Share

Bab 2

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2023-10-31 09:07:33

“Mbak, bungkus saja gamisnya untuk dia. Biar nanti saya yang bayar.”

Cahaya menoleh, tampak seorang lelaki setinggi kurang lebih seratus delapan puluh senti tengah berdiri. Kaos warna biru berkerah dikenakannya. Tatapan matanya tajam. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Rambutnya dipotong plontos dengan kumis tipis menghiasi wajahnya. Satu kata untuk

menyimpulkan sosok yang tengah berdiri itu yaitu gagah.

“B—Bang Fajar?” Bibir Cahaya bergetar. Dia seoalah terhipnotis dan mematung kaku melihat sosok yang sudah lama menghilang itu.

“Apa kabar kamu, Aya? Lama gak jumpa.” Bibirnya yang berwarna natural membuat lengkung indah. Sebuah senyuman yang sudah lama tak pernah dia lihat, tepatnya semenjak kelulusan sekolah menengah belasan tahun silam.

“B--Baik, Bang.”

“Maaf, Mas. Ini jadi dibungkus, gamisnya?” Penjaga toko menyela kecanggungan yang terjadi di antara keduanya.

“Bungkus saja, Mbak.”

“Gak usah, Mbak.”

Cahaya dan lelaki itu mengucap bersamaan, lalu keduanya saling memandang dan tampak sekali kikuk dan canggung. Penjaga toko menggaruk-garuk kepala lalu nyengir kebingungan.

“Duh, jadinya gimana ini, bungkus apa enggak?” Perempuan itu menatap Cahaya dan lelaki jangkung itu bergantian.

“Enggak!”

“Bungkus.”

Lagi-lagi Keduanya bicara bersamaan.

“Jangan halangi rejeki anak kamu, Aya. Aku tak ada maksud apa-apa. Anggap saja ini hadiah untuknya dariku.”

“Ahm … maaf, Bang. Hanya saja aku beneran gak bisa terima itu, takutnya jadi fitnah. Aku permisi … mau cari di tempat lain saja.”

Cahaya berjalan cepat dan lekas meninggalkan lelaki yang menatap punggungnya itu. Ada helaan napas yang dia hembuskan dan tatapan yang tak bisa diartikan. Cahaya tak menoleh lagi. Cerita indah itu sudah dikuburnya lama-lama. Semua sudah Cahaya lupakan. Tak ada lagi Fajar dalam kehidupannya setelah kehadiran Baskara.

“Kenapa kamu harus datang lagi, Bang? Kita sudah selesai … Sudah lama selesai.” Cahaya memejamkan mata, menghalau rasa yang bercampur baur menjadi tak karuan.

Dia berjalan menyusuri jalanan berdebu, terpaan angin dan hawa panas menyapu wajah. Satu toko lain kini menjadi pilihan. Banyak juga gamis-gamis anak yang ditawarkan di sana. Cahaya masuk, seperti biasa melihat-lihat bandrol harga lalu mengambil satu yang harganya tak terlalu mahal hanya seratus ribuan sudah dapat kerudungnya. Uangnya masih harus sisa agar besok masih bisa makan.

“Yang warna peach saja, dibungkus satu ya, Mbak!” Cahaya memilih satu gamis. Senyum terukir pada bibir tipisnya.

“Baik, Mbak. Yang importnya sekalian ini, Mbak. Dikasih murah, deh! Seratus enam puluh ribu saja.” Penjaga toko itu mengangsurkan gamis lainnya. Warnanya pink dengan aksen kartun yang lagi hits.

“Enggak, Mbak. Ini saja. Uangnya gak cukup.” Cahaya tersenyum.

“Oke, ditunggu sebentar, ya!” tukas penjaga toko itu dan segera berlalu.

Cahaya berdiri menatap deretan baju gamis anak yang tampak lucu-lucu. Andai ada uang lebih, ingin rasanya membeli satu atau dua set. Baju Kirana sekarang sudah gak ada lagi yang pas. Semua rata-rata sudah di atas mata kaki. Pada saat dia tengah menunggu dari dalam toko seorang dengan dress selutut. Dia menatap remeh pada Cahaya.

“Eh, ada mantan istri pengusaha. Belanja, Mbak Aya?” Suaranya terdengar sinis.

“Iya, Mbak Rena. Mbak belanja juga, ya?” Cahaya berusaha tersenyum. Sudah biasa diperlakukan demikian. Terutama oleh orang-orang yang dulu sangat tidak menyukai pernikahannya dengan Mas Baska.

“Iya, kebetulan kemarin Nikita baru beli lima baju gamis, biasanya kalau tiap lebaran itu sampe lebih dari sepuluh saya beli. Ya, namanya anak-anak Mbak, suka banget gonta-ganti baju gitu. Kirana beli berapa, Mbak?”

“Alhamdulilah, beli satu saja, Mbak Rena.” Cahaya hanya tersenyum. Bingung juga mau menimpali apa, kalimat Rena hanya ingin menunjukkan kalau kini statusnya berada di atas Cahaya. Beruntung penjaga toko sudah datang dan memberikan barang pesanannya.

“Ini, Mbak.” Suara itu membuat Cahaya mendongak. Perempuan dengan kerudung segi empat bermotif bunga yang menjaga toko itu mengangsurkan plastik berwarna hitam kepadanya.

“Ini uangnya pas, ya, Mbak.” Cahaya mengangsurkan satu lembar merah miliknya.

“Makasih, Mbak. Besok-besok jangan lupa belanja di sini lagi.” Penjaga toko tersenyum. Tangannya menangkup di depan dada dan dia mengangguk sopan.

“Dia itu dulu suaminya pengusaha, Mbak. Eh, sekarang kasihan banget, buat makan saja harus kuli cuci setrika. Ya, namanya gak sekolah, sih, emang susah. Istrinya itu gak bisa ngimbangin loh, Mbak. Ya gitu, deh … kasihan banget sekarang hidupnya. Coba dulu si Baska itu nikahnya sama adik saya, pasti gak bakal bangkrut kayak gini.”

Cahaya masih mendengar ucapannya yang terkesan menyudutkan. Lagi-lagi karena Cahaya tak sekolah. Apakah salah jika pendidikannya hanya SMP lalu bersuamikan seorang sarjana? Lantas, apa semua kegagalan usaha suaminya menjadi tanggung jawabnya.

Ada satu titik bening mengalir pada pipinya yang bahkan kini terlihat kusam. Namun, segera kesedihan itu dia tepis. Kini di tangan kanannya sudah menggenggam sebuah kebahagiaan. Cahaya tak sabar ingin segera tiba di rumah dan memberikan baju itu pada Kirana---putrinya. Senyum pada bibir Kirana adalah obat termanjur dari segala duka, obat paling mujarab untuk membuat semua kesulitan yang dialaminya saat ini menjadi lebih ringan.

Cahaya berbelok dulu ke toko sembako. Dia membeli seliter beras, setengah potong tempe, sepotong pah* ayam, seikat kangkung dan juga satu perempat ikan asin, tak lupa membeli beberapa bumbu dapur juga yang sudah habis. Uangnya masih dia sisakan untuk besok lagi.

“Kiran suka banget ayam goreng. Sudah lama sekali dia gak makan ayam.” Senyum pada bibirnya, sekali lagi mengembang. Lalu dia melanjutkan perjalanannya menuju rumah.

Langkah Cahaya melambat ketika dia melihat sebuah mobil berwarna putih terparkir di depan rumah kecilnya. Kedua matanya menyipit ketika tampak seorang lelaki yang tak asing baru saja keluar dari teras dan kembali masuk ke dalam mobil, lalu mobil itu melaju begitu saja dan menampakkan sosok Kirana yang tampak tengah tersenyum sambil memegang dua set gamis di tangannya.

“Mama, makasih … bajunya bagus banget, Ma.” Kirana berhambur memburu Cahaya dan menunjukkan baju gamis yang tadi sempat ditaksir Cahaya di toko pertama. Ada juga satu model yang lainnya.

Cahaya mematung, melihat Kirana yang tampak begitu bahagia membuatnya urung untuk mengatakan hal sebenarnya. Itu bukan Cahaya yang belikan. Uangnya tak cukup untuk membeli baju semahal itu. Namun, haruskah dia katakan pada Kirana dan membuat kebahagiaan gadis kecilnya patah?

“Bang Fajar … kenapa kamu harus senekat ini …,” lirih Cahaya di dalam dada. “Aku tak mungkin membuat Kiran sedih … lebih baik, nanti aku ganti saja uangnya kalau sudah ada.” Cahaya menatap wajah sumringah anak berusia enam tahun di depannya itu.

“Si Om penjualnya baik banget, ya, Ma? Sampai dianterin ke rumah. Tadi aku suruh nyobain juga, katanya takut gak muat.” Dia tak henti bercerita. Cahaya hanya tersenyum dan mengelus pucuk kepala Kirana. Dia tak tahu ada sebuah kamera ponsel yang sejak tadi sibuk mengabadikan momen Kirana dengan lelaki itu. Seorang perempuan yang tengah berdiri dari balik pagar rumah yang berseberangan dengan rumah miliknya, kini tengah tersenyum dan menatap layar gawainya.

“Kamu harus tahu, Baska … kalau istrimu yang selalu kamu banggakan itu, tak sebaik yang kamu pikirkan.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
nurdianis
ada aja yang sirik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 3

    Cahaya kini berkutat di dapur. Dua gelas beras sudah ditanaknya di dalam alat penanak nasi. Ayam goreng untuk Kiran sudah selesai dia masak. Kini jemari lentiknya tengah sibuk mengiris tempe untuk dijadikan bacem. Sayurnya dia menumis kangkung. Aroma masakan menguar memanjakkan indra penciuman. Perut yang letih menahan lapar seolah disuguhi oleh godaan. Apalagi tubuh Cahaya terasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah kakak iparnya. “Ma, di rumah Anneke, sudah banyak kue loh, Ma. Di rumah kita kok gak ada kue?” Suara Kirana yang muncul dari ruang tengah terdengar. Cahaya terdiam. Ingat masih ada sisa uang. “Iya, besok juga Mama mau bikin. Kiran mau kue apa?” Cahaya tak sampai hati memberi tahu yang sebenarnya jika mereka tak punya uang. “Wah, beneran, Ma? Mau bikin kue banyak juga?” Kiran begitu antusias dan bertanya dengan mata yang berbinar. “Enggak banyak, Sayang. Lebarannya ‘kan sehari doang. Satu toples saja cukup, ya.” Cahaya menoleh pada putrinya. “Kalau di rum

    Last Updated : 2023-10-31
  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 4

    Menjelang maghrib, seperti biasa. Cahaya akan ke rumah Ibu dan Bapak yang sudah sepuh. Waktu yang ditempuh tak menghabiskan lima belas menit, mereka sudah sampai. Bapak, hanya seorang tukang ojek pangkalan semasa sehatnya, sedangkan Ibu sama seperti dirinya, buruh cuci serabutan. Hanya saja menjelang masa tuanya, dia tak bisa memegang banyak rumah, pendapatan hanya cukup untuk menghidupi masa tua sehari-hari. “Horeee ada kolak!” Kiran tampak girang. Ada satu mangkuk kolak yang tersaji di meja makan. “Iya, sengaja itu memang buat Kiran.” Bu Saodah tersenyum menatap cucu semata wayangnya. Cahaya datang dengan membawa dua gelas teh manis hangat. Ada satu piring gorengan tempe tepung sudah tersaji di atas meja. Tempe goreng buatan tangan Bu Saodah pastinya. Bikin sendiri lebih hemat pastinya. Adzan maghrib berkumandang, mereka lekas menikmati hidangan alakadarnya. Kiran tampak sekali bersemangat menghabiskan semangkuk kolak. Sementara itu, Bapak, dia tak keluar kamar. Batuknya yang te

    Last Updated : 2023-10-31
  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 5

    “Mas anter pulang, ya ….” Sorot mata itu masih sama. Tatapan yang membuat Cahaya memilih pergi dari kehidupan dua lelaki masa lalu yang sama-sama keras kepalanya.“Maaf, Mas … jangan begini … nanti jadi fitnah!” Cahaya menepis tangan Mas Fajri yang mencekal pergelangan tangannya. “Maaf.” Mas Fajri menyugar rambut ke belakang. Cahaya sudah hendak melangkah keluar ketika suara Mas Fajri kembali menghentikan langkahnya. “Aya … apakah benar tak ada kesempatan lagi untuk kita? Aku bisa menceraikan Fiska dan kita bisa hidup bersama, Aya. Kamu tak akan hidup kekurangan jika bersamaku … lihatlah keadaan Baska saat ini, bahkan sudah empat tahun dia gak pulang-pulang bukan? Apa kamu yakin, seorang lelaki bisa tahan berpisah dengan istrinya dalam waktu begitu lama … Aku yakin, Baska tak sebaik yang kamu pikirkan … dia pasti sudah memiliki perempuan lain di Surabaya sana!” Aku mengepal erat, sekuat hatiku menolak apa yang Mas Fajri tuduhkan. Mas Baska takkan seperti itu, dia sayang padaku. Ak

    Last Updated : 2023-10-31
  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 6

    Isi amplop yang tak banyak itu sudah langsung Cahaya belikan beberapa tablet obat untuk Bapak dan juga seperempat ayam untuk Kirana. Setiap ada rejeki lebih, barulah Cahaya akan membeli ayam walau tak banyak. Jika dulu makan daging-dagingan itu hal yang membosankan, tetapi setelah jatuh bangkrut dan serba kekurangan, sepotong daging ayam adalah makanan termewah untuknya. Benar jika roda berputar, benar jika rejeki hanya titipan. Dulu kedatangan Baska yang meminangnya membuat kehidupannya yang dari bawah garis kemiskinan seketika berubah. Namun, semua tak bertahan lama. Empat tahun menikah dan dikaruniai seorang bayi cantik, tiba-tiba takdir menghempaskan pada jurang yang curam, harta titipan itu kembali diambil-Nya. Namun demikian, Cahaya memilih untuk bertahan dan menunggu Mas Baska pulang. Dia yakin, selalu yakin, akan ada pelangi setelah hujan. Dia menanamkan seribu keyakinan jika Mas Baska setia di rantau sana. Berharap semua penantian itu berbuah indah. Menepis semua kehadiran

    Last Updated : 2023-11-28
  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 7

    Di Bandara Internasional Juanda Surabaya, seorang lelaki mengacak rambut frustasi. Gara-gara tadi drama mobil mogok, akhirnya dia ketinggalan penerbangan yang menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta. Bibirnya berdecak dan dia menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang berderet rapi di Bandara. Gegas dia mengangkat benda pipih dan menghubungi seseorang yang dimintanya untuk datang ke sana. “Hallo, Rin, masih di mana?” “Bentar, sih, Mas! Kemarin ditawarin nginep di apartemenku gak mau! Rasain, telat deh, tuh!” “Takut jadi fitnah, Rin!” “Terus sekarang? Telat kan? Emang enak!” “Ck, sudah gak usah bahas!” “Dasar Mas Baska tukang ngeyel!” Panggilan pun ditutup. Harga ticket yang melonjak tinggi membuat lelaki yang tak lain adalah Mas Baska tak berani membeli ulang. Pada akhirnya dia menyerah dan memilih pulang ke Bekasi menggunakan kendaraan roda empat dan menyetir sendiri. Selang tiga puluh menit, Karina si gadis tomboy itu muncul. Dia tergelak melihat wajah frustasi lelaki yang

    Last Updated : 2023-11-28
  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 8

    Cahaya sudah duduk di depan ruangan administrasi. Namun prosedur, tetaplah prosedur. Akhirnya mau tak mau, Kirana harus dibawa pulang. Cahaya hanya mampu pasrah pada takdir yang terasa cukup getir. Ibu mana yang tega melihat putri semata wayangnya terkulai lemah seperti sekarang. Satu kantung obat dia tebus. Beruntung masih ada sisa uang, jadi saat ini untuk obat masih bisa ditebusnya. Cahaya memeluk tubuh Kirana yang menggigil tetapi terasa panas. Hatinya menjerit memanjatkan doa, berharap terketuk pintu langit. Ibu hanya mampu menyeka air mata melihat Cahaya memapah cucunya ke luar. “Ibu sama Kiran tunggu sebentar, ya! Mau cari ojek dulu.” Cahaya menguatkan diri agar tak menangis. Dia terburu-buru keluar setelah Kirana terlihat sedikit lebih nyaman tertidur pada pangkuan Ibu pada kursi tunggu di teras klinik. Waktu sudah menanjak malam. Suara takbir dari masjid yang berseberangan dengan klinik terdengar. Semua sedang menyelesaikan terawih ketika Cahaya berjalan tertatih. Berulan

    Last Updated : 2023-11-29
  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 9

    Suhu tubuh Kirana mulai mereda setelah dokter memberikan obat lagi. Cahaya bisa sedikit bernapas lega. Dikecupnya kening Kirana yang kini mulai kembali terlelap. Puasa sehari lagi besok. Tak sepeser pun uang yang kini dipegang Cahaya. Cahaya mengambil wudhu, beruntung ada fasilitas untuk shalat. Cahaya mengambil perlengkapan shalat di pojok ruangan, lantas segera menunaikan ibadah shalat isya empat rakaat. Tak jauh-jauh, dia menggelar sajadah di samping ranjang rawat. Suasana asing dan sepi. Empat rakaat pun kelar, diliriknya Kirana, tampak sudah semakin tenang. Cahaya melanjutkan dengan tarawih sendirian. Dilanjut witir dan terakhir dia memanjatkan bacaan doa sebiasanya. Dilipatnya mukena itu kembali bersama sajadahnya lalu dikembalikan ke tempat semula. Cahaya duduk pada kursi yang ada di tepi ranjang rawat, dipegangnya dahi Kirana masih panas, meski tak sehebat tadi. “Sepertinya besok mendingan pulang saja, deh … sudah reda panasnya … kalau di sini sampai beberapa hari, berat n

    Last Updated : 2023-11-29
  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 10

    Cahaya menatap Ibu lalu bertanya, “Uang sebanyak ini dari siapa, Bu?” “Pakai saja dulu. Itu uang simpanan Ibu.” Hanya jawaban itu yang didapatkan Cahaya. Rasanya masih ada yang mengganjal. Jika Ibu memiliki uang simpanan sebanyak itu, kenapa juga kemarin bahkan untuk ongkos ojek pun dia gak punya. “Sudah, gak usah terlalu banyak pikiran. Pakai saja dulu buat keperluan Kiran.” Cahaya sebetulnya masih penasaran dari mana uang yang setelah dihitung itu ternyata berjumlah satu juta. Namun, kali ini bukan waktunya untuk debat. Yang jelas uang itu datang di waktu yang tepat. Setidaknya, besok ketika pas pulang, tak payah pusing lagi memikirkan pinjaman. Ibu pun tak lama. Dia berpamitan. Dia berjalan kaki dari tempat dokter praktek itu, katanya mau naik ojek di depan. “Dari mana pun Ibu dapat uang ini … semoga bukan dari sesuatu yang diharamkan.” Hanya itu yang Cahaya ucapkan sambil bernapas lega. Kondisi Kiran membuat Cahaya berbesar hati. Suhu tubuhnya seharian ini stabil. Dokter bi

    Last Updated : 2023-11-30

Latest chapter

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 54 - End

    Salah satu orang yang beruntung adalah orang yang istiqomah dalam kebaikan dan khusnul khotimah. Namun begitu, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Terkadang ada juga yang masih tersesat dalam keburukan hingga ujung usia. Terik kota Surabaya mengiringi kepergian Karina dan Bang Fajar yang hendak kembali pergi ke rantau. Namun, bukan untuk selamanya. Melainkan hanya untuk menyelesaikan pendingan tanggung jawab di perusahaan milik Mas Baska. Setelah itu, Abi memintanya pulang dan mengurus usahanya yang ada di Surabaya. Di Bandara kini mereka berada. Berdiri berhadap-hadapan dengan Umi dan Abi yang mengantarnya. “Fajar, setelah urusan dengan Baska selesai. Segeralah kembali. Banyak hal yang harus Abi serah terimakan pada kalian!” “Iya, Abi.” “Kami juga belum mengadakan resepsi, karena itu segera kembali.” Umi pun tak kalah antusias pada pernikahan putri sulungnya. Karina mencebik dan menggoyang-goyangkan kepala. Dia tak mau mengadakan resepsi. “Adeeek!” Bang Fajar mendeli

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 53

    Dunia seakan berhenti berputar ketika aku melihat siapa yang berdiri di sana. “B--Bang, Fajar?” Lelaki yang disebut namanya oleh Karina itu menoleh. Seulas senyum tersungging pada bibirnya. “Yes, Karin!” Sepasang bola bening milik Karina berkaca-kaca. Karina sudah berlari hendak memeluk Bang Fajar, tapi lengan Abi sigap menghadangnya. “Eh, anak gadis Abi mau ke mana? Bukan mahram, gak boleh peluk-peluk!” celoteh Abi sambil menahan tubuh Karin yang sudah siap menerkam Bang Fajar. “Isshhh, Abi!” Wajah Karina bersemu. Rasanya sungguh malu. Apalagi orang tua Bang Fajar serentak tertawa. Umi pun mengajak calon besannya masuk. Semua duduk pada sofa berbentuk U yang tertata apik di ruangan yang cukup luas. Bang Fajar tampak kalem. Sementara itu, Karina sejak tadi menangkup wajah. Dia masih terisak pelan. Umi memeluknya seraya mengusap-usap punggung Karina. “Duh, kok malah nangis, sih? Apa kedatangan Abang mengganggu?” Suara Bang Fajar menggoda Karina. “Berisik!” omel Karina seraya m

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 52

    “Mau minum apa?” Lelaki yang duduk di sisi kiri Karina tersebut bertanya ketika pramugari sedang menawari makanan dan minuman. Karina menoleh malas lalu mengedik. Akhirnya dia memesan sendiri kopinya. “Kamu kerja di sini? Atau di Surabaya?” “Di sini.” “Kalau aku, kerjanya di Surabaya. Mungkin akan segera dapat jodoh orang sana juga.” Karina mengangguk malas. Dia pun tak menimpali. Mendengar kata-kata jodoh, membuatnya semakin malas. Akhirnya dia lebih memilih memejamkan mata. Satu jam lebih saja harusnya tiba di sana. Hanya saja … entah kenapa. Waktu terasa beranjak sangat lama. “Bang Fajar … selamat tinggal.” Batin Karina sibuk mengucapkan kata perpisahan. Dia pun terus berpura-pura saja tertidur agar tak diajak ngobrol oleh lelaki yang ada di sampingnya. Tampan, sih. Namun, Karina bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tiba di Bandar Udara Internasional Juanda. Karina keluar dengan berjalan lunglai. Ponselnya sudah diaktifkan. Namun, tak ada satu pun pesan dari Bang Faja

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 51

    Enam bulan berlalu dari saat tragedi penyekapan Mbak Fiska. Semua sudah hidup normal kembali sesuai porsinya. Perusahaan dagang milik Mas Baska yang join venture dengan Pak Martadinata sudah stabil. Hal itu juga yang menjadikan alasan Karina memutuskan untuk mengganti agency. Lagi pula kontrak dengan perusahaan konslutan dan pajak milik Mbak Nency sudah selesai. Karina tak mau lagi diperpanjang. Alasannya, perusahaan mereka sudah stabil dan ada sendiri orang pajak internal. “Kita masih butuh konsultan pajak, Rin.” Mas Baska menatap draft kontrak kerja sama yang Mbak Nency ajukan kembali kemarin. “Konsultan masih banyak, Mas. Hanya butuh advise sekarang ini, bukan pekerjaan harian.” Karina menjawab judes. Bahkan dia tak segan merobek kertas-kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. “Tim Nency kerjanya bagus. Apa ada alasan yang lebih masuk akal selain perusahaan sudah settel?” Mas Baska menatap Karina. Gadis itu benar-benar keras kepala. “Yup, betul dia nagus, tapi kita membayar

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 50

    Mbak Fiska sudah berada di rumah sakit setempat sekarang. Yang pertama dilihatnya ketika matanya terbuka adalah Cahaya. Perempuan yang sepenuh hati dibenci, justru menjadi penyelamatnya dikala sedang seperti ini. Air matanya tiba-tiba menetes, lalu beralih isak.“Alhamdulilah, Mbak sudah sadar?” Cahaya mendekat dan menatap wajah tirus dan kusam yang terbaring lemah itu. Hanya anggukkan dari kepala Mbak Fiska yang menjawab. Dia menatap dengan sorot mata lemah.“Baska mana?” Suara serak Mbak Fiska terdengar. “Mas Baska lagi nganterin Kiran dulu. Kasihan ikut tidur di sini. Mas Baska titip di tempat Karina, Mbak.” Cahaya menjawab sambil tersenyum. Memang pernah sakit hati, pernah kesal, pernah benci. Namun, tak menghalanginya untuk berbuat baik. Seburuk apapun Mbak Fiska, dia adalah kakak dari suami yang dicintainya, Mas Baska. “Maafin, Mbak … Mbak sudah salah menilai kamu. Maafin, Mbak ….” Dia terisak lagi. Cahaya duduk dan menggenggam jemarinya lalu menatap lekat pada pupil hitam Mb

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 49

    Mas Fajri tersenyum lebar ketika akhirnya CCTV yang ada di villa berhasil diretasnya. Kini dia kembali fokus pada tujuan utama yaitu meretas sistem perusahaan Mas Baska. Hanya saja pikirannya kini jadi bercabang dengan menghilangnya Mbak Fiska. “Kamu itu kenapa jadi biang masalah sih, Fiska?” Mas Fajri mengacak kesal rambutnya. Dia pun bangun lalu mengambil air mineral dingin dari dalam lemari es yang ada di apartemen barunya. Ponselnya berkedip-kedip, ada panggilan dari Rena. Namun mood Mas Fajri telanjur rusak dan berantakan sehingga panggilan itu pun dia abaikan. Dia pun kesal juga karena Rena hanya omong kosong doang untuk bisa mendekati Mas Baska. “Apa aku lapor polisi saja, ya? Bilang kalau istriku hilang. Hmmm … tapi nanti buat berita acaranya gimana, ya? Hmmm … tapi ini terlalu berisiko. Sepertinya aku lihat sikon saja, tinggal korbankan Enjam jika pada akhirnya ada yang membuat laporan ke polisi. Semoga saja Fiska bisa segera ditemukan oleh Enjam dan diamankan.” Mas Fajri

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 48

    Tiba-tiba Bang Fajar menoleh. Dia menyipitkan mata dan menelisik wajah Karina.“Hmmm … aku jadi curiga, orang yang paling usil di sini ‘kan kamu? Jangan-jangan akun bodong itu kamu, ya?” “Sembarangan ya kalau nuduh! Emangnya aku orang gak ada kerjaan?” Karina mencebik. Padahal tuduhan Bang Fajar memang benar. Namun Bang Fajar tak menjawab, hanya terkekeh saja. “Bang kok jalannya lurus terus, sih? Kapan beloknya?” Karina kembali membuka suara setelah hening beberapa saat. “Belok ke mana, sih, Rin? Jalannya kan emang cuma ini, kok. Kalau ke rumah sakit itu kan memang jalan yang ini yang lurus."“Ya kali, Abang mau belok dulu ke hati aku.” Karina terkekeh seraya terus memutar CCTV dan memperhatikan dengan seksama menit demi menit yang terlewati. Pada pukul 00.30 tampak sudah ada pergerakkan. Dari kamera depan, terlihat Enjam masih memantau sekitar. Waktu itu, baru saja acara barbeque mereka bubar. “Bang, ini download dari jam berapa?” tanya Karina. “Dari mulai terlihat ada pergerak

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 47

    Mas Baska menatap wajah yang penuh senyuman sumringah di depannya. Cahaya terlihat makin hari makin cantik saja. “Ini, mau lagi?” Mas Baska menyodorkan pisang goreng yang dibuat spesial olehnya untuk sarapan mereka pagi itu di villa. Semalam tidur sangat nyenyak setelah berpetualang mengukir kebahagiaan di antara keduanya. “Sudah, Mas. Sudah cukup.” Cahaya menolak piring yang diangsurkan Mas Baska. “Kok dikit, sih, makannya, Dek? Jangan khawatir lagi, uang Mas sekarang sudah banyak,” kekeh Mas Baska seraya bercanda. “Makin uang kamu banyak, aku malah makin takut, Mas. Aku takut jadi gendut nanti kalau makan terus. Nanti kamu nyari lagi yang langsing,” tukas Cahaya sambil terkekeh. Padahal memang dirinya sudah kenyang. Kebiasaan makan seadanya selama empat tahun ditinggalkan, membuatnya terbiasa, sampai sekarang. “Astaghfirulloh, Dek. Emangnya Mas ada muka-muka player, gitu?” Mas Baska kaget mendengar penuturan Cahaya. Istrinya itu terkekeh sambil melirik manja. “Enggak, kok, Mas

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 45

    “Kalau gitu, aku mau nembak beneran, deh! Abang mau gak jadi suami aku?!” Ucapan Karina yang spontan sontak membuat Jodi, Irfan dan Bang Fajar yang hendak masuk ke dalam berhenti dan menoleh serampak. Karina memasang wajah imut dengan mata berkedip-kedip sambil menunggu respon dari lelaki yang batu saja di tembaknya. Namun, hanya bertahan beberapa detik, ketiga lelaki itu pun malah tergelak. “Astagaaa, Rin! Rin! Harga diri lo setipis rempeyek. Masa cewek nembak duluan!” Jodi yang terkekeh hanya menggeleng kepala. Lalu ketiganya pun masuk dan mengabaikan kalimat tembakkan Karina untuk Bang Fajar yang meluncur begitu saja. “Karina mendengus, memang dikira lucu kali, ya? Padahal aku sudah gadein tuh rasa malu ke pegadaian demi Bang Fajar. Dasar cowok!”omelnya sambil berjalan dengan bibir mengerucut lalu masuk ke dalam ruangan. Deg!Ada rasa panas tiba-tiba menyergap ketika tampak Mbak Nency tengah menyodorkan segelas teh leci pada Bang Fajar. Lelaki itu pun menerima dengan sumringah,

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status