita tonton saja biar dia dipermalukan dan diomeli lelaki yang tadi,” kekeh Bu Wati seraya menertawakan Cahaya yang menurutnya salah kostum.“Ya sudah, sana.” Bu Rini hanya mendukung saja. Dirinya sendiri tak sampai hati menunjukkan sikap seperti itu di depan Mas Baska. Konsep Bu Rini, dia harus berada di tengah agar posisi selalu aman. Andai Mas Baska sukses, dia tak malu juga nantinya. Dulu pun sudah terbukti, Mas Baska begitu baik dan royal pada keluarga. Hanya saja, sekarang, dirinya memang butuh penopang. Dia tak tahu saja kalau Mas Baska punya saham di perusahaan dagang yang sekarang ini dihadiri acaranya. Bu Wati sudah mau bangkit ketika tangan Mbak Ning menahannya. “Ibu mau ke mana?” Sorot mata Mbak Ning yang tampak lelah itu menatap Bu Wati. “Sudah kamu diem saja di sini, Ning! Ibu ada urusa