Cahaya kini berkutat di dapur. Dua gelas beras sudah ditanaknya di dalam alat penanak nasi. Ayam goreng untuk Kiran sudah selesai dia masak. Kini jemari lentiknya tengah sibuk mengiris tempe untuk dijadikan bacem. Sayurnya dia menumis kangkung.
Aroma masakan menguar memanjakkan indra penciuman. Perut yang letih menahan lapar seolah disuguhi oleh godaan. Apalagi tubuh Cahaya terasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah kakak iparnya.“Ma, di rumah Anneke, sudah banyak kue loh, Ma. Di rumah kita kok gak ada kue?” Suara Kirana yang muncul dari ruang tengah terdengar. Cahaya terdiam. Ingat masih ada sisa uang.“Iya, besok juga Mama mau bikin. Kiran mau kue apa?” Cahaya tak sampai hati memberi tahu yang sebenarnya jika mereka tak punya uang.“Wah, beneran, Ma? Mau bikin kue banyak juga?” Kiran begitu antusias dan bertanya dengan mata yang berbinar.“Enggak banyak, Sayang. Lebarannya ‘kan sehari doang. Satu toples saja cukup, ya.” Cahaya menoleh pada putrinya.“Kalau di rumah Anneke, kuenya banyak, Ma. Katanya suka banyak keluarganya yang datang. Kalau kita kenapa gak punya keluarga, sih, Ma? Kan biar Mama bisa bikin kue banyak.”Nyess!Ada yang terasa menusuk perih. Benar, semenjak jatuh miskin dan Mas Baska pergi merantau, dirinya memang seolah tak punya keluarga. Mertua dan kakak-kakak iparnya sudah jauh berubah, berbeda sekali dengan ketika dirinya masih berjaya dulu. Mereka pun hanya memanggil kalau butuh bantuan saja.Andai Cahaya tak memiliki Bapak yang sudah sakit-sakitan, Cahaya dulu juga akan memilih ikut Baska merantau. Namun, tak tega melihat Ibu yang sudah sepuh harus mengurus Bapak sendirian. Cahaya anak semata wayang. Sementara itu, Baska merupakan anak bontot dan memiliki dua kakak perempuan. Ayahnya sudah meninggal dan hanya menyisakan Ibunya saja, karena itu, Mas Baska merasa jika tanggung jawab pada Ibunya pun sama besar, mengingat dua kakaknya hanyalah perempuan. Dulu sikap mereka baik, hanya saja … semenjak dirinya susah, semua menjauh. Benar seperti yang dikatakan Kirana, mereka sudah seperti tak punya keluarga.“Kita kan ada keluarga, Nenek sama Kakek. Nanti lebaran kita ke sana, kok!”“Keluarga kita, Kakek sama Nenek doang, ya, Ma?”Kirana datang mendekat dan duduk di sampingnya. Lalu mengambil irisan tempe dan hendak menyuapkannya.“Hush, ‘kan lagi puasa!” Cahaya memindahkan wadah tempe.“Tapi kata Anneke kalau lupa boleh, Ma. Dia kalau di sekolah pasti selalu lupa padahal pas mau beli jajan, Kiran ingetin, tapi katanya nanti saja ingetnya pas jajan esny sudah habis,” celoteh Kirana.“Kalau lupa itu gak sengaja, mana bisa inget kalau sudah es nya habis. Itu namanya pura-pura lupa. Kiran jangan gitu. Puasa itu adalah latihan kedisiplinan. Bagaimana kita belajar disiplin untuk menahan diri dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Menahan diri itu bukan hanya dari lapar dan haus, tapi juga dari perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Puasa juga melatih kejujuran … karena orang-orang mana tahu kalau kita hanya mengaku-ngaku puasa, padahal seringnya pura-pura lupa kayak temen kamu itu. Selain itu, ketika kita puasa … kita belajar melatih empati kita, Sayang. Karena tak semua orang di dunia ini beruntung dan bisa kenyang makan setiap hari … ada yang setiap harinya harus menahan lapar hingga mendapatkan sepeser rupiah untuk membeli makanan.”Kirana hanya mengangguk-angguk dan memperhatikan tangan Cahaya yang kini tengah mengiris bawang.“Oh gitu ya, Ma? Kita masih beruntung ya, Ma, bisa makan tiap hari.” Kiran berucap dengan polosnya. Hanya senyum yang Cahaya ulas sebagai jawabannya. Andai putrinya tahu, seberapa keras dia berjuang untuk bertahan hidup selama empat tahun ini. Namun benar, semua masih harus disyukuri karena mereka masih bisa makan setiap hari.Hening, hanya suara pisau beradu dengan talenan sampai suara Kirana terdengar lagi.“Ma, Omanya Anneke itu kalau lebaran suka beliin baju. Omanya Kiran kok gak pernah, sih?” tanyanya.Cahaya beralih pada ikatan kangkung dan lekas membuang karet pengikatnya. Diirisnya kangkung itu, sedangkan isi kepala berputar memikirkan jawaban yang tepat untuk Kiran. Oma adalah sebutan Kiran untuk Ibu Mertua Cahaya atau orang tua dari Baska.“Hmm … gini … lebaran itu memang kembali semua baru, tapi itu artinya … setelah puasa sebualn penuh ini, diharapkan kita bisa jadi pribadi yang baru … yang awalnya solatnya cuma wajib saja, setelah Ramadhan selesai diharapkan bisa ditambah sunnah, yang biasa baca qur’annya satu ayat, setelah Ramadhan jadi satu juz, yang biasanya pelit sedekah, setelah Ramadhan diharapkan bisa jadi rajin. Semua baru … itu bukan berarti bajunya harus baru. Tapi kitanya yang baru lagi.”Cahaya mencoba mencari pemaparan sederhana agar bisa dipahami oleh Kirana yang usianya baru enam tahun itu.“Oh gitu … terus kenapa Mama juga beliin baju baru?” Pertanyaan Kiran membuat Cahaya terdiam. Kadang sebagai orang tua, tak dipungkiri kalau Cahaya sedih ketika melihat anak-anak yang lain pakai baju baru, sedangkan putrinya pakai baju lusuh yang bahkan sudah kekecilan.“Karena kan baju Kiran juga sudah kecil-kecil. Jadi kebetulan ada rejekinya pas mau lebaran, jadi beli, deh!” Itulah jawaban yang akhirnya Cahaya sampaikan.“Oh gitu?” Kiran mengangguk-angguk.“Kiran bosen, nih, Ma. Mau maen di depan dulu sambil nunggu adzan … siapa tahu pas Kiran maen, tiba-tiba ayah datang kasih kejutan! Kata Mama ‘kan nanti juga ayah akan pulang.” Kirana bangkit diiringi air mata cahaya yang jatuh. Selalu sedih ketika dia menanyakan terkait Baska. Sosok yang biasanya komunikasi hanya lewat gawai saja. Setiap lebaran, Kirana selalu berharap jika ayahnya datang dan memberinya kejutan. Wajar dia merindukan sosok ayah, sudah terlalu lama sosok itu menghilang dari memori kanak-kanaknya. Yang dia tahu hanya bayang, yang ditatapnya pada layar gawai.Seperginya Kiran, gawai Cahaya bergetar. Sepertinya kontak batin terjadi antara dirinya dan Baska. Suaminya itu langsung mengiriminya pesan.[Dek, Mas sudah kirim uang buat lebaran. Ambil ke rumah Mama, ya!] Cahaya hanya menghela napas panjang, lantas dia menjawab singkat pesan yang dikirimkan suaminya.[Iya, Mas.] Cahaya tak pernah bertanya nominal dan menuntut ini itu. Dia sangat tahu sebesar apa utang yang harus dilunasi suaminya karena kebangkrutan itu. Bukan hanya ratusan juta, tetapi hingga milyaran. Karena itu, dia tahu diri untuk tak meminta lebih. Bahkan hal itu juga yang menjadikan Cahaya tak punya nyali untuk bercerita pada Mas Baska jika Ibu Mertua dan kakak-kakak iparnya sudah sangat jauh berubah semenjak kepergian Mas Baska. Cahaya tak mau jika Mas Baska kebanyakan beban pikiran di rantau sana. Cahaya ingin utang-utang yang menggunung itu segera lunas dan suaminya bisa pulang dengan kedaan selamat dan berkumpul kembali bersama.Menjelang maghrib, seperti biasa. Cahaya akan ke rumah Ibu dan Bapak yang sudah sepuh. Waktu yang ditempuh tak menghabiskan lima belas menit, mereka sudah sampai. Bapak, hanya seorang tukang ojek pangkalan semasa sehatnya, sedangkan Ibu sama seperti dirinya, buruh cuci serabutan. Hanya saja menjelang masa tuanya, dia tak bisa memegang banyak rumah, pendapatan hanya cukup untuk menghidupi masa tua sehari-hari. “Horeee ada kolak!” Kiran tampak girang. Ada satu mangkuk kolak yang tersaji di meja makan. “Iya, sengaja itu memang buat Kiran.” Bu Saodah tersenyum menatap cucu semata wayangnya. Cahaya datang dengan membawa dua gelas teh manis hangat. Ada satu piring gorengan tempe tepung sudah tersaji di atas meja. Tempe goreng buatan tangan Bu Saodah pastinya. Bikin sendiri lebih hemat pastinya. Adzan maghrib berkumandang, mereka lekas menikmati hidangan alakadarnya. Kiran tampak sekali bersemangat menghabiskan semangkuk kolak. Sementara itu, Bapak, dia tak keluar kamar. Batuknya yang te
“Mas anter pulang, ya ….” Sorot mata itu masih sama. Tatapan yang membuat Cahaya memilih pergi dari kehidupan dua lelaki masa lalu yang sama-sama keras kepalanya.“Maaf, Mas … jangan begini … nanti jadi fitnah!” Cahaya menepis tangan Mas Fajri yang mencekal pergelangan tangannya. “Maaf.” Mas Fajri menyugar rambut ke belakang. Cahaya sudah hendak melangkah keluar ketika suara Mas Fajri kembali menghentikan langkahnya. “Aya … apakah benar tak ada kesempatan lagi untuk kita? Aku bisa menceraikan Fiska dan kita bisa hidup bersama, Aya. Kamu tak akan hidup kekurangan jika bersamaku … lihatlah keadaan Baska saat ini, bahkan sudah empat tahun dia gak pulang-pulang bukan? Apa kamu yakin, seorang lelaki bisa tahan berpisah dengan istrinya dalam waktu begitu lama … Aku yakin, Baska tak sebaik yang kamu pikirkan … dia pasti sudah memiliki perempuan lain di Surabaya sana!” Aku mengepal erat, sekuat hatiku menolak apa yang Mas Fajri tuduhkan. Mas Baska takkan seperti itu, dia sayang padaku. Ak
Isi amplop yang tak banyak itu sudah langsung Cahaya belikan beberapa tablet obat untuk Bapak dan juga seperempat ayam untuk Kirana. Setiap ada rejeki lebih, barulah Cahaya akan membeli ayam walau tak banyak. Jika dulu makan daging-dagingan itu hal yang membosankan, tetapi setelah jatuh bangkrut dan serba kekurangan, sepotong daging ayam adalah makanan termewah untuknya. Benar jika roda berputar, benar jika rejeki hanya titipan. Dulu kedatangan Baska yang meminangnya membuat kehidupannya yang dari bawah garis kemiskinan seketika berubah. Namun, semua tak bertahan lama. Empat tahun menikah dan dikaruniai seorang bayi cantik, tiba-tiba takdir menghempaskan pada jurang yang curam, harta titipan itu kembali diambil-Nya. Namun demikian, Cahaya memilih untuk bertahan dan menunggu Mas Baska pulang. Dia yakin, selalu yakin, akan ada pelangi setelah hujan. Dia menanamkan seribu keyakinan jika Mas Baska setia di rantau sana. Berharap semua penantian itu berbuah indah. Menepis semua kehadiran
Di Bandara Internasional Juanda Surabaya, seorang lelaki mengacak rambut frustasi. Gara-gara tadi drama mobil mogok, akhirnya dia ketinggalan penerbangan yang menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta. Bibirnya berdecak dan dia menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang berderet rapi di Bandara. Gegas dia mengangkat benda pipih dan menghubungi seseorang yang dimintanya untuk datang ke sana. “Hallo, Rin, masih di mana?” “Bentar, sih, Mas! Kemarin ditawarin nginep di apartemenku gak mau! Rasain, telat deh, tuh!” “Takut jadi fitnah, Rin!” “Terus sekarang? Telat kan? Emang enak!” “Ck, sudah gak usah bahas!” “Dasar Mas Baska tukang ngeyel!” Panggilan pun ditutup. Harga ticket yang melonjak tinggi membuat lelaki yang tak lain adalah Mas Baska tak berani membeli ulang. Pada akhirnya dia menyerah dan memilih pulang ke Bekasi menggunakan kendaraan roda empat dan menyetir sendiri. Selang tiga puluh menit, Karina si gadis tomboy itu muncul. Dia tergelak melihat wajah frustasi lelaki yang
Cahaya sudah duduk di depan ruangan administrasi. Namun prosedur, tetaplah prosedur. Akhirnya mau tak mau, Kirana harus dibawa pulang. Cahaya hanya mampu pasrah pada takdir yang terasa cukup getir. Ibu mana yang tega melihat putri semata wayangnya terkulai lemah seperti sekarang. Satu kantung obat dia tebus. Beruntung masih ada sisa uang, jadi saat ini untuk obat masih bisa ditebusnya. Cahaya memeluk tubuh Kirana yang menggigil tetapi terasa panas. Hatinya menjerit memanjatkan doa, berharap terketuk pintu langit. Ibu hanya mampu menyeka air mata melihat Cahaya memapah cucunya ke luar. “Ibu sama Kiran tunggu sebentar, ya! Mau cari ojek dulu.” Cahaya menguatkan diri agar tak menangis. Dia terburu-buru keluar setelah Kirana terlihat sedikit lebih nyaman tertidur pada pangkuan Ibu pada kursi tunggu di teras klinik. Waktu sudah menanjak malam. Suara takbir dari masjid yang berseberangan dengan klinik terdengar. Semua sedang menyelesaikan terawih ketika Cahaya berjalan tertatih. Berulan
Suhu tubuh Kirana mulai mereda setelah dokter memberikan obat lagi. Cahaya bisa sedikit bernapas lega. Dikecupnya kening Kirana yang kini mulai kembali terlelap. Puasa sehari lagi besok. Tak sepeser pun uang yang kini dipegang Cahaya. Cahaya mengambil wudhu, beruntung ada fasilitas untuk shalat. Cahaya mengambil perlengkapan shalat di pojok ruangan, lantas segera menunaikan ibadah shalat isya empat rakaat. Tak jauh-jauh, dia menggelar sajadah di samping ranjang rawat. Suasana asing dan sepi. Empat rakaat pun kelar, diliriknya Kirana, tampak sudah semakin tenang. Cahaya melanjutkan dengan tarawih sendirian. Dilanjut witir dan terakhir dia memanjatkan bacaan doa sebiasanya. Dilipatnya mukena itu kembali bersama sajadahnya lalu dikembalikan ke tempat semula. Cahaya duduk pada kursi yang ada di tepi ranjang rawat, dipegangnya dahi Kirana masih panas, meski tak sehebat tadi. “Sepertinya besok mendingan pulang saja, deh … sudah reda panasnya … kalau di sini sampai beberapa hari, berat n
Cahaya menatap Ibu lalu bertanya, “Uang sebanyak ini dari siapa, Bu?” “Pakai saja dulu. Itu uang simpanan Ibu.” Hanya jawaban itu yang didapatkan Cahaya. Rasanya masih ada yang mengganjal. Jika Ibu memiliki uang simpanan sebanyak itu, kenapa juga kemarin bahkan untuk ongkos ojek pun dia gak punya. “Sudah, gak usah terlalu banyak pikiran. Pakai saja dulu buat keperluan Kiran.” Cahaya sebetulnya masih penasaran dari mana uang yang setelah dihitung itu ternyata berjumlah satu juta. Namun, kali ini bukan waktunya untuk debat. Yang jelas uang itu datang di waktu yang tepat. Setidaknya, besok ketika pas pulang, tak payah pusing lagi memikirkan pinjaman. Ibu pun tak lama. Dia berpamitan. Dia berjalan kaki dari tempat dokter praktek itu, katanya mau naik ojek di depan. “Dari mana pun Ibu dapat uang ini … semoga bukan dari sesuatu yang diharamkan.” Hanya itu yang Cahaya ucapkan sambil bernapas lega. Kondisi Kiran membuat Cahaya berbesar hati. Suhu tubuhnya seharian ini stabil. Dokter bi
“Sedikit, lagi ….” Mas Baska menginjak gas maksimal. Tak sabar, benar-benar tak sabar. Bahkan sejak dalam perjalanan, jiwanya sudah lebih dulu tiba di kampung kesayangan. Hingga perlahan mobil berwarna putih itu menepi, memasuki jalanan pemukiman yang sunyi. Rumah yang dibelinya dari hasil sisa tabungan yang Cahaya simpan, rumah yang ditempatinya semenjak rumah besar dan megahnya disita Bank. Rumah yang dia tinggalkan selama ratusan hari, kini sudah berada di depan mata. Lampunya menyala, tetapi sepertinya sangat sunyi. Dibukanya pintu mobil ketika kendaraan roda empat itu sudah terparkir sempurna. Mas Baska keluar setengah berlari memburu pintu rumah. Hatinya berdesie hebat, bahkan air matanya sudah mengembun ketika jemarinya mengetuk daun pintu. “Assalamu’alaikum, Dek!”Suara bergetarnya terdengar. Menyeruak di tengah ramainya alunan takbir yang bersahut-sahutan. “Dek! Ini Mas, suami kamu! Buka pintunya, Dek!” Mas Baska berbicara lebih kencang. Namun, tak ada yang membuka juga da