“Mau minum apa?” Lelaki yang duduk di sisi kiri Karina tersebut bertanya ketika pramugari sedang menawari makanan dan minuman. Karina menoleh malas lalu mengedik. Akhirnya dia memesan sendiri kopinya. “Kamu kerja di sini? Atau di Surabaya?” “Di sini.” “Kalau aku, kerjanya di Surabaya. Mungkin akan segera dapat jodoh orang sana juga.” Karina mengangguk malas. Dia pun tak menimpali. Mendengar kata-kata jodoh, membuatnya semakin malas. Akhirnya dia lebih memilih memejamkan mata. Satu jam lebih saja harusnya tiba di sana. Hanya saja … entah kenapa. Waktu terasa beranjak sangat lama. “Bang Fajar … selamat tinggal.” Batin Karina sibuk mengucapkan kata perpisahan. Dia pun terus berpura-pura saja tertidur agar tak diajak ngobrol oleh lelaki yang ada di sampingnya. Tampan, sih. Namun, Karina bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tiba di Bandar Udara Internasional Juanda. Karina keluar dengan berjalan lunglai. Ponselnya sudah diaktifkan. Namun, tak ada satu pun pesan dari Bang Faja
Dunia seakan berhenti berputar ketika aku melihat siapa yang berdiri di sana. “B--Bang, Fajar?” Lelaki yang disebut namanya oleh Karina itu menoleh. Seulas senyum tersungging pada bibirnya. “Yes, Karin!” Sepasang bola bening milik Karina berkaca-kaca. Karina sudah berlari hendak memeluk Bang Fajar, tapi lengan Abi sigap menghadangnya. “Eh, anak gadis Abi mau ke mana? Bukan mahram, gak boleh peluk-peluk!” celoteh Abi sambil menahan tubuh Karin yang sudah siap menerkam Bang Fajar. “Isshhh, Abi!” Wajah Karina bersemu. Rasanya sungguh malu. Apalagi orang tua Bang Fajar serentak tertawa. Umi pun mengajak calon besannya masuk. Semua duduk pada sofa berbentuk U yang tertata apik di ruangan yang cukup luas. Bang Fajar tampak kalem. Sementara itu, Karina sejak tadi menangkup wajah. Dia masih terisak pelan. Umi memeluknya seraya mengusap-usap punggung Karina. “Duh, kok malah nangis, sih? Apa kedatangan Abang mengganggu?” Suara Bang Fajar menggoda Karina. “Berisik!” omel Karina seraya m
Salah satu orang yang beruntung adalah orang yang istiqomah dalam kebaikan dan khusnul khotimah. Namun begitu, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Terkadang ada juga yang masih tersesat dalam keburukan hingga ujung usia. Terik kota Surabaya mengiringi kepergian Karina dan Bang Fajar yang hendak kembali pergi ke rantau. Namun, bukan untuk selamanya. Melainkan hanya untuk menyelesaikan pendingan tanggung jawab di perusahaan milik Mas Baska. Setelah itu, Abi memintanya pulang dan mengurus usahanya yang ada di Surabaya. Di Bandara kini mereka berada. Berdiri berhadap-hadapan dengan Umi dan Abi yang mengantarnya. “Fajar, setelah urusan dengan Baska selesai. Segeralah kembali. Banyak hal yang harus Abi serah terimakan pada kalian!” “Iya, Abi.” “Kami juga belum mengadakan resepsi, karena itu segera kembali.” Umi pun tak kalah antusias pada pernikahan putri sulungnya. Karina mencebik dan menggoyang-goyangkan kepala. Dia tak mau mengadakan resepsi. “Adeeek!” Bang Fajar mendeli
[Dek, maafin Mas … lebaran kali ini sepertinya gak pulang lagi.] Sebuah pesan masuk dari nomor Mas Baska membuat Cahaya hanya mampu menghela napas panjang. Genap empat tahun sudah, Mas Baska tak pulang saat lebaran. Cahaya kembali melanjutkan melipat pakaian. Pandangannya beralih dari jendela yang tampak berkabut karena hujan tak kunjung henti pada tumpukkan pakaian yang ada di depannya. Tangannya bergerak pelan seiring dengan pikirannya yang berlarian. Semuanya saling bertali ke sana ke mari. Masih teringat jelas dua hari lalu wajah Kirana---sang putri saat memilah-milah gamis dalam lemari plastik miliknya. “Bu, puasa Kiran ‘kan udah mau tamat … katanya nanti Ibu mau belikan baju baru buat lebaran kan, ya?” Pertanyaannya gadis kecilnya membuat Cahaya bergeming, tetapi dia berusaha tersenyum demi menutupi kegundahan hatinya. Sepasang bola beningnya terasa berkabut ketika melihat jemari mungil itu lincah memilah pakaian-pakaian yang sebetulnya semuanya sama, lusuh dan kusam.“Hmmm …
“Mbak, bungkus saja gamisnya untuk dia. Biar nanti saya yang bayar.”Cahaya menoleh, tampak seorang lelaki setinggi kurang lebih seratus delapan puluh senti tengah berdiri. Kaos warna biru berkerah dikenakannya. Tatapan matanya tajam. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Rambutnya dipotong plontos dengan kumis tipis menghiasi wajahnya. Satu kata untuk menyimpulkan sosok yang tengah berdiri itu yaitu gagah. “B—Bang Fajar?” Bibir Cahaya bergetar. Dia seoalah terhipnotis dan mematung kaku melihat sosok yang sudah lama menghilang itu. “Apa kabar kamu, Aya? Lama gak jumpa.” Bibirnya yang berwarna natural membuat lengkung indah. Sebuah senyuman yang sudah lama tak pernah dia lihat, tepatnya semenjak kelulusan sekolah menengah belasan tahun silam.“B--Baik, Bang.” “Maaf, Mas. Ini jadi dibungkus, gamisnya?” Penjaga toko menyela kecanggungan yang terjadi di antara keduanya. “Bungkus saja, Mbak.” “Gak usah, Mbak.” Cahaya dan lelaki itu mengucap bersamaan, lalu keduanya saling
Cahaya kini berkutat di dapur. Dua gelas beras sudah ditanaknya di dalam alat penanak nasi. Ayam goreng untuk Kiran sudah selesai dia masak. Kini jemari lentiknya tengah sibuk mengiris tempe untuk dijadikan bacem. Sayurnya dia menumis kangkung. Aroma masakan menguar memanjakkan indra penciuman. Perut yang letih menahan lapar seolah disuguhi oleh godaan. Apalagi tubuh Cahaya terasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah kakak iparnya. “Ma, di rumah Anneke, sudah banyak kue loh, Ma. Di rumah kita kok gak ada kue?” Suara Kirana yang muncul dari ruang tengah terdengar. Cahaya terdiam. Ingat masih ada sisa uang. “Iya, besok juga Mama mau bikin. Kiran mau kue apa?” Cahaya tak sampai hati memberi tahu yang sebenarnya jika mereka tak punya uang. “Wah, beneran, Ma? Mau bikin kue banyak juga?” Kiran begitu antusias dan bertanya dengan mata yang berbinar. “Enggak banyak, Sayang. Lebarannya ‘kan sehari doang. Satu toples saja cukup, ya.” Cahaya menoleh pada putrinya. “Kalau di rum
Menjelang maghrib, seperti biasa. Cahaya akan ke rumah Ibu dan Bapak yang sudah sepuh. Waktu yang ditempuh tak menghabiskan lima belas menit, mereka sudah sampai. Bapak, hanya seorang tukang ojek pangkalan semasa sehatnya, sedangkan Ibu sama seperti dirinya, buruh cuci serabutan. Hanya saja menjelang masa tuanya, dia tak bisa memegang banyak rumah, pendapatan hanya cukup untuk menghidupi masa tua sehari-hari. “Horeee ada kolak!” Kiran tampak girang. Ada satu mangkuk kolak yang tersaji di meja makan. “Iya, sengaja itu memang buat Kiran.” Bu Saodah tersenyum menatap cucu semata wayangnya. Cahaya datang dengan membawa dua gelas teh manis hangat. Ada satu piring gorengan tempe tepung sudah tersaji di atas meja. Tempe goreng buatan tangan Bu Saodah pastinya. Bikin sendiri lebih hemat pastinya. Adzan maghrib berkumandang, mereka lekas menikmati hidangan alakadarnya. Kiran tampak sekali bersemangat menghabiskan semangkuk kolak. Sementara itu, Bapak, dia tak keluar kamar. Batuknya yang te
“Mas anter pulang, ya ….” Sorot mata itu masih sama. Tatapan yang membuat Cahaya memilih pergi dari kehidupan dua lelaki masa lalu yang sama-sama keras kepalanya.“Maaf, Mas … jangan begini … nanti jadi fitnah!” Cahaya menepis tangan Mas Fajri yang mencekal pergelangan tangannya. “Maaf.” Mas Fajri menyugar rambut ke belakang. Cahaya sudah hendak melangkah keluar ketika suara Mas Fajri kembali menghentikan langkahnya. “Aya … apakah benar tak ada kesempatan lagi untuk kita? Aku bisa menceraikan Fiska dan kita bisa hidup bersama, Aya. Kamu tak akan hidup kekurangan jika bersamaku … lihatlah keadaan Baska saat ini, bahkan sudah empat tahun dia gak pulang-pulang bukan? Apa kamu yakin, seorang lelaki bisa tahan berpisah dengan istrinya dalam waktu begitu lama … Aku yakin, Baska tak sebaik yang kamu pikirkan … dia pasti sudah memiliki perempuan lain di Surabaya sana!” Aku mengepal erat, sekuat hatiku menolak apa yang Mas Fajri tuduhkan. Mas Baska takkan seperti itu, dia sayang padaku. Ak